Zein sedikit bingung sesaat setelah mencicipi makan malam yang terhidang di meja makan. Sepertinya lidah Zein menangkap sesuatu yang tidak biasa. Laki-laki itu mencoba mencari cita rasa masakan yang setiap hari dimakannya.
"Bi Siti kemari sebentar." panggil Zein.
"Iya tuan ada apa?" tanya Siti sambil mendekat.
"Kenapa rasa masakannya berbeda? Apa bibi membeli lauk dari luar?" tanya Zein.
"Tidak tuan. Hari ini bibi yang masak. Biasanya Mora yang masak makanan untuk Tuan. Tapi sejak siang Mora tidak keluar dari kamarnya, jadi bibi yang masak untuk tuan." jelas Siti.
"Jadi selama ini Mora yang menyiapkan makananku? Mora sendiri yang masak? Kenapa aku baru tau sekarang? Sejak kapan dia melakukannya?" tanya Zein penasaran.
"Sebenarnya sudah lama tuan. Tapi, akhir-akhir ini Mora jadi lebih rajin. Mora juga menolak bantuan bibi jika itu menyangkut kebutuhan tuan. Tapi hari ini sesuatu terjadi pada Mora. Tadi siang Mora menangis. Bibi tidak tau apa yang salah. Bibi tidak berani bertanya." lanjut Siti.
Zein mengerutkan kening. "Menangis? Apa dia sakit?"
"Tidak tuan. Tadi siang, setelah menelpon seseorang, Mora berteriak sebelum akhirnya menangis. Sepertinya Mora sedang punya masalah. Bibi cuma bisa memeluk. Mora juga tidak mengatakan apa-apa." jawab Siti.
Zein hanya mengangguk dan memperbolehkan Siti pergi.
"Apa yang terjadi? Siapa yang Mora telpon? Ponsel itu, Mora bahkan tidak memberitahu nomor ponselnya. Apa Mora menyembunyikan sesuatu? Apa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada keluarganya? Aku harus cari tau." gumam Zein.
Zein menyelesaikan makan malam dan bergegas ke kamar Mora. Laki-laki itu membuka pintu kamar Mora setelah mengetuknya beberapa kali. Mora sedang melamun sambil menikmati angin malam dari jendela kamarnya yang terbuka. Pelan-pelan, Zein menghampiri Mora yang belum menyadari kedatangan laki-laki itu.
"Ada apa? Kudengar dari bi Siti tadi siang kau menangis. Apa terjadi sesuatu pada keluargamu?" tanya Zein.
Mora langsung menoleh sambil mengusap air mata. Zein tampak kasihan melihat wajah Mora yang begitu pucat karena banyak menangis. Mata Mora yang bengkak dan pipinya yang memerah, menandakan kalau Mora menghabiskan sepanjang sorenya dengan menangis.
"Kau membuatku terkejut Zein. Maaf hari ini aku tidak menyambut kepulanganmu." ujar Mora.
"Kau juga tidak menyiapkan makan malamku Mora. Aku kehilangan keinginan untuk makan karena sudah terbiasa dengan makanan yang kau masak." balas Zein.
Zein sengaja mengajak Mora bercanda untuk mengurangi sedikit kesedihan gadis itu.
"Maaf." lirih Mora.
"Hei aku cuma bercanda, kenapa kau jadi begitu serius? Bagaimana kalau kita nonton? Aku baru mendownload film bagus. Suasana hati yang buruk sebaiknya dialihkan dengan menyibukkan pikiran." ajak Zein.
"Terima kasih untuk tawarannya Zein. Tapi saat ini aku hanya ingin sendiri. Perasaanku sedang tidak enak." tolak Mora.
"Mora, obat yang paling manjur saat kita sedih adalah mengalihkan pikiran kita dari masalah yang kita hadapi. Dengan begitu kita tidak terus-menerus memikirkannya. Ayolah Mora, kau jadi sangat jelek karena terlalu banyak menangis. Coba lihat wajahmu di cermin. Kau pasti malu menunjukkan wajah seperti itu di hadapanku." ejek Zein.
Mora langsung memegangi muka karena ucapan Zein. Mora memang cantik, bahkan tetap cantik walaupun wajahnya sembab karena terlalu banyak menangis. Zein tidak bisa memungkiri itu. Wajah cantik Mora, sering kali membuat Zein betah berlama-lama menatapnya.
"Baiklah kau duluan saja. Setelah mencuci muka, aku akan menyusul." ujar Mora mengalah.
Zein mengusap kepala Mora sambil tersenyum manis. Mora balas tersenyum walaupun nampak jelas jika senyumanya sedikit dipaksakan. Meskipun tidak tau apa yang sebenarnya sedang terjadi, Zein ingin menghibur Mora.
Setelah cukup lama menunggu, Mora keluar kamar dengan menggunakan baju tidurnya. Baju itu tampak sudah usang. Setahun yang lalu Zein membelikan semua kebutuhan Mora dengan bantuan perawat dari rumah sakit tempatnya bekerja. Sejak saat itu, Zein tidak pernah memikirkan kebutuhan Mora. Zein juga tidak pernah memberinya uang untuk sekedar membeli sesuatu. Yang ada di pikiran Zein adalah Mora tidak akan membutuhkan uang karena Mora bahkan tidak pernah keluar rumah.
Tapi melihat baju tidur yang Mora kenakan, Zein merasa sedikit bersalah pada wanita cantik yang tidak pernah menuntut apa-apa darinya itu. Sudah bisa menumpang hidup dan tidur di tempat yang nyaman, bagi Mora adalah sebuah keajaiban. Tentu saja Mora tidak mungkin menuntut sesuatu sementara Mora merasa sudah mendapatkan segalanya. Melihat Mora yang begitu menyedihkan, Zein menghela napas berat.
"Zein ada apa? Apa ada yang aneh? Dari tadi kau terus menatapku." tanya Mora.
Zein hanya menggeleng dan meminta Mora duduk disebelahnya. Mereka mulai nonton dalam diam. Sesekali Zein melirik Mora yang fokus menatap layar televisi. Pikiran Mora menerawang. Beberapa kali zein melihat Mora menguap pertanda kalau gadis itu mulai mengantuk. Film yang ada dihadapan Mora, sama sekali tidak membuat pikiran Mora tenang, Zein tau itu.
Sebenarnya Zein juga tidak terlalu suka menonton. Tapi untuk menghibur Mora, hanya cara ini yang bisa Zein lakukan. Zein tidak mungkin membawa Mora makan diluar atau mengajaknya belanja di mall. Zein tau Mora sedang dalam pelarian dan bersembunyi dari orang yang sudah memenangkannya dalam taruhan judi seperti yang pernah Mora ceritakan saat pertama tinggal di rumah Zein dulu.
Karena terus melamun, Zein terkejut saat menyadari Mora sudah tertidur dan tidak sadar kalau kepala Mora kini bersandar di bahunya.
"Apa yang sebenarnya terjadi padamu Mora? Saat ini kau terlihat sama persis dengan Amora yang setahun lalu kutemui di jalanan. Kau begitu rapuh dan ketakutan." gumam Zein seraya mengelus kepala Mora.
Tak ingin membangunkan Mora, Zein membenahi posisi Mora hingga Mora tertidur dipangkuan Zein. Malam itu Zein membiarkan Mora tidur dengan nyaman. Zein tau, Mora butuh seseorang untuk bersandar.
Cukup lama Mora tertidur sampai akhirnya gadis itu terjaga. Mora tampak kebingungan dan buru-buru duduk setelah tau kalau dirinya tidur di pangkuan Zein.
"Kau terbangun?" tanya Zein.
"Ah maafkan aku Zein aku tidak sengaja tertidur di pangkuanmu. Apa aku berat? Sudah berapa lama?" tanya Mora malu.
"Sekitar satu jam." jawab Zein.
"Ya tuhan kakimu pasti sakit dan kesemutan. Kenapa kau tidak membangunkanku? Aku jadi merasa bersalah." pekik Mora.
"Aku tidak tega membangunkanmu Mora. Sangat bagus kau bisa tidur dan melupakan masalahmu. Jadi kupikir tidak ada salahnya membiarkanmu tidur lebih lama." jawab Zein.
"Tapi tetap saja. Seharusnya aku tidak boleh merepotkanmu. Apapun itu, terima kasih Zein, setidaknya sekarang perasaanku sudah jauh lebih baik." ujar Mora tulus.
"Itulah gunanya teman Mora. Bukankah saat aku dalam masalah kau diam-diam selalu menemaniku?"
Mora hanya tersenyum. Sekali lagi Zein mengelus pucuk kepala Mora sebelum akhirnya pamit ke kamar. Entah mengapa akhir-akhir ini tangan Zein selalu menyentuh Mora dengan sendirinya. Zein mulai khawatir terhadap hal itu.
***
Pagi hari Mora sudah terlihat lebih baik. Mora sudah kembali menjadi Amora yang beberapa hari ini sedikit berbeda. Saat mencicipi sarapannya, Zein mulai bisa menebak kalau masakan itu dibuat oleh Mora.
"Mora nanti malam kita akan kedatangan beberapa orang tamu." ujar Zein.
"Siapa? Banyak? Kalau begitu secepat mungkin akan ku siapkan jamuan untuk mereka. Jadi nanti saat mereka sampai, Bi Siti tidak kerepotan untuk melayani mereka." balas Mora.
"Memangnya kau mau kemana? Kau seperti seseorang yang sudah siap meninggalkan rumah." canda Zein.
"Memangnya aku bisa kemana Zein? Tentu saja aku harus sembunyi. Bukankah selama ini aku selalu melakukannya?" jelas Mora.
"Tapi kali ini aku butuh bantuan Mora. Kau tidak harus sembunyi." ujar Zein.
Mora mengerutkan kening. "Bantuan? Apa?"
Sesaat Zein merasa bersalah. Tapi, keinginan Zein untuk membuat Juan berpaling pada Amora, jauh lebih besar dari rasa bersalah yang tengah dirasakannya.
"Malam ini Arumi akan mengadakan perayaan ulang tahunku di rumah. Tamunya tidak banyak, hanya keluarga. Aku juga harus pura-pura mengundangmu karena kau sudah secara resmi ku perkenalkan sebagai pacar pada Papa dan mama. Apa kau tidak keberatan Mora?" tanya Zein.
Mora tampak diam dengan raut wajah yang sedikit ketakutan. Zein bisa menangkapnya dari gerakan tangan Mora yang saling meremas.
"Ada apa? Kau takut? Kau hanya harus berdiri di sampingku. Tidak ada orang lain yang diajak kecuali keluargaku dan Rumi. Jadi kau tidak perlu khawatir. Soal kebohongan itu, aku yang akan menanggung resikonya." bujuk Zein.
Mora masih terlihat ragu meskipun akhirnya mengangguk tanda menyetujui keinginan Zein. Zein tersenyum senang dan mulai menyusun rencana membeli pakaian baru untuk Mora. Tentu saja sebagai pacar Zein, Mora harus terlihat bersinar dari siapapun termasuk Arumi.
Bukan itu saja, dalam pikiran Zein, jika Mora terlihat lebih bersinar dari Arumi maka Juan secara otomatis akan melihatnya dan akan berusaha mencuri Mora dari Zein.
"Aku sudah tidak sabar menunggu malam tiba dan menunjukan permainanku pada Juan. Kita lihat saja, kali ini Juan tidak akan bisa mengalahkanku." batin Zein.
Zein menatap Mora yang kini makan dalam diam. Saat perasaan bersalah melintas di kepala Zein, laki-laki itu buru-buru menggelengkan kepala untuk mengusirnya.
Bersambung