Bab 2. Untuk Mama 2

1357 Words
# Maura tidak bisa menahan rasa harunya saat melihat Max yang kini berada di atas panggung sebagai juara pertama. Putranya nampak sangat mungil saat berdiri di antara anak-anak lainnya yang jelas-jelas memiliki bentuk tubuh yang jauh lebih besar. Max memang peserta termuda kali ini dan Maura tidak pernah menyangka kalau akan ada banyak orang yang menyukai Max. Terdengar dari tepuk tangan meriah ketika Max menerima piala kecil yang merupakan hasil kerja keras pertamanya. "Uhm ..." Semua mendadak terdiam saat mendadak Max menarik pelan ujung baju pembawa acara. "Rupanya juara pertama kita memiliki sesuatu yang ingin dia katakan," ucap Pembaca acara sambil mendekatkan mic ke arah Max. "Bolehkah aku memainkan pianonya sekali lagi untuk Mamaku?" tanya Max malu-malu. Sikapnya yang menggemaskan malah mengundang tawa dari orang-orang yang hadir di sana. Meski begitu, Max tidak mengalihkan pandangannya dari Maura yang duduk di kursi depan. Pembawa acara kemudian menuntun Max. "Kau adalah juara pertamanya pria kecil. Tentu saja kau bisa mamainkannya sekali lagi." Max tersenyum senang mendengar ucapan Pembawa acara tersebut. Setelah semua peserta lain turun dan kembali ke kursi bersama orang tua dan wali mereka, Max bersiap untuk memainkan lagunya sekali lagi. Tapi sebelum itu, bocah kecil tersebut mendekatkan mic ke bibirnya dan kembali berbicara. "Mama, lagu ini untuk Mama. Aku sayang Mama," ucap Max. Tepuk tangan kembali bergema di ruangan tersebut dan orang-orang kini beralih menatap ke arah Maura, seakan bertanya-tanya bagaimana dia bisa menjadi ibu dari anak yang begitu pintar dan menggemaskan seperti Max. Maura hanya bisa menutup mulutnya dengan tangan melihat kejutan manis putranya. Matanya tampak berkaca-kaca. Luna yang melihat itu kini mendekat ke arah Maura. "Dia benar-benar menakjubkan," bisik Luna pada Maura. Maura hanya mengangguk pelan mendengar ucapan sahabatnya itu. Max mulai memainkan pianonya dengan perlahan. Seiring waktu permainannya menjadi semakin cepat dan membuat orang-orang kembali takjub. Maura sendiri hanya bisa menatap putranya dari tempat dia berada. Mengingat kembali semua masa lalunya sebelum kehadiran Max, dia merasa bersyukur karena memutuskan untuk mempertahankan kehamilannya dengan segala resiko dan cemooh yang dia terima karena memiliki seorang anak tanpa pendamping. Max adalah hal yang paling berharga dalam hidupnya saat ini. Permainan Max terus berlanjut hingga akhir dan sekali lagi tepuk tangan meriah kembali terdengar setelah Max menyelesaikan permainannya. Max kemudian melangkah turun dari atas panggung menuju ke arah Maura yang langsung menyambut putranya. "Anak Mama benar-benar hebat," ucap Maura. "Iya." Max menunduk malu dan menyodorkan piala yang dia bawa di tangannya ke arah Maura. Maura menerima piala tersebut. "Untuk Mama?" tanya Maura. Max kembali mengangguk dan tersenyum dengan wajah memerah. "Untuk Mama." Max mengulang ucapan Maura. Maura memeluk putranya dan mengecup puncak kepala Max. "Terima kasih ya," balas Maura. Max tersenyum senang mendengar ucapan Maura. Namun dia langsung mengerutkan dahinya bingung saat melihat senyum bahagia penuh kebanggaan di wajah ibunya perlahan menghilang. "Max!" Maura berteriak histeris saat melihat ada cairan merah yang mengalir dari hidung Max. "Apa kau terluka? Tadi kau jatuh?" tanya Maura panik. Dia meraba dahi Max dan merasakan suhu tubuh Max yang jauh lebih hangat dibandingkan yang seharusnya. Kepanikan Maura membuat Cakra dan Luna langsung ikut mendekat. "Papa! Max berdarah!" Seru Citra yang langsung membuat orang-orang mulai berkerumun. Luna memberikan tisu pada Max sementara Cakra menenangkan Citra yang tampak syok. "Maura, kita bawa Max ke Rumah Sakit!" ucap Cakra. Dia memecah kerumunan dengan dibantu oleh beberapa orang yang lain sementara Luna beralih menggandeng Citra. Maura langsung mengerti maksud Cakra dan dia segera meraih tubuh putranya yang mendadak terlihat lemas dan menggendongnya. Mereka tiba di luar gedung dan langsung menuju ke mobil. Cakra duduk di depan dan langsung menghidupkan mobilnya sementara Luna, istri Cakra duduk di kursi depan dengan memangku Citra. Dengan begitu Maura bisa duduk dengan leluasa bersama Max di bangku belakang. "Angkat wajahnya menghadap atas dan sumbat hidungnya dengan tisu sebisa mungkin agar pendarahannya berhenti. Minta dia bernapas dari mulut," perintah Cakra. Dengan tangan gemetar, Maura melakukan semua yang diminta oleh Cakra. "Max, kau dengar ucapan Pamanmu kan? Ayo angkat kepalamu dan bernapas dari mulut ya. Jangan takut, Mama di sini," ucap Maura dengan suara gemetar. Darah kini sudah membasahi kemeja Max dan dia tidak pernah melihat Max mengalami mimisan sampai separah ini. Max menuruti ucapan Maura. Dia merasa pusing tapi matanya terus menatap ibunya yang tampak berderai air mata saat ini. Citra yang mengintip dari depan tampak sedih melihat teman sepermainannya yang sekarang tampak pucat. "Max, apa rasanya sakit?" tanya Citra pelan. Matanya memerah menahan tangis dan dia kini semakin erat memeluk ibunya sendiri. "Tidak sakit," jawab Max akhirnya dengan suara pelan. Max kemudian meraih tangan ibunya yang masih memegang dagunya. "Mama, jangan menangis. Ini tidak sakit." Dia kembali berbicara. Maura menghapus air matanya cepat. "Iya, kau anak yang kuat dan hebat. Tidak apa-apa. Mama tidak akan menangis," balas Maura. Mobil mereka akhirnya tiba di Rumah Sakit dan Max langsung di bawa ke IGD untuk segera mendapat tindakan. Semntara semuanya harus menunggu di luar, Luna meraih Maura dan memeluknya. "Maura, dia tidak akan apa-apa. Mungkin dia hanya kelelahan. Beberapa hari ini dia berlatih sangat keras jadi mungkin dia hanya kelelahan." Hibur Luna. Luna mengambil tisu basah dari tasnya dan membantu Maura membersihkan tangannya dari darah yang masih menempel. "Aku seharusnya tidak terlambat di acara yang sangat penting untuknya. Tidak. Aku selalu saja terlambat untuknya, aku ...." "Hush ... Jangan mulai menyalahkan dirimu sendiri dan berpikir yang tidak-tidak. Aku mengerti perasaanmu tapi Maura yang aku kenal tidak lemah dan akan mencari jalan keluar dari setiap masalah yang dia hadapi. Kau harus tetap berpikir positif," potong Luna. Maura kembali memeluk Luna saat itu sementara Cakra hanya bisa menyaksikan bagaimana istrinya menghibur sahabatnya itu sambil dia sendiri memeluk Citra. "Papa, Max kenapa? Dia akan baik-baik saja kan?" tanya Citra pelan. Cakra membelai rambut putrinya. "Dia tidak akan apa-apa. Kau kan tahu Max anak yang kuat?" Cakra balas bertanya. Citra terdiam. Dia memeluk ayahnya semakin erat kini. # Arga melangkah masuk ke dalam rumahnya. Tidak ada yang menyambutnya kecuali seorang pembantu yang membawakan tasnya serta membawakan sandal rumah untuknya. "Di mana Cleo?" tanya Arga mencari istrinya. Pembantu itu tampak takut dan ragu mendengar pertanyaan Arga. Arga menarik napas panjang dan langsung berdiri tanpa menunggu jawaban dari pertanyaannya. Dia melangkah ke kamar atas dan melihat seorang gadis kecil yang memegang boneka sambil menatap nanar ke arah pintu kamar yang sedikit terbuka. Rahang Arga mengeras melihat kejadian itu. Arga menarik tubuh gadis mungil yang adalah putrinya tersebut dan langsung memeluknya. "Agni sedang apa di sini? Kenapa belum tidur?" bisik Arga. Dia segera membawa putri kecilnya menjauh dari kamar tersebut. "Papa ... Mama cama Om ... mayah ... Agni, Mama mayah," tunjuk Agni. Dia masih berusia dua tahun lebih dan Agni memiliki sedikit masalah saat berbicara. Arga dengan cepat membawa Agni ke kamar. Dia tentu saja tahu kalau malam ini istrinya, Cleo pasti membawa pria lain ke rumah dan itu membuat Arga marah. Bukan karena Cleo membawa seorang pria ke rumah tapi karena Cleo berani-beraninya mempertontonkan hal seperti itu di hadapan putri mereka "Jangan takut. Mama cuma sedang bingung. Sekarang Agni bobo yah, Papa temani," ujar Arga. Agni mengangguk dan Arga meletakkan putrinya tersebut ke atas tempat tidur, menyelimutinya dan menyanyikan lagu tidur untuk putrinya tersebut. "Papa ... nanan mayah Agni," gumam Agni dengan mata yang sudah separuh terpejam. "Papa tidak akan pernah marah pada Agni," balas Arga sambil mengusap lembut puncak kelapa Agni. Dia menatap wajah mungil itu dan menarik napas panjang. Merasa iba dengan nasib putri kecilnya yang bukan terlahir dari orang tua yang saling mencintai. Pernikahannya dengan Cleo hanyalah pernikahan bisnis dan tidak banyak yang tahu kalau sebenarnya Cleo sudah mengandung Agni bahkan sebelum mereka menikah. Baju pengantin yang didesain khusus berhasil menyembunyikan kehamilann Cleo saat itu. Namun meski pernikahannya hanyalah pernikahan bisnis, rasa sayang Arga pada putrinya menjadi semakin besar dari hari ke hari. Sekarang dia mengerti kenapa Cakra sangat protektif dengan putrinya. Arga mengusap dahi Agni untuk memastikan kalau bocah itu sudah tertidur. Dia lalu menunduk dan mengecup pelan dahi putrinya sebelum akhirnya meninggalkan kamar Agni. Langkah Arga lurus menuju ke kamar yang ditempati istrinya. Saat ini dia harus memberi pelajaran pada istrinya dan siapa pun pria yang sedang bersama istrinya di kamar itu karena sudah berani mempertontonkan perbuatan tidak senonoh mereka pada putri kecilnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD