#
Dania yang baru akan kembali ke tempat duduknya bersama Maura dengan membawa pesanan khusus Max kini sedikit terkejut saat mendapati Arga dan Agni yang juga ada di tempat yang sama. Terlebih Agni yang tampak lengket dengan Maura.
Melihat itu, dia menambah beberapa potong kue lagi sesuai jumlah orang yang ada di meja sebelum dia melangkah mendekati meja di mana Arga dan Maura kini duduk.
"Aku tidak mengira kau akan bergabung di meja ini dan bahkan menitipkan Agni pada Maura. Memangnya Cleo ke mana?" tanya Dania heran. Dia kembali melirik ke arah Agni yang sekarang sibuk bercanda dengan Maura.
Orang yang tidak tahu pasti akan mengira kalau Mauralah ibu kandung Agni dibandingkan Cleo.
Lebih dari itu. Jika tanpa pengasuh yang Maura bawa dan tanpa Dania sendiri maka keluarga itu akan terlihat seperti keluarga kecil bahagia yang lengkap.
Arga sendiri hanya menggeleng pelan mendengar pertanyaan Maura.
"Agni sendiri yang tidak mau melepaskan Maura. Aku juga tidak tahu Cleo di mana padahal seharusnya Agni ada bersamanya tapi dia malah meninggalkan Agni sendirian. Sepertinya dia menyelinap meninggalkan acara. Kau tahu karakternya kan," jawab Arga cuek. Meski begitu sebenarnya dia kesal dengan Cleo karena sudah membiarkan Agni sendirian. Siapa yang tahu kalau ada orang jahat yang mengincar Agni?
Pemikiran ini membuat Arga merasa menyesal sudah meninggalkan dan mempercayakan Agni pada istrinya sendiri sekalipun sebenarnya Cleo adalah ibu kandung Agni.
Dania kemudian meletakkan makanan yang dijanjikannya pada Max di atas meja dan membuat Max serta Agni berseru gembira.
"Sejak dulu aku selalu merasa kalau seharusnya kau tidak menikah dengan Cleo. Dia cocok dengan keluarga Pangestu tetapi tidak cocok denganmu," ucap Dania terus terang dengan nada pelan. Memastikan kalau ucapan itu hanya terdengar di antara mereka saja. Dia kemudian meletakkan potongan kue terakhir di hadapan Arga dan Maura.
"Menikah dengan siapa pun tidak ada bedanya," ujar Arga.
"Hem, maaf menyela. Tapi aku merasa tidak nyaman dan sepertinya ini bukan tempat yang tepat untuk membahas apa yang kalian bahas sekarang," ucap Maura jujur.
"Ah kau benar." Dania mengangguk setuju. Dia kemudian menarik kursi dari meja lain dan duduk di antara Maura serta Arga.
Posisi tempat duduk kini kembali berubah dengan kehadiran Dania di mana Dania duduk di tengah. Di sebelah kirinya ada Maura yang memangku Agni, lalu di sebelah kanannya Arga. Di sebelah Maura ada Max dan di depan Max barulah Tante Yen yang memang duduk di sebelah Arga.
"Mam." Agni menunjuk ke arah potongan kue di depan Maura dan dengan senang hati Maura menyuapi Agni.
"Maura, kau bukan orang asing. Kita sudah berteman selama bertahun-tahun, seharusnya tidak ada rahasia di antara kita." Arga melirik Maura sekilas sebelum akhirnya dia menyuapkan satu sendok potongan kue yang dibawa Dania ke dalam mulutnya sendiri.
Di saat yang sama Max juga menyuapkan potongan kue itu ke mulutnya.
Dania mengerutkan dahi ketika melihat Max dan Arga melakukan gerakan yang sama, bahkan mengunyah dan mengelap sisa krim di bibir mereka dengan ujung jari yang sama serta sama-sama mengangkat alisnya dengan gaya yang sama sebagai tanda kalau mereka menyukai rasa kue itu.
"Itu masalah rumah tanggamu dan aku tidak seharusnya tahu meski kita sahabat dekat," balas Maura yang tetap sibuk dengan Agni. Bocah itu terlihat lahap dan gembira.
Dania menggeleng kuat mengusir prasangka yang ada di otaknya.
Dia melirik Arga, Maura hingga Tante Yen, tapi tampaknya hanya dia seorang yang menyadari kejanggalan itu karena posisi duduknya yang memang berada di tengah.
"Maksudmu seperti cara kau merahasiakan siapa pria itu dari aku dan Cakra?" balas Arga tajam.
Saat itu Arga meraih tisu di saat yang sama dengan Max sehingga tangan mereka bertabrakan di atas kotak tisu. Arga kemudian membiarkan Max mengambil tisu lebih dulu.
Namun kemudian semuanya kembali terjadi di depan mata Dania saat dia menyaksikan bagaimana Arga dan Max melipat tisu dengan cara yang sama serta melakukan gerakan yang sama untuk mengelap bawah bibir mereka masing-masing.
Tidak hanya itu, keduanya bahkan minum dengan gaya yang sama hingga membuat Dania tercengang sendiri.
"Kau tidak masuk akal. Itu urusan pribadiku dan seharusnya itu tidak berpengaruh pada persahabatan kita. Kau menjauh dan mengucilkan dirimu sendiri hanya karena hal sepele. Setidaknya aku tidak pernah memblokir nomormu, tapi kau memblokir nomorku." Sekarang Maura mulai merasa kesal dengan sikap Arga yang kekanak-kanakan. Pantas saja dulu Luna meninggalkan Arga karena sikap Arga yang suka merajuk seperti ini. Setidaknya Cakra lebih mampu bersikap dewasa dibandingkan Arga.
"Oke, aku salah karena memblokir nomormu. Tapi kau mengabaikan undangan pernikahanku dan tidak datang. Sahabat macam apa yang tidak hadir di pernikahan sahabatnya?" keluh Arga.
Arga kemudian menyadari sesuatu setelah beberapa saat.
"Tunggu dulu. Apa Cakra tahu siapa orang itu? Apa jangan-jangan Luna juga tahu?" tanya Arga penasaran.
Saat itu Arga akhirnya menyelesaikan makannya dan mendorong piring kue itu menjauh. Hal yang sama dilakukan juga oleh Max. Keduanya sama-sama memilih air mineral, memutar tutupnya dengan gaya dan ekspresi yang sama sebelum akhirnya hanya minum dua teguk dan meletakkannya di meja kembali.
Dania kini mulai merasa yakin kalau semuanya terlalu mirip untuk bisa disebut kebetulan.
Max bisa dikatakan seperti sosok Maura kecil dengan jenis kelamin berbeda, tapi sekarang Dania menyadari juga kalau gerak-gerik dan gaya bicara Max terlalu mirip dengan Arga. Bukankah ini kebetulan yang terlalu mencurigakan untuk sekedar disebut sebagai kebetulan?
Di sisi lain Maura menarik napas panjang menghadapi Arga yang seakan berusaha mengorek masa lalunya secara terang-terangan.
"Aku datang di pernikahanmu meski aku tidak bisa berlama-lama karena saat itu Max sedang demam," akunya. Dia tidak berbohong tentang Max yang demam tapi itu bukan satu-satunya alasan kenapa dia memilih untuk hanya datang sebentar dan kemudian memilih untuk pergi pada akhirnya.
Maura sebenarnya baru tahu kalau Max demam saat sudah tiba di rumah.
Arga kini menatap Maura dengan pandangan menyelidik. Ada rasa senang menyelinap di hatinya saat tahu kalau ternyata Maura masih menyempatkan diri untuk datang ke pernikahannya.
"Aku tidak melihatmu, jadi itu tidak dihitung. Kalau kau datang dengan niat baik, setidaknya kau bisa menunjukkan dirimu di hadapanku." Arga menuntut.
Maura mengernyit menyadari kalau topik perdebatannya dengan Arga malah melebar ke mana-mana seakan pria di hadapannya itu memang dengan sengaja ingin mencari masalah dengannya.
"Bisakah kau berhenti menyudutkanku? Ada anak-anak di sini," pinta Maura.
Arga terdiam. Dia kini menyadari kalau Max dan Agni juga tengah menatapnya karena perdebatannya dengan Maura yang semakin memanas.
"Maaf," ucap Arga yang akhirnya memilih mengalah.
Maura hanya diam menanggapi permintaan maaf Arga.
"Berikan nomor ponselmu yang baru," lanjut Arga. Dia kini mengulurkan ponselnya meminta Maura mengetikkan sendiri.
Selama beberapa saat Maura merasa ragu sebelum akhirnya dia memutuskan memberi nomor ponselnya pada Arga.
Arga kemudian menerima ponselnya lagi dan tersenyum tipis melihat nomor ponsel Maura yang kembali tersimpan di ponselnya setelah sekian lama.
Saat itu Agni yang sudah kekenyangan tampak mulai mengantuk di gendongan Maura.
"Maura, berikan saja Agni pada Arga. Tanganmu pasti pegal," usul Dania tiba-tiba.
"Oh benar juga. Berikan padaku. Aku rasa dia tidak akan berontak sekarang karena mengantuk." Arga menyimpan ponselnya di dalam saku sebelum akhirnya bergerak mendekati Maura.
Benar saja, Agni tampak terkantuk-kantuk sekarang sehingga Arga dengan mudah mengambil putrinya dari gendongan Maura.
Diam-diam Dania memperhatikan interaksi keduanya.
Maura terlihat biasa saja tapi Arga mendadak menyadari kalau jantungnya berdegup kencang ketika tangannya dan Maura bersentuhan.
"Hati-hati," ujar Maura pelan.
"Hem," balas Arga. Sesuatu di dalam dirinya kembali bergejolak hanya dengan mencium aroma manis yang menguar dari tubuh Maura. Sesuatu yang tidak pernah dia rasakan meski dirinya dan Maura berkali-kali bersentuhan dan bahkan berpelukan sebagai sahabat di masa lalu.
"Om akan pulang bersama Dedek Agni sekarang?" tanya Max tiba-tiba. Dia sejujurnya merasa tidak rela harus berpisah secepat ini dengan anak perempuan lucu dan mungil yang baru ditemuinya.
"Sayang sekali iya. Tapi kalau kau mau kita bisa bertemu lagi. Om dan Mamamu sudah bertukar nomor ponsel tadi," balas Arga. Acara ulang tahun Agni juga sebenarnya sudah berakhir sekarang dan selanjutnya biar pembawa acara yang mengatur serta menutup acara.
Max tampak menunduk sejenak seperti berpikir. Dia kemudian beralih menatap ibunya.
"Mama, boleh ketemu Dedek Agni nanti? Tapi cuma Dedek Agni, Om Arganya ditinggal saja di rumahnya. Aku tidak mau bertemu lagi dengan Om Arga," ucap Max dengan polosnya.
Dania yang mendengarkan itu sampai tersedak dengan air yang dia minum. Dia kemudian tertawa terbahak-bahak karena Arga yang tampak kesal mendengar ucapan Max.
Maura sendiri kaget juga dengan pernyataan Max. Sebelumnya Max tidak pernah berkata seperti itu kepada orang lain.
"Max, Om Arga itu ...."
"Sahabat terbaik, terdekat dan ter-akrab Mamamu bahkan sebelum kau lahir. Selain itu Om satu paket dengan Agni jadi sayang sekali, kau akan sering melihat Om di sekitarmu," potong Arga sebelum Maura menyelesaikan kalimatnya. Mana mungkin dia mau kalah dari anak lelaki kecil di depannya? Bahkan sekalipun itu adalah anak yang dilahirkan oleh Maura sendiri.
Hari ini adalah hari di mana persaingan dari ayah dan anak yang tidak saling mengenal tersebut dimulai.