SAYA JIJIK!

1020 Words
Mobil yang ditumpangi Bram dan Naura sampai di kantor milik lelaki itu. Style Naura tampak fresh dengan blazer berwarna oranye, dengan kaos putih V neck sebagai dalamannya. Bagian bawahnya, wanita itu mengenakan rok span selutut dengan warna senada. Jangan lupakan riasan wajah yang begitu pas untuknya. Itu membuat tampilan Naura kian mempesona. Tubuh atletis Bram dibalut dengan jas warna abu-abu. Kemeja putih panjang, dan dasi bercorak garis-garis abu silver tampak begitu pas. Celana slim fit dengan warna senada dengan jasnya pun menambah sempurna tampilan lelaki itu. Tidak salah kalau para karyawannya menyebut Bram dengan sebutan pangeran tampan dari negeri es. Tentu saja kata 'es' muncul dari sikapnya yang selalu dingin tak tersentuh. "Tunggu!" kata itu keluar dari mulut Bram saat Naura akan membuka pintu mobil. Wanita itu mengurungkan niatnya. Sekarang dia memfokuskan pandangannya ke arah Bram. "Ada apa, Mas?Jangan bilang kalau Mas mau kasih aku morning kiss," ucapnya sambil menggoda. "Ck! Tidak usah terlalu percaya diri. Saya cuma mau membahas soal semalam. Tolong, kalau tidur tangannya jangan gentayangan." Bram berucap dingin. Tatapan lelaki itu bahkan fokus ke depan. Padahal mobil itu sudah berhenti di parkiran. Naura menghela napas. Dia sudah tahu kalau suaminya pasti akan membahas soal ini. Tak lama, Naura pun tertawa kecil. Tentu saja dia tidak akan menunjukkan wajah sedih, atau reaksi yang memperlihatkan kelemahan di hadapan Bram. "Memangnya kenapa, Mas? Sah aja, kan? Nyentuh suami sendiri bukannya malah dianjurkan? Kalau nyentuh suami orang, baru deh aku salah." Seperti biasa, Naura memberikan bantahan. Bram yang semula menatap ke depan langsung menolehkan kepalanya ke arah Naura. Tatapan setajam pisau dia tujukan pada istri kecilnya itu. Tampak sekali sekarang dia sedang merasa tidak senang. "Kamu yang tergila-gila sama saya pasti senang karena bisa menggerayangi tubuh saya. Tapi saya? Saya jijik dengan apa yang kamu lakukan. Kamu itu bertingkah seperti wanita bayaran yang haus belaian." Menusuk! Telinga Naura terasa sakit mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh suaminya. Sekuat-kuatnya dia membangun benteng, tetap saja dia manusia yang bisa merasakan sakit. Di saat itu, dia hanya punya satu alasan. Nenek Rohana. Satu-satunya orang yang sekarang sangat berarti untuknya. "Nyatanya memang aku kurang belaian kan, Mas? Soalnya suamiku sendiri enggan menyentuh tubuh istrinya. Sedangkan sebagai seorang istri, aku nggak mungkin minta dibelai orang lain. Kalau itu sampai terjadi, apa suamiku nantinya nggak akan malu? Menyentuh suami sendiri itu tidak bisa dibilang murahan, Mas." Naura menanggapi dengan tenang. Wanita itu tetap menunjukkan sisi anggunnya, tanpa sedikitpun meninggikan suara di hadapan sang suami. "Kamu itu seharusnya tahu diri, Naura!" Bram meninggikan suaranya, dengan menunjuk wajah Naura dengan jari telunjuknya. "Kamu bukan Dera yang bisa meminta saya sentuh. Berhenti main-main. Kamu itu cuma bocah ingusan. Tahu apa kamu soal pernikahan. Kebahagiaan yang kamu rasakan sekarang itu hanya hasil dari belas kasihan nenek saya. Jadi jangan kebanyakan bermimpi!" Bram menegaskan. Dia ingin Naura tidak melampaui batas di antara keduanya. Hatinya hancur? Tentu saja. Tapi lihatlah, wanita itu bahkan masih sanggup tersenyum tanpa sedikitpun air mata terlihat. "Mas mungkin lupa, nama aku itu Naura, bukan Dera. Tapi mas harus ingat, nama wanita yang ada di buku nikah mas itu aku. Aku istri kamu yang sah. Sekarang sudah hampir jam delapan, Mas ada pertemuan dengan tuan Abimana. Sebaiknya kita bersiap sekarang." Masih dengan senyum, sekarang Naura membuka pintu mobil itu. Wanita itu keluar dari mobil dengan anggun. Dia mengangkat wajahnya. Memperlihatkan senyuman ceria di hadapan semua orang yang melihatnya sebentar lagi. Menutupi setiap lembaran luka yang dia simpan rapat-rapat. Bram memukul kemudi. Dia tidak habis pikir kenapa Naura bebal. Seakan apapun yang dia katakan tidak pernah membuat wanita itu sakit hati. Dia selalu menampakkan wajah ceria yang memuakkan bagi lelaki tiga puluh lima tahun itu. Menyadari Naura berdiri di samping mobil menunggunya, Bram memutuskan untuk turun. Belum lagi dia ingat kalau Abimana, klien yang akan bertemu dengannya itu merupakan klien penting. Dia tidak boleh membuat CEO Dahan Property itu menunggu. "Setelah masuk ke ruangan saya, cepat kamu siapkan berkas-berkas yang akan kita bawa saat bertemu dengan Abimana. Jangan ada yang tertinggal. Kesalahan apapun akan menjadi pertimbangan saya menggantikan posisi kamu dengan karyawan yang lain." Bram berucap sambil lalu. "Baik, Mas." "Kalau di wilayah kantor, panggil aku Pak." "Baik, Pak. Sesuai permintaan Bapak." Selanjutnya, Naura mengikuti langkah suaminya. Dia mengingat kembali apa saja yang harus dia persiapkan. Tentu saja dia tidak ingin terjadi kesalahan. Sukses atau tidaknya pertemuan kali ini tergantung bagaimana dia bisa membantu Bram dengan maksimal. *** Saat pertemuan dengan Abimana tiba. Lokasi pertemuan mereka berada di sebuah ruangan khusus yang ada di kantor tersebut. Ruangan yang terletak di lantai tujuh tersebut didesain khusus untuk sharing santai. "Selamat pagi, Tuan Bram. Maaf, saya sedikit terlambat." Abimana mengulurkan tangannya. Bram segera menyambut uluran tangan lelaki itu. "Tidak masalah Tuan Abimana. Saya saja yang terlalu cepat datang. Oh, perkenalkan ini asisten pribadi saya yang baru, Naura." Mereka pun berjabat tangan. "Maaf kalau keluar dari topik, tetapi saya sangat kagum pada asisten Tuan Bram yang baru ini. Ah, maaf. Lupakan saja. Mungkin sebaiknya kita segera membahas soal kerjasama kita." Abimana tampak kikuk. Sementara Bram hanya tersenyum tipis. Abimana seumuran dengan Bram. Mereka berdua sudah menjalin keakraban cukup lama. Perusahaan mereka juga saling membantu satu sama lain. Itulah mengapa, bagi Bram, Abimana itu klien penting. Dia bukan hanya klien biasa. "Terima kasih atas kekaguman Anda. Silakan duduk," Bram menunjukkan sikap bersahabat. Dia juga tidak peduli kalau Abimana akan memiliki perasaan lebih dari sekedar kagum sekalipun. "Saya dengar Anda baru saja pulang dari perjalanan bisnis ke Dubai." Bram mencairkan suasana. Dia tidak ingin Abimana salah tingkah hanya karena memuji asistennya. "Benar. Saya baru kembali dari Dubai tadi malam. Saya baru teringat kalau pagi ini ada janji dengan Anda, beruntung masih terkejar waktunya. Saya sudah berapa kali melakukan reschedule. Kalau kali ini saya membuatnya lagi, saya takut Anda tidak lagi mempercayai saya." "Itu jelas tidak mungkin. Saya mengenal Anda dengan baik. Saya tahu pasti seberapa padat jadwal Anda yang harus lintas negara hampir setiap waktu." Dan obrolan pun menjadi panjang. Naura yang berada di sana hanya menjadi pendengar, dan melakukan sesuatu saat dibutuhkan. Ada bagian paling menyakitkan. Dimana dia mendengar suaminya menceritakan tentang kerinduannya pada sosok mendiang tunangannya. Sanggupkah dia meruntuhkan tembok hati Bram?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD