Naura beberapa kali meregangkan otot tubuhnya. Tidak bisa dia pungkiri kalau pekerjaan yang diberikan oleh Bram benar-benar menguras tenaganya. Nenek Rohana sudah siap di meja makan, sementara Bram masih membersihkan diri di kamarnya. Makanan pun sudah tertata rapi di atas meja makan.
"Kamu kenapa, Sayang? Kelihatannya lelah sekali." Rohana berkomentar.
Naura memang sengaja menjadikan kesempatan ini untuk mengerjai Bram. Mungkin tadi saat di kantor dia bisa bersikap tenang dan biasa saja, tetapi sekarang ... Naura akan membalas perlakuan tidak menyenangkan dari suaminya.
"Nek, sebenarnya Naura mau cerita sesuatu. Tapi Naura takut, nanti mas Bram marah, terus ngomelin Naura," ucapnya kemudian, dia memancing simpati dari Rohana.
"Cerita saja, Sayang. Kamu tidak perlu takut sama Bram. Kalau dia macam-macam, biar nanti nenek hajar dia." Rohana meyakinkan cucu menantunya kalau dia berada di pihaknya.
Mendengar itu, tentu saja Naura sangat kegirangan. Dia semakin percaya diri kalau rencananya untuk mengerjai Bram pasti akan berhasil. Dia akan memastikan suaminya itu mendapatkan pelajaran dari sang nenek.
"Tadi di kantor mas Bram memintaku untuk menyalin banyak laporan, Nek. Coba nenek bayangkan, Naura harus menyalin laporan dari tahun dua ribu delapan belas. Segini tingginya, Nek." Naura melakukan gerakan mengembang dengan tangannya untuk memberitahu sang nenek seberapa banyak berkas yang harus dia salin.
Rohana langsung mengusap-usap puncak kepala Naura dengan penuh rasa sayang.
"Sayang, kamu pasti capek sekali, ya? Keterlaluan sekali si Bram itu. Istrinya sendiri dikerjain seperti itu. Biar nanti nenek yang kasih dia hukuman. Sekarang kamu makan yang banyak. Semua makanan ini boleh kamu makan, Sayang."
Naura memegang tangan wanita tua itu. Dia menciumi punggung tangan keriput itu berkali-kali.
"Naura sayang sekali sama nenek. Terima kasih ya, Nek. Setidaknya Naura masih punya nenek. Kasih Naura waktu buat meluluhkan hatinya mas Bram. Dia sepertinya masih belum bisa melupakan kak Dera." Kali ini Naura berkata dengan ekspresi serius. Dia memang masih berusaha untuk bisa mendekati Bram pelan-pelan.
"Kamu harus sabar, Naura. Bram memang keras kepala. Nenek yakin kamu bisa meluluhkan dia. Kalau dia melakukan hal yang aneh-aneh, jangan segan untuk mengatakannya pada nenek."
"Baik, Nek."
Suara derap langkah seseorang mendekat. Itu Bram. Lelaki itu langsung duduk di samping Naura. Bukan karena dia ingin, tetapi dia tidak mau mendapatkan protes dari neneknya karena memilih kursi lain.
"Dalam rangka apa, nenek memasak semua ini?" Bram menatap isi meja dengan tatapan mata lapar. Sudah tampak begitu jelas, kalau dia sudah tidak sabar untuk menyantap menu makan malam yang terhidang.
"Dalam rangka hari pertama cucu menantuku bekerja di perusahaan keluarga kita. Benar kan, kata nenek? Naura ini bisa diandalkan. Dia bisa dengan mudah menyesuaikan diri di tempat kerja baru." Nenek Rohana memuji Naura.
Untuk itu, sebenarnya Bram juga mengakui kemampuan Naura. Dia bahkan tidak menyangka kalau istrinya itu sanggup menyalin laporan sebelum jam makan malam.
"Yuka bisa lebih baik dari dia, Nek. Dia tangkas dalam mengerjakan apapun. Paham apa yang saya mau tanpa saya harus meminta atau menyuruh." Bram tentu tidak akan mengakui itu secara terang-terangan di depan Naura. Dia masih teguh dengan pendiriannya, membuat wanita yang sepuluh tahun lebih muda darinya itu mengundurkan diri.
"Kamu ini. Istri sendiri nggak dipuji, malah puji-puji orang lain. Nanti kalau ada pria lain yang memuji dia baru kamu tahu rasa." Rohana menyahut sarkas.
Sementara Bram terlihat tidak mengambil pusing soal itu. Dia bahkan akan sangat bersyukur kalau ada seseorang yang mengambil Naura dari sisinya.
"Nek, lebih baik kita makan. Saya sudah sangat lapar." Bram sengaja mengalihkan pembicaraan. Dia tidak ingin terus membicarakan hal yang menurutnya tidak penting itu.
"Baiklah, nenek juga sudah lapar. Tapi karena kamu sudah memberikan pekerjaan yang sangat berat pada Naura, dan tadi kamu tidak memujinya padahal kerjanya bagus, kamu harus dihukum. Malam ini kamu hanya boleh makan malam dengan tempe goreng. Semua lauk-pauk ini untuk nenek, dan Naura. " Rohana menggerakkan tangannya untuk mempertegas ucapannya.
Tentu saja keputusan wanita tua itu membuat Bram terkejut. Bukan hanya dia yang terkejut, tetapi juga Destina.
"Kenapa Nenek harus percaya pada tukang mengadu ini, sih." Bram menggerutu. Meskipun begitu, dia tidak melanggar titah dari neneknya. Sekarang di piringnya hanya ada nasi putih, dan tempe goreng.
"Terus saja kamu menjelekkan istrimu, Bram. Apa kamu mau nenek menambah hukumanmu?" ancam Rohana.
Bram bukanlah tipe lelaki yang takut pada siapapun. Tapi kalau itu sudah berhubungan dengan neneknya, dia lemah. Dia seakan tidak memiliki kuasa apapun kalau berada di hadapan sang nenek.
"Jangan, Nek. Bram minta maaf," ucapnya kemudian.
"Tidak usah minta maaf sama nenek, minta maaf sama istrimu." Rohana menyahut ketus.
Naura hanya bisa menahan tawa. Dia tidak menyangka kalau Bram yang biasanya seperti harimau menjadi anak kucing lucu saat ada di hadapan neneknya.
***
"Saya sudah bilang, jangan mengadu macam-macam sama nenek. Mentang-mentang dekat dengan nenek, kamu menjadi seenaknya seperti ini," omel Bram saat mereka berdua sudah masuk ke dalam kamar.
Naura keluar dari kamar mandi. Wanita itu sudah mengganti pakaiannya dengan gaun tidur yang tentu saja berbahan tipis dan lumayan terbuka.
"Nenek bertanya, ya aku jawab jujur, Mas. Memangnya tidak boleh kalau berbicara jujur sama orang tua? Kata mendiang mamaku, nggak boleh bohong sama orang tua. Nanti bisa kualat." Naura menjawab santai. Gadis itu melangkah ke arah meja rias. Berniat membalur tubuhnya dengan krim khusus sebelum tidur.
"Kamu selalu saja membantah setiap saya bicara. Dera tidak pernah seperti kamu, Ra! Dia selalu menuruti apa yang saya katakan. Dengan sikap kamu yang seperti ini, kamu yakin bisa membuat saya tertarik sama kamu?"
"Mas, memangnya kapan aku membantah kalau Mas Bicara? Aku cuma tidak mau mengiyakan apa yang memang tidak seharusnya. Kalau Mas membandingkan dengan orang yang Mas cintai, ya jelas saja aku kalah. Karena di mata orang yang mencintai, salah pun akan tetap benar." Naura mengucapkan untaian kalimatnya itu dengan penuh kelembutan. Tidak ada emosi di sana.
Setelah memastikan ritual sebelum tidurnya selesai, wanita itu segera melangkahkan kakinya ke ranjang. Dia dan Bram memang tidur dalam satu ranjang, tetapi di tengah-tengah mereka ada dua guling uamg yang membatasi.
"Saya sudah bilang, kamu jangan memakai pakaian yang kurang bahan." Bram mengingatkan.
"Kenapa? Mas takut ada yang bangun, ya? Lagian nggak ada yang salah kok, Mas. Aku pakai gaun tidur, bukan bikini." Naura seakan mengabaikan Bram. Dia langsung naik ke tempat tidur, dan menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut.
Bram benar-benar dibuat pusing dengan Naura. Wanita itu tidak pernah mengindahkan kata-katanya. Setiap hari bawaannya ingin bertengkar. Sekarang, setiap malam dia harus berperang dengan hasratnya sendiri. Bagaimana pun juga, Bram lelaki normal. Tidak mungkin dia tidak bereaksi melihat tubuh indah Naura yang seakan sengaja dipamerkan oleh pemiliknya.