"Je, aku mau ngomong." Harris menemui Jenar yang baru saja pulang dari lapangan siang itu.
Jenar mengernyitkan dahi, tidak biasanya Harris langsung menyambanginya. Dia melepas helm proyek yang dikenakan sambil bertanya. "Kenapa, Ris? Ada yang penting?"
"Aku mau ngomong sesuatu." Harris agak menarik Jenar, ke ruangan yang kosong.
"Ada apa sih?" Jenar benar-benar ingin tahu, melihat gelagat Harris yang nampak gelisah.
"Ini soal Raisha."
"Raisha? Temen Sheila?"
"Iya."
"Kenapa dia? Eh, iya denger-denger, tempo hari ada ribut di kantor ya soal kamu dan Raisha?" tanya Jenar, karena lelaki itu memang hari kemarin tidak berada di kantor. Jenar pergi dinas ke Jakarta selama beberapa hari, sehingga saat Raisha membuat kehebohan di kantor, Jenar tidak menyaksikannya. Dia baru tahu selentingan kabarnya saja.
"Nah itulah! Parah banget dia tuh!" Harris langsung mengeluarkan unek-uneknya.
"Hah, parah gimana?"
"Dia chat aku dan telpon aku terus. Kamu ngasih nomer hp aku ke dia?"
"Wah, nggak tuh! Mungkin Sheila. Kenapa emangnya?"
"Aku terganggu. Dia chat dan telpon terus. Terakhir, dia nyamperin ke mess, dan ke kantor. Mending kalau dia nyamperinnya baik-baik, ini bikin keributan! Aku nggak tahu apa salah dan dosaku sampai ketemu cewek macem dia."
"Hah? Gimana ceritanya?" Jenar menanggapi penasaran.
"Pertama dia nelpon, videocall, w******p tiap waktu, aku terganggu, tapi ya udah soal itu, aku bisa blokir dia biar nggak ganggu lagi. Tapi, dia datang ke mess, ngajakin makan dan lain sebagainya, akhirnya, aku sama dia ke Yota. Di sana dia bilang suka aku, naksir aku. Aku bilang, aku udah punya pacar."
"Nah terus?"
"Dia bilang, kamu ngasih tahu dia kalau aku sebenarnya udah putus dan kerja kesini biar lupa sama mantan pacarku."
"Sembarangan! Aku mana pernah ngobrol sama dia, apalagi sampai ngomongin kamu!"
"Ya dia bilangnya gitu!"
"Kemungkinan sih dari Sheila. Emang sih kadang Sheila suka nanya soal kamu, tapi aku ya nggak nyangka kalau itu pertanyaan titipan dari Raisha."
"Ya, udah lah, Ris, kamu sama Raisha pendekatan aja dulu, siapa tahu jodoh. Lagian, apa kamu nggak mau moveon dari mantanmu?"
"Aku nggak minat pacaran, Je. Aku kesini buat kerja, nyari duit buat papa sama adikku. Nggak ada waktu lah buat pacaran, apalagi Raisha tuh cewek yang nyeremin."
"Nyeremin gimana?"
"Sebenarnya, aku agak takut sama dia."
"Takut?kenapa? Emangnya dia gigit?"
"Orangnya nekat!"
"Nekat gimana?"
Harris lantas menceritakan kejadian tempo hari setelah pulang dari Yota, juga, kejadian kemarin saat Raisha datang ke kantor mengaku pada semua orang bahwa Harris adalah kekasihnya. Semua Harris ceritakan pada Jenar tanpa terlewati.
"Wah, sampai kayak gitu?" Jenar terperangah saat mendengar cerita Harris. "Pantes, rame banget orang-orang ngomongin kamu di kantor."
"Aku sampai dipanggil Pak Bambang!"
"Waduh! Terus?"
"Ya aku ditegur karena dianggep bikin keributan di kantor, kalau sampai kejadian itu terulang, aku bisa diskorsing. Makanya, aku nggak mau deket-deket dia. Takut dia drama terus jadi masalah. Aku cuma pengen kerja tenang, itu aja. Kamu tahu sendiri kan Je, masalahku udah banyak, papa dan adikku ngandelin aku, jadi aku nggak bisa ngabisin waktuku ngadepin orang kaya Raisha."
"Yo, nanti aku bilang aja sama Sheila, biar Sheila ngomong ke Raisha."
"Eh, sebaiknya jangan. Raisha bakalan makin menjadi kalau tahu aku ngomongin dia ke kamu."
"Terus mau kamu apa?"
"Bantuin aku buat ngehindarin Raisha. Soalnya, dia hampir tiap sore datang ke mess. Mang Iyan sampai kewalahan ngelarang dia masuk ke mess. Juga, aku takut dia nyelonong lagi ke kantor, aku bisa diskors karena dramanya."
"Waduh! Terus gimana dong?"
"Aku kayaknya mau pindah ke mess lain aja. Aku minta tolong bilangin ke Pak Wirya ya. Kamu kan deket sama beliau dan bisa ngerekomendasiin, soalnya kalau aku yang ngajuin pindah mess pasti ditolak."
"Oke, nanti aku bilang ke Pak Wirya. Nanti aku bilangin juga Sheila, biar ngasih tahu Raisha pelan-pelan, tanpa nyinggung kalau kamu keberatan dideketin dia."
"Makasih Je, sorry, aku ngerepotin kamu."
"Santai, nggak ngrepotin kok. Kamu tenang aja. Semoga, abis ini, masalah Raisha clear ya!" Jenar menepuk pundak Harris. "Kalau ada yang bisa aku bantu, ngomong aja!"
"Oke, sip. Makasih, Je," balas Harris.
Dia menghembuskan napas lega. Setidaknya, sebentar lagi dia tidak harus dipusingkan dengan kehadiran Raisha yang mengejar-ngejar cintanya.
***
"Shel, kamu ngasih tahu Raisha soal Harris ya?" Jenar bertanya pada istrinya saat mereka usai makan malam.
"Iya, kenapa, Mas?" tanya Sheila sembari merapikan peralatan makan.
"Raisha itu bikin Harris nggak nyaman!"
"Nggak nyaman kenapa?"
"Dia datang ke mess, nelponin dan ngechat Harris. Dia bilang cinta sama Harris, dan ngejar-ngejar Harris. Dia juga datang ke kantor, ngaku-ngaku pacarnya Harris, bikin kehebohan sampai Harris dipanggil pimpinan. Eh, bukannya kamu bilang, Raisha udah punya calon suami?"
Sheila mengedik, meski berteman, tapi bukan berarti dia tahu segalanya tentang Raisha, apalagi, di kantor, Raisha termasuk sosok yang dijauhi oleh rekan sejawatnya karena dia punya kepribadian yang kurang menyenangkan.
"Dia bilang udah putus sama Ramon. Emang iya sih, dia bilang suka sama Mas Harris sejak pertama ketemu di ulang tahun anak-anak kita. Menurut Raisha, Mas Harris itu calon suami idaman."
"Ya, idaman sih idaman, tapi nggak harus ngrecokin kaya gitu dong!"
"Ya kenapa jadi nyalahin aku!" Sheila jadi kesal karena diomeli suaminya perihal Raisha yang menganggu kehidupan Harris. "Emang, ngrecokinnya gimana sih?"
"Dia terus-terusan datang ke mess, sampai Harris minta pindah mess. Harris udah ngomong baik-baik, terus terang kalau dia nggak bisa terima perasaan Raisha, karena fokusnya sekarang kerja, buat papanya yang sakit dan adiknya yang masih kuliah, eh Raisha malah enggak terima, drama dan playing victim kemana-mana."
Sheila menghela napas, tidak tahu mengapa merasa ikut kesal. "Raisha udah pengen nikah. Dia bilang sih, neneknya di kampung sakit keras dan pengen liat dia nikah."
"Tapi enggak gitu juga caranya. Maksain cinta ke orang. Coba deh kamu sebagai temennya kasih tahu! Biar dia punya manner dikit!"
"Males ah, aku lagi nggak ngomong sama dia."
"Kok bisa? Bukannya kamu kemarin ngasih info macem-macem soal Harris ke Raisha?"
"Ya dia nanya, aku jawab aja, tapi sebenarnya aku bukan temen akrabnya. Cuma di kantor emang cuma aku aja yang masih ngomong sama dia di kantor, soalnya, temen-temen males sama dia. Sering kalau ngomong nggak bener terus juga kacau masalah duit."
"Kacau gimana?"
"Dia banyak ngutang. Aku aja diutangin sama dia sampai sekarang belum balik."
"Kok kamu nggak ngomong ke aku?"
"Ya aku pikir, kamu nggak bakalan peduli, biasanya juga gitu. Cuek aja."
"Ya kan kalau begini, berarti Raisha itu nggak bener. Emang dia hutang berapa?"
"Delapan juta."
"Delapan juta!? Banyak juga. Buat apa sih?"
"Orangtuanya sakit, dia nangis-nangis, aku ga tega jadinya, mana dia anak tunggal kan. Tapi nggak tahu juga sih, dia sering ngomong bohong."
"Kenapa dia tiba-tiba ngejar-ngejar Harris padahal kata kamu dia udah punya pacar? Aku jadi curiga, Raisha punya maksud tertentu."
Sheila mengedik. "Entahlah. Dia bilang kalau sejak ketemu Mas Harris langsung ngerasa jatuh cinta, kaya cinta pada pandangan pertama, dan ya, dia itu tipe agresif, kalau suka ya ngejar, meski ditolak juga dia nggak bakalan nyerah. Mungkin, karena itu kantor mertahanin dia sebagai marketing."
"Kasian Harris kalau dikejar terus sama Raisha. Aku rasa, Raisha itu toxic."
"Ya, tapi kalau dia suka sama Mas Harris kan nggak ada salahnya juga. Emang jatuh cinta itu salah?"
"Tapi kalau kelakuan dia kayak gitu minusnya, ya kasian Harris."
"Alah, udah lah Mas, kalau berjodoh ya biarin aja."
"Wah ya nggak bisa begitu!"
"Nggak bisa gimana? Kan kita bukan siapa-siapa mereka."
"Masalahnya, Harris nggak nyaman sama Raisha yang ngejar-ngejar dia kayak gitu. Cinta sih cinta, tapi jangan maksa!"
"Ah udahlah, Mas. Kenapa malah kita ribut soal mereka sih! Kayak kita nggak punya masalah sendiri aja!" Sheila beranjak dari tempatnya duduk dan menuju dapur. Baginya, terserah Raisha mau menjadi istri siapa pun, Ramon, Harris atau lelaki mana pun, yang penting hutang-hutangnya segera dibayar.
Daripada pusing memikirkan soal Harris dan Raisha, Sheila memilih membersihkan kulkas yang sudah lama tidak dibersihkannya. Tengah asyik dengan pekerjaan, Edna, anak sulungnya menghampiri, membawa ponselnya yang berbunyi nyaring.
"Telpon, Ma!" Edna berkata seraya mengangsurkan ponsel pada Sheila.
"Makasih ya Sayang!" ucap Sheila sambil menerima ponsel dari tangan Edna. Dia mendecih pelan saat melihat nama Raisha di layar.
"Halo...," ucapnya malas.
"Sheila, kamu di rumah?"
"Iya, kenapa?"
"Aku ke rumah kamu, ya!"
"Hah? Ngapain?"
"Ini Mas Harris tiba-tiba ganti nomer hp, terus pindah mess juga. Kamu tahu nggak Mas Harris pindah kemana?"
"Nggak tahu, aku bukan maknya." Sheila menjawab datar.
"Ayolah Shel, dia itu calon suami aku. Kalau aku nikah sama dia, hutang aku pasti dibayar lunas! Termasuk bunganya kalau ada!"
"Demi apa?" Sheila mulai tertarik dengan penawaran Raisha yang berjanji melunasi hutangnya.
"Demi apa pun! Demi Tuhan!" Suara Raisha lantang dan meyakinkan.
"Beneran?"
"Aduh Sheila, kena kutuk kalau aku sampai bohong. Mas Harris itu harus jadi suami aku. Aku cinta banget sama dia. Bantuin aku, ya?"
"...." Sheila terdiam menimbang-nimbang untung rugi apa jika dia membantu Raisha.
"Sheila, kalau aku sampai nikah sama Mas Harris, aku balikin hutangku, tambah kalung emas 5 gram!"
"Wah!"
"Mau kan? Please, Sheila sayang...."
"Oke, kamu perlu bantuan apa?" Sheila menjawab cepat dan yakin, membayangkan bendelan lembar uang biru dan merah, juga kalung emas berkilauan sebesar lima gram.