"Apa ini hanya sementara?" tanya Sonya dengan suara bergetar hendak menangis. Jujur saja, baginya, segala perubahan ini terjadi sangat cepat dan membuatnya merasa kehilangan arah. "Aku takut, Kak...."
Harris mengusap puncak kepala adiknya. "Berdoa saja, semua ini segera berlalu, kita semua sedang berjuang."
Sonya menatap kakaknya, lalu mengangguk. Dia melihat gurat lelah di wajah Harris, dan Sonya merasa bahwa Harris bahkan menahan beban yang lebih besar darinya. Harris harus berjuang di garda depan untuk menyelesaikan segala masalah hutang piutang sejak papa mereka sakit, juga harus memutar otak untuk membiayai kehidupan keluarga mereka, dan terpaksa kehilangan kisah cinta yang telah dirajut selama sewindu lamanya. Harris pasti sangat lelah dan merasa sedih, tapi tetap harus tegar dan bertahan. Karena itu, Sonya menguatkan dirinya sendiri, berjuang bertahan dalam badai ini.
"Kakak hati-hati ya di Kalimantan nanti...."
"Iya, pasti. Kamu nggak usah khawatir, ada Jenar di sana, dan juga, Kalimantan cuma deket kok, sejam perjalanan aja, nggak jauh." Harris berusaha menghibur Sonya, meski sebenarnya jika dilihat dari jarak Kalimantan dan Jogja sangat jauh, satu jam perjalanan dengan pesawat tidak bisa mewakili dekatnya jarak.
"Tapi tetep aja, aku nggak bisa ketemu Kakak tiap hari. Aku takut waktu Kakak pergi, papa kambuh dan aku nggak tahu harus gimana ngerawat papa kalau sendiri."
"Kita berdoa aja, semoga kesehatan papa membaik. Ini semua nggak mudah, tapi kita nggak punya pilihan lain."
Sonya menghela napas. "Ah, andai papa nggak ketipu dan tergiur investasi, mungkin keluarga kita masih baik-baik saja, mama masih ada, dan Kakak, bisa menikah sama Tiara."
"Yang berlalu biarlah berlalu, Sonya. Mungkin ini sudah suratan takdir, aku dan Tiara nggak berjodoh."
Sonya menatap Harris prihatin. "Aku yakin Kakak pasti menemukan jodoh terbaik."
"Makasih doanya, Sonya." Harris balas menatap adiknya, dengan senyum. Sedikit rasa hangat menelusup dalam batinnya, bersyukur memiliki adik seperti Sonya yang meski manja, tapi selalu peduli padanya.
"Kak...sebenarnya, tadi aku ketemu Tiara di kampus."
"Ketemu Tiara?"
"Iya. Dia ngasih undangan nikah. Ah, kenapa sih dia pakai acara ngundang segala, kan mengorek luka kalau gini caranya!" omel Sonya.
"Mungkin, dia masih pengen menjalin silaturahmi. Mana undangannya?" tanya Harris mencoba bersikap tenang meski sesungguhnya batinnya bergemuruh. Mendengar Tiara akan menikah saja batinnya terasa remuk redam, ini malah dikirimkan undangan, meski begitu, Harris masih berupaya berpikiran positif.
Sonya membuka tasnya dan menyerahkan undangan berwarna lilac pada Harris. "Kakak nggak bakalan datang kan? Buat apa juga...."
"Ya tahu sih, perpisahan ini terjadi karena keadaan yang nggak bisa dihindarkan, tapi kenapa juga harus ngasih undangan, kesannya mau pamer gitu loh...." Sonya masih tidak terima dengan pernikahan Tiara yang menyisakan luka bagi kakaknya.
Sementara Sonya mengomel panjang pendek, Harris membuka undangan itu. Designnya tidak asing di mata Harris karena Tiara sempat membuat design undangan yang dahulu mereka bincangkan jika mereka menikah. Sayang, angan-angan, segala rancangan itu kandas hancur lebur bagi mereka. Harris menyusuri kata demi kata, dan tatapannya berhenti pada nama calon pengantin lelaki. Seharusnya, namanya yang ada di sana, rasa sesak yang memilukan menyebar pekat dalam jiwanya dan sebulir air mata jatuh tak mampu dibendungnya. Sekian lama dia menyimpan duka kehilangan, berpura-pura semua baik-baik saja, padahal dia telah hancur berkeping karena kehilangan Tiara.
Harris tidak ingin semakin tenggelam dalam kepedihan, karena itu, dia memutuskan untuk tidak berlama-lama menatap undangan berwarna lilac itu. Dia mengalihkan perhatiannya, dan melangkah pergi.
"Kakak mau kemana?" tanya Sonya saat Harris tiba-tiba menjauh darinya.
"Ada yang harus aku urus untuk kerjaan." Harris menjawab singkat, lalu masuk ke kamarnya.
Dalam ruangan itu, Harris merasa kesepian menyapa dan membuatnya kembali menitikkan air mata, merasakan perih, dan hancur. Seolah, belum pernah dia merasakan derita sebesar perpisahannya dengan Tiara. Harris tidak pernah yakin dia akan mampu menghadapi dunia dan dia merasa tidak sanggup melewati waktu saat Tiara tidak ada lagi di sisinya.
Di luar, hujan turun begitu deras seolah mewakili tangisan hati Harris mengenang kepergian kekasih hati, melepaskannya menghilang tanpa jejak.
***
"Selamat menempuh hidup baru." Harris menjabat tangan Tiara yang nampak cantik dengan gaun pengantin bergaya sederhana namun nampak elegan. Gaun itulah yang dahulu sering Tiara tunjukkan padanya, sebagai gaun impian yang akan Tiara kenakan saat pernikahan. Sepertinya, Tiara mewujudkan semua impiannya, hanya saja, secara ironis, pengantin lelaki yang berada di sisinya bukan Harris.
"Terima kasih." Tiara menjawab singkat dengan sekelebat tatapan berkaca sebelum dia melepaskan jabat tangan Harris. Tiara pikir, dia bisa melampiaskan rasa kecewa dan kekesalannya dengan memamerkan pernikahannya pada Harris, tapi nyatanya, hanya rasa sakit menusuk yang tersisa. Perasaannya masih sama dan semakin membuatnya merasa terpenjara dalam sesal berkepanjangan.
Mereka berfoto bersama, tidak tahu untuk apa, karena pada akhirnya foto ini hanya akan membuat luka semakin menganga. Setelahnya, Harris meninggalkan pelaminan, berpura-pura tegar dan tersenyum saat beberapa kenalan dan teman menyapanya, bahkan ada yang lancang bertanya, mengapa bukan dia yang berada di pelaminan. Harris menjawab dengan santai dan tertawa-tawa, bersembunyi di balik kata bijak yang membuatnya terlihat tangguh.
Beberapa jam dalam acara pernikahan mantan menjadi waktu yang paling menyiksa bagi Harris, tapi entah mengapa toh dia melakukannya, alih-alih tidak hadir, atau jika pun hadir, segera angkat kaki dari tempat ini secepat yang dia bisa. Bisa jadi, manusia adalah spesies yang senang menyiksa diri sendiri, Harris adalah salah satu contohnya.
Pada akhirnya, setelah dengan sengaja menyiksa diri berjam-jam lamanya, Harris bisa kembali ke rumah dengan lelah mendera jiwa dan raga.
"Baru pulang Kak? Gimana acaranya? Ngapain aja sih di sana? Lama banget...tadi papa nanya lho, Kakak kemana?" Berondongan pertanyaan dari Sonya menyambut Harris saat lelaki itu sampai di rumah.
Harris tidak menjawab, dia melangkahkan kaki ke kamar, hanya ingin beristirahat, terutama dari pertanyaan sensitif yang mengusik patah hatinya.
"Kak! Ditanyain kok diem sih!" Suara ketukan di pintu terdengar. Sonya yang sangat ingin tahu bagaimana keadaan di acara pernikahan Tiara, tapi Harris hari ini sudah terlalu lelah dan tidak lagi punya daya untuk menceritakan apa pun, termasuk perjumpaannya dengan Tiara, untuk terakhir kali.
***
"Jadi, kamu mau pergi kerja di Kalimantan?" tanya Lukito saat Harris berpamitan. Setelah menjalani serangkaian medical check up, Harris dinyatakan lolos dan diterima bekerja di perusahaan tambang di mana Jenar, sahabatnya bekerja.
"Iya, Pa. Aku rasa, aku nggak bisa lagi menyelamatkan bisnis kita, jadi, aku nerima tawaran Jenar buat bergabung di perusahaannya."
Lukito menghembuskan napas perlahan, tatapan matanya jauh memandang, seolah ada ingatan-ingatan dari masa lalu yang berusaha dikenangnya. "Papa yang salah." Lelaki tua itu berkata lirih, air mata menggenang di pelupuk matanya.
"Nggak Pa. Papa nggak salah. Semua ini sudah suratan takdir." Harris mengusap pelan punggung tangan papanya. Sejak bisnis tembakau keluarga bangkrut dan istrinya meninggal, Lukito terus menyalahkan dirinya sendiri dan membuat kesehatannya semakin menurun.
"Investasi sialan! b******k!" Lukito mengepalkan tangannya dan memukul meja.
"Pa! Tenang Pa!" Harris mendekap papanya.
"Gara-gara investasi itu, mamamu meninggal! Bisnis warisan kakekmu hancur berantakan! Iblis laknat!" Lukito tidak bisa menyembunyikan segala kemarahan dan kekecewaan yang dia alami. Dia berada di ambang stres dan frustasi.
Bagaimana tidak, uang hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun musnah begitu saja, istri yang dicintainya meninggal akibat shock, lalu sekarang anak lelakinya harus pergi jauh untuk mendapatkan rejeki demi keberlangsungan kehidupan mereka. Jika tidak berulangkali diingatkan tentang dosa dan Tuhan, Lukito sudah memutuskan untuk bunuh diri karena merasa tidak kuat menghadapi keadaan ini.