Serendipity Girl Bagian Delapan.

1093 Words
Buggg! Satu pukulan dari Atthala melayang dan menghantam wajah Benedic begitu saja. Pria itu mengejar Benedic yang mencoba menghindar, berjongkok lalu kembali mendaratkan satu pukulan pada wajah pria yang tengah menyeringai, tertawa ringan tanpa rasa bersalah. "Berani kau menyentuh Ara, kau akan mati di tanganku!" tekan Atthala. Benedic mengangkat sebelah sudut bibirnya ke atas. "Apa aku salah, bocah ingusan? Semua yang aku lakukan selalu salah di matamu," ujar Benedic, santai. Atthala yang kembali naik pitam, menarik kerah kemeja Benedic, lalu mendekatkannya pada wajah Atthala. "Aku akan membuktikan, bahwa kau adalah penyebab kematian Ana. Bersiaplah Benedic! Permainan akan segera dimulai," tekan Atthala lalu menghempaskan tubuh pria paruh baya itu. Atthala bangkit dari posisinya, lalu menggendong tubuh Ara yang benar-benar sudah tak sadarkan diri, meninggalkan pria tua gila yang tengah tergelak sangat kencang. "Bawa semua bukti yang kau temukan padaku!" teriak Benedic diikuti suara pintu tertutup. *** Setibanya di mansion milik Atthala, dengan hati-hati pria itu membaringkan Ara di atas tempat tidur. Ia tarik selimut untuk menutupi bagian tubuhnya yang masih terbuka, lalu meninggalkan Ara sendirian dan berjalan menuju ruang kerjanya. Dalam ruang itu, sudah ada Roy, James dan Kevin sedang memperhatikan sesuatu. “Apa yang kalian lihat?” tanya Atthala. Roy menoleh sesaat, lalu kembali menatap pada layar. "Diam-diam … aku menaruh alat penyadap pada ponsel Benedic, dan kau akan terkejut jika mendengar ini," ujar Roy. Roy menekan tombol enter, hingga kemudian terdengar siara Benedic sedang berbicara menggunakan teleponnya. "Andreas, apa kau sudah menemukan keberadaan anak, Arnold?" suara Benedic mengawali percakapan. "Aku masih belum menemukannya. Aku sudah bertanya pada warga setempat, jika mereka hanya melihat gadis itu saat pagi hari, saat gadis itu kembali dari tempatnya bekerja, mereka bahkan mengatakan, jika putri Arnold tak pernah keluar dari ruma." Jawab Andreas. "Kau tahu, di mana gadis itu bekerja?" "Aku sudah bertanya, mereka hanya tahu jika … gadis itu bekerja di sebuah nightclub. Tetapi, aku belum mendapatkan informasi mengenai identitasnya." "Cari tahu identitas gadis itu, dan segera temukan dia! Aku harus mendapatkan memorycard itu lebih dulu, sebelum bocah itu mengendus sesuatu." "Apa maksud anda, Tuan Dekarsa?" "Ya, Atthala. Sepertinya dia sedang mencari tahu sesuatu. Kita harus lebih dulu mendapatkannya, sebelum dia menemukannya." "Baik, Tuan." Tut, tut, tut … Sambungan telepon itu pun terputus, membuat Atthala seketika melirik pada Roy. "Apa yang harus aku lakukan agar gadis itu diam di rumah dan tak kembali bekerja?" tanya Atthala frustasi. Roy terdiam sejenak, memikirkan cara agar Ara tidak keluar dari mansion Atthala. Sedangkan Kevin,  memegang sebuah pistol yang sangat antic, dan nyaman saat digenggam. Colt 1911, berisi tujuh buah peluru yang di dalam peluru masing-masing butirnya bisa dimuntahkan dengan kecepatan 1.225 kaki per detik. Pistol tersebut pun rupanya sudah termasuk ke dalam koleksi milik Atthala. Pria itu menodongkan pistol tersebut, dan mengarahkannya pada layar di depannya, yang saat ini sedang menampilkan rekaman hasil penyadapan. "Nikahi dia, lalu hamili. Aku yakin, gadis itu akan menuruti, apa yang kau perintahkan, Atthala,” jawab Kevin. Mendengar perkataan itu, membuat semua mata terarah padanya. Kevin yang seketika tersadar, menaruh kembali pistolnya di atas meja, lalu melipat kedua tangannya di atas d**a. "Menikah tak semudah itu," jawab Atthala penuh penekanan. "Tapi Kevin benar, aku yakin dia akan diam dan menuruti semua perkataanmu," timpal James. "Menikah harus didasari rasa cinta, itu yang ibu dan ayahku katakan. Aku tidak ingin mempermainkan dan menyakiti perasaa wanita. Wanita makhluk yang selalu aku spesialkan. Kalian tahu itu!" tolak Atthala. "Lalu … buatlah dia jatuh cinta padamu terlebih dahulu, Atthala, dan aku yakin perlahan kau pun akan mencintainya," lanjut Roy. "Atau jangan-jangan … kau sudah mencintainya?" goda Kevin. Atthala mendengkus sebal, "cerita karanganmu tidak menarik." "Atthala, Ayolah. Ara gadis yang cantik, sederhana, bahkan pendiam. Dia bahkan belum pernah tersentuh oleh pria mana pun. Ara masih perawan, kenapa tidak?" timpal James. "Aku bahkan lebih menghargai wanita seperti itu. Aku tidak akan menikahinya, aku akan mencari solusi lain," jawab Atthala. "Dia harus tinggal di mansion karena di sini adalah tempat teraman untuknya. Para penjaga bersiap dalam dua putuh empat jam, mengawasi Ara sambil berjaga di sekeliling mansion. Aku yakin, sekarang Benedic sedang merencanakan sesuatu dengan Rafael dan RedHole. Kapanpun kita semua dalam bahaya, setidaknya BlackNort sudah siap, bahkan dalam keadaan genting sekalipun," ujar Atthala. "Dan aku yakin, kalian akan membantuku," lanjutnya. "Ya … kita pasti membantumu. Tapi aku tidak yakin dengan gadis itu," balas Roy. "Sangat besar kemungkinan, gadis itu kembali meninggalkan mansion mu,” timpal Kevin. "Dan membuat masalah baru," lanjut James. "Atau … bagaimana jika kita awasi dia saja?" tanya Atthala meminta pendapat. "Kau benar-benar memegang teguh prinsip tentang wanita, Atthala," sindir Kevin, sembari merebahkan tubuhnya di atas sofa. "Baiklah, kita akan awasi Ara setiap dia berada jauh dari mansion atau jangkauanku. Aku akan menempatkan anak buah BlackNorth menyamar untuk mengawasinya. Aku tidak ingin bukti pembunuhan adikku jatuh ke tangan mereka." "Apa kita perlu memasang gps padanya?" tanya Roy. “Belum saatnya.” jawab Atthala menerawang. *** Ara perlahan membuka matanya, hingga kepalanya tiba-tiba terasa sangat sakit. Ara bahkan tak mengingat kejadian apa yang menimpanya . Gadis itu perlahan bangun sambil memijit kepalanya yang pening. Namun saat matanya membuka dan melihat ke bawah, tubuhnya tak tertutupi apapun, hanya rok pendeknya yang masih menempel di bawah sana. Tangan Ara seketika menarik selimut hingga menutupi tubuh bagian depannya. Dan lagi-lagi, matanya membulat sempurna, saat dia mendapati Atthala sedang dudung bertumpang kaki sambil memegang ipad ditangannya. Sesaat Atthala melirik pada Ara yang sedang kalang kabut menutupi tubuhnya, lalu tersenyum tipis. "Aku sudah melihat telur mata sapimu. Kau bukan seleraku," ujar Atthala sarkas. Ara seketika mendelik, lalu menatap tajam pada pria di sampingnya. "Kau jahat sekali, Tuan." Atthala berjalan menghampiri Ara, lalu duduk di sisi tempat tidur Ara, menatap gadis itu dalam-dalam. "Jika aku jahat, aku tak akan menyelamatkanmu dari pria tua itu, Nona," bisik Atthala. Mendengar perkataan itu, membuat Ara seketika tediam di tempatnya, mengerjapkan matanya berusaha mengingat kembali kejadian semalam, namun Ara tak dapat mengingatnya. Gadis itu mengacak rambutnya frustasi, lalu menatap Atthala dengan tatapan sendu. "Aku benar-benar tidak mengingatnya, Tuan.” Lirihnya. "Atthala, panggil aku Atthala, dan berhenti memanggilku Tuan. Kau di sini bukan pelayanku, kau di  sini wanitaku." "Wanitamu? Apa maksudnya?" tanya Ara tak mengerti. "Apa yang sudah aku beli dan aku miliki, takkan pernah bisa disentuh oleh siapapun." Ara menatap bingung pada Atthala. "Aku berubah pikiran, Ara, mengenai uang lima ratus ribu dollar yang aku berikan padamu," ucap Atthala, tiba-tiba. "Bukankah … kau sendiri yang bilang menganggap itu lunas?" "Hey nona, bagaimana mungkin aku melepas uang lima ratus ribu dollarku secara cuma-cuma?" "Lalu apa maumu?" tantang Ara. "Kau. Aku ingin kau tetap di sampingku sebagai imbalan uang lima ratus ribu dollarku," ujar Atthala penuh penekanan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD