Malam mulai larut, pantulan cahaya a bulan yang masuk dari jendela memanaskan suasana yang telah begitu panas. Mereka telah saling mencumbu dari tadi, tapi rasanya tak pernah cukup. Lembutnya belaian tangan Darel begitu ahli membuat Clarissa hanyut ke dalam permainannya.
Clarissa mencium Darel, meraba gagahnya tubuh yang tak pernah berubah. Lekuk pinggang yang sempurna dan otot yang keras yang membuatnya terpukau. Darel muda selalu bisa membuatnya tersipu malu dan kini, Darel dewasa pun mampu membuat d**a Clarissa berdebar-debar tak karuan.
Tentu saja debaran Clarissa bukan karena cinta. Dia percaya bahwa semua ini hanya rasa haus akan sentuhan pria. Dan sosok pria di hadapannya saat ini merupakan tipe ideal rata-rata wanita seumurannya.
Cara Darel membalas ciumannya begitu menghanyutkan, menyapu seluruh rasa bimbang yang ada. Lidahnya yang bermain di dalam mulut Clarissa begitu luwes, menjelajahi tanpa sungkan, meninggalkan rasa manis di akhir.
Setelahnya, ketika Clarissa membuka mata, tajamnya tatapan kembali Darel menyerangnya. Membuat Clarissa makin gusar, ingin disentuh lebih, dimanjakan dengan lebih banyak godaan. Dia mengerang nikmat, meremas seprai dengan frustrasi kala tangan Darel bermain di payudaranya.
Remasan tangan Darel begitu kuat, menaikan libido Clarissa hingga ke puak. Lidahnya yang nakal kini ikut bermain, mencicipi seluruh inci tubuh yang telah begitu mendambakannya. Bagian bawah tubuhnya telah begitu basah, begitu ingin segera gagahi dengan liar.
Bagi Darel reaksi Clarissa begitu memancingnya, membuatnya merasakan kesenangan b******a yang telah lama ia lupakan. Dia menarik Clarissa ke dalam dekapannya, memasukkan miliknya menikmati sensasi luas biasa itu seakan kesempatan ini tak akan datang untuk kedua kalinya lagi.
***
Cahaya matahari masuk dari jendela yang terbuka, menyebar rasa hangat di kulit Clarissa. Ia terbangun dengan malas, menarik selimut untuk tidur lebih lama. Namun, tiga detik kemudian ... matanya terbuka lebar-lebar, teringat bahwa dia tak sendirian di kamar ini.
Clarissa duduk di kasurnya, mengedarkan pandangan mencari Darel yang dia kira masih ada dan ternyata, pria itu telah pergi meninggalkannya tanpa kata-kata.
“Dasar b******k!” Clarissa memaki.
Dia kalah lagi. Dengan perginya Darel, sama saja dengan mengatakan kalau dia tak cukup memuaskan hingga layak untuk menghabiskan pagi bersama. Harga diri Clarissa terluka. Segala usahanya dalam merayu Darel tak berbuah apa pun. Dia bahkan telah membiarkan pria itu menidurinya dan masih saja tak bisa membuat Darel tinggal di sisinya hanya untuk satu hari saja.
Tak bisa dimaafkan! Clarissa tak akan membiarkan penghinaan ini berakhir begitu saja. Keinginan untuk liburan pupus. Dia segera bangun, pergi mandi dan berkemas berniat pulang untuk mempersiapkan serangan balasan.
Sembari menyeret kopernya, Clarissa menghubungi seorang kenalan yang biasanya melakukan pekerjaan gelap. Alias mencari info pribadi Darel secara ilegal. Satu kali gagal, masih ada kekuatan uang yang akan memberinya kesempatan kedua.
Clarissa terlalu marah pada Darel, dia bahkan tak melihat pria itu ketika mereka berpapasan saat dia keluar dari resort. Clarissa yang dibawa oleh taksi dan Darel yang berada di dalam mobilnya, melaju kembali ke resort itu.
Darel sempat melihat Clarissa dari kaca jendela, dia membuka jendelanya memanggil Clarissa, tapi taksi tersebut telah pergi terlalu jauh hingga suaranya tak sampai ke telinga Clarissa. Begitu mobilnya berhenti di depan resort, Darel segera turun, pergi ke meja resepsionis mempertanyakan status kamar Clarissa.
Setelahnya, Darel mengeram kesal saat tahu kalau Clarissa sudah check out. Dia hanya pergi membeli sarapan, dan perempuan itu telah meninggalkannya seakan apa yang terjadi semalam tak berarti apa pun. Rasanya seperti dipermainkan. Hanya dia yang berpikir mereka telah kembali berpacaran. Sedangkan Clarissa yang sekarang begitu tak berperasaan menganggapnya tak lebih dari pria penghibur hanya untuk satu malam.
Harusnya Darel sudah tahu cinta lama tak lagi tersisa saat mata mereka bertemu. Karena tatapan penuh kagum yang dulu selalu ada tak lagi terlihat. Dirinya yang begitu bodoh tergoda akan keseksian Clarissa membuatnya merasakan pengalaman dicampakkan yang begitu buruk.
“Tuan, kenapa tiba-tiba saja berlari?” Pak Karim bertanya, merasa tindakan bosnya agak aneh.
“Kita kembali ke Jakarta sekarang!” Tak ada jawaban yang Darel berikan. Tak mungkin dia mengakui telah dipermainkan oleh seorang wanita.
Lupakan soal tinjauan apa pun. Darel akan pulang ke rumah, mencari orang yang bisa memberinya segala informasi tentang Clarissa. Seorang Darel yang selalu bisa mendapatkan wanita semudah menjentikkan jari tak akan diam saja dipermainkan seperti ini. Dia akan mencari Clarissa hingga ke ujung dunia, membuat wanita itu jatuh cinta sekali padanya dan kemudian dia tinggalkan seperti apa yang dia rasakan hari ini.
***
Darel dan Clarissa berpikiran sama, terjerat akan cinta dan keinginan balas dendam yang tak berkesudahan. Mereka tak pernah sadar, jika rasa sakit hati itu datang karena mereka berharap satu sama lainnya dan ketika harapan itu tak terwujud, mereka mengubah emosi mereka sebagai alasan untuk membenarkan tindakannya. Dan itulah pula yang membawa mereka pada pertemuan kedua.
Sebulan setelahnya, sekali lagi Clarissa dan Darel saling bertatapan dalam keheningan. Entah siapa yang lebih dulu menciptakan skenario pertemuan tak disengaja tersebut, tapi yang jelas inilah yang diinginkan oleh mereka berdua.
Sebuah klub malam di Ibukota menjadi saksi bisu atas pertemuan tersebut. Acara seorang kenalan yang menjadi alasan pertemuan itu sama sekali tidak membuat mereka merasa antusias. Lawan jenis di hadapannya inilah alasan yang membuat mereka hadir malam ini.
Darel yang lebih dulu berjalan mendekati Clarissa. Dia tersenyum, melingkar tangannya di pinggang Clarissa dengan begitu alami. “Apa kabarmu, Clarissa?” Bibirnya selalu bisa berucap manis, tak peduli seberapa marah hatinya saat ini.
Sikap Darel membuat Clarissa begitu terkejut. Setelah semuanya, pria ini selalu bisa mendatanginya seakan tak pernah berbuat salah. Clarissa meremas tas tangannya erat-erat demi bisa mempertahankan senyuman penuh percaya diri.
Wanita itu menengadah, membelai dagu Darel begitu perhatian. “Aku begitu kesepian karena tak bisa bertemu denganmu selama ini,” jawab Clarissa.
Bohong, itulah yang ada di dalam benak mereka saat ini. Namun, kebenaran atau kebohongan bukan masalah. Siapa yang akhirnya terluka yang menjadi prioritas saat ini. Beginilah bagaimana caranya permainan mereka dilanjutkan.