Part 3

1078 Words
Esok malam setelah pertemuan kedua tersebut, Clarissa menemukan Darel di depan pintu apartemennya. Namun, Clarissa sama sekali tidak terkejut. Dia tahu, Darel masih laki-laki yang selalu mengandalkan uang di saat terdesak. Sama dengan apa yang dia lakukan, Clarissa yakin kalau informasi pribadinya pastilah telah bocor ke tangan Darel. Well, ini kondisi yang cukup adil. Informasi boleh sama-sama bocor, tapi yang menentukan keadaan adalah kecerdasan masing-masing. “Apa yang membawamu kemari?” Clarissa memasang ekspresi wajah yang keras, dia berpura-pura masih begitu marah pada Darel. Meskipun demikian, dia tetap membukakan pintu untuk tamu tak diundang itu. “Aku datang untuk meminta maaf darimu.” Darel jadi besar kepala karena dibiarkan masuk. Dia begitu berani mendorong Clarissa ke tembok tepat ketika pintu baru saja tertutup. Kemudian ia meraih dagu Clarissa, mengangkatnya menyejajarkan bibir mereka. Tatapanya begitu tajam, layaknya seorang predator yang telah mendapatkan mangsanya.  “Dengan cara seperti ini?” Jangan mimpi, sambung Clarissa dalam hati. “Kau sudah tahu kenapa aku marah?”  Di luar Clarissa memasang tampang terluka, seakan peduli sekali soal itu. Dia memalingkan muka, sengaja pura-pura tidak sadar Darel berniat menciumnya. Dia tahu, gadis polos dan naif yang gampang tertipu selalu menjadi tipe gadis kesukaan Darel. Biarpun dia sudah tak punya kepolosan yang tersisa, Clarissa masih bisa membuatnya terlihat polos. Berhubung rencana jadi gadis nakal gagal. Dia berniat membuat ulang kepribadian lamanya yang disukai oleh Darel. Namun, Clarissa terlalu angkuh. Dia lupa kalau sebelumnya dia telah memperlihatkan beberapa sisi tajam dirinya pada Darel. Seorang pria yang terbiasa dikelilingi oleh banyak wanita tak mungkin tidak bisa membedakan mana gadis yang sungguhan polos atau yang pura-pura polos. Darel akan mengikuti permainan Clarissa dulu. Kemudian barulah akan ia putar ke jalur yang dia inginkan. “Aku tak tahu, tapi aku tetap ingin dimaafkan.” Dia bertingkah begitu sialan, meminta maaf seakan sedang memberi perintah. Melihatnya saja sudah membuat Clarissa ingin memaki, begitu marah pada dirinya yang dulu. Kenapa masih saja bisa dibodohi oleh cowok semacam ini. “Kalau begitu silakan pergi.” Clarissa mendorong Darel dengan kasar. Di saat yang sama, Darel menahan tubuhnya, mendesaknya kembali terhimpit oleh kedua lengannya yang kokoh. “Jangan begini Clarissa, aku tahu kamu selalu bisa memaafkanku.” Cara memerintah tak mempan, Darel memakai cara paksaan. Biasanya wanita suka berdebar-debar diperlakukan seperti ini. Marah-marah berkata pria b******k, tapi dalam hati menjerit kesenangan ingin dikekang dan dipaksa. “Kau tak pernah bisa benar-benar melepaskanku,” sambung Darel. Berbisik di telinga Clarissa. Clarissa tak bisa menipu dirinya, suara rendah Darel selalu bisa membuatnya sedikit goyah. Secuil emosi dalam dirinya berhasil diluluhkan. Dan setengahnya lagi tetap bertahan mengingatkannya akan tujuan awal saat dia memutuskan untuk masuk kembali ke kehidupan Darel. “Katakan padaku, Clarissa. Apa kamu sungguh ingin aku pergi?” Clarissa menggeleng. Dia membiarkan Darel merasa telah berhasil meluluhkan hatinya. “Gadis manis. Inilah Clarissa yang selalu kucintai.” Bisikan Darel selanjutnya membuat bulu kuduk Clarissa merinding. Panasnya embusan napas pria itu menyapa kulitnya, meninggalkan jejak yang menghipnotis. Darel meraba lengan Clarissa, secara perlahan pindah ke depan. Jari-jarinya begitu cetakan melepaskan satu per satu kancing baju yang membalut tubuh Clarissa. Bibirnya turun mencicipi, membasahi leher Clarissa dengan saliva. Ciuman demi ciuman terus menandai kulit putih mulus Clarissa. Meninggalkan bercak merah yang merupakan pengikat sementara di antara mereka. Kini sorot mata Clarissa pada Darel berubah membara. Dia menarik dasi Darel, mendorong pria itu menuju ke kamarnya. Reaksi ini yang Darel tunggu, bukti bahwa daya tariknya masih begitu kuat di mata Clarissa. Dia menarik tangan Clarissa, membanting gadis ke atas tempat tidur dan kemudian menciumnya dengan begitu intens.  Clarissa membalas ciuman Darel. Sementara tangannya telah begitu agresif melepaskan baju Darel. Selanjutnya, sudah tak perlu ditanyakan lagi. Mereka telah jatuh pada hasrat seksual mereka. Membiarkan suasana menuntun mereka untuk saling memuaskan. Mau sebesar apa pun keinginan mereka untuk menghancurkan satu sama lainnya, tubuh mereka selalu bisa memberitahukan apa yang sesungguhnya mereka inginkan. Eratnya pelukan Darel sirat akan keinginannya memiliki Clarissa. Rasa obsesi yang masih belum dia sadari. Tiap kali mata mereka bertemu, ada rasa tak nyaman yang merasuki perasaan. Keinginan untuk menghargai wanita yang selalu bisa mengacaukan emosinya.  “Aku benar-benar mencintaimu, Clarissa. Katakanlah, kalau kau juga mencintaiku.” Ungkapan cinta Darel keluar dari hatinya, tapi dia percaya kalau kata-kata itu ada untuk mengisi taruhan. Clarissa melumat bibir Darel sebagai balasan. Dia tak mau berkata ‘aku juga’ seperti sebelumnya. Karena terbukti reaksi itu tidak menghasilkan keadaan yang dia inginkan. “Jadikan aku milikmu, Darel.” Dia memilih untuk mengalihkan pikiran Darel pada nafsu. Menggunakan tubuhnya untuk menyelematkan hatinya dari jeratan pria itu. Bibirnya mengumbarkan godaan, berucap begitu manis hingga melelehkan pikiran Darel. Gadis itu membuka kedua tangannya, menatap Darel begitu manisnya. Untuk sesaat, matanya mengelabui, membuat Darel merasa sungguh-sungguh dibutuhkan dan cintai oleh Clarissa. Dia menunduk, membalas pelukan Darel dengan begitu erat. “Aku sangat menginginkanmu di sisiku,” ucap Darel, lolos begitu saja tanpa direncanakan. Dia menciumi pundak Clarissa dengan lembut. Seakan wanita itu begitu ia puja. Sayangnya, bahkan reaksi spontan tersebut dianggap Clarissa sebagai bagian dari taktik Darel untuk mempermainkannya.  “Kalau begitu, berikan segalanya sebagai gantinya.” Maksud dari segalanya bahkan tak Darel pahami, tapi dengan berani dia menyanggupinya. “Akan kuberikan semua yang kauinginkan, Clarissa.” Tentu saja, Clarissa tidak percaya akan janji Darel. Dia tersenyum bukan karena senang, tapi karena merasa lebih dekat selangkah dengan tujuannya. “Apa kamu mau jadi pacarku?” Merasa mendapatkan lampu hijau, Darel memutuskan untuk mengajak Clarissa berpacaran. Suasana di antara mereka saat ini sudah nyaman. Saling berpelukan ditemani obrolan manis sehabis b******a adalah saat yang sempurna untuk memulai hubungan. Menurut pengalaman kehidupan percintaan Darel, dalam situasi seperti ini, 100% dia akan diterima. “Aku tak mau. Aku terlalu sibuk untuk mengurus seorang pacar yang akan meninggalkanku saat ada wanita lain yang lebih dicintainya,” balas Clarissa. Menolak dengan senyuman manis sembari melepaskan pelukan Darel. “A-apa?” Darel hingga tergagap. Kepercayaan dirinya terasa dihancurkan oleh Clarissa. “Seperti yang kukatakan. Biarpun aku mencintaimu, aku tidak bisa memercayaimu untuk dijadikan seorang pacar. Kau telah mengkhianatiku sekali. Ingat?” Dan senyuman culas wanita itu ketika mengatakan alasannya membuat Darel tertampar. Dia marah. Sekali lagi Darel merasa tertipu. “Aku tak pernah melakukannya! Kau yang tak mau menungguku!” Pria itu membentak. Segera bangun mengambil bajunya. Persetan soal Clarissa dan taruhan sialan itu! Dia benar-benar tak bisa mengendalikan emosinya saat ini. Darel pergi tanpa menatap Clarissa sama sekali. Luka yang terlihat jelas di wajahnya terakhir kali itulah yang Clarissa inginkan. Akan tetapi, kenapa hatinya juga merasa sakit? 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD