Tak sempat mencari cewek cantik yang bersedia ditinggalkan begitu saja jika Darel berhasil membawa Clarissa pulang, Darel membawa Dinda. Dia menggunakan posisinya sebagai bos untuk membawa sekretarisnya sebagai pendamping.
Karena Dinda kira acara ini merupakan bagian dari pekerjaannya, dia ikut saja tanpa memikirkan apa pun. Sama sekali tak membayangkan akan bertemu dengan Clarissa. Apalagi Giorby. Maka dari itu, ketika dia melihat Clarissa berjalan mendekati mereka sambil memeluk lengan Giorby ... wajah Dinda begitu pucat. Tampak serasi dengan tampang kesal Darel yang berada di sampingnya.
“Clarissa bawa mantanmu tuh,” ujar Darel sinis.
“Kamu nggak bilang mereka juga datang.” Balasan dari Dinda lebih sinis, tak ada niat menyembunyikan kekesalannya sama sekali.
“Siapa yang peduli. Ayo dekati mereka lebih dulu.” Gengsi Darel bakal jatuh kalau sampai Clarissa yang mendatanginya lebih dulu. Keinginan untuk bersaing timbul begitu saja, terpancing oleh sikap Clarissa.
“Aku nggak mau.” Dinda mana siap mental. Bila perlu selamanya tak perlu bertemu dengan mereka. Orang-orang yang mengingatkannya kembali akan kesalahan masa lalu ingin dia lupakan.
“Kau kubawa ke sini untuk kupamerkan padanya. Jadi diam saja.” Baru kali ini Dinda begitu kesal pada Darel. Sikap cowok itu langsung berubah memaksa tiap kali ada yang membuatnya tak puas. Dan setiap kali hal itu terjadi, Dinda tak bisa membantahnya.
Tangan Darel berada di pinggang Dinda, memeluk dengan cara yang begitu posesif. Sengaja dibuat begitu karena dia sadar akan ke mana arah pandangan mata Clarissa. Pria itu tersenyum bisnis, berjalan dengan percaya diri hingga ke depan mata Clarissa.
“Kebetulan sekali. Aku juga diundang ke sini. Kalian dekat banget, nggak sangka aku.” Apa pun yang Darel ucapkan selalu membuat Clarissa kesal. Cewek itu merasa seakan disindir. Padahal kedekatan Darel dengan Dinda lebih mengganggu.
“Soalnya kita pacaran. Ya, kan Gio?” Dengan sengaja Clarissa mendekatkan tubuhnya pada Giorby. Bicaranya manis sekali, sambil melirik penuh arti pada Dinda.
“Iya.” Giorby menjawab dengan cepat, tapi siapa pun bisa melihat pada siapa sebenarnya seluruh perhatiannya diberikan.
Rasanya mereka seperti terpaksa bertukar pasangan, membuat kesan yang tertinggal begitu tak nyaman. Darel dan Clarissa begitu peka. Langsung sadar bila strategi membawa gandengan itu telah gagal. Layaknya perasaan Giorby yang mudah terbaca, kecanggungan Dinda juga terlalu kentara.
“Cepat banget ya perasaanmu berubah.” Ah, biarlah! Pokoknya Darel menyerang lebih dulu, secara tak langsung ingin berkata begitu teganya Clarissa. Bilang cinta padanya dan beberapa hari setelahnya berkata berpacaran dengan cowok lain.
“Nggak secepat kamu kok. Kalian masih saja bersama. Tahan banget ya, udah dua belas tahun.” Clarissa balas dengan ungkapan yang menyatakan kalau Darel lebih tega. Berpacaran dengan Dinda selama bertahun-tahun, tapi malah mengajaknya berpacaran.
Kedua orang itu terus saja saling tatap begitu tajamnya. Tiap kata yang keluar dari mulut mereka begitu pedas, penuh sindiran yang saling menyalahkan. Giorby dan Dinda yang mereka bawa diabaikan. Anggap saja tak sadar akan situasi canggung kedua orang itu.
“Jadi sekarang kamu pacaran sama Clarissa?”
“Ya, tapi cewek yang aku cintai tetap kamu. Dan kamu pacaran dengan Darel?”
Sampai ketika obrolan kedua gandengan mereka membuat senyuman culas mengiasi wajah Darel. Ia tertawa, meledek Clarissa sejadi-jadinya. “Hahaha ... dengar tuh, pacarmu bilang cintanya ke siapa.” Pastinya sambil mempererat pelukannya pada Dinda. Hanya untuk membuat Clarissa semakin malu.
“Nggak kok. Sama Darel hanya sebatas hubungan kerja. Kita nggak pacaran!” Detik berikutnya, Dinda menyingkirkan tangan Darel darinya. Dia berteriak dengan suara keras, mempermalukan Darel.
“Pffttt. Pacarmu nggak mengakui kamu tuh.” Betapa bahagianya Clarissa menikmati perubahan ekspresi di wajah Darel.
“Makanya jangan perlakukan cewek seenaknya. Sekali kamu membuang seorang cewek, suatu saat kau yang akan dibuang. Itu pun berlaku sebaliknya. Iya, kan, Dinda?” Setelah itu, dia menyerang Dinda. Sengaja memeluk erat Giorby untuk menegas kalau cowok itu miliknya sekarang. Dinda yang telah membuang Giorby dulu tak berhak untuk mendekatinya lagi.
“Clarissa, udah cukup.” Giorby nggak setega Clarissa. Dia merasa bersalah saat melihat Dinda seperti ingin menangis mendengar kata-kata Clarissa.
“Iya, udah cukup kok. Aku udah nggak mood melihat pameran, sayang. Yuk pulang.” Terjemahan, aku sudah puas melukai mereka hari ini. Ayo pulang dan tinggalkan mereka menahan malu jadi tontonan.
Giorby menuruti Clarissa. Dia berjalan menuju pintu keluar, tapi berkali-kali kepalanya menoleh ke belakang seperti berharap adanya keajaiban. Misalnya saja Dinda mengejar dan menahannya, berkata kalau perasaannya juga masih sama seperti dulu. Meminta maaf dan memulai kembali hubungan mereka.
Sayangnya hal itu tak terjadi. Sampai Gio dan Clarissa memasuki mobil pun, Dinda masih berada di sisi Darel. Cewek itu selalu memilih Darel, tak peduli seperti apa pun keadaan dan perkataannya.
“Gio, ingat sumpahmu sendiri. Kau yang memutuskan untuk tak akan pernah ingin kembali pada Dinda apa pun yang terjadi.” Omongan Clarissa terasa seperti sebuah tamparan keras. Mengingatkan kembali luka menahun yang membuatnya mengucapkan sumpah itu dulu.
Giorby menelan ludah, menundukkan kepalanya menyembunyikan kesedihan. Memutuskan saja sudah begitu sulit. Dan ternyata, menjalaninya jauh lebih menyakitkan. Selama ini dia pikir akan ada waktunya bagi perasaan lama itu untuk mati. Namun sesaat tadi, pemikiran itu buyar begitu saja.
“Tapi aku nggak bisa bohong, Rissa. Aku masih cinta sama Dinda.” Hatinya jauh lebih jujur, memberitahukan padanya keinginan terdalamnya.
“That’s stupid love.” Clarissa mendengus. Entah pada siapa kalimat itu ditujukan. Memang kepada Giorby, atau kepada dirinya sendiri. Bahkan Clarissa tak tahu. Dia terlalu banyak memainkan emosi dan perasaannya sendiri, memaksanya untuk mati hingga tak bisa lagi mengakui dengan jujur seperti Giorby.
***
Darel dan Dinda telah berpindah tempat ke apartemen Darel. Rasa malu yang dia terima setelah kepergian Clarissa membuat Darel sangat marah. “Kamu itu apa-apaan sih! Ngapain teriak begitu segala! Rencanaku jadi gagal tahu!” Dia melampiaskannya pada Dinda.
“Itu yang mau aku tanya! Ngapain bawa aku ke depan mereka? Mau kembali ke masa lalu? Sadar, Darel. Kamu dan Clarissa udah putus dua belas tahun yang lalu.” Tentu saja Dinda tak terima. Semua ini tak akan terjadi kalau sejak awal Darel bilang padanya kalau mereka akan bertemu dengan Clarissa dan Giorby.
Darel yang membawa masalahnya sendiri. Seenaknya berkata mereka berpacaran tanpa kesepakatan terlebih dulu. Dinda mana mau tahu, persaingan bodoh Darel dan Clarissa saat ini tak ada hubungan dengannya.
Dinda lebih peduli dengan tanggapan Giorby padanya. Cowok yang dikira hanya objek untuk mengisi masa muda ternyata lebih tulus. Masih punya rasa padanya setelah semua yang terjadi. Kalau bisa, akan lebih bagus bila ia kembali pada Giorby.
“Kamu juga udah putus sama Giorby! Ngapain goda dia segala, sok-sokan manis begitu!” Inilah yang membuat Dinda menyesal memilih Darel dulu. Sikapnya yang gampang berubah mengikuti suasana hati dan kesombongan yang membuat orang emosi. Waktu muda sih cowok b******k lebih menarik, tapi setelah dewasa Dinda sadar kalau cowok perhatian yang terbaik.
“Itu bukan urusan kamu! Ingat, kita juga udah putus sejak lama!” Lagian sekarang Darel hanya mantan kok. Dia tak punya kewajiban untuk menjaga hati dan harga diri Darel di depan Clarissa.
“Nggak usah kamu tegaskan!” Darel marah pada semuanya. Pada Clarissa, pada Dinda yang tak mau menolongnya. Dia bahkan tak sadar ada yang tak beres dengan interaksi Dinda dan Clarissa. Kedua cewek yang harusnya berteman baik itu, malah terlihat seperti musuh sekarang.
“Ya udah, aku pulang!” Dinda mana mau jadi pelampiasan Darel. Dia pergi begitu saja tanpa memedulikan reaksi Darel. Dia bahkan tak mau tahu apa yang Darel inginkan dengan terus mencari masalah dengan Clarissa.