“Dinda, kau menipuku ternyata,” ujar Darel murka.
Dinda berteriak, mendekati Darel ingin melihat apa yang membuat Darel berkata begitu. “Menipu apalagi sih – ” Dia terdiam saat suratnya Darel angkat, dipelihatkan pada bagian belakang yang masih tersegel rapi.
“Kau tak pernah memberikannya dan Clarissa tak pernah membacanya. Jadi katakan padaku, apa dasar dari segala ucapanmu sebelumnya?” Bertahun-tahun lamanya, dia memberi kepercayaan pada orang yang menusuknya dari belakang. Orang yang dia bela lebih dari wanita yang dicintainya, justru orang yang telah merenggut segalanya dari dia.
“JAWAB AKU! ALASAN APALAGI YANG BISA KAUBERIKAN!”
Pertanyaan bodoh, siapa yang akan memberi alasan? Dinda juga sudah muak menemani Darel dengan segala keegoisannya. Dia sudah punya asuransi sekarang, berupa rantai pengikat Giorby.
Dinda mendengus. “Salah sendiri jadi pengecut. Tulis surat segala, sok romantis sekali. Kalau sejak awal kau berani bertanya langsung pada Clarissa, aku tak akan punya kesempatan menipumu tahu.” Dia percaya bila kesempatan yang Darel berikan yang mengundangnya untuk berbuat jahat. Perempuan ini tak akan pernah merasa bersalah, mau apa pun yang terjadi.
“Kau ... dasar jalang!” Darel menendang barang-barang Dinda lagi. Dia ingin sekali memukulnya, tapi Darel sadar. Orang seperti Dinda malah akan memanfaatkan itu untuk menggugatnya atas tuduhan kekerasan. Darel tidak bodoh, dia tak akan membiarkan perempuan satu ini mengambil keuntungan lebih banyak lagi darinya.
“Kau kupecat! Jangan lagi muncul di hadapanku!” Untuk sekarang, hanya ini yang akan Darel lakukan. Namun, akan dia pastikan untuk menyiapkan pembalasan yang kejam nanti.
“Aku yang berhenti lebih dulu. Siapa juga yang mau punya bos seperti mu!”
Ocehan Dinda, Darel abaikan. Dia segera pergi dengan membawa sebuah dendam. Ponsel-nya ia keluarkan. Nomor andalan pun ia hubungi.
“Ini aku, selidiki segalanya tentang Dinda. Cari semua kebusukannya sampai ke akar-akar.” Berapa pun akan Darel bayar selama dia bisa melihat hidup Dinda hancur seperti perempuan itu menghancurkan hatinya.
Dinda telah salah memilih musuh. Oke, hidupnya bisa nyaman dengan jaminan uang Giorby. Akan tetapi, dia lupa betapa pendendam dan berkuasanya Darel. Dia bisa memberikan Dinda kemudahan, dan tentunya dia juga bisa memberikan sebuah neraka kehidupan.
***
Berhari-hari Darel habiskan untuk mencari sebanyak mungkin bukti atas aib perempuan itu untuk menghancurkannya. Dia menyeringai begitu puas saat seluruh data terkumpul.
“Jadi, dia sedang hamil rupanya.” Pantas saja Dinda sombong sekali saat dia pecat. Ternyata cewek licik itu berniat memanfaatkan kehamilan itu untuk membuat Giorby menikahinya.
Sayang sekali, umur kandungan itu tidak sesuai dengan kurun waktu kedekatan Giorby dan Dinda. Mungkin si polos b**o Giorby bisa ditipu, tapi Darel tidak. Dia tahu, 100% itu bukan anak Giorby.
“Ya, Bos. Dan rencananya Dinda akan segera menikah dengan pria bernama Giorby. Mereka sudah menyiapkan acaranya.” Ya ampun, sungguh kerja cepat si Dinda. Belum apa-apa sudah mengendalikan Giorby sebegitunya. Sungguh orang yang kejam, tapi Darel bisa lebih kejam.
“Kapan hari pernikahannya?”
“Tanggal 20 bulan depan.”
Data-data mengenai pria mana saja yang dekat dengan Dinda belakangan ini sudah ada di tangannya. Sedang Darel periksa. Atau sebut saja sedang mencari kelemahan mereka. Dia akan membuat siapa saja, ayah dari anak itu mengacaukan pernikahan tersebut.
Orang tua Giorby dari keluarga terhormat, mereka pastinya membiarkan anaknya menikah demi menyembunyikan rasa malu. Itu bagus kalau anak itu memang anak Giorby, tapi kejalangan Dinda akan menghancurkannya hidupnya sendiri.
Darel tak akan membalas secara langsung. Dia akan membuat orang tua Giorby yang membalaskan dendamnya. Dan pastinya, Giorby sendiri akan bisa menolongnya lagi. Itu pun bila si b**o Giorby masih cinta setelah tahu kebusukan calon istrinya.
“Tanggal 20 ya, hem ... kalau begitu cari tahu siapa ayah biologis anak itu. Dalam seminggu, bawa padaku.” Akan Darel paksa mengaku, jika tidak ... akan dia sogok sampai mau. Biar saja Dinda menikah dengan orang itu atau tidak. Karena pada akhirnya tak ada kebahagiaan yang akan didapatkan.
Tiga orang dalam data Darel semuanya cowok b******k. Hanya bagus di wajah saja. Satunya kaya, tapi sudah punya istri. Satunya miskin, hanya modal mulut manis dan tipuan untuk memeras cewek dan yang terakhir paling parah. Pemakai obat dan penggila kekerasan.
Betapa bersemangatnya Darel. Dia sudah tak sabar ingin menonton drama menyenangkan itu. Sampai-sampai Darel lupa akan masalahnya sendiri, yakni mencoba mendapatkan kepercayaan Clarissa kembali.
***
Di waktu yang sama, Clarissa sedang makan dengan Aksel. Awal yang canggung berubah menjadi bersahabat dengan cepat. Berkali-kali kepolosan Aksel membuat Clarissa tertawa.
Akhir pekan yang menyenangkan seperti ini sudah lama sekali tidak Clarissa rasakan. Kebekuan hatinya mulai luluh. Pikiran kalau menghabiskan waktu dengan seorang laki-laki tidak hanya tentang permainan dan seks.
“Apa kauada acara lagi setelah ini?”
Clarissa tak puas hanya dengan sekali makan siang. Dia berniat mengajak Aksel melakukan hal lain untuk mengisi waktu luang. Mungkin pergi berenang atau bermain badminton akan terasa asyik.
“Tak ada.”
Aksen tak ada rencana menemani Clarissa lebih dari makan siang, tapi dengan suasana yang nyaman ini ... dia jadi merasa tak rela berpisah. Ke mana saja tak masalah, selama ada alasan untuk bersama.
“Mau berenang?”
“Mau ke pameran teknologi!”
“Pameran terdengar menyenangkan.”
“Aku suka berenang!”
Kedua orang itu berucap di saat yang sama, kemudian terdiam sebentar, memutar ajakan dan tertawa dengan lepas. Kalau begini sih ketahuan sekali kalau mereka hanya tak mau berpisah.
“Haha, jadi sebenarnya maumu ke mana?” Tawa Aksel manis sekali, seperti bunga matahari. Clarissa bahkan belum yakin rasa apa yang mulai memanaskan hatinya, tapi ia merasa bahwa apa pun itu layak untuk diperjuangkan.
“Di mana saja tak masalah. Aku hanya ingin lebih lama denganmu.” Setelah sekian lama hanya mengucapkan kalimat penuh perhitungan ... akhirnya Clarissa bisa mengungkapkan sesuatu dengan tulus dari hati tanpa memikirkannya lebih dulu.
Wajah Aksel tersipu, reaksinya begitu polos hingga membuat muka tebal Clarissa ikut tersipu. Mereka sudah bukan remaja lagi, tapi rasanya momen ini seperti pengalaman pertama di masa remaja.
“Kenapa kamu berkata seperti itu?”
Rasa penasaran mulai hadir, menari bersama dengan kegugupan yang asam manis seperti permen lemon. Dalam hati mulai berharap, mengulang-ulang kata ‘jika’ dengan seribu kemungkinan yang ada.
“Karena itu yang aku rasakan.” Suara Clarissa begitu lembut, sirat akan kehangatan yang Aksel rindukan. Memang banyak cewek yang mendekatinya, tapi kebanyakan lari karena rasa kecewa terhadap sifatnya yang tidak sesuai apresiasi mereka.
Baru kali ini ... ada seseorang yang berkata ingin bersama dengannya tanpa menunjukkan raut wajah terpaksa atau gelagat seperti ingin berbasa-basi. Bagaimana Aksel tidak merasa senang? Dia merasa dispesialkan.
“Boleh ... kuartikan itu sebagai tanda bila kau ingin mencoba mengenalku?”
“Memang itu maksudku.”
Kecanggungan lagi yang menemani mereka. Namun, kali ini dengan artinya berbeda. Aksel tak benci rasa baru itu. Dia sebenarnya suka. Hanya saja, dia cemas kalau dirinya hanya salah paham sendiri.
Sebelum ini Clarissa tak pernah menyadari keberadaannya. Dan ada Darel yang sepertinya masih terikat dengannya. Bagaimana Aksel bisa mencoba mendekatinya?
“Sebagai teman?”
“Iya, tak mau?”
Demi cari aman, Aksel sedikit menarik diri. Kemudian, dia merasa menyesal. Harusnya sejak awal dia tak bertanya.
“Betul juga, kau punya pacar.”
“Siapa? Aku tak punya.”
“Laki-laki yang kemarin – ”
“Apa aku terlihat begitu putus asanya mau berpacaran dengan orang seperti itu!” Akhirnya Clarissa marah. Rasa kesalnya datang setelah arah pembicaraan diubah begitu saja oleh Aksel.
“Itu bukan maksudku.” Malangnya cowok itu, dibentak sedikit saja nyali sudah ciut. Duduknya saja geser-geser mulai ragu akan niat lebih mengenal Clarissa.
Clarissa menghela napas. mood-nya memburuk. Dia merasa bodoh sekali, terbawa emosi hanya karena nama Darel disinggung.
“Cowok baru lagi? Yang kaubawa ke pameran waktu itu mana?” Di saat itulah, Aran muncul. Seperti telah mengawasi dari tadi, menunggu waktu yang tepat untuk mempersulit Clarissa.
Clarissa bahkan sudah tak terkejut lagi. Saking seringnya Aran tak sengaja bertemu dengannya di mana-mana. Lebih dari siapa pun, Aran yang paling tahu akan riwayat teman kencan Clarissa. Membantah juga percuma, mulut resek itu akan terus menyerangnya tanpa henti.
Mata Clarissa pindah arah, menatap Aksel menunggu tanggapannya. “Kalau begitu aku pulang lebih dulu.” Dan benar saja, cowok itu langsung kabur. Menanamkan kesan negatif padanya tanpa mencoba bertanya satu kali saja.
“Kau dicampakkan? Haha! Kasihan, mau kutemani minum-minum?” Belum juga Clarissa berucap satu kata pun, Aran sudah begitu bersemangat, menggoda dengan lagaknya.
“Oke, ayo pergi.”
“Eh? Apa?”
Sekali Clarissa setuju, Aran gelagapan. Dia termenung bodoh bahkan hingga Clarissa sudah bangkit berdiri dan pergi membayar pesanannya.
“Kau mau pergi denganku atau ajakkan tadi hanya basa-basi saja?”
“Siapa yang basa-basi! Aku pergi. Akan kurekam tingkah anehmu, lalu kusebar di kantor besok.” Sikap bodoh apa itu? Berusaha menyembunyikan rasa malu atau bagaimana?
“Terserah. Asal jangan menyesal saat aku yang mendapatkan rekaman bodohmu.” Karena jengkel, Clarissa sengaja mengerjai Aran. Dia mendekat, memukul pelan d**a Aran dengan punggung tangannya, tersenyum nakal dengan jarak bibir mereka yang begitu tipis.
Aran menelan ludah, gugup akan kedekatan tak biasa itu dan di situlah letak kemenangan Clarissa. Ya, inilah dirinya yang sesungguhnya. Seorang wanita yang selalu bisa mempermainkan lelaki di atas telapak tangannya. Kenapa Clarissa bisa lupa akan hal itu?