1. Perwujudan Bidadari

1688 Words
Malam berarak-arak, gulita membungkus langit dengan sempurna. Deru kendaraan semakin lengang melintas. Mendung. Sunyi dan dingin oleh embusan angin. Aksara Al Farisi namanya. Pemuda 22 tahun itu berlari sekencang mungkin. Kakinya dikayuh secepat mungkin menjauh dari kerumunan para petugas satpol PP yang mengejar. Aksa sedang mengikuti balap liar. Sudah diperingatkan Zidan berulang kali, tapi Aksa abai. Beradu ketangkasan dengan taruhan nyawa sudah jadi kebiasaan. Aksa tidak peduli meski resikonya sangat tinggi. Antara ditangkap petugas yang sedang patroli, atau celaka jika sial dengan menghampiri. Aksa mendapat kepuasan tersendiri dari kemenangan yang didapat. Banyak ucapan selamat, banyak kalimat yang menyatakan dirinya hebat. Sebuah pujian yang tidak pernah didapat dari ayah. Tidak sekali dua kali Aksa harus berurusan dengan pihak kepolisian karena ulahnya. Ayah selalu datang untuk menebus anak laki-laki satu-satunya. "Plaaak!!!" Satu tamparan di pipi Aksa selalu melayang dari tangan ayah. Perih, panas. Meradang seperti hati Aksa. Diperlakukan layaknya anak kecil yang membuat kesalahan. Malu. Aksa merasa minder memiliki ayah seperti itu. Lebih lagi, perlahan namun pasti, rasa benci mulai menyusup di hati Aksa pada ayah. "Mau jadi apa kamu ini! Kelakukan urakan, seperti orang tidak berpendidikan saja!" Kata-kata ayah sangat tajam, menusuk hati Aksa. Aksa sampai bingung sendiri, sebenarnya dia itu anak ayah atau bukan. Kenapa ayah selalu marah-marah, tidak pernah sekalipun bersikap baik. Kadang melintas rasa iri di hati Aksa, dia ingin seperti Zidan, temannya yang bercerita kalau sering habiskan waktu di hari minggu dengan ayahnya, entah main futsal, atau lari pagi bersama. Aksa tidak tahu bagaimana rasanya dekat dengan ayah. Yang dia tahu, ayah selalu sibuk kerja, kerja dan kerja. Ayah jarang di rumah, mengurusi bisnis dan sering keluar kota. Ibu lebih sabar. Dia akan tenangkan Aksa, memeluknya atau sekadar membisikkan nasihat agar Aksa mulai mengubah hidupnya. Aksa hanya dengarkan, namun tidak pernah laksanakan nasihat ibu. Aksa punya ayah dan ibu, namun sudut hatinya terasa kosong. Umur 22 tahun harusnya Aksa sudah berada di semester akhir kuliahnya. Namun Aksa beberapa kali kena DO dari kampus karena seringnya membolos dan tidak lulus di beberapa mata perkuliahan. Universitas Cendekia adalah kampus baru yang Aksa masuki. Atas desakan ibu, Aksa mau memulai kuliah lagi dari awal. Aksa diterima di fakultas kedokteran. Ibu sujud syukur, biar masih suka bandel dan membangkang, tapi Aksa mau turuti kemauan ibu. Sebenarnya Aksa itu anak yang cerdas, dulu di bangku SMP sering ikut kegiatan olimpiade, sering dapat piala. Lanjut di bangku putih abu-abu, Aksa mulai banyak bertingkah. Aksa juga sering melawan ayah. Dia bilang buat apa harus capek-capek kuliah, toh ayah tidak pernah peduli. "Pak, numpang ya." Aksa menyetop satu mobil bak terbuka. Gerombolan satpol PP sudah tidak terlihat. Aksa tarik napas dalam-dalam. Embusan napasnya berat, akibat berlari kencang. "Naik di belakang tapi ya." Sopir mobil isyaratkan Aksa naik ke belakang mobil. Aksa langsung loncat naik di bak terbuka. Duduk senderkan badan lelahnya diantara terpal yang tergulung. Aksa Hela napas lagi, beruntung bisa lari dan tidak tertangkap. Kalau sampai terjadi, pasti ayah tidak segan akan memukulnya menggunakan gesper atau gagang sapu. Paling ringan mendapat tamparan di pipi. Aksa pejamkan mata, berusaha hilangkan penat. Tidak peduli bagaimana teman-temannya di arena balapan sana, apa mereka selamat atau ditangkap. Hamparan terpal yang tergulung menjadi alas Aksa rebahkan badan. Matanya memandang langit, hitam pekat, kelam, seperti jalan hidupnya. Aksa hitung bintang di langit, tidak banyak yang nampak, mungkin bintang sembunyi tertutup mendung. Semilir angin malam menjadi nyanyian Aksa mengurai mimpi. Lelaki berbadan tegap itu tertidur pulas. Deru azan subuh menggema, memanggil para hamba untuk bersujud. Aksa rasakan lengannya digoyang, "Mas bangun! Turun cepat." Suara berat dari laki-laki tersebut merasuk ke dalam telinga Aksa. Dia buka mata, menguceknya pelan, sejurus perhatikan di mana keberadaannya sekarang. Lalu lalang orang menjadi pemandangan pertama yang Aksa tangkap, samar-samar Aksa perhatikan tulisan besar di plang, Pasar Kota Pacitan. Aksa langsung berdiri, tidak sadar kalau mobil bak terbuka yang ditumpangi akan membawa sampai sejauh ini di kota Pacitan. "Maaf Bang, ini di mana ya?" Tanya Aksa pada pak sopir. "Ini di pasar Pacitan, Mas. Kami habis mengantar sayuran ke pasar induk Surabaya, Mas tujuannya mau ke mana?" Aksa mencelos. Bagaimana ini, dia berada jauh dari rumah. Ponsel tidak dibawa. Rogoh kantung celana, berharap temukan sedikit rupiah di sana, nihil, tidak ada uang sepeserpun. "Saya bingung Pak. Tadinya cuma mau numpang kabur dari satpol PP malah kebawa sampai sini." Aksa jujur berkata. "Waduh, Mas rumahnya di mana? Kalau dekat nanti biar saya antar." "Surabaya, Pak." "Wah, maaf Mas, tidak bisa. Tadi malam itu jadwal terakhir antar sayur ke Surabaya, mungkin ke sana lagi Minggu depan." "Iya Pak, tidak apa-apa. Terima kasih sudah memberi tumpangan semalam." "Mari Mas, salat subuh dulu ke mushola sana." Aksa tercekat. Dia bingung menjawab ajakan pak sopir. Seumur hidupnya selama 22 tahun dia hanya salat saat hari Jumat saja, itupun dulu saat masih sekolah. Sekarang sudah tidak pernah lagi. Malah Aksa tidak hapal bacaan salat. "Bapak saja dulu, nanti saya nyusul." Elak Aksa. Bapak sopir melengang meninggalkan Aksa sendiri. Aksa amati sekeliling. Tempat ini sangat asing baginya. Pasar sudah ramai lalu lalang pedagang dan pembeli, Aksa tidak tahu kemana arah tujuan, dia langkahkan kaki mengikuti jalanan. Subuh berlalu, sinar fajar menyapa, hapuskan sisa-sisa embun. Aksa terus telusuri langkah kaki. Sudah dua jam berjalan, sepanjang mata memandang Aksa temui hamparan sawah, di sisi kanan kiri kadang ada pohon akasia menjuntai rimbun. Sesekali Aksa hentikan kaki, ambil napas dalam-dalam. Tenggorokan-nya terasa kering. Haus mendera. Aksa basahi bibir dengan saliva, mengharap bisa sedikit hilangkan rasa haus. Tangan Aksa pegangi perutnya, lapar juga melanda. Lambungnya terasa perih. Kembang kempis napasnya menahan kosongnya perut. Aksa kembali periksa kantung saku celana jeans belelnya, berharap temukan sedikit saja uang di sana, nihil. Tidak ada sepeserpun. Tiba-tiba bayangan wajah ibu melintas. Saat pagi tiba ibu akan bangunkan Aksa, menyuruh membasuh muka lalu sarapan. Semua sudah tersedia di meja makan. Malah Aksa tak jarang abaikan perhatian ibu. Menyia-nyiakan masakan perempuan yang telah lahiran dia itu. Sesal itu kini Aksa rasakan, saat dia tahu bagaimana rasanya menahan lapar. Aksa melewati pedesaan. Di sawah banyak petani beraktivitas. Aksa hentikan langkah di bawah rindang pohon asem. Di seberang darinya ada plang besar bertuliskan Pondok Pesantren Al Istiqomah. Namun bukan itu yang menyita perhatian Aksa. Matanya sejak tadi mengamati gerak-gerik seseorang di depan pondok. Di sisi gerbang ada motor terpakir. Aksa perhatikan seseorang itu sedang mengamati, dia curiga kalau orang tersebut berniat jahat. Apalagi Aksa menilik kalau kunci kendaraan masih tergantung. Mungkin orang yang punya lupa mengambilnya. Aksa mendekat, tegur orang tersebut, "Mau ngapain lo?!" Tegurnya dengan suara gahar. Laki-laki berambut cepak yang ditegur Aksa itu terlihat kaget. Matanya menyeringai jahat, "Maling! Tolong ada yang mau maling motor!" Teriaknya kencang. Aksa mundur beberapa langkah, tidak sadar kalau dia malah difitnah oleh pelaku sebenarnya. Aksa ingin berlari dari sana, namun siap, kakinya kurang cepat, dari arah belakang kerumunan warga sudah menghadang. Beberapa orange memegang bahu Aksa, menahan agar tidak kabur. Aksa sangat terkejut. Padahal niatnya baik, ingin menangkap maling yang sebenarnya, "Pak, salah paham semuanya. Bukan saya malingnya, tapi dia. Lepaskan saya?" Berontak Aksa. Namun beberapa warga tidak percaya, malah ada yang melayangkan pukulan ke wajah Aksa. Gerbang pesantren terbuka, beberapa santri ikut berhambur menyaksikan keributan. Aksa sudah pasrah, ingin laripun tidak bisa. Pipinya terasa perih akibat hantaman tangan warga yang emosi. Aksa rasakan sudut bibirnya terasa asin. Darah segar mengucur di sana. "Tolong jangan main hakim sendiri. Kita Tabayyun dulu." Suara karismatik di antara kerumunan Aksa dengar. Pemilik suara itu berbaju putih, memakai sarung dan sorban di kepala. Tangannya menggenggam tasbih dari kayu gaharu. "Dia ini mau maling motor, Kyai. Kepergok kita semua, makanya ga bisa kabur," ucap salah satu warga. "Apa benar begitu, Nak?" Tanya Pak Kyai. Aksa mendongak, tatap wajah Kyai. Ada desir malu saat matanya bersinggungan dengan mata Pak Kyai. Aksa gelengkan kepala. Dia ceritakan kejadian yang sebenarnya pada Kyai dan warga. Meski ada diantara mereka yang tidak percaya. "Maling mana ada yang mau ngaku! Kita bawa ke kantor Polsek saja Pak Kyai!" Teriak salah seorang. "Sudah semua ya, biar dia jadi urusan saya. Lagipula motornya aman, tidak jadi hilang. Biar saya yang jadi jaminan kalau anak muda ini bukan maling. Saya percaya dengan omongannya." Pak Kyai bicara, semua warga menurut. Cengkraman pada Aksa dilepaskan. Pak Kyai isyaratkan Aksa mengikutinya. "Ayo ikut saya ke dalam, Nak!" Titahnya berjalan mendahului Aksa. Para santri sudah bubarkan diri, atas perintah Kyai. Aksa tebak kalau Kyai adalah orang yang disegani di wilayah ini. Buktinya warga bisa langsung percaya dengan kata-katanya. Aksa pandangi suasana dalam pesantren. Tiga ratus meter dari gerbang, ada bangunan rumah berarsitektur Jawa kuno. Bentuknya joglo. Halamannya luas. Di depannya ada pohon asem seperti di luar pondok. Di bagian sisi barat ada bangunan lain, bertingkat, seperti sekolahan, tapi atasnya dipakai untuk asrama. Aksa memonitor semua yang tersaji di depan mata. "Masuklah!" Titah Kyai. Aksa masuk ke ruang utama. Ada kursi dengan ukiran berbentuk rajawali di ruang tamu ini. Aksa duduk di salah satunya. Kyai ke dalam, meninggalkan Aksa sendiri. Sejurus keluar lagi bersama seseorang. "Rania, berikan kotak obat itu padanya!" Kyai perintahkan seseorang yang bersamanya. Aksa amati langkah kaki berkaus kaki tersebut. Langkahnya pelan dan tak bersuara. Gamisnya panjang menjuntai sampai mata kaki. Aksa beranikan diri angkat wajahnya, terperanjat akan sosok yang sekarang ada di depannya. Kerudungnya berwarna abu-abu agak gelap, menjuntai dari kepala menutup d**a. Kulit wajahnya putih bak pualam, meski terlihat sedikit pucat. Aksa tertegun, baru kali ini jumpai perempuan dengan tampilan seperti itu. "Ambilkan minum untuknya Rania!" Lagi, perintah Kyai pada gadis tersebut. "Baik Abbah," balasnya. Telinga Aksa seperti mendengar bisikan bidadari. Suaranya sangat lembut, tapi tidak menggoda. Tidak dibuat-buat. Iramanya santun. Apa benar seperti itu perwujudan bidadari surga. Bahkan sepanjang tingkahnya tadi Aksa lihat tak sedikitpun gadis itu mendongakkan pandangan. Aksa tak bisa berkata-kata, dia benar-benar dibuat kagum pada pandangan pertama akan sosok yang menurutnya perwujudan bidadari surga itu. Siapakah dia? Apa mungkin surga itu benar-benar ada bagi orang seperti Aksa. °°°°°°°°°°°°°°°Bersambung°°°°°°°°°°°°°°°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD