Elang dan Semua Aturan

1103 Words
Dengan nalurinya, mobil Elang yang semula membelah ramainya jalanan, berhenti di salah satu skate park outdoor. Salah satu tempat favoritnya. Salah satu tempat untuk bersembunyi dari sebuah masalah yang terjadi di rumah. Tidak ada kata lain selain marah untuk menggabarkan perasaan Elang saat ini. Perdebatan di rumah membuat emosinya mendidih namun tak sampai membuatnya menghancurkan sesuatu yang berharga. Kedua netra hitam Elang menyorot tajam apapun yang dilihatnya. Auranya memancarkan hal yang sama. Semakin dingin saja Elang terlihat. d**a bidangnya naik turun, mengikuti napasnya yang memburu. Di tempat ini, Elang banyak menemukan sedikit kehangatan atau semacam keramaian. Meski kenyataannya Elang tidak suka dengan hal itu. Elang tidak suka kehangatan, perasaannya sudah lama mendingin. Orang-orang bilang, kehangatan membawa ketenangan. Hangat juga, memberi kenyamanan. Bagi Elang semua itu bohong jika akhirnya kehangatan itu akan berubah menjadi dingin ketika masanya habis. "Lang, kenapa?" Suara itu membuat Elang menoleh sesaat dan mendapati temannya--Jack--cowok yang hobi bermain skateboard ini memang terlihat selalu peduli padanya. Jack seolah tahu apa-apa yang dirasakan Elang. Kata tanya 'Kenapa' pun selalu Elang dengar dari mulut Jack ketika ia dalam kondisi buruk. Jack dan Elang berteman cukup lama, meski berbeda usia sekirar 2 tahun, tapi Jack menganggap Elang seperti seuisannya. Jack tidak melanjutkan pendidikannya. Bukan karena tidak mampu dalam finansial. Jack justru lahir dari salah satu keluarga tajir di Indonesia. Jack sudah dibebani tugas untuk mengurus beberapa perusahaan ayahnya. Bisa dibilang, dia adalah pengusaha muda. Semua teman Elang tidak jauh dari orang-orang seperti Jack. "Gak pa-pa," jawabnya singkat. Elang hanya berusaha tidak peduli pada apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Jack yang ikut duduk di sebelah Elang memandangi teman-teman mereka yang lain yang sedang bermain skateboard. "Zul makin jago ya," komentar Jack sambil memperhatikan Zul yang sedang bermain. Jack mencoba berbasa-basi pada Elang agar akses mengobrol pada cowok itu lebih mudah. Awam bagi Jack menanggapi sikap Elang yang terkesan dingin. Elang hanya mengangguk tanpa menoleh sedikitpun pada Jack. Tubuhnya sedikit bergeser ke sisi kosong di sebelahnya karena Arbaham Yuser, teman Elang juga--mendudukan dirinya di sebelah Elang dengan baju yang sudah basah karena keringat. Wajahnya terlihat kucel, begitu pun rambutnya, basah karena keringat. "Gak main, Lang? Udah lama gak nyoba lo!" kata Arbaham, cowok itu menonjok pelan bahu Elang sebagai arahan agar segera melakukan aktivitas yakni bermain skateboard. Sudah lama, Elang tidak bermain benda pipih beroda itu. Tidak tertarik, Elang hanya menggeleng singkat sebagai jawaban. Tanpa ekspresi di wajahnya yang tampan itu. Malam ini, Elang sedang tidak ingin melakukan apapun. Kecuali duduk terdiam dan berkelana dengan pikirannya. "Lang, sejak kapan lo pakai cincin?" Jack bersuara lagi, Arbaham jadi fokus juga pada jari-jari Elang yang saling bertautan itu. Sepertinya akan ada banyak pertanyaan dari Jack jika Elang menjawab yang sebenarnya. Untuk mencegah hal buruk itu, Elang menggeleng lagi. Pernikahan yang baru dilakukan tadi pagi tidak akan terbongkar begitu mudah. Elang harus menutupinya dengan rapat-rapat. "Cincin mahal gak tuh? Jangan-jangan hadiah Ciki." Abraham tertawa kemudian. Jack meliriknya sebentar dan cowok itu berhasil dibuat diam. Lagi-lagi Elang tidak menanggapi, sesuatu bergetar di kantung celananya membuat Elang merogoh benda pipi di sana. Setelah mengangkat panggilan masuk, Elang menempelkannya ke telinga dan menjawab suara di seberang sana. "Iya Kla, aku pulang." Hanya itu yang Elang katakan. Dan tanpa pamit atau apapun itu Elang langsung bangkit dari duduknya. Jack dan Abraham yang melihat hanya bisa terdiam tanpa berkomentar. Mereka sudah paham, Elang memang tidak punya sopan santun. Mobil mewah Elang kembali melenggang di jalanan yang mulai sepi. Dan beberapa menit kemudian, mobil itu sampai di rumahnya. Lalu turun, menutup pintu mobilnya. Kedua tangannya masuk ke kantung celana berbahan kain dengan warna serupa rambutnya. Elang, berjalan fokus tanpa teralihkan. Tepat, saat di lorong kamar pertama---Elang menghentikan langkahnya bersama dengan Sabina yang baru saja menutup pintu kamarnya dari luar. Elang menatap Sabina tajam, seakan-akan gadis itu adalah mangsa yang siap untuk diterkam. Tapi, tidak untuk saat ini. Elang mungkin membenci Sabina, tapi menunjukannya diawal sepertinya bukan cara yang tepat untuk menyakiti atau membuat Sabina jatuh sejatuh-jatuhnya. Satu sudut bibirnya terangkat saat gadis itu menunduk tanpa pergerakan. Mengabaikannya, langkah Elang kembali menapak lantai lorong itu. Dengan angkuh dan dengan sorot mata tajam nya, Elang melewati Sabina. Kemungkinan, situasi seperti barusan akan sering terjadi. Kamar keduanya, berada pada satu lorong yang sama. Dan, itu putusan kedua yang paling buruk dari orang tuanya setelah pernikahannya dengan Sabina. Semua tentang Sabina adalah keburukan bagi Elang. "Kamu pergi kemana, sih?! Terus kenapa gak ngajak aku?!" kesal Clarista, saat Elang sudah benar-benar memasuki kamar istrinya itu. Duduk, di bibir ranjang, satu tangannya meloloskan lengan jaket yang ia gunakan, begitu pun selanjutnya. "Udah makan?" Selalu, saat Clarista menyuarakan amarahnya, Elang selalu mengalihkan pembicaraan keduanya. Semua orang sudah tau jika Elang adalah cowok pemarah, oleh karenanya Elang memilih untuk tidak menanggapi Clarista. Karena api dengan api maka akan semakin bekobar. Jika ia menanggapi apa yang Clarista ucapkan tadi, maka kemungkinan besar Elang tidak akan bisa menahan amarahnya. Dan lihatlah, Clarista langaung luluh. "Udah, tapi aku gak suka sama makanannya!" Clarista cemberut, mengekspresikan ketidaksukaannya pada sesuatu yang gadis itu makan beberapa menit yang lalu. Keluarga Albarek memang keluarga kaya yang ada di Indonesia. Tapi, itu malah semakin membuat orang tua Elang bersifat sederhana. Makanan pun mereka tidak pernah menyajikan yang mewah-mewah. Bayangkan saja, Elang yang biasanya makan di restoran bintang 5 harus makan di rumah dengan makanan sekelas Warteg. Begitupun dengan Clarista. Dia pasti sangat terkejut. Benar saja, ternyata orang seperti Clarista tidak bisa memakan apa yang keluarga Albarek makan. Asisten keluarga Albarek selalu menghidangkan makanan tradisional negaranya, gorengan dan apapun itu yang tidak terlalu mewah, semua adalah perintah dari Sang kepala keluarga. Mau tidak mau Elang mengikuti semua aturan yang ayahnya buat. Elang takut pada semua ancaman yang ibu dan ayahnya buat. Elang tidak mau kehilangan semua fasilitas dan semua kenikmatan yang diberikan oleh orang tuanya hanya karena melanggar satu tugas. Salah satunya yakni, Elang yang harus mau menikah dengan Sabina. Menggenggam telapak tangan Clarista, menatap gadis itu. Elang tersenyum tipis. "Terima resikonya," sahut Elang. Lalu genggaman keduanya terurai bersamaan dengan Elang yang merebahkan diri. Malam ini, mungkin ia akan terlelap di sini saja. Lagi pula, Clarista sudah sah menjadi istrinya. Entah apa yang terjadi, wajah murung Clarista berubah seketika. Gadis itu terlihat bersemangat. "Lang, gimana kalau kita minta untuk dibuatin rumah? Atau kita pindah ke apartemen kamu?" Elang yang semula memejam langsung membuka matanya. Dan menatap istrinya itu dengan tanpa kata. "Kamu mau, kan?" rengek Clarista yang sudah berada di sisi Elang sembari memainkan d**a bidangnya. "Gak semudah itu untuk bujuk orang tua aku, Kla." .....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD