Hal gila yang Anna lakukan setelah delapan tahun ini adalah terus mengikuti Renan. Anna mengutuk dirinya karena terlalu peduli dengan laki-laki itu. Anna kira ia bisa membekukan hatinya seperti apa yang ia lakukan kepada orang lain - ibunya, Leon, dan orang tua Leon. Tapi, Anna tidak bisa memalingkan wajahnya dari Renan. Anna tidak bisa melihat laki-laki itu berjalan kaki tanpa arah dengan tas besar di punggungnya. Apa Renan bisa menemukan tempat tinggal sebelum malam?
Dua orang itu berhenti di sebuah rumah dua lantai di ujung jalan. Ada papan besar yang bertuliskan "Dikontrakkan!" di depan warung kecil di lantai satunya. Anna menepikan mobilnya dan melihat mereka memasuki warung itu. Anna bergegas turun, dengan hati-hati menyeberang jalan dan masuk ke warung itu dari dapur belakangnya yang terbuka. Anna melihat Renan dan Junero tengah berbicara dengan perempuan pemilik rumah itu. Perempuan itu lebih muda daripada Anna, berpenampilan sangat terbuka dengan riasan tebal yang memuakkan. Anna cukup mendengar apa yang mereka bicarakan.
"Hanya ada satu kamar kosong. Kalian mau tidur bersama?" tanya perempuan itu dengan mata memicing curiga.
Junero menatap Renan meminta pendapat, tetapi Renan hanya membalasnya dengan tatapan kosongnya. "Tidak apa-apa. Kami akan berbagi kamar untuk sementara."
Perempuan itu menganggukkan kepalanya berulang kali. Matanya tak berpindah dari Renan. "Baiklah. Sepertinya Pak Rami akan segera pulang kampung. Kalian bisa menggunakan kamarnya nanti."
"Itu bagus. Bolehkah kami melihat kamarnya sekarang?" tanya Junero.
"Tunggu sebentar!"
Perempuan itu membuka ponselnya yang tergeletak di meja lalu membuka suatu video yang terdengar seperti siaran berita. Anna ikut tersentak ketika perempuan itu menjerit keras, lalu membekap mulutnya dengan tangannya sendiri.
"Kau! Kau!" Perempuan itu menunjuk Renan dengan ujung jarinya. "Kau Renan Zahard? Kau baru keluar dari penjara pagi ini? Kau anak pembunuh berantai mengerikan itu?"
Perempuan itu melangkah mundur hingga tubuhnya menabrak meja di belakangnya. Sedangkan dua laki-laki di depannya menatapnya penuh tanda tanya. "Aku tidak akan melakukan apapun! Kau bisa pergi dari sini! Kamar di rumah ini sudah penuh. Kalian pergi saja! Jangan membunuhku!"
"Apa yang kau katakan?" Junero mendekati perempuan itu yang terus mundur hingga meja-meja di belakangnya saling bertabrakan. "Kami tidak akan menyakitimu. Kau bisa percaya dengan kami. Renan bukan kaki tangan ayahnya. Dia bukan pembunuh. Apa yang ada di berita itu semua bohong. Dia tidak pernah membunuh siapapun. Kau dengar aku?"
Perempuan itu mengangkat ponselnya, "Aku akan menghubungi polisi jika kalian tidak pergi sekarang juga."
Renan menarik tangan Junero, "Ayo kita pergi!"
Junero memberontak lalu mendekati perempuan itu lagi, "Apa yang semua orang takutkan, hah? Kau takut dengan laki-laki ini?" Junero mencengkeram tangan perempuan itu sambil menunjuk Renan dengan satu tangan lainnya. "Kau takut dengannya? Apa yang kau takutkan? Laki-laki itu bahkan tidak melakukan apapun saat orang menghinanya dan memukulinya. Dia adalah orang paling baik yang pernah aku temui. Kenapa kau takut dengan laki-laki yang begitu baik itu?"
Perempuan itu dengan ragu menatap Renan sekali lagi. Renan hanya berdiri diam di belakang Junero. Tatapannya masih sama, dingin dan kosong. Hingga perempuan itu tidak mempercayai apa yang dikatakan Junero.
"Dia seorang pembunuh. Aku tidak ingin tinggal dengan seorang pembunuh. Aku akan memanggil polisi sekarang!"
Junero mengusap wajahnya putus asa. "Kau tidak perlu memanggil polisi. Kami akan pergi. Kami tidak melakukan kesalahan apapun. Kenapa kau memanggil polisi? Perempuan Sialan!" teriak Junero frustasi.
Renan dan Junero meninggalkan warung itu. Junero menendang pot bunga di depan warung hingga membuat perempuan pemilik rumah semakin ketakutan. Perempuan itu bertambah kaget ketika Anna tiba-tiba keluar dari dapur. Anna menutup jendela yang terbuka dan mengencangkan tudung kepalanya.
"Aku akan memberimu uang tiga puluh juta jika kau mau memberikan kamar kepada dua laki-laki tadi," ucap Anna sambil kertas cek dari tasnya.
"Siapa kau?" tanya perempuan itu ragu.
"Kau tidak perlu tahu. Tiga puluh juta cukup, kan? Dua kamar untuk mereka berdua. Biarkan mereka tinggal dan membayar uang sewa seperti biasa. Kau hanya perlu menerima mereka dan menyiapkan dua kamar."
Anna memberikan cek itu kepada perempuan di depannya. Perempuan itu menariknya dengan cepat. "Siapa yang menjamin cek ini asli?"
Anna mengeluarkan sebuah kartu nama dari tasnya. "Jika itu palsu, hubungi orang di kartu nama ini. Kalau dia tidak bisa dihubungi, kau bisa mengusir mereka berdua lagi. Meskipun itu tidak akan terjadi," kata Anna.
Melihat perempuan di depannya masih ragu, Anna kembali berkata, "Tidak ada yang merugikanmu, kan? Apa kau ingin aku memberikannya kepada pemilik kontrakan yang lain? Sepertinya dua laki-laki tadi sudah menemukan kontrakan yang baru."
"Baiklah. Aku akan menerima mereka berdua."
Senyum miring Anna tercetak, "Pilihan yang tepat. Kau tidak perlu khawatir. Renan tidak akan membuat masalah di rumahmu. Dia bukan orang jahat. Meskipun kau tidak percaya, aku ingin kau mengetahuinya. Sekarang segera cari mereka."
Perempuan itu sudah berniat pergi ketika Anna berkata lagi, "Satu lagi. Jangan pernah memberitahu mereka bahwa aku memberimu uang atau aku akan menghancurkan rumahmu ini. Aku bisa memberimu uang tiga puluh juta dengan mudah, tapi aku juga bisa membuatmu kehilangan semuanya dengan mudah. Kau harus ingat itu."
Perempuan yang memakai rok pendek dan ketat itu mengangguk dengan sungguh-sungguh lalu pergi meninggalkan Anna. Anna keluar dari restoran itu kembali ke mobilnya. Anna melihat perempuan itu berbicara dengan Renan dan Junero di persimpangan jalan yang tak jauh dari warung kecil tadi. Melihat mereka berdua kembali ke warung tadi, Anna bernapas lega. Setidaknya Renan memiliki bisa tidur dengan tenang malam nanti.
Anna baru saja akan menyalakan mobilnya ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Leon.
Kau tak lupa janji makan malam kita jam tujuh nanti, kan? - Leon
****
"Kau berniat menggodaku dengan memakai gaun itu, bukan?"
Leon menarik kursi untuk Anna. Meja mereka sudah penuh dengan makanan dan bunga-bunga kecil di sekitarnya. Laki-laki itu seperti biasa sudah menyiapkan segalanya dengan sempurna. Mulai dari makanan kesukaan Anna, permainan piano yang tak jauh dari meja mereka, dan pemandangan indah langit malam yang bisa ia lihat dari jendela di sampingnya. Anna pernah berkata ingin makan di restoran yang berada di lantai paling atas hotel mewah ini dan kini Leon menyewa restoran itu hanya untuk makan malam dengannya.
"Kau tidak perlu menyewa tempat ini, Leon. Kau terlalu berlebihan," kata Anna dengan lembut.
"Aku mampu dan aku tidak suka makan di tempat yang ramai. Apalagi saat makan bersamamu." Leon menuangkan wine di gelas Anna. "Apa yang kau lakukan hari ini?"
Bibir Anna langsung membentuk garis melengkung yang indah. Tanpa memedulikan tangannya yang bergetar di bawah meja, Anna menjawab pertanyaan Leon dengan santai, "Aku seharian memanjakan diri di tempat spa."
Leon berdiri dan menggeser kursinya ke sebelah Anna. Laki-laki itu mencium leher Anna yang membuat Anna menegang sejenak. "Benar, kau sangat harum." Tangan Leon menyentuh lengan Anna, lalu ke punggungnya yang terbuka. "Dan kulitmu sangat halus."
Anna memainkan tangannya di wajah halus Leon, mencoba menjauhkan tubuh Leon darinya dengan hati-hati. Ketika Leon tampak menginginkannya seperti sekarang, Anna selalu berhasil menahannya. Selama delapan tahun hubungan ini, Leon hanya berani menciumnya. Ciuman manis yang sopan dan hambar. Anna bersyukur karena Leon bukan laki-laki yang suka memaksa. Leon selalu sabar saat Anna berkata ia belum siap memberikan tubuhnya.
"Aku lapar. Kita harus cepat-cepat makan atau semuanya akan dingin," kata Anna, berusaha tampak fokus pada makanannya.
Tubuh Leon tak lagi menempel pada Anna. Laki-laki itu tersenyum simpul, lalu mengambil satu potong Foie Gras, makanan khas Perancis yang berharga ribuan dollar itu. Anna berusaha untuk memulai percakapan singkat, membuat Leon tampak bersemangat ketika Anna bertanya tentang proyek terbarunya. Varagan Corp sedang fokus untuk pembangunan empat toko buku baru di beberapa kota.
"Kau tak lupa agenda kita besok, kan?"
Anna menghapus noda makanan di sudut bibirnya sapu tangan sutra yang tersedia di meja. "Tentu saja. Aku dan ibuku sudah menemukan beberapa toko yang bisa kita kunjungi untuk memilih cincin pertunangan. Untuk gaun, kita bisa datang ke butik pilihan orang tuamu."
"Bagus. Aku juga berencana seperti itu."
Anna menyelesaikan makanannya lalu menghadap Leon yang menatapnya. "Aku tak menyangka hari ini akan tiba. Kau adalah penyelamatku, Leon. Jika aku tidak bertemu denganmu delapan tahun yang lalu, aku hanya anak seorang pembantu seumur hidupku. Kau mengubah hidupku dan aku sangat berterima kasih. Kau adalah hal terbaik yang pernah aku miliki."
Bagus. Kebohongan yang lain, Anna.
Anna tersenyum licik ketika Leon membawa tangannya ke wajahnya, lalu mengecup punggung tang"Anna, aku mencintaimu. Kau tidak akan meninggalkanku, bukan?"
"Bagaimana bisa aku meninggalkanmu? Aku sudah melewatkan delapan tahunku hanya bergantung padamu. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Leon."
Bagus, Anna. Kau benar pembohong hebat.
Anna untuk pertama kalinya, melihat senyum Leon yang tak biasa. Senyum yang dingin dan mengisyaratkan sebuah kemenangan yang menyesakkan bagi Anna. "Aku tidak akan melepaskanmu, Anna. Kalau aku tidak bisa memilikimu nantinya. Maka tidak ada orang lain yang bisa."
Tiba-tiba Leon menarik kepala Anna dan menciumnya dengan kasar. Leon tak pernah menciumnya dengan kasar seperti sekarang. Laki-laki itu selalu bersikap lembut. Anna bisa mengendalikannya dengan mudah. Kata-kata yang keluar dari mulut Anna bagaikan perintah dari Leon. Dan Leon tidak pernah membuat Anna merasa tidak nyaman. Tapi apa yang laki-laki ini lakukan? Pertama kalinya sejak ia mengenal Leon, Anna merasa bahwa ia tidak mengenal laki-laki itu.
Bahwa Anna tidak mengetahui apa-apa tentang laki-laki itu.
Leon berdiri tanpa melepaskan ciuman mereka. Laki-laki itu menunduk dengan tangannya bersandar pada kursi Anna. Lidahnya masuk ke mulut Anna dengan brutal. Anna mendorong tubuh Leon menjauh tapi laki-laki itu tidak menghiraukannya. Anna merasa dirinya terhempas ke dasar jurang ketika Leon menarik rambutnya dengan kasar. Seperti sadar apa yang ia lakukan, Leon segera melepaskan ciumannya.
Mata laki-laki itu begitu gelap dan dingin. Anna segera menghirup udara di sekitarnya hingga tersedak. Kepalanya terasa berat. Ada sesuatu yang salah. Ada yang luput dari perhatiannya. Leon tidak pernah menatapnya dengan dingin seperti sekarang. Dia tidak menciumnya dengan kasar seperti tadi. Laki-laki itu selalu meminta izinnya terlebih dahulu, bukannya menerkamnya tiba-tiba seperti tadi.
Anna memilih Leon karena ia pikir bisa mengendalikannya dengan mudah. Tapi, apa Anna benar-benar bisa mengendalikan Leon selama ini?
Sedetik kemudian, senyum sopan tercetak di wajah Leon. Tangan laki-laki itu masih berada di rambutnya. Tarikannya terlepas dan Leon merapikan rambut Anna dengan penuh perhatian. Seperti kejadian sepuluh menit tadi tidak pernah terjadi. Setelah rambut Anna cukup rapi, Leon mengusap pipi hangat Anna dengan ibu jarinya.
"Apa aku membuatmu takut? Maafkan aku. Aku hanya- aku hanya tidak tahun melihatmu begitu cantik di sebelahku. Aku tidak pernah seperti ini sebelumnya. Memikirkan bahwa kita akan segera menikah, membuatku merasa aku bisa melakukan apapun padamu, Anna."
Anna mencoba tersenyum dengan tenang, menyembunyikan ekspresi terkejutnya jauh di dalam pikirannya. "Tidak apa-apa, Leon. Tapi aku tidak terbiasa dengan ciuman yang kasar seperti tadi. Bisakah kita melakukannya pelan-pelan."
"Tentu saja. Aku tidak akan menyakitimu lagi, Anna - " Tangan Leon turun ke leher Anna, laki-laki itu menyentuh leher Anna dengan jemari panjangnya. "- jika kau selalu menurutiku," ucapnya lirih yang tidak bisa Anna dengar.
Anna berdiri. Mengatakan pada Leon bahwa ia perlu ke toilet. Anna berdiri di depan kaca toilet cukup lama. Melihat perempuan yang selalu tidak terbiasa dengan sentuhan laki-laki. Anna bukannya tidak mau memberikan tubuhnya kepada Leon. Anna bisa memberikan apapun pada laki-laki itu. Tubuhnya tidak lah hal penting bagi Anna. Namun, Anna tidak bisa. Sentuhan selalu mengingatkan Anna kepada ayah tirinya dan Anna masih takut dengan ingatan itu.
Hanya satu orang. Satu orang yang Anna biarkan untuk menyentuh tubuhnya. Hanya Renan. Dan kini, Anna kembali memikirkan laki-laki itu dan sentuhannya delapan tahun yang lalu. Pertama kalinya Anna memberikan bibirnya dengan mudah kepada orang lain. Renan - memikirkan nama itu membuat Anna mual dan memuntahkan makanan yang baru saja ia makan.