Asmara Anak Kampung

2651 Words
"Jadi lo akan ke sini?" Ammar berdeham. "Ya Kagak perlu jemput gue. Gue bisa jalan sendiri kok. Tapi gue numpang di apartemen lu." "Gampang, bro. Lo kayak orang lain aja." Ammar terkekeh. "Oke lah," tuturnya. Keduanya bercanda sebentar sebelum Ammar menutup telepon. Ammar kembali pada pekerjaannya. Hari ini jadwal panen bawangnya. Ia menanamnya seperempat hektar tiap bulan. Sehingga ketika masuk bulan ke sekian, ada bawang lagi yang akan panen. Jadinya lumayan pula. Ia juga memiliki rumah kaca kecil di belakang rumah sana. Ibunya berniat memperluas rumah kaca itu karena mereka berhasil memanen paprika meski jumlahnya tak banyak. Hanya cukup untuk kebutuhan pribadi. Tapi keren kan? "Bang! Tinggal segini lagi!" tutur salah seorang kuli. Anak kampung sini juga. Biasa membantunya kalau panen begini. "Untuk stok biasa udah cukup?" tanyanya. "Aman!" "Tinggalin aja kalau begitu," tuturnya. Si Ucok mengacungkan tangan. Tentu saja setuju. Biasanya ia juga mendapat bagian sedikit untuk kebutuhan rumah ibunya. Amara yang baru pulang dari puskesmas pun berhenti. Sepedanya ia taruh di dekat rumah kebun milik Ammar. Ia melihat banyak kendaraan yang terpakir. Ada mobil dan juga truk untuk mengangkut hasil panen. Ia sudah mendengar tentang kisah Ammar sebagai petani muda sukses di kampung ini. Meski ibunya kerap menceritakan keburukannya dan keluarganya, tapi Amara tak mengambil hati kisah itu. Ia malah mendengar kisah lain yang disampaikan orang-orang puskesmas dan juga orang-orang di kantor kepala desa. Semua dari mereka berkisah tentang Ammar yang keren karena berhasil memajukan pertanian di daerah ini. Berkat pengaruhnya, sudah banyak petani tua yang beralih pada penggunaan bahan-bahan organik untuk menyokong pertanian. Amara tersenyum tipis. Dari kejauhan, ia melihat sosok Ammar yang sibuk mematroli hasil pekerjaan para kuli yang mengangkut hasil panen miliknya. Secercah kekaguman muncul. Sebagai mahasiswi agribisnis, hati Amara terketuk melihatnya. Karena apa? Orang yang mengambil jurusan pertanian sepertinya saja belum tentu bisa mengembangkan usaha pertanian seperti ini. Ammar malah tampak sangat keren dimatanya. Dan sejujurnya, ia juga punya niatan lain. Ia kan memang berencana melakukan penelitian di sini. Ia tahu kalau kampung ibunya itu kampung pertanian. Tadinya mau mengambil magang di dekat pabrik kepala sawit dekat sini. Letaknya memang tak begitu jauh. Tapi... "Eh nak Amara!" Eh-oh, Amara tergagap. Salah satu kuli tua menyapanya. Ia tak begitu mengenal tapi barangkali kakek ini sering mampir ke warung ibunya. Amara mengangguk-angguk dengan senyuman tipis. "Mau lihat hasil panen ya? Ke sana aja. Mumpung pada ngangkut-ngangkutin," tuturnya yang membuat Amara mengangguk-angguk. Ia memang ingin melihat lebih dekat. Karena jujur saja, teori dan praktik itu kan berbeda jauh. "Ammar!" Tahu-tahu lelaki tua itu memanggil Ammar. Ammar yang sedang sibuk pun membalik badan. Dengan konsep ala-ala drama Korea di tengah perkebunan, Ammar tampak eksotis dengan kulit hitamnya, senyumannya yang manis dan keringatnya yang mengalir deras karena panasnya cuaca hari ini. Amara mengalihkan tatapannya. Tak mau terbius dua kali oleh pesona Ammar. Kalau sudah muncul kekaguman kan tak bisa dipungkiri kalau bisa ada cinta setelahnya. "Ini nih ada yang mau lihat yang pada bawa hasil panen!" tuturnya yang tentu saja membaut Amara mau tak mau mendatangi lelaki itu. Dengan senang hati Ammar menerima kedatangannya. Hahaha. Setelah kemarin hanya berani bolak-balik ke warung ibunya. "A-Amara," kenalnya gugup. Entah kenapa pula jadi gugup begini. Hahaha. Ammar tersenyum kecil. Bahkan nama pun hanya berbeda satu suku kata. Hahaha. Tadinya Ammar sudah putus asa tentang persoalan cinta. Karena tak ada gadis kampung yang membuatnya menarik tapi kali ini, sepertinya ia harus menarik ucapannya. "Ammar," tutur Ammar. "Anak UNSRI bukan?" tanyanya. Gadis itu mengangguk canggung. "Jurusan apa?" "Agribisnis, Bang." "Wah!" ia terkaget. "Pas sekali." Gadis itu mengangguk-angguk. Masih malu. Ada kecanggungan juga. Meski diam-diam melirik Ammar yang penuh keringat. Keringat kerja keras. Hahaha. "Sorry ya kalau agak bau," tuturnya yang sadar diri. Amara terkekeh. Justru bau keringat bercampur bau parfum Ammar malah jadi agak-agak berbau mint gitu. Masih segar karena bau badannya tertutupi barangkali. Dan Amara tak masalah dengan itu. "Sudah semester berapa?" "Tujuh. Tahun terakhir," ungkapnya jujur. "Akan penelitian?" "Ya. Tapi magang dulu." Ammar mengangguk-angguk lagi. "Mau lihat hasil panen?" tawarnya. Gadis itu mengangguk. Ammar memberi kode untuk mengikuti langkahnya ke sisa tanaman yang hasilnya tidak dibawa Ucok tadi ke mobil. "Bawang merah. Besok bakal bawa cabai lagi," tuturnya. "Biasanya dikirim ke mana?" "Kebetulan sudah kerja sama dengan salah satu supermarket di kota." Waw. Amara berdecak kagum. Ia kira hanya petani besar yang bisa melakukan itu. Dan lagi, tidak mudah masuk ke dalam penasaran skala supermarket. "Karena ini organik jadi lebih mahal." "Oh ya?" Amara terkaget lagi. Ammar mengangguk. Dengan serius ia menjelaskan konsep pertanian yang ia lakukan tapi sialnya, Amara malah terpesona dengan orangnya. Hahaha. Ia tidak fokus lagi mendengar kata-katanya. Lalu diajak pula menuju truk sebelum dibawa pergi. Ammar tampak menandatangani banyak kertas. Amara hanya menyimak sembari menguping bagaimana kinerja petani sesungguhnya. Di dunia kampus dan kenyataan seperti ini kan bisa berbeda. "Gak kena tengkulak atau apa gitu, Bang?" Ammar terkekeh. "Itu ada polisi," tuturnya yang membuat Amara ternganga. Ia tak melihat kalau ada dua polisi berseragam yang sepertinya akan mengawal barang-barang ini. "Biaya ininya yang lebih gede. Tapi kalau cuma sekali angkut begini, hitungannya jadi lebih murah. Dan lagi, polisinya tidak minta bayaran. Itu bukan saya yang minta tapi dari dinas pertanian. Karena kan produksinya juga dipantau. Saya juga mendapat banyak bantuan dari dinas itu." Amara mengangguk-angguk. "Gimana?" "Apanya yang gimana?" "Tertarik mempelajari lebih dalam?" tanyanya dengan tatapan berharap. Amara tampak berpikir. "Kalau aku penelitian di sini apa semua petaninya mau--" "Nanti dibantu," ucapnya dengan tulus. Tentu saja Amara senang mendengar jawaban itu. "Kalau begitu, paling beberapa bulan lagi Amara ke sini." "Oh. Sekarang belum?" Gadis itu menggeleng. "Masih magang dulu, Bang." Aaah. Ammar mengangguk-angguk. "Magang di mana?" "Rencananya di pabrik kepala sawit itu." Ooh. Ammar mengangguk-angguk. "Itu juga bagus," tuturnya. "Kalau mau tanya-tanya atau perlu bantuan, hubungi saya aja." Ammar mengangguk. Tentu saja. Makanya ia segera mengeluarkan ponselnya lalu menyodorkannya pada Ammar.. "Boleh minta nomornya, Bang?" Ammar tersenyum lebar. Tentu saja. Hahaha. Ini yang ia tunggu-tunggu. Meski kalaupun gadis itu tak meminta, ia yang akan mencari nomor agar bisa menghubungi gadis ini. Hahaha. @@@ "Mara! Mau ikut ke surau?" teriak tetangganya. Sahabatnya sedari kecil. Kini belum menikah. Tapi bekerja di kota. Kalau hari libur ya pastinya pulang ke rumah. "Bentar!" tuturnya yang diangguki Inne. Ia menunggu di depan rumah ibu Amara. Tak lama, Amara muncul dengan mukenanya. Gadis itu jarang ke surau. Kalau tak ada Inne ya tak akan berangkat. Berhubung malam ini katanya ada ceramah di surau, jadi Inne berinisiatif mengajak Amara. Mereka jarang bertemu di kota. Ya kan kampus Amara di Indralaya. Masih jauh juga dari kota. Paling ketemu sekali di sini, itu pun ketika Amara mampir ke rumah ibunya. "Bang!" panggil Inne. Ia melihat Ammar muncul dari kebun dengan motor bututnya. "Ada ceramah di masjid abis magrib, gak ikut?" "Duluan aja!" Inne malah melongo. Sementara lelaki itu sudah menghilang dengan motornya. "Padahal aku nanya cuma basa-basi." "Memangnya kenapa?" Inne berdeham. Ia mendekatkan bibirnya pada telinga Amara yang tertutupi kerudung. "Abang Ammar tuh katanya tak peluk agama apapun." "Masa?" "Dulu sih Islam. Tapi semenjak beberapa tahun terakhir, dah tak pernah lihat dia ke surau. Solat Jumat pun tak pernah." Kening Amara mengerut. Rasanya tak percaya. Kalau pun ada yang atheis, ia hampir tak pernah menemukannya ada di negara ini. Meskipun dasar negaranya pancasila, pemeluk agama paling banyak ya Islam. "Yang benar?" "Iih. Semua orang kampung sini juga tahu, Mar." Amara masih sulit mempercayainya. "Gak ada yang tahu apa sebabnya. Padahal sayang loh. Dia sukses jadi petani. Lihat aja perkebunannya. Selaku jadi percontohan tiap ada orang datang ke sini. Padahal dia mulai dari nol. Suka sedekah pula. Tiap panen, selalu dibagi-bagikan ke orang kampung." Amara mengangguk. Ia juga mendengar kisah itu semalam dari ibunya yang girang karena kebagian hasil panen bawang milik Ammar. Kemarin kan, ia membawa banyak bawang dari Ammar karena lelaki itu yang memberinya. Ibunya girang setengah mati seolah lupa dengan keburukan-keburukan Ammar yang sempat diceritakan. "Rasnaya percuma gak sih? Maksudnya, kan dia mungkin hitungan udah nurtad lah ya karena gak pernah solat Jumat lagi. Tapi masih bagi-bagi hasil panen ke banyak orang. Terus yaa kayak dapat pahala atau enggak pun jadi pertanyaan. Karena syarat masuk surga itu kan yang paling utama justru syahadatnya. Kalau tidak beriman, bagaimana mau masuk? Karena kesombongan paling sedikit atau syirik aja udah berat untuk masuk surga. Iya kan, Mar?" "Ah-eh!" Amara tergagap. "Iih! Kau nih! Malah ah-eh-ah-eh!" "E-enggak, bukan....," ia tergagu. Tatapan matanya beralih pada motor yang baru saja masuk halaman surau. Surau ini sebetulnya masih kecil tapi halamannya sangat luas. Mana sudah banyak pula yang datang dan memasang tikar atau karpet agar bisa duduk di luar. Para perempuan yang mendominasi memenuhi sisi luar surau. Namun kini, semua mata kompak tertuju ke arah Ammar yang tahu-tahu sudah rapi dengan baju koko dan motornya. Bukan hanya Inne yang heran dan takjub. Satu kampung yang hadir di sini pun terheran-heran. "Alhamdulillah!" seru Pak Haji. Wajahnya tampak berbinar melihat kemunculan Amamr yang selama ini sudah dinantikan para tetua sepertinya. Sesungguhnya selama ini, mereka sangat menyayangi Ammar. Karena kecerdasan dan kecekatannya, ia menginspirasi banyak orang di sini. Sayangnya, tidak berbanding lurus dengan keyakinan. Padahal dulu, Ammar itu pemuda yang taat. Sejak kecil, selalu dibawa ibunya ke surau agar ikut solat jamaah Subuh. Rajin pula memenangkan lomba tiap maulid di kampung ini. Entah lomba Tartil Quran atau azan. Tapi entah apa yang terjadi selama beberapa tahun terakhir. Ibunya hanya ingat kalau hari itu, Ammar tampak marah. Tak ada yang tahu apa sebabnya marah. Kalau bertengkar dengan suaminya, itu sudah biasa. Hal lumrah. Ammar memang slelau menentang apapun keputusan ayahnya yang sama sekali tak pandai mengambil keputusan itu. Lalu kini? Melihat kemunculannya kembali ke Surau, tak hanya satu-dua orang yang terharu tapi hampir semua orang yang ada di surau. Bagi mereka yang mengenal Ammar sejak kecil, Ammar memang mengagumkan. "Panggil dia, suruh syahadat dulu," ujar Pak Kyai. Tapi Ammar tidak datang. Ia masih sungkan. Keberadaannya di sini pun bukan karena Tuhan yang menunggu kembalinya. Aaah bayangkan, Tuhan yang menunggunya bukan ia yang mencari-Nya. Ia hanya datang karena melihat kehadiran Amara di jalan tadi yang sepertinya akan datang ke sini. Kehadirannya memang tak tulus. Tapi Allah Maha Baik. Tidak menghardiknya dengan kasar. Allah sabar menunggu hamba-hamba-Nya yang ingin kembali ke jalan-Nya. Barangkali memang belum waktunya. "Anaknya Tuti?" tanya Pak Kyai. Ia memang terus memerhatikan gelagat Ammar dari jauh. Dulu kan, Ammar belajar mengaji pada beliau. Wajar tahu bagaimana karakter Ammar. Baru kali ini pula melihatnya tertarik pada perempuan. Gerak-gerik Ammar yang terlalu kentara dan orang-orang kampung yang memerhatikan tentu jadi tahu kalau Ammar mungkin suka pada Amara yang kini menundukkan wajah. Ia masih berusaha fokus mendengarkan isi ceramah yang baru setengah jam dimulai. Meski lama-lama gerah juga. Mata Ammar yang tak kuasa berpaling membuat Amara grogi. Lucunya, ibunya malah senang mendengar kabar itu di keesokan harinya. Di kala Amara baru bersiap-siap untuk kembali ke kota. Ia sudah menyelesaikan urusannya di sini dan harus segera kembali ke kampus. "Gak minta nomornya Ammar, Mar?" Begitu tanya ibunya. Amara tahu kalau ibunya mungkin tak menyukai kepribadian Ammar atau sisi agama yang tidak Ammar punyai. Tapi menyukai uang Ammar yang memang banyak dengan berbagai perkebunan dan usahanya. Tapi Amara berpendapat lain persoalan pasangan. Meski tertarik pada Ammar, Amara tak mau jalan atau melabuhkan hati pada seseorang yang bahkan tidak melabuhkan hatinya pada Tuhan. Bagaimana hidup akan berjalan jika Tuhan tak ada di dalam batinnya? @@@ "Ada Amara-nya, Bik Cik?" tanyanya. Ammar tampak rapi dengan kemeja pagi ini. Ibunya Amara yang akhir-akhir ini menyukai Ammar tentu saja memanggil Amara. Amara hendak pulang. Ia menunggu bus yang biasanya lewat. Tapi belum lewat. Adik-adik sambungnya sudah menunggu di seberang jalan untuk menghentikan bus tujuannya. "Ada apa, Mak?" Terdengar suara Amara. Gadis itu muncul dengan cantik. Tidak dengan rok dan kaos sederhana. Pagi ini dengan celana kulot, kardigan, baju kaos yang menyelip ke dalam dan kerudung ala hijabbers zaman sekarang. "Itu tuh ada si Ammar." Aaah. Amara baru melihat. Tidak seperti kemarin-kemarin di mana Ammar memakai baju koko atau kaos lengan panjang dan celana kain seadanya. Kini tampak rapi dengan kemeja dan jeans. "Oh Amara mau balik ke kota?" "I--" "Iya, Mar! Kau juga rapi begitu. Mau ke mana?" tanya si Mama. Amara menoleh dengan mata juling. Emaknya sok manis. Ammar menggaruk tengkuknya. "Mau ke Jakarta, Bik. Mau jalan-jalan aja ketemu temen," tuturnya dengan senyuman tipis tapi disambut heboh oleh Mamanya Amara. Bahkan terlontar kata-kata berharap bisa membawa Amara ke kota biar berangkat bersama. Tentu saja Ammar tak menolak. Tapi Amara... "Udah sama Ammar aja. Nunggu busnya juga belum lewat," tutur ibunya tapi adik-adik Amara malah berseru di seberang jalan sana karena busnya baru saja berhenti. Ibunya nyengir. "Amara naik bus itu aja, Bang," tuturnya tak enak hati. Takut Ammar terlambat juga. Perempuan itu mengalami ibunya dan kakak-kakaknya. Kemudian diikuti Ammar saat menyeberangi jalan. Ia berhenti sejenak di samping bus dan membiarkan adik-adik sambungnya menyalaminya. Saat kakinya sudah terangkat ke dalam tangga bus.... "Mara!" panggil Ammar. Ia hampir melupakan wacananya saat datang ke warung ibu Amara pagi-pagi begini. Amara menoleh dengan dramatis. Bahkan ibunya hampir pingsan saking senangnya. Hahaha. "Untuk Dek Amara," tuturnya usai mengeluarkan sebuah kotak dari dalam tas ransel yang disandangnya. Kening Amara mengerut. "Simpan saja dulu," tutur lelaki itu dengan senyuman manisnya yang selalu membius Amara. Amara berdeham. Tak lupa mengucapkan terima kasih lalu naik ke dalam bus. Para penumpang bersiul-siul meledek Amara dan Ammar. Asmara anak kampung yang manis. Sementara Amara mati-matian menahan senyumnya. Meski matanya tak bisa menahan diri. Akhirnya, ia menoleh juga ke belakang di mana Ammar melambaikan tangan dengan senyuman manisnya yang begitu ganteng. Hahahaha. Cowok itu tak bisa menghilangkan senyumannya. Di sepanjang perjalanan menuju bandara, ia dikira gila sama supir travel yang ia sewa. Mungkin memang ia gila. Gila karena cinta. Ahaaaay! Hahaha! Bayangan Amara sulit dilupakan. Walau tak yakin jika perasaannya akan berbalas. Namun melihat Amara yang menoleh ke belakang tadi, ia setidaknya punya kesempatan kan? Iya kan? Walau ibunya bilang.... "Amara itu anak baik-baik, Mar. Kau harus samakan diri dulu dengannya untuk bisa bersanding. Bukan persoalan punya uang saja. Karena kau kan tahu bagaimana dunia pernikahan. Kau belajar banyak dari apa yang terjadi pada Mamak dan Bapak kau." Ya memang benar. Tapi ia belum memikirkan ke arah sana. Ia hanya sekedar bahagia dengan hatinya bukan berarti ingin segera menikah. Lagi pula, ada banyak hal yang ingin ia urus dan menjadi prioritasnya. Pernikahan belum masuk ke dalam prioritas hidupnya. Sementara Amara mulai menatap kotak hadiah yang berada di pangkuannya. Namun ia belum berani membukanya. Ia baru membukanya saat tiba di rumah ayahnya. Ia berlari masuk ke kamar berhubung ayahnya tak tahu apa-apa tentang apa yanh terjadi padanya. Jangan sampai tahu pula. Karena ayahnya masih ingin ia fokus pada kuliahnya. Dan lagi, memangnya asmara ini akan ke mana? Hahaha. Begitu membuka, ia mendapati seuntai kalung yang sangat cantik. Kaget pula karena sepertinya asli. Isi dalam kotaknya bagus sekali. Keningnya mengerut. Tiba-tiba merasa keberatan dengan hadiah ini. Ia mencari ponselnya lantas bergegas mengetik sesuatu untuk dikirimkan pada Ammar. Assalamualaikum, Abang Ammar. Ini Amara. Terima kasih atas hadiahnya. Tapi mohon maaf, Amara sulit menerima hadiah semacam ini. Apa tidak keberatan jika Amara kembalikan saja? Bukan karena Amara tak menghargainya tapi ini terlalu mahal untuk menjadi sebuah hadiah. Apalagi Amara belum lama mengenal Abang. Pesan yang cukup panjang. Ia menunggu dengan grogi dan ternyata, Ammar cepat sekali membalasnya. Cowok itu masih berada di ruang tunggu. Masih menunggu antrian naik pesawat. Waalaikumsalam. Itu bukan sesuatu yang sangat berharga. Abang hanya memberikannya sebagai hadiah. Daripada dikembalikan, akan lebih senang jika disimpan saja Amara. Abang memberikan itu bukan untuk memberikan sebuah beban pada Dek Amara. Tapi hanya sebatas hubungan antara seseorang yang mengagumi Amara. Maaf kalau terkesan lancang. Tentu saja tidak lancang. Hahaha. Karena Amara pun sangat menyukainya. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD