bc

Take Care of You

book_age18+
308
FOLLOW
1.5K
READ
revenge
time-travel
drama
bxg
heavy
city
regency
husband
bodyguard
passionate
like
intro-logo
Blurb

Mengikuti perjalanan Reza yang gagal menjalankan amanah almarhum Rega yang pernah memintanya untuk menggantikan dirinya di pelaminan menikahi Tania. (Cek di cerita sebelumnya dengan judul "Ketika Hati Terjebak Masa Lalu" dan "Dua Kali 365 Hari").

Kini justru Reza berada di Kalimantan Barat diberi tugas oleh Pram Gunadi sebagai Jenderal Polisi untuk melindungi dan menjaga Melissa Tatiana Gunadi yang menjadi tenaga medis di salah satu desa terpencil di sana.

Perasaan Reza mulai tumbuh pada Melissa, namun, ibunya justru mati-matian menolak kehadiran Melissa dengan alasan Melissa adalah keponakan dari Indah, wanita yang berselingkuh dengan ayahnya Reza.

*cover by Rhy Nadia*

chap-preview
Free preview
Menentukan Pilihan
Setelah kemarin menemui Tania di rumah Mia, semua sudah jelas kalau Tania benar-benar menolak untuk menjalankan amanat mendiang Rega, hal itu membuat Reza meyakini satu hal, kalau sudah saatnya dia menjalani kehidupan sesuai dengan keinginannya. Dua tahun menunggu Tania menyembuhkan luka hati, nyatanya hanya membuang waktu karena ternyata bukan dirinya yang dipilih.  Sarapan pagi ini masih dalam hening, entah kenapa ibu dan ayahnya harus menyimpan kecewa terlalu lama. Tak seharusnya mereka banyak berharap pada Tania, wanita itu bahkan sengaja bersembunyi dari mereka hanya karena takut ditagih soal amanat terakhir almarhum Rega yang harus segera ditunaikan.  Reza menghela napas dan mencoba memecah keheningan yang terjadi sejak tiga puluh menit yang lalu. “Aku sudah putuskan, Minggu depan aku akan pergi ke Kalimantan dan tugas di sana.” Mata Ranti seketika membola dan sendok jatuh begitu saja dari tangannya.  Reza terkesiap begitupun dengan ayahnya. Reza membasahi tenggorokannya. “Kenapa, Ma? Apa aku nggak bisa menentukan hidup aku sendiri. Ini sudah dua tahun lebih sejak kepergian Kak Rega, aku nggak bisa terus begini, Tania benar, kita tak seharusnya ada di bawah bayang-bayang mendiang Kak Rega, Ma.” Ranti tercenung, entah kenapa tiba-tiba air matanya jatuh. Ada apa dengan dirinya? Harusnya dia percaya kalau Reza bisa mendapatkan calon istri yang lebih baik dari Tania.  Anton yang sedari tadi diam itu pun kemudian mengangkat wajah dan berdehem. “Kamu benar, semua sudah selesai. Kamu harus tetap melangkah dan melanjutkan hidupmu.” Reza tersenyum kecil menatap ayahnya. “Makasih, Pa.” Lain dengan Ranti, wanita itu malah bangkit dan meninggalkan tempat makan. Reza terkesiap saat ibunya menggeser kursi dan menjatuhkannya.  “Sudah nggak apa-apa, mama cuma perlu waktu, kamu bisa bicarakan ini lagi nanti kalau mama sudah merasa baik-baik saja,” ucap Anton menenangkan. Reza mengangguk. Dia kemudian bangkit. “Aku permisi, Pa.” “Iya, hati-hati.”  Reza berlari ke luar dari rumah dan melesat pergi dengan mobilnya. Sepanjang jalan sembari menyetir, otaknya sibuk mereview kejadian kemarin-kemarin saat Tania mencoba memberinya kesempatan. Namun, entah kenapa dia merasa kalau Tania tak pernah benar-benar memberinya kesempatan, wanita itu seperti jijik bertemu dengannya atau itu hanya perasaannya saja?  Mobil berhenti di depan kantor polisi. Dia kemudian turun dan mencari keberadaan Jenderal Polisi Pram Gunadi untuk membicarakan tugas yang pria itu berikan padanya beberapa hari yang lalu, jika sebelumnya Reza katakan akan memikirkannya dulu karena dia merasa kalau ada sesuatu yang harus dia selesaikan terkait amanat Rega padanya.  “Pagi, Pak,” ucap Reza memberi hormat.  “Pagi. Silakan duduk.” Pram Gunadi menunjuk kursi di sebelahnya.  Reza membasahi tenggorokannya. Dia menarik napas kemudian duduk di depan Jenderal Polisi itu. “Saya siap menerima tugas, Pak.”  Pram Gunadi menghela napas lega. Sudah mencari ke mana-mana tak ada yang sanggup dengan tugas yang dia berikan. Akhirnya Reza bersedia, meski dia belum jelaskan apa tugasnya di sana. “Baik, terima kasih, besok sore temui saya di kafe Ilalang, jangan pakai seragam.” “Siap, Pak.” “Nanti saya jelaskan tugas kamu apa saja selama di sana.” “Siap laksanakan, Pak. Kalau begitu saya permisi,” ucap Reza seraya bangkit.  Pram Gunadi mengangguk dan mengizinkan pria 30 tahun itu untuk pergi dari ruangannya. Dia akan segera mengurus keberangkatan Reza Senin depan. Dia yakin Reza orang yang amanah dalam menjalankan tugas ini, Reza memang selalu bisa diandalkan, terbukti dari setiap kasus yang ditugaskan, Reza selalu dapat memecahkannya dengan baik.  *** Reza tengadah menatap langit berselimut hitam dan sepertinya hujan akan segera turun membasahi bumi. Dia memutuskan untuk segera pergi, sebelum hujan benar-benar menahannya di sini. Wiper mulai bekerja menyeka kaca mobilnya yang terkena tetesan air. Waktu memang baru saja menunjukkan pukul tujuh, dia yakin kafe Tania belum tutup jika dia segera melesat ke sana.  Hujan tiba-tiba melebat tepat saat Reza sampai di depan kafe Tania. Kemudian dia berlari usai turun dari mobil. Setelah itu dia duduk dan meminta Gea untuk memanggilkan Tania karena dia ingin bertemu wanita itu.  Tak berapa lama Tania datang, sialnya wanita itu selalu menempel pada pacar berandalnya. Kenapa Tania harus menjatuhkan pilihan pada Delon? Reza memang sepertinya tak pantas bersaing dengan pria itu, karena mungkin saja Delon memiliki apa yang tidak dia miliki.  Jantungnya mencelus saat sepasang matanya bersirobok dengan kedua mata Tania. “Aku mau minta maaf,” ucap Reza.  Tania tercenung sembari merangkul lengan pacarnya. Reza dapat melihat pegangan tangan Tania menguat di permukaan lengan Delon. Kenapa Reza merasa Tania terlalu berlebihan setiap melihatnya. Reza bukan seorang mafia yang harus wanita itu takuti, dia memang salah karena sempat menjadikan Tania umpan untuk bisa menangkap Mami Inne beberapa waktu lalu, tapi seharusnya Tania menerima maafnya.  Tania dan Delon kemudian duduk di depannya. Sebenarnya Reza ingin ini menjadi obrolan empat mata antara dirinya dan Tania. Namun, sejak kemarin Tania tak memberinya ruang dan terus saja melibatkan Delon. Dan sampai saat ini, wanita itu masih terdiam dan belum menerima permintaan maaf Reza.  Reza menarik napas, dia kemudian membasahi tenggorokannya lalu berujar, “Tan, aku ikut bahagia, kalau kamu bahagia dengan pilihanmu. Awalnya memang aku hanya ingin menjalani amanat itu. Tapi nyatanya itu malah semakin melukai kamu.” Lagi-lagi Tania bergeming, entah harus dengan cara apa agar wanita itu mau menanggapi perkataannya, jauh-jauh dia datang ke tempat ini hanya untuk mencoba mencairkan balok es yang sempat longsor dari Alaska itu. Namun, semua sia-sia, sepertinya Tania akan tetap bersikap dingin padanya. Reza kembali menarik napas, kali ini lebih dalam, sehingga embusannya terasa lebih panjang. Oh Tuhan, sungguh dia seperti sedang dipermalukan di sini, bahkan Delon pun tak mengucapkan sepatah katapun untuk mengakui kehadirannya di sini dan hanya tampak mengusap punggung tangan Tania yang masih merangkul tangannya dengan erat.  “Dan aku minta maaf karena telah melibatkanmu dengan tugas yang sedang kuselidiki.” Reza menggaruk tengkuk lehernya. Tania benar-benar tak menanggapi semua yang dia katakan. “Tan, ini sudah dua kali 365 hari. Hati kamu sudah benar-benar sembuh, dan itu bukan karena aku, tapi karena Delon.”  Tania benar-benar bungkam, bahkan dia tak menatap Reza sama sekali, dia menyadari kalau wajahnya ini selalu mengingatkan Tania pada mendiang Rega, tapi andai Tania tahu Reza juga tak ingin terlahir seperti ini jika pada akhirnya dia harus terasingkan di hidupnya sendiri.  “Aku kagum, kamu bisa mengatakan semua itu pada mama sama papa. Karena itu juga menentukan jalanku ke depannya.” Seketika Tania mengangkat wajahnya dan berujar, “Maksudnya?” Entah kenapa jantung Reza malah mencelus, harusnya dia senang mendengar Tania berbicara, meski hanya satu kata.  “Kamu ‘kan tahu sejak awal aku nggak pernah mau menjalani amanat itu, hanya saja saat kamu diculik, aku merasa perlu menjaga kamu. Aku juga tidak ingin hidup dengan orang yang tak bisa bangkit dari masa lalunya. Aku bukan orang yang bisa sabar. Kamu tahu itu.” Reza terdiam sejenak, menunggu reaksi Tania, nyatanya perempuan itu kembali diam. Terpaksa dia harus melanjutkan kalimatnya, “Meski aku juga mencintai kamu.” Reza memberi jeda. “Seandainya bisa, aku tidak ingin dipertemukan dengan cara seperti ini.”  Tania kembali tertunduk. Di kafe ini hanya ada Reza sebagai pengunjung, mungkin seharusnya kafe sudah tutup. Namun, karena hujan semakin lebat, terpaksa mereka menundanya.  Diamnya Tania malah membuat Reza menjadi gugup, tak pernah dia merasa  menjadi sebodoh ini.  “Dri, Andri,” panggil Delon pada pelayannya.  “Iya, Kak.” Pelayan itu berlari dan mendekat ke arah majikannya.  Gigi Delon menguat. “Bikinin kopi item.” urat lehernya ikut tertarik. Reza sampai mengernyit melihatnya. “Baik, Kak.” “Eh tunggu.” Delon menahan tangannya di udara. “Siapa tahu pak Polisi juga mau kopi.”  Reza menoleh. “Tidak, terima kasih,” ucapnya pelan. Andai di luar tak terjadi hujan lebat, andai dia tidak datang hari ini, atau tak usah berpamitan saja sekalian, mungkin dia tidak akan kehilangan mukanya di sini.  “Ya udah.” Delon mengibaskan tangan pada Andri. Yang langsung dibalas anggukan oleh barista itu.  Tak berapa lama, Andri datang meletakkan kopinya di atas meja. Namun, Delon tak membiarkan barista itu pergi dan malah memintanya untuk ikut bergabung dengan mereka. Reza hanya bisa menghela napas kehadirannya memang tidak diinginkan.  “Duduk sini, Ndri.” Delon mendorong kursi dengan kakinya.  Andri mengernyit. “Lah, kenapa saya harus ikutan?”  “Biar kamu temenin saya jadi obat nyamuk,” ucap Delon usai menyeruput kopinya.  Andri pun menuruti perintah majikannya. Kaki Delon kemudian diluruskan ke samping. Dia lalu tertunduk sembari mengurut pelipisnya. “Lama banget anjir.” Suara Andri tiba-tiba pecah begitu saja, entah dibagian mana yang lucu, yang jelas Reza malah merasa pria itu tengah menertawakan dirinya. “Jangan ketawa, Andri!” pekik Delon.  Sebenarnya Reza memperhatikan tingkah Delon sejak tadi. Dia juga melihat bagaimana Tania menahan agar Delon tidak pergi darinya. Reza kemudian menarik napas. “Kalau gitu saya permisi.” Dia lalu bangkit dari duduknya. “Minggu depan saya juga akan pergi ke Kalimantan. Karena dapat tugas di sana.” Delon menghela napas. Hatinya bersorak riang, karena akhirnya Reza pergi juga dari kafenya. “Hati-hati, Pak. Selamat bertugas,” ucap Delon seraya bangkit dan mengulurkan tangannya pada Reza. Reza mengangguk dan menjabat tangan pria itu. “Tolong jaga Tania.”  “Tak perlu diminta, Pak. Itu adalah tugas saya,” jawab Delon lantang.  Tania menatap Reza. “Hati-hati.” Dia memberi jeda. “Semoga mendapat yang terbaik.” Wanita itu kemudian meraih jabatan tangan Reza.  Hati Reza sempat menghangat mendengar ucapan Tania. Namun kalimat itu tidak dapat menahannya untuk tetap di sini. Mungkin, memang seharusnya dia pergi, terbukti semua orang yang ada di sini bahagia dengan keputusannya terutama Tania. Akhirnya Reza pun mengangguk usai melepaskan jabatan tangannya. Dia kemudian melenggang pergi ke luar dari kafe meski hujan masih lebat.  Di dalam mobil dia merenung. Tak pantas dia berharap pada Tania, seseorang yang menyimpan hati hanya untuk kakaknya saja, andai amanat kakaknya itu tidak tercetus diujung mautnya, mungkin dia sudah hidup tenang sejak dulu dan tak perlu terlibat dengan perasaan bod*hnya terhadap Tania.  Reza masih ingat bagaimana Rega meregang nyawa di atas pelukannya, padahal dia pulang untuk melihat saudara kembarnya itu bahagia, bukan malah berubah menjadi duka cita yang mendalam akibat tembakan yang Rega dapatkan hingga merenggut nyawanya. Sejak saat itu Reza mengutuk siapapun yang telah membuat kakaknya tiada.  Mobil terus melaju menerobos derasnya hujan, sementara sang pengendara memiliki kekusutan pikiran yang tengah dia urai satu-persatu.  Reza menghela napas, pandangannya lurus ke depan. Lampu-lampu dari para pengendara mobil lain memberi terang pada jalan yang basah itu.  Tuhan, pria itu tidak sedang berputus asa, dia hanya sedang berharap semoga dengan dia memutuskan pergi, dia bisa menemukan hidup barunya yang lebih layak dari ini.  *** Pram Gunadi mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kafe, tak biasanya seorang Jenderal menunggu kedatangan bawahannya. Namun, dia cukup tenang karena kini seorang perempuan bergaun merah dengan lengan satu perempat itu berjalan ke arahnya.  “Hai, Pi.” Gadis itu meraih tangan Pram Gunadi dan mengecupnya. “Nggak biasanya Papi ngajak ketemu di sini, biasanya kalau ada hal penting, Papi ngobrol di rumah aja,” imbuhnya sembari mengedarkan pandangan, lalu mendaratkan bo*kongnya di kursi yang tersedia di sana.  “Iya, ini soal--” “Selamat sore, Pak, maaf saya terlambat,” ucap Reza memangkas kalimat Pram Gunadi yang hendak disampaikan pada gadis berbaju merah marun dengan rambut hitam bergelombang itu. Pram Gunadi mengusap tengkuk lehernya sendiri. “Iya, nggak apa-apa, silakan duduk.” Reza mengangguk dan duduk di sebelah wanita yang sedang memesan minuman pada pelayan kafe tersebut.  “Kenalkan ini putri tunggal saya, Melissa Tatiana Gunadi, dia Dokter,” tutur Pram. Melissa menoleh dan menatap pria yang tengah tersenyum menatapnya sembari mengulurkan tangan. “Reza.” “Melissa,” ucap wanita 25 tahun itu sembari meraih tangan Reza sekilas. “Mel, perlu kamu tahu, Reza ini merupakan Ajun Komisaris Polisi, umurnya tiga puluh tahun dan dia akan menjaga kamu selama bertugas di sana.” Jantung Reza berdegup. Sementara kening Melissa mengerut “Maksud Papi? Kenapa harus dijagain? Ini tugas kedua aku ke pelosok, Papi nggak perlu berlebihan,” rajuk Melissa. “Mel, dengerin Papi.” Pram Gunadi meraih tangan anaknya. “Papi percaya kamu bisa menjaga diri kamu dengan baik, tapi perasaan papi nggak enak, apalagi setelah papi dengar kalau tempat kamu bertugas ini menjadi tempat melarikan diri para buronan.” Jantung Melissa mencelus. “Mel janji, Pi, semua akan baik-baik aja.” “Nggak, atau kamu nggak boleh pergi sama sekali,” tegas Pram Gunadi.  Melissa menoleh pada Reza dan menatap pria itu dari atas ke bawah. “Papi yakin, aku aman dari dia?” ucapnya sembari menoleh pada ayahnya.  Reza belum bersuara, dia malah tampak salah tingkah dengan tatapan Melissa terhadapnya.  “Kamu tenang aja, dia pria yang baik dan bertanggung jawab,” tutur Pram. “Kenapa begitu yakin?” Sebelah alis Melissa terangkat. Pram menoleh dan menatap Reza. “Za, kamu bisa, ‘kan, jaga anak saya segenap jiwa dan raga? Kamu harus janji tidak akan membiarkannya terluka sedikitpun.” “Siap laksanakan,” jawab Reza lantang.  “Kamu dengar?” Jantung Melissa malah mencelus, dia masih menganggap keputusan ayahnya itu terlalu berlebihan.  “Kalian akan tinggal satu rumah dan berperan sebagai suami istri.” “Apa?” ucap Reza dan Melissa bersamaan. Putri tunggal Pram Gunadi memang cantik, tapi Reza tidak ingin mengulang kesalahan yang sama dengan menikahi perempuan yang sama sekali tidak dia kenal. Melissa mendelik pada Reza, dia akui pria yang kini duduk di sebelahnya itu tampak tampan. Namun, dia tidak ingin mengakhiri masa lajangnya dengan pria yang baru saja dia temui. “Aku nggak mau,” dengkus Melissa.  Pram Gunadi menghela napas, sepertinya dia salah menyampaikan, mungkin kedua manusia ini sulit memahami maksud dari perkataannya. “Berperan, Mel, hanya pura-pura, itu hanya untuk memastikan kalau setiap malam kamu ada yang menjaga,” tutur Pram.  Melissa menghela napas sembari menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi. “Astaga!” “Kalian nggak harus sekamar, ngerti nggak, Mel? Maksud Papi tuh, agar kamu aman. Reza juga akan mengantar kamu ke manapun kamu pergi.” “Nggak. Aku nggak mau,” kukuh Melissa, kedua tangannya dilipat dibawah d**a. “Aku jadi nggak bebas buat bersosialisasi di sana, Pi.” Pram menggelengkan kepala. “Papi mohon, Mel, ini untuk kebaikan kamu, papi nggak mau sesuatu terjadi sama kamu.” “Nggak akan terjadi apapun, Pi,” ucap Melissa dengan tenang seraya melepaskan lipatan tangannya.  Pram menghela napas. “Papi percaya nggak akan terjadi apapun sama kamu, tapi ini untuk memastikan aja, lagi pula di sana nggak ada sinyal, papi pasti kesulitan hubungi kamu.” “Terus apa dengan ada dia di sana, Papi jadi bisa hubungin aku?” Kedua alis Melissa terangkat. “Nggak, ‘kan?” “Papi mohon, biar papi di sini tenang, Mel. Satu tahun cukup lama, kalau ada orang papi di sana mungkin itu sedikit lebih baik.” Melissa menghela napas. Dia kembali melirik Reza yang tampak kaku dan hanya tertunduk. Mungkin memang pria itu bisa mempertanggung jawabkan ucapannya.  Reza memang tak bisa menolak, lagipula dia sudah menerima tugas Pram Gunadi apapun resikonya. Namun, bisakah dia mengemban tugas ini? Mungkin menjaga Putri Jenderal bisa saja lebih sulit dari memecahkan kasus.  “Mel, buronan ini berbahaya, mereka sudah dicari sejak dua bulan terakhir.” Melissa mengambil cangkir kopi dan menyeruputnya. Ah semoga ini bisa sedikit menenangkan perasaan dongkolnya.  “Mereka adalah pembunuh bayaran,” sambung Pram. Sementara Reza masih tertunduk, dia sempat mendengar tentang buronan itu. Namun, dia tidak tahu kalau tugasnya di sana adalah untuk menjaga Melissa, bukan untuk menjadi umpan seperti sebelumnya.  Melissa tercenung. Dia kemudian melipat bibir dan kembali menatap ayahnya. “Oke, nggak masalah.” Wajah Reza terangkat dan pandangan matanya bersirobok dengan sepasang mata indah Melissa. Namun, sang pemilik mata itu tampak tak senang, hingga dia mendelik dan membuang muka darinya. Sialnya jantung Reza mencelus dan dia langsung merutuki reaksi dibalik dadanya yang berlebihan, entah apakah ini karena dia merasa telah dibekukan oleh wanita cantik itu. “Gimana, Za? Apa kamu siap?” Reza menarik napas dan mengangguk. “Siap laksanakan, Pak.”  “Tunggu.” Melissa mengacungkan telapak tangannya. “Papi yakin, ini nggak akan ketahuan, kalau ketahuan, aku bisa dipecat, Pi. Ini bahaya buat karir aku.” “Kamu tenang, Papi sudah bilang ini sama atasan kamu dan mereka tidak masalah.” “Apa?” Lagi-lagi kening Melissa mengerut setiap dia terkejut, Reza sampai gemetar dibuatnya. “Jadi, Papi udah rencanain ini?” “Iyalah, sejak papi dengar kamu mau tugas ke Kalimantan Barat, papi langsung cari info bagaimana di sana, baik apa tidak.” Melissa menurunkan bahu dan menghela napas. Ayahnya itu memang over protektif, pria itu bahkan belum percaya setiap dia jalan dengan Ibram, pacarnya. Pram menyodorkan dua buah cincin dalam sebuah kotak. “Ini apa lagi?”  “Ya, Papi, ‘kan nggak mungkin memalsukan surat pernikahan kalian karena itu sama aja mempermainkan negara. Jadi, papi beli cincin bohongan.” Melissa menepuk keningnya sendiri. Hal itu membuat Pram tertawa. “Kalau kalian mau menikah betulan, papi malah senang,” goda Pram.  Melissa yang masih tertunduk dengan telapak tangan yang masih menempel di dahi itu pun segera menggelengkan kepala. Guyonan Pram sama sekali tidak lucu. Reza pun merasakan hal yang sama dengan Melissa, dia tidak akan mengulangi kesalahan bodoh itu lagi. *** Reza berdiri di depan pintu kamar ibunya. Ketukan ketiga tak membuat ibunya ke luar dari kamar, kenapa Ranti harus bersikap seperti anak kecil?  “Ma, meski Mama bersikap seperti ini, Reza akan tetap pergi.” Reza menunggu tanggapan ibunya. Namun, dari dalam kamar masih tampak hening. “Ma, Za mohon, Ma. Kenapa Mama harus bersikap seperti ini?”  Lagi-lagi Ranti mengabaikannya. Hingga dia memutuskan untuk pergi dari depan kamar ibunya. Kenapa dia merasa sejak kemarin semua orang mengabaikannya. Reza membanting pintu dan merebahkan tubuhnya di ranjang. Dia menatap cincin dari Pram Gunadi yang melingkar di jari manisnya, dia kemudian melepas dan memasukkannya ke dalam laci.  Tiba-tiba dia termenung dengan apa yang terjadi sejak dia memutuskan kembali dan menetap di tanah kelahirannya ini, kalau Rega masih ada tentu dia akan tetap di sana, di Swedia bersama makam kakek dan neneknya. Reza hanya selalu merasa semua orang tak menginginkan kehadirannya.  Suara ketukan di daun pintu membuatnya terkesiap, dia kemudian bangkit dan berjalan ke dekat pintu. Saat pintu terbuka, dia tercenung menatap ibunya yang tengah berdiri di depannya dengan wajah sedih. “Mama minta maaf,” ucap Ranti sembari merengkuh dan memeluk anaknya. “Seharusnya mama nggak bersikap seperti kemarin, mama minta maaf.” Reza meraih tangan ibunya yang kini berada di kedua pipinya, dia kemudian mengangguk.  “Mama harap kamu membatalkan kepergian kamu.” “Kenapa?” “Mama mau kenalkan kamu ke anak teman mama, namanya Shafiya, dia cantik.” Reza menghela napas. “Untuk saat ini, mmm ….” Dia kemudian menggelengkan kepala.  “Please.”  Reza kembali menggengkan kepala.  “Mama udah janji sama teman Mama. Mau ya, kenalan aja dulu,” bujuk Ranti.  “Tapi, mama izinin aku pergi, ‘kan?”  Ranti menarik napas, kemudian mengangguk. “Mama harap di sana kamu mau mengirim kabar pada Shafiya. Agar perkenalan kalian berlanjut, mama harap kamu cocok sama dia.”  Reza menghela napas. Entah kenapa ibunya terlalu mendesak soal ini. Apa dia tidak percaya kalau Reza bisa mencari jodohnya sendiri?  “Mau, ya?” Ranti menunggu persetujuan anak bujangnya. “Buat mama.” Ingin Reza katakan tidak. Bukan karena hatinya dibawa lari Tania, tapi karena dia belum mau menjalin hubungan dengan wanita manapun.   “Kenalan doang, ya.” Ranti masih berusaha membujuk anaknya.    Reza memang orang yang tak bisa menolak keinginan orang lain terutama orang yang dia sayang, itulah sebabnya dia bertahan cukup lama menunggu Tania, itu semua karena permintaan ibunya. Dia sampai melupakan apa yang sebenarnya dia inginkan. 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.0K
bc

My Secret Little Wife

read
97.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.2K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook