Prolog
Kendrick tidak tahu harus berbuat apa ketika melihat orang yang tidak berdosa bersimbah darah karena luka tembak di dadanya.
"Tidak Ken, tidak!" bisikan suara Aji mulai terdengar putus asa di tengah kesunyian malam menjelang pagi.
"Diam!" bentak Kendrick.
Darah membanjiri lantai yang terbuat dari ubin di latar masjid sebagian menyiprat ke lantai keramik putih. Pria tidak bersalah itu tergeletak di hadapannya. Kemeja putihnya sebagian kini berwarna merah akibat terkena darah yang mengalir dari luka tembak di dadanya.
"Bagaimana Ken?" tanya Aji, anak muda yang ikut bersamanya. Kendrick berlutut di atas sebelah kaki dan tangannya menekan kuat kulit leher pria itu dengan gemetar. Dia menggelengkan kepalanya tatkala tahu denyut jantungnya sudah tidak berdetak lagi.
Mata pria yang tewas itu terbuka lebar menatap kosong ke atas langit. Kendrick lalu menutup mata itu.
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun," ucapnya lirih. Tubuh Aji terhuyung ke belakang seketika. Dia terlihat syok melihat kejadian itu.
Aji menarik rambut dengan kedua tangan ke belakang.
"Sial! Kita bahkan belum menemukan petunjuk sama sekali dan kini malah pria ini yang jadi korbannya," geram anak muda itu.
Kendrick menghembuskan napas kasar. Giginya mulai beradu dan matanya memerah melihat korbannya.
Tidak ada akhir yang baik. Astaga, bahkan pria alim tidak bersalah ini telah meninggal karena masalah ini. Dosa besar apalagi yang akan ditanggungnya.
Penyesalan, kebencian terhadap diri sendiri dan perasaan kalah berdenyut dalam pembuluh-pembuluh darahnya, yang mengingatkannya bahwa apa yang dia mulai tidak akan berakhir dengan baik.
Dia memandang jauh ke dalam masjid itu, melihat tempat pengimaman yang ada dan di sebelahnya ada mimbar tempat orang mulai berkhotbah. Ingatannya kembali pada kejadian dahuluz tatkala ayahnya masih hidup dan suka mengajak dia ke masjid, lalu memaksanya untuk adzan.
Kerinduan akan panggilan Tuhan untuk beribadah membuat napasnya sesak dan dadanya terasa penuh, tatkala melihat sebuah sajadah digelar di tengah-tengah masjid. Terlalu lama dia meninggalkan Tuhan. Mungkin Tuhan sudah enggan untuk melihatnya.
Pria di bawahnya ini mungkin akan melakukan ibadah, namun mendengar keributan dia langsung keluar, tidak tahu jika hal itu menjadi sebab kematiannya.
Ken menengadahkan kepalanya ke atas memandang langit dan bintang-bintang yang bersinar terang.
''Ya, Tuhan! Ampunilah dosa pria ini." Kendrick berdoa dengan sepenuh hati.
Namun, sepertinya Tuhan tidak akan memberinya ampun atas dosa yang dilakukannya kali ini.
"Bagaimana? Apakah kau sudah menemukan di mana flashdisk itu jatuh?" tanya Kendrick pada Aji. Lalu Aji menggelengkan kepalanya.
Nampak dari kejauhan terlihat cahaya lampu-lampu senter yang bergerak. Mulai terdengar riuh dan menggema suara orang-orang yang berteriak dengan penuh kemarahan.
"Pergilah sebelum orang-orang itu melihatmu," bisik Ken dengan nada mendesak, gugup dan panik. Bukan panik atau khawatir akan keadaannya, namun dia panik karena Aji adalah remaja yang tidak bersalah dan sedang mencoba membantu dirinya.
"Kau akan mati dihakimi oleh massa," ujar Aji berdiri dengan raut kecemasan dan ketakutan yang terlihat jelas, kedua kakinya bergetar. Tubuhnya membeku melihat bayangan- bayangan yang bergerak maju dan suara mereka terdengar mulai mendekat.
"Jika aku mati nanti, setidaknya ada salah satu di antara kita yang masih hidup." Lalu mata tajam Ken mulai menyisir tempat itu.
"Larilah ke arah sana lalu naik melalui pohon itu dan lompati pagar itu!" tunjuk Ken pada pohon yang berdiri tegak di belakang masjid. Aji masih tidak bergeming melihat Ken.
"Cepat bodoh!" ujar Ken lagi sembari mendorong keras Aji untuk bersembunyi dari orang-orang itu sejauh mungkin.
Aji bergerak dengan kedua mata yang melihat ke belakang. Dia lalu berlari cepat ke arah belakang masjid dan naik ke pohon lalu melompati pagar.
Kendrick menarik napas lega setelah melihat Aji tidak terlihat lagi. Dia lalu bergerak maju ke depan gerbang agar orang-orang itu fokus melihat dirinya bukan Aji sembari mengangkat-mengangkat tangannya ke atas tepat, ketika warga mulai membuka pintu gerbang masjid lebar dan merangsek masuk.
Sorot beberapa senter membuat matanya buta untuk sejenak. Dia menyipitkan mata dan penglihatannya mulai menyesuaikan diri sehingga bisa melihat aura kemarahan dan wajah suram dari semua orang.
Dia telah bersiap untuk mati dipukuli kali ini. Mungkin neraka juga sudah menunggunya sembari tersenyum menyambut kedatangannya.
Mereka menghentikan gerakannya ketika melihat pistol masih berada di tangan Kendrick. Lalu pandangan mata mereka tertuju pada sosok pria bersimbah darah di depan latar masjid.
"Masya Allah, Ustadz Yusuf," semua orang menjerit keras, sebagian menangis, dan sebagian lagi berteriak marah, wajah mereka menggelap seakan ingin memakan Kendrick hidup-hidup. Sebagian berlari untuk melihat keadaan Ustadz Yusuf.
"Kita bunuh saja pria itu," ujar salah seorang dengan wajah memerah karena marah sambil memegang sebilah golok tajam dan diayunkan ke hadapan Kendrick.
"Tenang, kalian lihat dia sudah menyerahkan diri dan tidak kabur. Lebih baik kita menyerahkan masalah ini pada pihak berwajib!" ujar seseorang yang lebih tua dan sepertinya dia adalah tetua di kampung ini, terlihat dari gerakan mereka yang langsung terdiam ketika pria itu berbicara.
Mereka melihat sebuah pistol masih menggantung di jari telunjuk Kendrick itu menjadikan keyakinan mereka menguat jika Kendrick adalah pelakunya.
"Kau, mengapa kau tega membunuh orang ini?" ujar seorang pria berkaos merah, berapi-api sembari menggerakkan kayu balok kayu panjang. Hendak melayangkan kayu itu ke arah Ken. Namun, tangan pria tua itu mencegahnya.
Tidak lama kemudian nampak seorang wanita berpakaian daster sederhana dengan kerudung jilbab yang berwarna putih berlari ke arah depan menembus kerumunan, mereka yang melihatnya langsung memberi jalan.
"Suamiku..." Raung wanita itu menangis sedih. Dia langsung mendekati jenazah suaminya yang terbujur kaku. Wanita itu langsung mendekapnya erat tidak peduli darah mengenai kerudung putihnya.
Terdengar raungan kesedihan yang menyayat hati dari wanita itu. Hati Kendrick ikut merasakan sakitnya. Dia hanya bisa menatap nanar memandang itu semua.
Beberapa orang mengamankan tubuh tinggi dan besar milik Kendrick, sembari melayangkan tatapan kebencian. Berbagai sumpah serapah melayang ke arahnya. Tetapi pria itu tetap diam tidak membela diri.
Tiba-tiba istri dari korbannya itu mendekati Kendrick dia mengambil kayu dari tangan seseorang dan memukul Kendrick dengan keras. Wajahnya penuh dengan air mata dan tatapan kebencian terarah tajam kepadanya yang terasa menusuk ke dalam dadanya.
Semua terdiam tidak ada yang berani mencegah. Kendrick pun tidak melawan sama sekali.
"Apa salah suamiku, kenapa kau tega membunuhnya!" murka wanita itu sembari memukul kayu itu lagi ke tubuh Kendrick berkali-kali tanpa rasa ampun seperti orang kesetanan. Kendrick memegang lengan wanita itu dengan salah satu tangannya, lalu sebuah pukulan keras mengenai kepalanya dan membuat darah mengalir keluar.
"Hentikan! Kau bisa membunuhnya dan masuk ke penjara!" ujar pria tua itu lagi mengambil kayu dari tangan istri korban.
Kendrick terjatuh dalam posisi merangkak, menahan kesakitan dan tarikan ketidaksadaran yang kuat. Ya, tepat sebelum kegelapan merenggutnya. Tidak terdengar lagi riuh suara orang di kepalanya. Jiwanya telah mati lama, kini mungkin kematian lain akan memanggilnya untuk datang.
Kendrick sedang dalam misi untuk membalas dendam atas kematian rekan-rekan sejawatnya. Dia bagaikan sudah mati tatkala menggali jawaban jawaban atas pertanyaan yang orang lain tidak ingin mengetahuinya.
Yang tidak dia ketahui adalah besarnya kekacauan yang telah dia buat dan yang paling dia sesali serta tidak diinginkannya adalah melihat pria alim itu mati.
Bersambung...