Tak henti aku menciumi perut istriku Pelangi. Aku begitu bahagia saat dokter mengatakan bahwa Pelangi hamil. Ya ! Dia kembali hamil anakku. Darah dagingku. Setelah Cilla, kini Pelangi akan memberi lagi aku keturunan. Aku berjanji pada diriku sendiri bahkan aku akan selalu memanjakannya, akan selalu mendampinginya, aku tidak akan lagi menyia-nyiakannya seperti dulu. Aku akan mengganti kesakitan yang dulu pernah aku berikan padanya dengan 100x kebahagiaan baik itu berupa materi dan cinta untuknya.
"Udah ah, geli tau." Ucapnya manja, dan sungguh itu membuatku semakin jatuh cinta kepadanya.
"Biarin. Aku bahagia banget kamu hamil lagi." Ucapku sambil terus menciumi perutnya .
"Iya tapi geli yah akunya." Ucapnya manja lagi, dan kali ini sungguh aku tidak bisa menahan nafsuku untuk menciumnya.
Kutidurkan dia dibawahku, kuciumi bibirnya hingga dia memukul-mukul d**a bidangku. Aku tau mungkin dia hampir kehabisan nafas karena seranganganku yang tak terduga. Tapi aku sungguh benar-benar merasakan candu yang mendalam pada Pelangi. Setelah ijab qabul kembali kami lakukan, aku tak bisa menahan diriku untuk tak menidurinya. Sehari tak menyentuhnya aku merasakan uring-uringan, bekerjapun aku tak bisa konsentrasi jika aku tak mengeluarkan hasratku dulu pada Pelangi. Tubuh mungil Pelangi memang berbeda dari tubuh seksi bulan yang tinggi semampai, tapi itulah yang membuatku ketagihan untuk selalu meniduri Pelangi.
Tok tok tok !!!!
"Pelangi !" Ash sial ! Disaat aku sedang tinggi-tingginya mamaku mengetuk pintu kamar kami.
"Ya mama ?" Jawab Pelangi sambil mendorongku ke kasur.
Dia mencubit perutku gemas sambil tersenyum tak lupa membenarkan kancing bajunya yang sempat kulepas tadi untuk memilin putingnya .
"Ada apa ma ?" Jawab Pelangi sambil membuka pintu kamar kami menemui mamaku di depan pintu.
Sejak kami kembali rujuk memang aku membawa Pelangi tinggal di rumahku. Rencananya aku ingin membawanya ke rumah kami yang di Sukoharjo. Rumah yang memang khusus kubuat untuknya. Tp orangtuaku menahan kami. Kata mereka, mereka ingin bersama dengan kami terlebih dahulu, mereka ingin menikmati masa-masa bahagia bersama cucu mereka Cilla dulu. Awalnya aku sedikit keberatan karena aku ingin merasakan indahnya bulan madu berdua dengan Pelangi. Tapi karena desakan Pelangi akupun menurutinya.
"Kenapa mah?" Tanyaku begitu Pelangi kembali masuk kamar.
"Mama ngasih tau kalau mau ngajak Cilla jalan-jalan ke mall sama papa dan kakak."
"Udah berangkat belum ?"
"Udah kayaknya, tadi udah pada siap-siap gitu sih. Kenapa ?"
Otak mesumku kembali muncul. Apalagi suasana memang sedang sepi, hanya ada aku, Pelangi dan pembantu di luar kamar. Entah kenapa aku ingin bermain panas dengan Pelangi. Apalagi kejantananku juga masih sedang tinggi-tingginya.
"Mau melanjutkan yang tadi sempat tertunda sayang." Ucapku sambil berdiri dan menggendong tubuh mungil Pelangi diatas kasur.
"Udah ah, masih sore. Aku mau mandi dulu. Gak enak sama mama papa udah dibantuin jaga Cilla kita belum bersih-bersih."
"Gak pa-pa, sore-sore panas juga seru."
"Engg ....... " Aku sedang tidak ingin mendengar penolakan dari Pelangi. Sebelum dia berbicara lagi untuk menolak keinginanku yang semakin membara aku langsung mencium bibirnya, menyusuri giginya dan masuk mulut Pelangi hingga saliva kami saling bertukar. Kulumat dalam bibirnya hingga sesekali menggigitnya, jika sudah begitu dia pasti memukul punggungku.
Payudara Pelangi memang kecil jika dibanding dengan p******a Bulan yang padat berisi. b****g Pelangi juga tidak sesintal b****g Bulan, tapi soal sempitnya, tentu Pelangi lebih menggigit. Meskipun dia melahirkan secara normal, tidak sekalipun kurasakan ada yang melonggar dari miliknya. Bulan memang liar dalam bercinta, hingga membuatku bisa bertempur dengannya 5 ronde setiap malam. Tapi Pelangi dia lebih bisa membuatku menggeliat tak tertahankan hingga 7 ronde setiap malam. Tentu saja karena tubuhnya yang mungil sehingga bisa ku angkat sesuka hatiku.
Perempuan yang dulu begitu kubenci, perempuan kampung yang bahkan tak sudi kusentuh dulu, kini telah membuatku cinta mati kepadanya. Masih teringat saat dulu pertama aku menyentuhnya. Sungguh tidak ada niatan sekali waktu itu. Jika bukan karena aku melihatnya keluar dari kamar mandi sambil telanjang tentu aku tak akan menyentuhnya. Laki-laki mana coba yang tak pusing jika melihat pemandangan yang luar biasa. p******a kecil mungil milik Pelangi, p****g berwarna merah muda dan kewanitannya yang tertutup rambut tipis terpampang nyata di depan mataku. Sudah coba kutepis. Tapi kepalaku masih pusing hingga malam, karena kejantananku terus meronta-ronta untuk dinikmati. Aku tak bisa menahannya, apalagi malam itu kami harus tidur berdua, bayangan kemolekan tubuh Pelangi masih berputar di otakku. Dan mau tidak mau aku harus melampiaskannya. Kucium bibirnya, kulumat dalam, kucium leher dan kupilin putingnya, dia mendesah membuat kejantananku semakin ingin meloncat, tapi sayangnya dia menyebut nama Bulan, istriku yang satunya. Istri yang sangat aku cintai. Aku sudah berjanji padanya untuk tidak menyentuh Pelangi meskipun kadang sesekali dia memintaku melakukannya.
Mendengar nama Bulan, kejantananku langsung meliuk. Dia meringkuk takut. Akhirnya kutinggalkan Pelangi sendiri ke kamar mandi. Segera kutelepon Bulan untuk menetralkan kembali pikiranku dari bayangan tubuh Pelangi.
****
Jika bukan karena perjodohan itu, aku tak akan mungkin berpoligami. Menikahi Pelangi dan Bulan dalam jangka waktu yang hampir bersamaan. Hari-hari yang aku lalui dengan Bulan tidak bisa dibilang cepat. 4 tahun kami bersama, melewati suka dan duka, merintis usaha bersama-sama membangun cita-cita berdua tentu tidak semudah itu untuk dipisahkan. Apalagi rencana pernikahan kami yang sesungguhnya telah terjadi. Kedua belah pihak keluarga yang sudah saling mengenal satu sama lain, sampai pada akhirnya papaku membatalkan semuanya dan menikahkanku dengan Pelangi. Gadis kampung tak berpendidikan menurutku.
Bertemu dengannya saat pertama kali aku merasakan kebencian yang luar biasa. Aku ingin memberinya pelajaran karena dia telah menerima perjodohan ini. Sebagai anak yang berbakti aku tak berani menentang keinginan orang tuaku. Meskipun pada akhirnya aku membohongi mereka, aku menikahi Bulan selang beberapa hari setelah pernikahanku dengan Pelangi.
Kusiksa jiwa dan raga Pelangi di rumahku. Rumah yang seharusnya menjadi tempat tinggalku dengan Bulan. Sungguh melihat wajah polos Pelangi semakin membuatku muak. Melihatnya amarahku selalu memuncak, bahkan tak segan aku ingin memukulnya jika dia berani menentang apa kataku. Jika bukan karena Bulan tak sudi aku tidur sekamar dengan Pelangi. Aku sungguh tak menyangka jika Bulan sesayang itu pada Pelangi dia bilang Pelangi sudah dianggapnya sebagai adik sendiri, jadi Bulan ingin aku juga berlaku adil pada Pelangi. Tentu tidak semudah itu. Aku tidak bisa memperlakukan Pelangi seperti aku memperlakukan Bulan. Apalagi jika itu berkaitan dengan hubungan seksual. Buatku aku tidak bisa menyentuh sembarangan orang jika aku tak memiliki perasaan padanya. Dan saat itu hanya Bulanlah yang mampu memenuhi kebutuhan seks.ku.