Bab 9. Ada Udang Dibalik Batu

1046 Words
Sedari tadi, Kinar menunggu saat-saat kapan dia akan disuruh untuk memulai pekerjaannya. Ia disuruh untuk jangan keluar dari kamar itu sebab Zidan memiliki urusan penting lainnya, namun sudah sangat lama Zidan tidak kembali juga. Padahal, tidak bisa dipungkiri kalau Kinar juga merasakan kelaparan. Apakah pria itu tidak memikirkan nasib Kinar sedikitpun? Bagaimana kalau Kinar mati kelaparan di kamarnya bahkan sebelum Waktunya? Sangat mengherankan. "Tahan, Kinar." Katanya sedari tadi. Kinar terus berjalan bolak-balik, memegang perutnya. Janji kata 'sebentar' yang Zidan katakan, nyatanya tidak mampu membuat Kinar menunggu dengan sabar. Dia manusia biasa, punya batasan tolerir yang tidak bisa dipikirkan secara logika lagi. "Astaga... Aku tidak bisa seperti ini. Setidaknya ada air yang masuk ke tenggorokan ku." Kinar mencari-cari letak kamar mandi yang ada di kamar itu. Kamar yang luas, terlalu banyak bagian yang tidak berarti hingga akhirnya ia mengetahui letak tempat yang dicarinya setelah ia sudah cukup lelah dan muak mencari-cari. "Oke, tidak apa, Kinar. Kamu hanya belum makan beberapa jam, bukan berhari-hari. Sementara Zidan datang, minum air pun tak apa untuk mengganjal perutmu, daripada tidak sama sekali. Lagipula, Zidan juga tidak mungkin membiarkan aku kelaparan. Kalaupun begitu, sama saja artinya dengan membunuhku," gumamnya, kemudian membuka kamar mandi. Untuk sesaat, Kinar cukup terkejut dengan kondisi kamar mandi yang dibukanya. Tapi, tidak lama kesadarannya kembali lagi ke permukaan. "Sepertinya setelah ini aku tidak perlu kaget lagi. Kamar mandinya saja sangat mewah, gimana dengan yang lainnya? Jangankan kamar mandi, Diana pun sering memakai barang-barang yang mewah. Tapi, bedanya Diana tidak pernah sombong, sedangkan Zidan sangatlah sombong dan congkak. Sampai sekarang aku tidak mengerti kenapa orangtuaku malah meminjam uang sama dia tanpa memikirkan akibat kedepannya," gumamnya lagi. Kinar sudah membuat tangannya menjadi wadah dari air keran, berniat ingin meminumnya. Tidak makan, tidak apa. Asalkan ada sedikit cairan yang mampu membasahi dirinya yang sudah merasa kekeringan. "Tapi, se-sombong-sombongnya Zidan, tidak mungkin dia akan pelit membagi airnya, kan? Hanya sekedar air. Masa iya dia menambah tagihan air ini ke daftar utang orang tuaku? Tidak berperasaan sama sekali." Tangan Kinar sudah naik, hendak meminum air yang sudah mengumpul digabungkan tangannya. "Semoga setelah ini aku gak lapar lagi, meski hanya sejenak." Tapi siapa sangka kalau tangan Kinar malah ditepis seketika dan membuat air itu jatuh tumpah begitu saja. Kinar kaget, segera melihat siapa gerangan orang yang melakukannya. Dari cermin di depannya Kinar bisa melihat Zidan. Tidak perlu diragukan lagi kalau pria itu lah pelakunya. "Kamu gila?! Itu air keran!" Bentaknya. "Mau gimana lagi, saya kan lapar, Tuan. Sedangkan keadaannya, Anda tidak memperbolehkan saya untuk keluar dari kamar. Saya harus bagaimana? Saya harus menyambung hidup untuk bisa menebus hutang orangtua saya. Mau tidak mau, karena sudah sangat lapar, saya minum air di sini." Kata Kinar, menggunakan panggilan saya-Anda-Tuan. Dan sepertinya Zidan tidak suka dengan panggilan itu. Ia menarik tangan Kinar, keluar dari kamar. Melewati lorong yang cukup sempit, dengan penerangan yang temaram dan cukup jauh jaraknya. "Saya mau dibawa kemana, Tuan?" Tanya Kinar. Zidan tidak menjawab, terus menarik Kinar tanpa kata penjelasan sedikitpun. "Kok lorongnya gelap sekali? Saya mau dibawa kemana?!" Kali ini, Kinar sedikit meninggikan nada bicaranya. Dia hanya membutuhkan sedikit jawaban yang setidaknya bisa membungkam semua pertanyaan yang seiring muncul dalam benaknya. Adalah sebuah hal yang sama sekali tidak diterima oleh Zidan. Ia mendorong Kinar hingga mentok di dinding di belakangnya, memenjarakan Kinar dengan tangannya serta tidak membiarkan tangan Kinar terlepas. Wajah keduanya sangat dekat, bahkan bisa saling merasakan napas satu sama lain. Cukup menakutkan, apalagi ditempat yang sempit nan gelap seperti ini. Bagaimana keduanya bisa santai jika dalam keadaan yang demikian. "Untuk kedepannya, jangan panggil aku dengan panggilan formal ataupun panggilan tuan. Panggilan sialan itu membuatku muak!" "Lalu saya harus memanggil Anda dengan pang--" "Tidak perlu terlalu formal. Kamu bekerja pada saya sebagai pembantu pribadi, bukan bekerja di kantoran. Yang perlu kamu lakukan adalah melayani saya, bukan memperhalus bahasa seperti di gedung-gedung bercakar itu. Panggil aku dengan nama saja. Zidan Aaron, jika kamu lupa, itu adalah namaku. Mengerti?!" Tidak bisa mengelak, Kinar agak ketakutan. Ia mengangguk paham, meski sedikit tertekan. "Mengerti, Zidan." Setelah mengatakannya, Zidan menarik tangan Kinar lagi. Kali ini, tidak lama mereka keluar dari lorong yang sudah begitu panjang. Kinar begitu penasaran, sedikit ragu untuk bertanya. "Karena kedepannya aku bekerja untukmu dan mengurus segala hal tentangmu, aku boleh tanya satu hal?" "Hmm..." Zavon hanya berdehem. "Koreksi aku kalau salah, kamar yang tadi itu adalah kamarmu?" tanya Kinar. "Hmm...." "Jadi, untuk bisa sampai ke kamar mu, aku harus melewati lorong yang panjang dan gelap itu?" Tanya Kinar lagi. Dan lagi-lagi, Zidan menjawabnya dengan deheman. "Itu berarti setiap harinya aku ak--" "Kalau kamu takut, aku tinggal pindah ke kamar lainnya, Kinar. Ada begitu banyak kamar di rumahku yang tidak terisi, aku hanya tinggal menempatinya saja. Sekarang jangan banyak tanya dan makan makanan yang ada di depanmu ini. Aku tidak suka dengan orang yang terlalu banyak bicara." "Maksudmu apa?" "Tentu saja temani aku makan. Apa lagi?" *** Entah memang karena faktor kelaparan atau bagaimana, Kinar seakan tidak menjaga image-nya sedikitpun di depan Zidan. Setelah melihat menu-menu yang tersusun rapi di atas meja, mata Kinar langsung berbinar, nafsu makannya baik seketika. Dan sekarang, ia makan dengan begitu geragas. Zidan yang ada di sampingnya pun tidak bisa menoleh sedikitpun ke lain arah, selain memperhatikannya. "Lapar atau doyan? Kok geragas banget!" Kinar tertawa tipis. "Dua-duanya. Aku lapar dan memang ini adalah menu kesukaanku. Entah ini kebetulan atau bagaimana, tapi memang semua yang ada di atas meja ini adalah makanan kesukaanku." Katanya. "Oh itu aku tahu dari Diana!" Byur! Kinar tersedak. "Diana? Bagaimana bisa? Dia pasti tahu tentang kita, sedangkan kamu bilang kalau Diana tidak boleh tahu tentang aku yang sedang menebus hutang kedua orangtuaku." "Iya. Aku tanya padanya tentang makanan kesukaanmu. Setelah itu aku minta pembantuku yang lain untuk membuatkannya untukmu. Jadi, bersenang-senanglah hari ini, makan sampai kenyang karena besok belum tentu aku berbaik hati padamu. Bisa saja besok aku meminta mereka untuk membuatkan menu racun untukmu. Tergantung suasana hatiku." Deg. "Kinar, sadar. Dia tidak mungkin langsung baik begitu saja. Pasti ada udang dibalik batu." "Besok pagi-pagi sekali, kamu sudah mulai mengurusku. Jangan coba-coba keluar dari rumahku, sedikitpun kecuali dengan izinku." "Satu langkah kamu keluar, hutang orangtua mu aku lipat gandakan meski itu tidak ada di perjanjian." Kata Zidan lagi. Setelah mengatakannya, dia meninggalkan meja makan. "Makan yang banyak, nanti ada orang yang menunjukkan kamar mu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD