Sederet kalimat sakral diucapkan oleh mempelai pria dengan tegas dan lancar. Nona hanya melirik tangan Suhendra yang menjulur dan berjabatan dengan penghulu. Sampai akhirnya penghulu bertanya pada para saksi, “Bagaimana saksi? Sah?”
“Saaah…”
Satu kata sah, membuat status Nona Ayesha berubah menjadi istri orang. Dia bukan lagi seorang gadis. Dia kini suah memiliki suami.
Nona memiringkan badan ke arah pria di sisinya yang kini telah sah menjadi suaminya. Lalu menjulurkan tangan masih dengan kepala menunduk. Kemudian ia menyalami tangan yang balas terjulur ke arahnya. Kilat kamera mengabadikan momen tersebut.
Nona maju mendekati meja pendek yang menjadi pembatas antara duduknya dengan Pak Penghulu. Seusai menandatangani buku nikah, ia terkejut melihat foto pria di buku nikahnya itu. Wajah pria di foto itu berbeda dengan wajah pria yang melamarnya dulu.
Astaga, foto siapa itu? Kenapa suaminya bisa menjelma dan berubah-ubah? Nona mengangkat wajah dan menatap pria di sampingnya.
Hah? Nona terkejut melihat wajah suaminya, wajah itu berbeda dari wajah Suhendra yang pernah datang melamarnya. Wajah itu tampan. Nona pernah melihat wajah itu sebelumnya. Daffin?
Jantung Nona berdabam- debum. Hampir saja dia pingsan saking kagetnya. Untung saja dia masih memiliki stok kekuatan untuk menahan diri supaya tidak terkapar mendadak. Kenapa Suhendra bisa berubah menjadi Daffin? Dan kenapa sejak tadi Nona sampai tidak menyadari kalau pria yang duduk di sisinya itu adalah Daffin?
Nona mengembalikan pandangan ke foto di buku nikah. Itu benar wajah Daffin. Dan manik matanya bergerak menatap nama yang tertera sebagai suaminya. Daffin Suhendra.
Demi doraemon yang kolornya nggak pernah ganti tujuh turunan, Nona benar-benar ketipu. Tapi Nona bisa apa sekarang, semua sudah terjadi. Dia telah sah menjadi istri pria yang pernah menindihinya itu. dalam hitungan sepersekian detik, kejadian di kamar hotel waktu itu pun terkilas balik di memori ingatannya.
Daffin kini tengah menandatangani buku nikah dengan santai.
Nona memperhatikan mata, hidung, alis dan semua organ di wajah pria itu. Tidak ada rambut lepek, tidak ada kaca mata tebal, pria itu juga tidak garuk-garuk lagi, tidak bersin-bersin lagi.
Ah sial, kenapa Nona bisa sampai tidak menyadari kalau Daffin dan Suhendra adalah orang yang sama? Ini bukanlah pernikahan yang sesungguhnya, sebab awalnya pria yang diketahui akan menjadi suami Nona bukanlah Daffin, tapi sosok lain selain Daffin. Pernikahan ini palsu meski akadnya sakral dan sah. Kenapa Nona baru sekarang merasa seperti boneka? Apakah ayahnya mengetahui kalau sebenarnya calon suami Nona adalah Daffin? Atau ayahnya juga tertipu seperti dirinya?
Apa maksud dari semua ini? Kepala Nona pusing memikirkan jawabannya.
Hingga saat acara disudahi, para hadirin pun bubar, Nona masih merasa kebingungan.
Daffin berpamitan pada Arman.
“Saya permisi, Ayah. Saya harus segera pulang,” ucap Daffin dengan santainya memanggil Arman dengan sebutan ayah. Meski baru pertama kalinya dia memanggil Arman dengan sebutan ayah, namun lidahnya luwes dan kedengaran enteng, tanpa beban.
Arman tampak ragu untuk mengiyakan. “Maksudmu… apa kau akan pulang ke rumahmu?”
“Ya.”
“Jika kau pulang ke rumahmu, apa kau akan membawa putriku?”
“Tentu.”
“Mm… Hendra, Jadi begini, dalam adat kami, biasanya setelah lima hari, barulah mempelai wanita bisa dibawa ke rumah mempelai laki-laki.”
Daffin Suhendra menghela nafas ringan. “Maksud ayah, apakah aku harus berdiam dulu selama lima hari di kediaman ayah? Setelah itu barulah aku membawa Nona ke rumahku?”
“Ya.” Arman ragu-ragu saat menjawab.
“Maaf, Ayah. Bukan maksudku menolak, tapi aku memiliki banyak hal yang tidak bisa ditinggalkan. Dan aku tidak bisa tinggal di rumah ayah, Nona yang harus ikut denganku,” tegas Daffin tanpa terlihat sedikit pun rasa sungkan di wajah Daffin selayaknya menantu pada mertua. Dia seperti sedang berbicara dengan ayahnya sendiri.
Nona memperhatikan interaksi antara Daffin dan Arman. Nona tidak bisa berbuat apa-apa. Nasibnya sekarang ada di tangan Daffin dan Arman. Apakah dia harus tinggal di rumah ayahnya, atau ikut dengan Daffin. Tapi selayaknya istri, tentu dia harus menuruti perintah suaminya. Sebab itu bukanlah sebuah masalah baginya.
“Apakah kau keberatan tinggal di sini karena pekerjaan?” Tanya Arman.
“Ya.”
“Kau tidak mengambil cuti?”
“Tidak. Posisiku sulit dan tidak bisa ku jelaskan dengan detail. Mohon ayah memahami.”
Arman kembali menghela nafas berat. Dia seperti belum rela melepas putrinya. Lalu dia menatap Nona dengan tatapan ragu.
“Nona nggak masalah kok kalau mesti langsung tinggal di rumah suami,” polos Nona berusaha menjadi istri yang baik. Dan memang sudah seharusnya demikian.
“Seharusnya kau masih harus bersama ayah selama lima hari ke depan.” Arman terlihat sedih harus berpisah secepat itu pada putrinya.
“Kita bisa bertemu lain waktu, masih ada banyak waktu untuk kita bisa bersama-sama,Yah. Kita nggak harus kaku dengan adat bukan?” Nona tersenyum.
“Luar biasa, ayah tidak salah mendidikmu. Baiklah. Kau pergilah sekarang.” Arman mengecup singkat kening Nona.
Sebuah mobil menghampiri, berhenti tepat di sisi Nona berdiri.
Daffin melangkahkan kaki menuju mobil yang menghampiri, manik matanya terarah ke mata Nona dan berkata, “Ayo, masuk, Nona!”
Nona tertegun melihat Daffin memasuki mobil mewah di jok belakang. Seorang supir tampak mempersilakan Nona masuk ke mobil yang pintunya baru saja dia bukakan.
“Tunggu aku berkemas. Aku harus membawa perlengkapan ku, pakaian dan semuanya,” ucap Nona pada Daffin.
“Tidak perlu. Itu bisa diurus nanti. Masuk sekarang ke mobil!” titah Daffin mendominasi. Tatapannya tegas, suaranya pun terdengar mengguntur hebat. Dia seperti tidak suka dibantah. Nona harus menuruti.
Ketegasan dan kewibawaan Daffin yang jauh berbeda dengan Suhendra, membuat Nona tergerak patuh tanpa sadar. Nona memasuki mobil setelah menyalami tangan ayahnya, duduk di sisi Daffin. Dia melambaikan tangan pada Arman.
Mobil bergerak meninggalkan halaman rumah.
Nona melirik Daffin yang duduk di sisinya, rapi, wangi dan bersih. Pria itu terlihat dua kali lipat lebih tampan saat berpenampilan seperti sekarang. Dia mengenakan jas hitam, kemeja putih di dalam, dasi hitam, sepatu kilat.
Sepanjang perjalanan, keduanya diam membisu. Apa lagi supir, mulutnya membungkam tanpa suara. Daffin tampak sibuk dengan ponselnya, pria itu kemudian marah-marah saat berteleponan dengan seseorang. Nona baru tahu kalau Daffin adalah sosok berarogansi tinggi. Jantungnya deg-degan setiap kali mendengar bentakan Daffin di telepon.
Melihat Daffin marah, Nona pun jadi merasa tidak nyaman. Suaminya semakin asing dalam dirinya. Seharusnya Nona tahu, sejak awal dia memang sudah menyetujui untuk menikah dengan pria asing. Dan dia tidak perlu canggung dengan hal itu.
Nona melirik sosok di sisinya, jantungnya seperti tersengat saat pandangannya bertemu dengan mata Daffin.
“Nona, aku perlu mengatakan sesuatu padamu,” ucap Daffin.
“Ya, katakanlah!” lirih Nona yang masih merasa canggung pada sosok asing itu.
“Aku nggak mau orang di luaran sana mengetahui pernikahan kita.”
Nona terkejut. Butuh waktu untuk memahami ucapan Daffin. “Maksudmu?”
“Cukup ayahmu aja yang tahu kalau Daffin Suhendra ini adalah suamimu. Selain dari pada itu, jangan pernah kamu beri tahu kalau aku ini suamimu. Di mata keluarga kita, kamu dan aku adalah suami istri. Tapi di mata orang-orang di luaran sana, jangan sampai ada yang tahu hal ini. terlebih teman-teman kerjaku.”
“Ka kamu menyembunyikan pernikahan ini?” Nona kecewa. Jadi dia adalah istri yang disembunyikan?
“Hm.” Daffin mengangguk dengan tatapan nanar.
“Tapi kenapa?”
Senyum aneh terbit di wajah Daffin. “Ayahmu memiliki riwayat sakit jantung kan?”
Nona mengernyit. Kok Daffin bisa tahu?
“Kamu ingin ayahmu melihat kebahagiaanmu, bukan?” sambung Daffin.
“Tentu.” Nona mengangguk polos. Tentu saja ia hanya ingin memperlihatkan kebahagiaannya di depan ayahnya.
“Kalau begitu nggak perlu banyak tingkah. Ikuti aja permintaanku. Jika kamu nggak mau mengikuti ku, kupastikan ayahmu akan menyaksikan air mata putrinya. Hal itu tentu akan membuat kesehatan ayahmu terganggu. Kamu menjadi istri Daffin aja udah merupakan keberuntungan besar. Jadi jangan tanyakan hal-hal lain. Cukup nikmati aja keberuntungan mu ini.”
“Kalau kamu nggak mau semua orang tahu pernikahanmu, lalu kenapa kamu mau menikah denganku?”
“Biar itu menjadi urusanku.”
Nona mematung. Entah apa keuntungan Daffin dari pernikahan ini sehingga pria itu bersedia menikah namun merahasiakan pernikahan dari semua orang. Baiklah, ini menjadi PR terbesar bagi Nona. Dia harus mencari tahu sendiri, alasan apa yang membuat Daffin menyembunyikan pernikahan mereka.