"Aku tak bisa, Marlyn. Malam ini aku harus berkerja. Mr. Philips memberikanku tips yang sangat besar jika aku mampu menidurkan orang itu!" Agatha berucap sedikit ketus.
Marlyn Lewis, sahabatnya, datang dan memohon pada Agatha agar ia mau bersama-sama datang ke pesta ulang tahun Steve Amstrong, sang kekasih hati. Namun, Agatha menolak Marlyn dengan halus, sebab pekerjaannya sedang menanti malam ini dan hal itu tentu saja tak dapat ia tolak, lantaran adik-adiknya membutuhkan biaya untuk bersekolah yang tidak sedikit. Sementara ibunya yang sakit-sakitan, sudah tak mampu lagi menggarap kebun anggur peninggalan ayahnya, sehingga tempat itu tak lagi terurus dengan baik sekarang.
"Please, Agatha. Hanya untuk malam ini saja. Kita akan pergi pukul 08.00 malam dan setelah Steve memotong kue, kau sudah boleh pergi bekerja." Marlyn sedikit memohon, agar Agatha mau ikut bersamanya ke pesta ulang tahun Steve Amstrong.
Dengan tegas, Agatha kembali bersuara, "Tapi, Marlyn aku--"
"Come on, dear. Just for tonight," Akan tetapi Marlyn kembali memohon sekali lagi.
"Huffttt... Kau memang perahu ulung, Mrs. Armstrong. Well, aku akan bersiap-siap mulai dari sekarang agar kau puas!" ucap Agatha disertai gerutuannya.
"Hey, kau akan terlihat sangat cantik bila tak menekuk wajah mu seperti itu Agatha Stewart." bujuk Marlyn sembari terkekeh geli.
"Benarkah? Aku rasa wajah ku ini memang sudah cantik dari dalam kandungan Ibuku dulu." Agatha tersenyum sinis membalas ucapan Marlyn.
"Hahaha... Ya ya ya... Aku percaya kau memang cantik sejak dulu Mrs. Walcott tapi sekarang aku harus pergi dan bersiap-siap sebaik mungkin untuk pesta kekasih ku." Marlyn berkata kemudian melangkah pergi.
"Cih... Apa katanya tadi? Mrs. Walcott? Apa dia tak tau jika aku dan Raymon Walcott, si lelaki menjijikkan itu sudah lama putus? Huffttt... Dasar lelaki homo seksual yang tak bermoral," Agatha bergumam sembari bergumam menutup pintu flat house miliknya.
***
"Kau sudah persiapkan semua untuk malam nanti, sayang?" Carla Amstrong bertanya pada putra sulungnya.
"Yes, Mom. Aku sudah mempersiapkan segalanya secara detail. Ku harap Marlyn menyukai kejutan ku nanti." Steve tersenyum lebar.
"Hemmm... Mommy selalu mendukung semua keputusan mu, Steve. Termasuk jika kau ingin menikahi gadis impian mu itu. Hanya saja apakah Daddy mu setuju jika kau menikah dengan putri semata wayang Charles Lewis? Kau sendiri tau persis bukan bahwa mereka berdua adalah rival bisnis yang saling menyerang satu sama lain?"
Carla Amstrong berkata panjang lebar sembari menatap kedua netra abu putra sulungnya itu.
"Aku sangat tau akan hal itu, Mom. Jadi jangan khawatirkan aku. Aku jamin Mr. Charles Lewis akan memberikan aku restu untuk menikahi Marlyn secepatnya."
Steve berkata dengan penuh keyakinan pada sang Mommy. Carla Amstrong pun menjadi curiga dengan jawaban menggebu yang ia dengar dari mulut putranya.
"Steve? Kau... Apakah kau sudah menghamili Marlyn?" Carla Amstrong bertanya seraya mendelikkan kedua matanya.
"Egh... Maafkan aku, Mom.
Tapi hanya itulah cara kami berdua untuk dapat saling bersama selamanya."
Steve berusaha berkata jujur dengan sejuta penyesalan seraya menggenggam kedua telapak tangan sang Mommy.
"Steve! Kenapa kau lakukan itu, nak? Apa yang harus ku katakan pada Daddy mu?"
Carla Amstrong berkata seraya memegangi pelipisnya yang terasa seperti hantam sebongkah batu besar.
"Sekali lagi maafkan Steve, mom. Tapi itu darah daging ku. Aku tak mungkin menelantarkan keduanya."
Steve berkata lirih hampir tak terdengar. Wajahnya pun tertunduk lesu menatap marmer coklat muda, lantai Mansion.
"Yah, memang sudah seperti itu lah seharusnya kau bersikap.
Mommy pun akan sangat murka jika melihat kau tak bertanggung jawab pada Marlyn dan calon buah hati kalian. Berusahalah terus meyakinkan hati Charles Lewis, Steve. Mommy tak ingin melihat Pria itu memisahkan kau dengan cucu pertama di keluarga kita ini."
Carla Amstrong menegaskan ucapannya seraya berlalu dari hadapan sang putra tercinta.
***
"Baiklah, aku akan datang ke pesta mu nanti malam. Kau tenang saja, brotha!" Pedro menjawab panggilan masuk dari sahabat baiknya itu.
"Okay, Pedro. Aku harap kau tak datang sendirian, Dude. Bawalah seorang wanita untuk menemani mu nanti."
Steve mencoba berbasa-basi dengan Pedro perihal teman kencan sahabatnya yang melenceng dari kebanyakan lelaki lainnya.
"Aku tak akan membawa wanita mana pun ke pesta mu, karena aku tak tertarik dengan wanita mana pun didunia ini, Mr. Steve Amstrong. Jadi jika kau berusaha membuat aku terlihat menjijikan dengan menghadiahkan tubuh seorang wanita, maka akan ku pastikan malam ini aku tak akan datang saja sekalian."
Pedro berkata sembari terkekeh geli membayangkan wajah sinis Steve padanya.
"Well! it's up to you, Mr. Davinci. Bawa saja lelaki pujaan hati mu itu. Aku tak akan melarang mu lagi. Ku rasa kau sudah cukup tua untuk dinasehati, brotha."
Steve berkata dengan intonasi yang terdengar sangat ketus pada sahabatnya itu.
"Hahaha... Baiklah, mungkin ada baiknya jika aku mengajak Raymon, kekasihku. Asal kau dan calon isterimu itu sanggup saja melihat kami bermesraan nanti."
Pedro kembali berbicara disambungan telepon genggam itu. Ia begitu bersemangat ingin menunjukkan kekasih sejenisnya pada Steve dan juga para tamu undangan yang akan hadir disana nanti.
"Baiklah, aku tunggu kehadiranmu. Ku rasa aku harus menjemput Marlyn dari salon sekarang, brotha. Dia sudah menelpon ku ini. Maaf jika aku harus memutuskan panggilan telpon mu, See you!"
"Okey, brotha. It's No problem, see you tonight. Klik.
Sambungan telepon itu pun berakhir karena Steve harus mengangkat telpon masuk dari Marlyn, sang Kekasih.
"Siapa yang menelpon mu barusan, sweetheart?" Raymon Walcott datang dari dalam kamar dan bertanya pada Pedro Davinci, kekasih hatinya.
"Itu telepon dari Steve, honey. Dia mengingatkan ku untuk datang ke pesta ulang tahunnya nanti malam dan aku harap kita berdua bisa hadir dipesta itu malam nanti." Pedro mulai menjelaskan.
"Pesta? Kedengarannya menarik. Emmm... Aku akan pergi menemani mu malam nanti, sweetheart. Lagi pula aku tak ingin kau terpesona dengan lekuk tubuh wanita mana pun yang akan hadir di acara itu nanti."
Raymon berceloteh sembari memeluk tubuh tegap Pedro dari belakang.
"Apa katamu? Lekuk tubuh wanita? Hahaha... Jangan bercanda hal yang menjijikkan seperti itu, Darling. Kau lupa sudah berapa banyak malam yang ku habis kan dengan mu, hemmm? Jadi jangan coba kau ragukan lagi seperti apa rasa yang ada dalam hati ku ini pada mu, Sweetheart!"
Pedro membalas ucapan kekasihnya itu dengan suara seraknya sembari memeluk dan mencium ceruk leher Raymon dari belakang. Raymon pun dengan serta merta ikut membalikkan tubuhnya kemudian balas memeluk Pedro tak kalah eratnya. Bibir mereka saling menempel satu sama lain, saling melilit dan bertukar saliva. Mereka berdua pun kemudian melanjutkan aktivitas panas mereka dari ruang tamu ke dalam kamar yang berada di penthouse milik Raymon tersebut. Pedro dan Kekasih Gay-nya itu saling melakukan adegan foreplay memberi kenikmatan. Di atas tempat tidur king size itu, tubuh tegap nan atletis mereka saling bertindihan dengan posisi terbalik. Kejantanan Raymon berada tepat di wajah Pedro dan begitu pula sebaliknya.
Terus bergumul, akhirnya cairan putih kental tersembur keluar dari kejantanan Raymon. Sedikit terengah-engah Raymon segera mencabut kejantanannya dan gantian memuaskan hasrat seksual Pedro dengan gaya kesukaan Mr. Davinci itu, Doggy seks. Begitulah seterusnya aktivitas panas itu terjadi. Erangan, desakan, lirihan meronta hingga teriakan nikmat saat Pedro ejakulasi pun mengalun mengisi setiap sisi kamar apartement.
***
"Hallo, sayang. Bagaimana?
Apa aku sudah bisa menjemput mu dari sana sekarang?" Steve menjawab telpon dari Marlyn kekasihnya.
"Aku belum selesai, Sayang. Ada baiknya jika kau menjemput Agatha terlebuh dahulu."
Marlyn memberi jawaban pada Steve jika dirinya masih di rias oleh Madame Christine.
"Owh, aku pikir kau sudah selesai bersiap-siap. Baiklah, aku akan menjemput Agatha terlebih dahulu di flat housenya sebelum menjemput mu."
"Take care, Sayang. I Love you!"
"Okay, sayang! I love you more."
Steve pun kemudian mengakhiri panggilan teleponnya. Ia melihat arloji yang ada di pergelangan tangan. Masih ada waktu kurang lebih dua jam lagi dari sekarang sebelum dia pergi menjemput Marlyn dan juga Agatha.
"Sebaiknya, aku pelajari lagi kontrak kerja sama dengan perusahaan Jepang itu selagi masih ada waktu."
Steve bergumam sembari melangkah naik ke ruang kerjanya.
"Hey, Apa kau tak bisa meninggalkan sejenak pekerjaan kantor mu itu, Brotha?"
Shirley Murray, saudara sepupu Steve yang baru saja tiba dari Miami datang menyapanya.
"Hei little duck, kapan kau sampai? Kenapa tidak memberi tahu ku jika hari ini kau bisa datang? Aku akan menjemput mu di airport tadi, hemm?"
Steve tersenyum senang. Ia kemudian merentangkan kedua tangannya lebar-lebar dan Shirley segera berlari dan memeluk sang kakak erat-erat.
"Aku merindukan mu, Kak." Shirley berkata lirih dalam d**a bidang Steve.
"Aku juga sangat merindukan mu, little duck."
Steve berkata sembari mengacak rambut indah Shirley dengan gemas.
"Hey, bisakah kakak tak memanggil ku dengan sebutan little duck lagi? Aku sudah bukan Shirley yang berusia 3 tahunan dan berjalan seperti bebek lagi, Kak."
Shirley menggerutu dengan bibirnya yang maju ke depan. Steve sangat gemas melihat tingkah lucu Adik sepupunya itu.
"Hahaha... Maafkan aku Miss Murray. Aku rasa little duck adalah panggilan sayang ku untuk mu. Jadi tidak ada penolakan atau pun complain sepihak yang akan membuat ku mengubah ucapan ku."
Steve berseloroh dengan kedua tangan yang sudah ia tangkupkan di pipi cantik Shirley.
"Ya ya, aku tau kau tak bisa dibantah Mr. Steve Amstrong!"
Shirley kembali mengerutu ketus menjawab ocehan Steve Amstrong dan hal itu sukses membuat Steve kembali terkekeh puas karena telah berhasil membuat Shirley Murray bermanyun ria dihadapannya.
"Shirley...!"
Seorang wanita paruh baya memanggil nama gadis itu. Ia mempercepat langkah kaki menuruni anak tangga dan segera menghampiri keponakan nya yang cantik.
"Aunty Carla!"
Shirley menyapa sembari merentangkan kedua tangan mencontoh perbuatan Kakak sepupunya tadi. Kedua wanita itu pun berpelukan dengan sangat erat. Carla Amstrong sangat merindukan anak perempuan dari Adik kandungnya itu. Selama ini ia tinggal di Miami, Amerika Serikat bersama kedua orang tua dan juga seorang Adik kecil yang masih duduk dibangku Junior High School.
"Kau datang sendiri, sayang? Di mana Clara?"
Carla berbasa basi menanyakan keberadaan sang Adik.
"Aku hanya sendiri, Aunty. Mommy tak bisa ikut karena sibuk dengan pekerjaan nya. Tapi Mom berjanji saat liburan musim panas nanti, dia akan datang bersama Daddy dan juga Bruno."
"Baiklah, nanti akan ku coba untuk menelpon Clara dan berbicara padanya." Carla berkata sembari tersenyum.
"Oh iyah Aunty, bukankah ini pesta ulang tahun? Mengapa yang aku lihat taman depan seperti dekorasi pernikahan?" Shirley bertanya penuh selidik.
"Yes, little duck. Memang hari ini adalah hari ulang tahun ku, tapi acara ini aku buat sekalian dengan hari pertunangan Kakak dan Marlyn. Kau masih ingat dia kan?" Steve menjelaskan sembari bertanya.
"Jdeeeerrrr....."
Seketika itu juga dua bulir air mata jatuh dari kelopak mata indah Shirley. Gadis cantik itu tak menyangka jika pria yang sudah ia kagumi hingga menimbulkan benih-benih cinta membara sampai detik ini pun, akan bertunangan dengan wanita lain selain dirinya. Ia merasa sebagian dunia akan runtuh dan menimpa dirinya. Selama ini meskipun mereka berdua bersaudara sepupu, Shirley selalu berharap jika Aunty Carla dan juga Mommy Clara yang memiliki wajah sama persis itu kan menjodohkan dia dan Steve. Tapi kenyataannya hari ini, ia akan melihat pria kesayangan itu melingkarkan sebuah cincin pertunangan di jari manis seorang wanita lain.
"Shirley! Kau kenapa, little duck? Kau baik-baik saja kan? Apa kau sakit?"
Steve sedikit panik dan menempelkan telapak tangan kanannya di kening Shirley.
"Kau sakit, sayang? Kenapa kau menangis?" Carla Amstrong ikut menimpali perkataan Steve, anaknya.
"Aku tidak kenapa-napa, Aunty. Hanya speechless mendengar kabar bahagia tentang pertunangan Kak Steve." Shirley menatap mata Carla.
Wanita paruh baya itu pun kemudian memeluk keponakan tersayangnya dengan erat. Sedangkan Steve melihat tatapan terluka dari pancaran sinar mata Shirley. Pria tampan itu tak dapat berbuat banyak untuk menenangkan kegundahan hati Adik kesayangannya itu. Selama ini, dia sudah mengetahui jika gadis cantik itu memiliki perasaan lebih dari sekedar saudara sepupu padanya. Tapi Steve tak mungkin ikut-ikutan menjadi seorang brother complex karena dalam hatinya hanya ada Marlyn Lewis yang sudah sejak lama ia cintai.
"Steve, ayo antar Shirley ke kamarnya di atas! Gadis cantik nya Mommy ini pasti terserang jetlag akibat terbang dari benua lain ke sini."
Carla berucap sembari menyenggol lengan kiri putranya yang berdiri di situ.
"Emm... Maafkan aku Mom, tapi aku ada janji untuk menjemput Marlyn di salon Madame Christine sekarang." Steve mencoba menghindar.
"Kalau begitu pergilah sekarang, Steve. Jangan biarkan Marlyn lelah menunggu apalagi sampai harus menyetir mobil sendiri. Jangan sampai terjadi sesuatu pada cucu Mommy. Biasa-biasa Charles Lewis akan memotong kepala mu jika Marlyn kenapa-napa."
Carla berucap sembari mengecup pipi kanan Steve sebelum pria itu berlalu dari hadapannya. Shirley yang mendengar kabar mengejutkan untuk kedua kali itu pun kembali melepas kan bendungan air dari matanya. Ia menyesal telah datang ke London dan harus merasakan kejadian menyakitkan ini. Gadis itu pun kemudian mencoba sedikit tenang dihadapan Carla yang saat itu mengantarkannya ke kamar. Pikiran jahat meliputi dirinya saat ini. Gadis itu mencoba untuk membaca kondisi sekitar Mansion keluarga Amstrong dan mencari celah yang dapat ia gunakan untuk mencelakai Marlyn nanti.
***
Steve mengemudikan mobil chevrolet terbarunya membelah jalanan kota London. Ia terus saja berpikir tentang gadis yang ia panggil dengan little duck itu. Dalam hati Steve bertanya pada diri sendiri bagaimana cara yang harus lakukan agar Adik kesayangan itu tak bersedih, terlebih lagi saat acara pertunangannya malam ini. Acara yang ia rancang sendiri secara sepihak tanpa melibatkan keluarga besar Marlyn Lewis, kekasihnya. Sebab hingga saat ini hubungan mereka berdua masih sangat ditentang oleh Charles Lewis, Ayah Marlyn hanya karena Luis Amstrong yang merupakan Ayah kandung Steve adalah rival terbesarnya. Lelah memikirkan semua hal tentang dua gadis kesayangan nya, Steve pun mengambil ponsel dan mulai mencari kontak telepon Agatha. Steve kemudian menelpon sahabat baik Marlyn yang kini juga sudah menjadi salah satu sahabat terbaik baginya.
"Hallo, Agatha apa kau sudah siap? Aku sedang dalam perjalanan menjemput mu." Steve berkata demikian mana kala sambungan teleponnya diterima.
"Aku sudah hampir selesai, Steve. Jika kau sudah sampai, tunggu saja aku dibawah yah?
"Baiklah, aku akan sampai disana setengah jam lagi. Jadi jika kau yang terlebih dahulu selesai maka tunggulah aku didepan flat house mu." Steve berkata sembari mematikan sambungan telepon tersebut.
***
"Oh, Marlyn! Kenapa kau harus menyuruh Steve untuk menjemput ku. Huffttt... Merepotkan pria itu saja, tapi bukan kah dia harus bersiap karena ini adalah pesta ulang tahunnya. Ach, sudahlah. Lagi pula untuk apa aku memikirkan hal itu."
Agatha menggerutu sembari memoleskan lipstick pink soft favoritenya. Tak berapa lama alunan suara merdu Taylor Swift kembali terdengar dari ponsel pintar miliknya. Agatha pun mengambil benda pipih itu, menggeser kan ibu jari kirinya dan langsung menjawab panggilan telepon itu tanpa melihat siapa ID Call si penelpon.
"Iya, Steve. Kau tunggu saja dibawah, aku sedang memakai high heels ku dan lima menit lagi akan sampai kesana." Agatha berkata sekenanya.
"Hey! What wrong with you, Agatha? It's Me, Franklin Philips."
"Oh my God. I'm so sorry Mr. Philips, aku pikir sahabat ku yang menelpon tadi." Agatha kelabakan menjawab sembari menatap ponsel pintarnya. Agatha terkejut mana kala orang yang berada di ujung telpon itu menyadarkan kesalahannya.
"Kau akan pergi kemana, Agatha? Jangan lupa jika hari ini kau ada client penting." Mr. Philips mengingatkan gadis itu akan tugasnya malam ini.
"Aku hanya pergi sebentar ke pesta ulang tahun kekasih Marlyn, Mr. Philips. Jam 8 malam aku akan segera pulang untuk bersiap-siap menemui client yang kau katakan barusan." Agatha sedikit memohon.
Ia berharap semoga Mr. Philips tak membatalkan rencana untuk memberikan client penting ini padanya. Alhasil, pria paruh baya itu pun mengerti akan privasi Agatha.
"Baiklah, Agatha. Selamat bersenang-senang. Semoga kau menemukan seorang lelaki tampan bak Dewa Romawi seperti impian mu itu disana." Pria itu berucap sembari sedikit berseloroh dengannya.
"Hahaha... Terima kasih atas pengertian mu Mr. Philips. Aku sangat berhutang budi padamu, dan aku janji tidak akan mengecewakan client penting mu ini." Agatha membalas perkataan Mr. Philips dengan penuh bersemangat.
Gadis cantik bermanik mata biru itu sangat senang Mr. Philips mengizinkan ia untuk datang ke pesta ulang tahun Steve dan kemudian langsung pergi menemui client penting mereka tanpa harus singgah terlebih dahulu bertemu dengannya. Ia itu lalu memasang high heels dikaki, mengambil clutch, memasukkan ponsel dan dompet ke dalamnya dan kemudian keluar dari sana dengan tak lupa mengunci pintu terlebih dahulu sebelum benar-benar melangkah pergi. Tak sampai lima menit ia menunggu, Steve dengan chevrolet terbarunya tadi sudah tiba di depan tempat Agatha menunggu. Steve keluar dari mobil sembari tersenyum sumringah. Dalam hati ia tak salah merekomendasi kan Agatha pada Selena Davinci, Ibu kandung Pedro.
Wanita paruh baya itu menyuruh Steve mencari seorang gadis untuk menyembuhkan kegilaan Pedro terhadap Raymon, Kekasih Gaynya. Namun karena Steve tak mempunyai banyak teman wanita, maka ia terpaksa menceritakan tentang Agatha yang sehari-hari bekerja di Agency milik Mr. Franklin Philips yang menjual jasa memberi pelukan hangat pada para client-client nya. Di awal pembicaraan Selena Davinci sangat kaget dengan profesi Agatha. Sebab bagi wanita tua seperti dirinya, jenis pekerjaan seperti itu masih sangat aneh terdengar. Akan tetapi Steve kemudian menjelaskan jika saat ini profesi si pemberi pelukan hangat sudah sangat booming diseluruh daratan America, Eropa bahkan merambat hingga ke daratan Asia.
Steve juga menceritakan jika Agatha harus menjadi tulang punggung tunggal untuk ke tiga adik yang masih bersekolah, sedangkan sang Ayah sudah meninggal dan kondisi Ibu nya sakit-sakitan, sehingga Agatha membutuhkan dana besar terpaksa memilih profesi tersebut. Steve berkata pada Selena Davinci bahwa Agatha adalah seorang gadis yang sukar untuk menerima bantuan orang lain jika ia tak bisa balik memberikan sesuatu atas bantuan itu tadi. Oleh sebab itu, Steve merancang ide gila dengan menelpon Franklin Philips dan meminta Selena Davinci untuk langsung memesan jasa Agatha agar malam ini ia dapat memberikan pelukan hangat pada Pedro Davinci hingga pria itu dapat tertidur dengan pulas tanpa meminum segelas alkohol atau pun menelan obat tidur seperti malam-malam biasanya. Selena Davinci pun menyetujui ide gila Steve. Saat ia bertemu dengan Agatha nanti, ia akan meminta gadis itu untuk setiap hari memberikan pelukan hangatnya pada Pedro. Hal itu Selena lakukan agar sedikit demi sedikit sifat kelaki-lakian dalam diri anak laki-laki nya itu kembali normal seperti dulu lagi sebelum Pedro patah hati dan mengenal Raymon, pria Gay itu.
***
Akankah seorang gadis cantik seperti Agatha Stewart mampu menyembuhkan kegilaan seorang Pedro Davinci? Mampukah ia menolong Selena Davinci yang memohon pada nya agar sebelum wanita itu meninggalkan dunia fana ini, ia dapat kembali melihat anak kesayangan nya itu hidup normal seperti sedia kala?Apakah perasaan cinta akan tumbuh diantara mereka berdua saat pelukan hangat itu terjadi nanti?
Semoga saja.