Di tatap lekat sepanjang makan malam, Alex tanpa beralih dari aktivitasnya memandangiku juga tersenyum seru di hadapanku.
"Al?"
"Hmm," jawab Alex.
"Kamu kenapa sih?" tanya Ku.
"Kenapa?" balas Nya.
"Ada yang salahkah di wajahku?" masih ingin bertanya dengan dia yang tidak berhenti menatapku meski tangannya memasukan makanan.
"Tidak ada, malah sempurna," gelengan kepala Alex membuatku mengerutkan dahi tidak percaya akan apa yang dia katakan.
"Kamu lihat kemana?" tanya Ku.
"Aku merasa ada yang kurang Sayang," ucap Alex.
"Apa?"
"Tanda kepemilikan yang seharusnya aku tinggalkan," jelas Alex.
"Ck, kau ini ...."
"Heh, aku mencintamu. Cha!" seru Alex.
"Apa aku juga harus menjawab yang bahkan kau sendiri sudah tahu?" tatap Ku.
"Ribuan jawabanmu yang sama, tetap menyenangkan, Sayang," tegas Alex.
"Sama saja, Al!" seru Ku.
"Hahaha," tawa Alex memakan makanannya.
"Kamu makan dulu, aku mau ke toilet," tegas Ku.
"Jangan lama, Sayang. Kita harus segera kembali!" pesan Alex.
"Iya, Suamiku yang cerewet," anggukan untuk menjawab pesan Alex hingga aku berjalan meninggalkannya ke toilet.
Meski terlihat Alex seakan enggan membuarkan aku pergi, tapi tetap kulakukan pergi dan menyelesaikan aktivitasku di toilet. Hanya setelah membersihkan tangan dan merapihkan pakaian, aku terkejut saat seseorang menabrak diriku yang tidak memperhatikannya.
"Maaf!" seru Ku seraya melihat wanita yang ku tabrak.
"Tidak ap ...."
Dia seorang Aria yang tertegun melihatku. Tatapannya dalam diam, mengartikan jika dia tidak merespon ucapanku dan malah melihatku dengan waktu yang lama.
"Maaf?" tanya Ku membuyarkan lamunannya.
"Kamu seorang Icha yang menjadi istri Alex? Aku merasa selera para pria perlu di ubah," ucap Aria menilik diriku dari atas ke bawah, begitupun selanjutnya dia lakukan menilaiku.
Tanpa mencoba untuk membalas ucapannya, aku memilih untuk pergi melewati dirinya, saat dia tidak menanggapi diriku apalagi dengan ucapan dan penilaiannya yang buruk.
"Kau tidak berniat mendapatkan mereka berdua kan?" tanya Aria menghentikan langkah kakiku.
"Aku menyesalinya, tapi mereka sudah pernah ku dapatkan termasuk pria itu. Apa kau mampu melakukannya?" balas Ku.
"Kau ...."
Meski dia tampak kesal, tapi aku tidak menghiraukannya dan keluar dari toilet. Hal yang paling membuatku terkejut saat aku berpapasan dengan orang yang sama sekali tidak ku harapkan. Semakin aku menghindar semakin besar peluang bertemu dengannya.
Meski Samuel berdiri tepat di hadapanku, tapi aku bertingkah seolah tak bertemu dengannya. Namun dia menarik tanganku hingga berjalan meninggalkan toilet dan berbicara dengan menekanku di sebuah tempat tak terlewati orang dengan dia menekan tubuhku ke dinding. Tatapannya penuh arti, tapi bukan yang harus aku hiraukan.
"Sayang ...."
Tatapanku tajam mendengarnya, juga menyakitkan di tubuhku saat mendengar itu keluar dari mulut dan suaranya yang sudah lama hilang tanpa jejak. Dalam diam menatapku mata yang pilu dia lakukan tanpa melanjutkan ucapannya.
"Kau tidak berubah meski sudah beberapa tahun. Masih dengan percaya diri menekanku dan tatapan harapan palsumu yang sudah tidak ada artinya lagi," tegas Ku.
Terlihat dia tampak terkejut mendengar penuturanku, hingga dia melonggarkan tekanan tubuhnya dan memberi ruang untuk kami berdiri dengan jarak yang cukup untuk 2 orang berbicara dengan baik. Aku enggan jika harus berbicara padanya apalagi berhadapan dalam waktu yang lama. Tanpa mencoba untuk berlama-lama, aku melangkah tapi dia tarik kembali tanganku hingga berada di pelukannya.
"Tidakkah, kamu mau mendengarkan penjelasanku, Sayang?" tatap Samuel menekan dirinya dengan jarak wajah yang sangat intim. Kubalas dengan tatapan tajam dan dahi mengerut saat mendengar ucapannya.
"Tidak ada yang perlu di jelaskan dan aku yang terjadi sudah cukup jelas," tegas Ku.
"Cha ...."
Dia berhenti bicara saat aku menatapnya dengan tatapan tidak suka.
"Lepaskan!" seru Ku pelan.
"Cha, Aku ...."
Tak ingin mendengarkannya, aku berjalan beberapa langkah meninggalkannya. Namun terhenti hingga berbalik menatapnya.
"Jika sudah pergi, sebaiknya pergilah! Aku tidak memerlukan sesuatu yang sudah hilang datang lagi," tegas Ku.
Rasa sakit terasa sesak, tapi ini yang harus aku tempuh untuk menegaskan bahwa dia sudah bukan pria yang dulu. Apalagi aku yang harusnya menjadi seseorang yang jauh lebih berarti di matanya. Harapan itu, sudah hilang dan aku hanya memiliki pria yang saat ini duduk di sebuah kursi dengan cinta dan ketulusannya. Dia bahkan selalu tersenyum menaggapiku dengan pandangan lembut menatapku yang berjalan menghampirinya.
Hal yang sama sekali tidak ku duga, saat Samuel berjalan dari arah belakangku menarik tanganku hingga berbalik ke arahnya dan bibirnya mendarat di bibirku dengan ciuman yang dulu pernah ku rasakan. Rasa mint sejuk masih sama, tapi ini hal yang tidak benar saat hal itu terjadi dan dilakukan Samuel di depan umum terutama di depan suamiku sendiri.
Tanpa sadar aku menggigit bibirnya, mendorong dan menampar wajah putih bersih hingga tampak jelas bekas tanganku yang melayang di wajahnya.
"Saat kau tampak dengan wanita lain, itu menjijikan!" tatap Ku membuat Samuel tertegun mendengarnya dengan tangan di pipinya yang merah.
Yang ku takutkan ketika Alex menyaksikan apa yang terjadi antara aku dengan Samuel. Dia diam, tapi aku tetap mencoba menghampirinya meski getir. Tapi aku tetap mencoba untik menhelaskan kepadanya.
"Al ... Bolehkah aku minta pulang saat ini juga?" pertanyaan yang bahkan tidak ku pikirkan untum mengajaknya kembali pulang setelah melihat kejadian tadi.
Tidak ada jawaban dari Alex. Namun aku tetap melangkah dan mencoba untuk mendekatinya tapi Alex berdiri dari duduknya, hingga dia berjalan pergi mengabaikan diriku saat kulihat dia benar-benar mengacuhkanku. Beberapa langkah ketika dia berniat untuk meninggalkanku, dia menghentikan langkahnya dan berbalik ke arahku yang tampak menatap kosong kepadanya.
"Kita akan pulang saat ini juga atau kau masih menginginkan sesuatu hal terjadi di sini?" tatap Alex.
Mendengar ucapannya yang begitu tajam, meski menyakitkan ketika ucapanku bahkan diabaikan olehnya. Namun aku tetap menurut dan mengangguk hingga berjalan mengikuti dirinya tanpa mencoba untuk menoleh. Meski aku tahu keberadaan Samuel masih berdiri di sana, setelah dia melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan.
Aku tahu pria yang saat ini berjalan di hadapanku merasa kecewa kepada diriku yang bahkan tidak bisa menghindari Samuel dalam sekejap saja. Hal yang seharusnya tidak terjadi jika aku jauh lebih waspada dan tidak semudah itu untuk berbicara lagi dengan Samuel mungkin semua ini tidak akan terjadi. Dan suamiku tidak akan sekecewa ini kepadaku terdiam dan mendiami aku tanpa kata.
Dalam perjalanan yang begitu canggung. Aku tetap duduk dengan baik tanpa mencoba untuk berkata sepatah kata kepadanya. Takut, ya sangat takut saat melihat Alex dalam diam bahkan tanpa mencoba untuk menoleh ke arahku meski kami berada di dalam mobil yang sama. Apa yang harus aku lakukan?