Berhenti Kerja

2316 Words
Berjalan keluar dari gedung, aku mengikuti kemana arah Yudi pergi. Dia mengajakku masuk ke ruangan administrasi yang sempat membuatku curiga tentang pemecatan karyawan yang sempat terdengar isu akan pengurangan karyawan. Yudi hanya mengantarku sampai pintu, dia pergi begitu saja setelah mengantar aku berhadapan dengan Riri, ADM kantor yang bertugas untuk penanganan karyawan. "Nona Naisha Haifa, terima kasih sudah mau datang. Saya hanya mau menawarkan Anda untuk resign dengan tunjangan kerja selama 1tahu. Apa Anda menerimanya?" tanya Riri dengan ramah. "Maksud Anda ... Aku di pecat?" balasku tak percaya dengan apa yang aku dengar. "Maaf, ini sudah kebijakan perusahaan untuk pengurangan pekerja kami," jelas Riri. "Bukankah aku sudah tanda tangan kontrak karyawan?" bukan pekerjaannya, tapi aku kebingungan kedepannya. "Meski seperti itu, kami tidak bisa mempertahankan beberapa karyawan untuk perusahaan. Apalagi kami juga tahu bahwa Anda sering cuti tanpa mencoba untuk bertanggung jawab dengan pekerjaan Anda. Maka dari itu kami hanya bisa mengapresiasi Anda untuk hal ini," jelas Riri. Seketika ucapannya membuatku terdiam amplop putih dan lembaran pemberhentian pekerjaan, sementara dibuat untuk menutupi segala konsekuensi yang akan diterima oleh perusahaan. Namun bagiku uang bukanlah segalanya, melainkan sebuah pekerjaan jauh lebih menjamin kehidupan ku. Tapi kali ini setelah aku tahu dari beberapa temanku yang mengatakan bahwa akan ada pengurangan pekerja di perusahaan. Membuatku menjadi sedikit pesimis dan tidak bisa berharap banyak kepada perusahaan ini, setelah berbincang dan memperjelaskan segala hal dan konsekuensinya dan juga berkas-berkas yang kudapatkan dari Riri, terutama amplop putih yang ada di tanganku nominal yang tidak seberapa, dibandingkan aku harus hidup tanpa sebuah pekerjaan. Saat keluar dari ruangan itu, Yudi masih berdiri tepat di depan pintu ruangan dan juga aku yang memperhatikan dia yang mau mengantarku. "Bagaimana?" tanya Yudi. "Hmm, kau sudah tahu tentang pekerjaanku?" balasku. "Ya, mereka tidak bisa menjadi harapan lagi," angguk Yudi. "Mungkin, aku harus mencari pekerjaan lagi," keluhku. "Hmm, semangat!" Yudi mengangkat tangannya untuk memberiku dukungannya, simpul senyum tampak tulus padaku. "Aku kira kamu pria cuek!" aku merutuki ucapanku sendiri, saat mengatakannya. "Hahaha, kau beranggapan begitu ternyata. Padahal selama ini, aku selalu mempermudah pekerjaanmu! Wajar sih," tawa Yudi. Aku terdiam memikirkan ucapan pria di sampingku. Tapi mengingatpun, sama sekali tidak ada jejak Yudi selama aku bekerja di perusahaan. "Kau ingat mesin matimu tiba-tiba hidup lagi?" tanya Yudi menatapku untuk mengingatnya, kubalas anggukan. "Itu karena aku yang mencarikan maintenance untuk memperbaikinya setelah jam kerja. Dan aku juga yang menyimpan air minumnya untukmu," jelas Yudi. "Hah, benarkah? Terimakasih!" seruku. "Kau mau kemana sekarang?" tanya Yudi. "Hmm, pulang," jawabku. "Mau makan denganku?" tanya Yudi. "Hmm, aku ...." "Ucapan perpisahan, sekalian kau akan tahu seberapa dinginnya aku," sela Yudi menjelaskannya. "Heh, kau ini perhitungan sekali. Aku kan hanya sembarang bicara saja," ucapku. "Hahaha, tidak apa. Tapi aku memang jarang bicara sedekat ini dengan wanita," tambah Yudi. "Makan dimana?" tanyaku. "Kantin saja," jawab Yudi kubalas anggukan. Padahal perasaan dan pikiranku, sedang dalam masa yang tidak baik. Tapi aku tetap menerima ajakan makan siang dari Yudi kali ini, aku tahu bukan hanya aku yang mendapatkan surat pemberhentian pekerja kali ini ternyata ada Diana yang juga mendapatkan surat pemberhentian. Namun dia hanyalah mendapatkan pemberhentian pekerja sementara sehingga memiliki peluang untuk bisa bekerja lagi di sana. Tapi yang kudapatkan bukanlah surat seperti itu, melainkan aku yang memang diberhentikan dari pekerjaan tanpa mencoba untuk mempertahankan diriku hal yang wajar bagi Diana, dia adalah seorang gadis yang sangat rajin dan disiplin dalam pekerjaannya. Lain dengan diriku yang awalnya jauh lebih baik dari segi pekerjaan dan absensi perusahaan. Namun setelah aku bertemu dan menikah dengan Alex, aku lebih sering mengambil cuti untuk menuruti apapun yang di ajak oleh Alex melihat semua itu memang bukanlah sebuah penyesalan yang harus kupikirkan kali ini. Melainkan bagaimana caranya agar bisa mendapatkan pekerjaan yang lain untuk menyelesaikan segala hal yang seharusnya dilakukan oleh ku untuk menutupi kebutuhan diriku dan juga keluargaku di di rumah. Apa lagi hubunganku dengan Alex di ambang tidak menentu, saat aku bahkan menyaksikan sendiri apa yang dilakukan oleh suamiku dengan wanita lain tidak ada penjelasan ataupun pembicaraan dari Alex yang membuatku semakin sedih mengingatnya. Aku juga tidak bisa protes apalagi meneriaki dirinya hingga membuat kami harus bertengkar saat itu juga. "Apa yang sedang kau pikirkan? Apakah begitu banyak hal yang mengganggumu, apakah kau berpikir tentang pekerjaan? Tenanglah kau masih muda dan juga memiliki talenta yang cukup baik untuk mempermudah mu bisa keluar masuk dari perusahaan?" tanya Yudi sembari dia berbicara cukup banyak kepadaku saat di perjalanan menuju kantin perusahaan. "Ya, aku hanya kebingungan saja mau kemana aku untuk mencari pekerjaan. Apalagi ada banyak orang yang harus aku nafkahi, jika aku berhenti di sini," jawab ku. "Apakah kau ingin aku menawarkan mu sebuah pekerjaan?" tanya Yudi. "Pekerjaan seperti apa, bukankah kau masih bekerja disini?" balasku. "Ya, tapi bukan itu maksudku. Ada temanku yang bekerja siang dan malam sehingga membuat dia memiliki banyak hal dari hasil pekerjaannya. Kata dia pekerjaan itu jauh lebih mudah dan baik hingga membuat dia hidup dengan baik kali ini, apa kau berminat?" jelas Yudi sembari bertanya kepadaku. "Pekerjaan seperti apa yang bisa mempermudah kita bisa jauh lebih baik? Aku hanya membutuhkan pekerjaan yang bisa memberiku kehidupan?" Saat kami sudah sampai di kantin perusahaan duduk di kursi hingga Yudi tersenyum. "Nanti aku akan menjelaskannya kepadamu, setelah aku memesan makanan apa yang akan kita makan. Kau tunggu di sini, aku akan mengambilnya!" seru Yudi dibalas anggukan oleh ku dia pergi begitu saja ke arah kasir untuk memesan makanan. Yudi seorang pria yang katanya tidak pernah berbaur dengan sembarang orang. Tapi aku tidak menyangka, dia mau bertemu dan berbicara denganku. Apalagi bisa sampai makan bersama dengannya. Jika teman satu pekerjaan tahu aku ada dan makan bersamanya, pasti mereka tidak akan percaya. Pria itu sangat rajin dan tekun juga sangat tegas dalam pekerjaannya dia dikenal dengan pria dingin dan acuh dalam hal berkomunikasi dalam pekerjaan, dia jauh lebih baik dari siapapun. Apalagi kemampuannya dalam berbahasa asing begitu berguna untuk atasannya dan juga parasnya yang cukup tampan, membuat kami para wanita menyukainya dalam diam dia sama sekali tidak pernah memperhatikan orang-orang sekitar yang selalu berharap dirinya memperhatikan mereka. Tapi kali ini aku tidak percaya pria itu berjalan sembari tersenyum ke arahku, dengan sebuah nampan di tangannya. Dia kini duduk dihadapanku sembari memberikan beberapa makanan di hadapanku terutama air es teh manis yang dia berikan setelah mengambil dan membersihkan meja yang ada di hadapanku. "Kau tidak perlu melakukannya, aku bisa melakukannya sendiri!" protesku. "Aku yang mengajakmu makan bersama, jadi aku yang bertanggung jawab atas makananmu dan juga keberadaanmu disini," tegas Yudi. "Aku tidak percaya, jka kamu sangat banyak berbicara. Ternyata ketika berada di hadapanku," tatapku. "Apa kau sedang menyindirku? Itu jauh lebih baik dibandingkan kalian para wanita harus saling berbisik satu sama lain setiap kali melihatku. Padahal jika aku mau, aku sudah memiliki banyak wanita jika hanya untuk memiliki kalian," ucap Yudi dengan penuh percaya diri. Tapi dia tetap terlihat jauh lebih baik saat memasukkan makanan ke dalam mulutnya, aku merasa canggung saat aku dapat di memperhatikan dirinya oleh Yudi. Aku bergegas memakan makanan yang ada di hadapanku berpura-pura tidak memperhatikan dirinya. Ku lihat simpul senyum dia sembari memakan makanannya tanpa mencoba untuk berbicara lagi kepadaku, hanya terdengar suara sendok dalam Kami sedang makan di sana tanpa ada begitu banyak orang yang datang. "Kenapa kalian berada di kantin di jam kerja seperti ini? Apakah kalian sedang bolos bekerja?" Pertanyaan dari seorang pria berdiri tepat di samping kami memperhatikan kebersamaan kami yang sedang makan. Tidak ada jawaban dari Yudi begitupun denganku Aku tidak tahu siapa orang itu yang tiba-tiba bertanya kepada kami tanpa permisi apalagi memperkenalkan dirinya. "Kalian ini pasti orang-orang yang baru saja dipecat dan melampiaskan segala kekesalan dan kesedihan kalian pada makanan. Wajar jika orang-orang yang hanya fokus dengan berpacaran mendapatkan imbalan seperti itu, itu jauh lebih baik dibandingkan kalian harus terpisahkan satu sama lain dari perusahaan," cetusnya. Pria itu terlihat sangat kesal, ketika Yudi dan aku mengacuhkannya tanpa mencoba untuk menanggapi ucapan dirinya apalagi dia dengan sembarangan menilai orang lain tanpa mencari tahu hal apa yang sedang kami lakukan dan kami pikirkan terjadi kepada kami. Setelah melihat orang yang baru saja membicarakan tentang aku dengan Yudi, ternyata pria itu memiliki kertas yang menempel di punggungnya bertuliskan. "Aku orang gila" sempat membuatku hampir saja mau memuntahkan makanan ku saat melihatnya, begitupun dengan Yudi. Kami berdua tertawa bersama saat mendapatinya. "itulah balasan untuk orang yang suka ikut campur dengan urusan orang lain, kita tidak perlu membalasnya ataupun ikut mengkritik orang seperti itu. Tapi akan ada orang yang yang juga tidak menyukai dirinya itu yang selalu dengan penuh percaya diri beranggapan bahwa dirinya jauh lebih baik dari orang lain," ucap Yudi dibalas anggukan oleh ku. "Apakah kau begitu terkenal sampai-sampai orang seperti dia juga mengenalimu?" tanyaku. Aku bertanya sembari memasukkan satu suap makanan ke dalam mulut ku. "Habiskan dulu makananmu! Setelah itu kita bebas berbincang dan berbicara tanpa terganggu oleh sebuah pekerjaan," tegas Yudi. "Apakah kau tidak kembali ke tempat kerjamu?" tanyaku. "Bodoh, apa kau lupa apa pekerjaanku? Aku memiliki banyak waktu luang untuk waktu ku sendiri. Jika ada orang yang memerlukan ku mereka akan menghubungiku. Meski aku masih berada di perusahaan ini," jelas Yudi. "Wow, begitu mudahnya pekerjaanmu dengan mengandalkan kepandaian yang kau miliki," pujiku. "Mungkin semua orang beranggapan seperti itu. Tapi pada kenyataannya, aku jauh lebih menyedihkan daripada yang lainnya di saat orang-orang tertidur pulas di malam hari, aku tetap harus bekerja dan menemani mereka pergi ke luar kota ataupun mengadakan pertemuan dan juga rapat perusahaan dan itu sangat melelahkan. Apalagi aku juga harus melaporkan segala produksi dari perusahaan sehingga membuat diriku tidak memiliki kesempatan dan waktu yang banyak untuk tidur apalagi memikirkan tentang seorang wanita," jelas Yudi. Meski aku tidak memahami apa yang dikatakan oleh Yudi, tapi memang benar kenyataannya ada pekerjaan seperti Yudi yang mengerti berbagai bahasa dan juga dia masih memiliki kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. "Apakah itu yang membuatmu tampak begitu acuh kepada yang lainnya dan juga kau menjadi seorang pria yang dingin?" Pada akhirnya aku bertanya hal seperti itu kepada Yudi. "Selebihnya tidak seperti itu, aku memang selalu paling malas untuk berargumen dengan orang lain. Apalagi orang itu seperti pria tadi, itu membuatku merasa tidak nyaman dan hanya akan menjadi pengganggu pekerjaanku saja," jelas Yudi kubalas anggukan untuk ucapan dan penjelasan dari pria yang kini sudah duduk dengan baik, setelah dia menyelesaikan makanannya. Begitupun dengan diriku hanya terdiam sembari memperhatikan sekitaran kantin yang biasanya kugunakan untuk makan bersama dengan Diana. "Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Yudi. "Aku hanya terpikirkan untuk kembali ketempat pekerjaanku dan mengambil tas, sebelum itu aku ingin bertemu dengan teman-temanku di sana mungkin berpamitan," jelas ku. "Ya seorang wanita memang harus seperti itu, setelah ini kau pergi dengan berbagai rencana. Oh iya, aku memiliki kartu nama untuk kau hubungi. Tapi sebelum itu, kau harus menghubungi diriku dulu sebagai alat komunikasi antara aku denganmu. Aku akan memperkenalkan seseorang yang sempat ku ceritakan tadi kepadamu," angguk Yudi sembari dia memberikan sebuah kartu nama dihadapanku. "Orang sepertimu juga memiliki sebuah kartu nama seperti ini? Kau benar-benar bukan orang sembarangan!" seruku saat melihat sebuah kartu nama di tanganku. "Hahaha, Kau terlalu berpikir berlebihan tentang diriku," ucap Yudi kubalas anggukan saat kami mulai berangsur pergi dari kantin hingga berpisah kembali ke tempat kerja masing-masing. "Terimakasih traktirannya!" pamitku. "Hmmm." Yudi pergi begitupun aku. Kami tidak tahu kapan dan dimana akan bisa bertemu dan berbincang di lain waktu. Kehidupan dan pekerjaan yang sangat sulit untuk di bagi, akan tidak mudah untuk aku bisa bertemu Yudi lagi. Saat berjalan masuk ke tempat kerja, aku melihat hanya Diana yang tersenyum ke arahku. Dan yang lainnya di sibukan dengan pekerjaan mereka. "Kamu bagaimana?" tanya Diana. "Apanya?" balasku. "PHK nya, Cha!" seru Diana. "Ck, aku berhenti," jawabku. "s**t, sialan banget ini perusahaan. Seenaknya saja memberhentikan kita!" gerutu Diana. Setiap kali melihat Diana menggerutu dan protes, tidak menerima hal apapun membuatku selalu tersenyum melihat teman satu pekerjaan ku ini memiliki bibir kecil yang manis, sehingga membuat orang yang melihatnya berbicara merasa dia tampak menyenangkan. Bagi aku seorang wanita. Tapi bagi pria, Diana adalah seorang gadis yang sangat menggemaskan ketika dia berbicara dengan panjang lebar tanpa henti apalagi dengan gerutuan nya seperti yang dia lakukan saat ini dihadapanku. Dia tersadar bahwa aku tersenyum menanggapinya selalu marah jika aku ke dapati malah memperhatikan dirinya. "Kau selalu saja dengan tenang untuk menghadapi hal yang menimpamu, asal kau tahu aku membutuhkan pekerjaan ini apalagi dengan segala kebutuhan dan bahan makanan yang semakin meningkat harganya membuat akan membuatku kesulitan untuk mengatur keuangan ku," protes Diana. "Nona Diana, apakah kamu beranggapan bahwa yang akan menghadapi hal seperti itu hanya kamu seorang saja? Ada aku dan juga banyak orang yang ikut serta diberhentikan dan akan menghadapi hal yang sama dan kesulitan seperti yang kau katakan tadi. Tapi apakah harus kita protes dan berteriak untuk hal yang tidak mungkin berubah setelah kita mendatanganinya?" tantaku. Terlihat dia hanya terdiam setelah mendengar ucapanku. "Kau ini, sekali berbicara memang selalu membuatku terdiam," balas Diana. Aku hanya tersenyum untuk menanggapinya, terkadang Diana selalu bersikap jauh lebih dewasa dari ku dia bahkan lebih banyak berpengalaman dibandingkan diriku. Terkadang juga banyak sekali hal-hal yang bisa dipetik dari segala ucapannya hanya saja jika dia sedang dalam keadaan kesal dan perasaan yang tidak baik. Tentunya, dia akan seperti anak kecil menggerutu dan protes sepanjang hari dengan menekuk dagunya, sembari memajukan bibir sepanjang hari tanpa bisa diajak berbicara apa lagi bercanda. "Baiklah, apa yang akan kau lakukan? Sepertinya aku akan langsung pulang saja hari ini?" tanya Diana. "Itu adalah keputusan yang sangat tepat aku juga akan melakukan hal yang sama lagipula sudah ditetapkan bahwa aku berhenti dari pekerjaan ini. Bukankah seharusnya kita pulang saat ini juga?" tegas ku dibalas anggukan oleh senyuman dan gelak tawa Diana, dia menarik tanganku untuk menghampiri meja kerja dan mengambil tas milik kami. Seperti biasa, kami pulang bersama untuk sampai gerbang keluar sembari bercerita dan menceritakan hal-hal yang menyenangkan. Meski yang sedang kami hadapi adalah sesuatu hal yang tidak baik ketika harus diberhentikan dari pekerjaan dengan paksa seperti saat ini adalah teman satu pekerjaan dalam waktu yang cukup lama bersama-sama. Meski Diana masih memiliki peluang untuk bisa masuk ke perusahaan ini lagi, tapi aku tidak menceritakan kepada Diana bahwa aku diberhentikan selamanya mungkin akan memiliki kesempatan lagi, jika aku melamar kembali ke perusahaan. Tapi Diana, dia tidak perlu melamar pekerjaan lagi jika perusahaan sewaktu-waktu dibuka kembali dan membutuhkannya. Perbedaan antara perhatian aku dengan dia memang cukup jauh lebih baik dan jauh berbeda titik meski seperti itu. Aku tetap menunjukkan sedikit harapan kepada Diana kebutuhannya jauh lebih berat dari ku, yang hanya harus membiayai gadis kecil di rumah tanteku dibandingkan dirinya yang harus menghidupi keluarga dan juga anak-anaknya. "Kemarilah!" Diana nenarik tanganku menghampiri toko ice cream yang cukup dekat dengan perusahaan. "Ngapain?" tanyaku. "Kita jajan ini untuk perpisahan!" seru Diana. "Ck, dasar bocah tua!" ejekku. "Huh, aku bahkan jauh lebih muda darimu," tegas Diana. "Ukuran tubuhmu kan di bawahku," ucapku. "Kau hanya lebih 5 centi aja, Cha!" protes Diana. "Tetap aku yang tinggi," alihku melihat pesanan eskrim kami sudah tiba. Perbincangan dan pertengkaran antara aku dengan Diana sangat jarang terjadi jika bukan saat keadaan dan perasaan kami berdua sedang dalam keadaan baik-baik saja. Tapi kali ini aku dengan Diana akan berpisah dengan cukup waktu yang sangat lama dan tidak menentu kapan akan berjumpa lagi setelah kami berhenti dari pekerjaan meski perasaan sedih dan haru aku dan Diana rasakan saat memasukkan satu sendok es krim dan kami saling melihat satu sama lain. Aku dengan Diana berpelukan dengan segala kesedihan yang teralihkan oleh manisnya es krim sebagai pemandu perpisahan aku dengan Diana. "Aku pasti akan merindukanmu!" seru Diana. "Dan aku pasti akan kesepian setiap kali tidak mendengarkan ocehanmu itu," balas ku. "Iya hanya kau yang mampu mendengarkan suaraku yang begitu nyaring tanpa protes, bagaimana caranya aku bisa selalu bertemu denganmu? Kau adalah teman terbaikku!" seru Diana. Pada akhirnya dia menangis saat memelukku aku melihat dari kejauhan mobil suami Diana sudah datang untuk menjemputnya aku tersenyum tipis dan mengangguk saat suaminya keluar dari mobil dan membiarkan aku dan istrinya menghabiskan waktu itu sedikit lebih lama sebelum kami berpisah. Melepas pelukannya Diana menatapku dengan tajam. "Nomor ponselku Jangan lupa untuk menghubungi ku! Setiap saat aku pasti akan banyak bercerita ditelepon nanti denganmu," tegas Diana kubalas anggukan untuk menanggapinya. Namun dia berpamitan terlebih dahulu setelah melihat suaminya sudah datang untuk menjemput Diana. "Baiklah aku akan pergi terlebih dahulu jaga dirimu baik-baik jangan selalu memendam masalah seorang diri. Ceritakan kepadaku dan jangan membuat dirimu tersiksa apalagi sampai jatuh terpuruk, aku akan memukul kepalamu itu, Meski aku harus menaiki kursi terlebih dahulu untuk sampai memukulmu!" seru Diana. Meski dia merasa sedih, tapi ku balas anggukkan ucapannya tanpa protes apalagi menggodanya. Hanya tinggal aku seorang diri setelah melihat Diana pergi memang bukan hanya kami berdua saja yang mendapatkan pemberhentian dadakan seperti ini. Namun mereka sudah pulang terlebih dahulu dari awal dengan rasa kecewa yang hampir sama dirasakan oleh ku. Aku berjalan di tepi kulakukan saat langkahku aku tidak tahu harus kemana dan bagaimana caranya agar aku bisa berbicara kepada Alex tentang pekerjaanku. Sepertinya akan sangat sulit sekali untuk berbicara dengannya kali ini dia cukup sibuk dengan waktunya selama ini tanpa berbicara kepadaku. "Sebaiknya ... Aku tidak perlu mengatakannya, sebaiknya Aku menyiapkan kembali lamaran untuk mencari pekerjaan di tempat lain sebelum aku mengatakan dan memberitahu keluargaku tentang aku yang berhenti bekerja," tegasku berbicara sendiri meyakinkan hati. Aku berjalan tanpa semangat, aku tidak terasa sudah sampai di halte bus yang tidak ada banyak penumpangnya. Sebuah pesan masuk kedalam ponselku saat aku melihatnya terlihat ada begitu banyak deretan foto kebersamaan Alex dengan seorang wanita dikirim oleh Diana, hingga dia tampak khawatir mendapati suamiku seperti itu. "Apakah kau tahu tentang hal ini, kenapa kau tidak menceritakannya kepada aku jika kau sudah mengetahuinya? Apakah perlu aku menghajarnya saat ini juga." Isi pesan dari Diana membuat simpul senyum di wajahku terukir. Meski terasa menyedihkan Ketika aku melihat apa yang dia kirim kepadaku tidak ada jawaban dari diriku Diana kembali bertanya kepadaku. "Apakah kau masih di sana, sepertinya aku salah memberitahumu tentang hal ini. Maafkan aku atas kecerobohanku, tapi aku tidak terima temanku dikhianati seperti ini tambah Diana aku tidak apa-apa dan aku sudah mengetahuinya lain kali aku akan menceritakannya kepadamu," balasan pesan dariku untuk Diana temanku membalasnya dengan emoji memeluk diriku dengan penuh perhatian. Sepertinya memang salah jika aku memberitahu dan mengabari Alex tentang aku yang diberhentikan dari pekerjaan secara mendadak seperti ini. Apakah aku harus pulang kerumah atau aku harus kembali ke kampung halaman untuk memberitahu keluargaku rasa sesak di dalam tubuhku semakin kurasakan saat melihat deretan foto tentang Alex. Melihatnya membuatku ingin memecahkan kan dan membuang ponselku saat ini juga. Tapi sama sekali tidak ku lakukan mengingat aku masih membutuhkan ponsel yang sudah menemaniku selama ini hingga bisa berbicara dengan putri kecilku meski hanya melihat videonya saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD