8 || Jadian

1672 Words
Laporan Kelinci Aca. Begitu nama grup chat yang Angkasa buat untuk memantau Alisya. Bukannya gimana, tetapi dia merasa telah diberi tanggung jawab lebih dari Om Leo untuk menjaga Alisya, meski tak sebenar-benarnya Angkasa anggap bentuk tanggung jawab sebagai suami. Dia cuma ... apa, ya? Takut kena omel mama, takut berujung tak enak hati kepada Om Leo kalau Alisya sampai kenapa-napa saat setelah dialihtanggungjawabkan kepadanya, apalagi kalau sampai Ica kena mental lagi seperti dulu, ingat bahwa Alisya adalah mantan korban perundungan. Pikirnya, tidak menutup kemungkinan membekas jadi trauma di diri Alisya, kalau-kalau bullying itu terulang, atau bahkan sekadar deja vu. Namun, jangan salah paham dulu. Bentuk perlindungan yang Angkasa beri ini bukan atas dasar rasa suka, apalagi cinta. Nggak, ya. Tidak ada perasaan spesial ke arah sana. Ini cuma karena 'tanggung jawab' dan jika lebih dari itu, maka ini karena status sahabat. Kalaupun memang ada rasa sayang, tetapi bukan menjurus ke hal-hal pasangan, melainkan ... sobat. Itu saja. Angkasa merasa perlu menjelaskan bahwa dia sudah punya sosok yang hatinya sukai, yang siang nanti berencana mau dia temui. Tentu, bukan Alisya--sang istri. Banu: [Lapor. Ruang musik.] Di mana itu berarti, Alisya sedang menuju ke sana. Yang Angkasa baca. Sayang, dia juga ada ekskul basket dan sedang tidak bisa ditinggalkan, pun Alisya ekskul musik. Sebagai senior, mereka masih aktif dan tentunya untuk mengajarkan kepada para adik kelas. Detik-detik sebelum nanti bebas tugas karena ujian kelulusan sekolah akan dilaksana. Angkasa: [Siapa pun yang di sana, yang di deket kelinci gue, tolong jagain. Gue nitip.] Angkasa: [Seorang aja, nanti gue transfer. Kuota yang biasa.] Betul, bayarannya terkadang pakai kuota. Lepas mendapatkan jawaban oke dari salah satu anggota grup, Angkasa pun meletakkan ponselnya. Tepat di atas ransel. Habis itu, dia beranjak ke tengah lapangan. Gabung dengan yang lain, pemanasan. For your information, periode kali ini banyak ceweknya. Adik-adik kelas menggemaskan yang kebanyakan masuk ekskul bakset karena ingin terus bersinggungan dengan Angkasa. Meski saat latihan, pelemparan bola ke ring, yang mengajarkan siswi adalah senior siswi lagi. Namun, bagi mereka, yang penting adalah interaksi dengan Kak Aca tetap seratus persen terjadi. Begitu saja mereka senang. Hingga tiba di sesi istirahat, mereka duduk melingkar, kumpul di tengah lapangan indoor. Yang mana tak jarang ada saja yang nyeletuk, "Kak Aca, apa iya nggak ada hubungan apa-apa sama Kak Ica?" "Iya, ih. Namanya udah couple gitu, Ica-Aca. Bohong banget kalau nggak pacaran." "Plis, Kak! Butuh klarifikasi, nih, kita." Sambil haha-hehe. Angkasa ikut tertawa. "Apa, sih, kalian. Pikirin aja itu gimana caranya biar bola bisa masuk ring." "Ih, Kak Aca!" Yang Angkasa tanggapi dengan geleng-geleng kepala, lalu minum. "Stop, Adik-Adik. Kalian ini shipper Ica-Aca apa gimana, hm? Tapi ati-ati, lho. Cukup di dalem sekolah ini aja. Di luar, Kak Aca udah ada pawangnya." Astaga. Angkasa mendelik ke arah kiri, tempat di mana sang pembicara bersuara. "Asli? Wah ...." "Tapi, kok ...." "Kasian Kak Ica, dong ...." Begitulah seterusnya. Angkasa abaikan. Sejatinya, orang-orang yang tidak menyukai Alisya di SMA Nusa Bangsa hanyalah segolongan murid yang seangkatan dengannya. Lain lagi dengan para adik kelas yang justru lebih suka menjodoh-jodohkan, bahasa kerennya 'nge-shipper'. Ya ... meski tidak menutup kemungkinan ada juga yang tidak menyukai, sebagaimana murid-murid seangkatan Ica dan Aca. Well, turnamen sebentar lagi. Hari H hanya tinggal menghitung waktu. Turnamen terakhirnya seorang Angkasa sebagai murid Nusa Bangsa. "Kak, itu hapenya ngedip. Ada yang nelepon kali." Teruntuk Angkasa, si kapten basket yang menuju masa pensiunnya. *** Di ruang musik, Alisya baru selesai main piano. Dia lihai di bidang itu. Meski saat bernyanyi, suaranya tak seindah Mars yang sekarang ikut audisi. "Udah mau pulang, Ca?" "Eh, iya, Nu." Banu. Alisya tahu siapa gerangan, kawan satu ekskulnya. Namun, sejak kapan Banu jadi suka mengajaknya bicara? "Bareng gue, ya?" Oh, well .... Why? Kan, jadi bertanya-tanya begitu. Jangan bilang si Banu suka, nih, sama aku? Sampai begini, Alisya mengernyitkan alisnya. Menatap Banu. "Yuk?" "Eh, maaf, Nu." Alisya sungkan dan kikuk. "Mm ... kamu duluan aja, aku masih ada urusan." "Tapi--" "Ya udah, aku yang duluan, ya? Dah! Makasih udah nawarin." Sambil berlalu, buru-buru. Tahu kenapa? Ada notifikasi pesan dari seseorang yang sepanjang belajar tadi, Alisya pikirkan. Apa dia tidak salah lihat? Terpampang nyata di layar, notifikasi pesan itu bertulis nama seseorang yang Alisya sendiri sangat tidak yakin pesannya dari orang itu. Bumi. Namun, benar-benar Be U eM I. Dibaca B-U-M-I. Yang katanya, [Perpus, yuk?] Sudah, itu saja. Diabaikannya. Alisya kira salah kirim semata. Namun, bukan hanya itu rupanya. Muncul lagi notif pesan dari Bumi setelahnya. [Ditunggu, ya.] [Beres ekskul aja.] Bahkan dua kali, pesan-pesan itu pun dikirim dalam waktu singkat. Alisya masih tidak percaya. Oh, apakah karena tak sengaja papasan di ambang pintu perpus kemarin, makanya Bumi jadi 'begini'? Sialan. Harusnya, Alisya tidak girang. Harusnya, dia tidak--barang sekadar memikirkan. Dan harusnya, dia abaikan. Bukan malah deg-degan, cuma karena muncul nama Bumi di notifikasi pesan. Bukan malah kesenangan, membaca teks demi teks di dalam chat barusan. Kan, dia tidak lupa ... Bumi masih punya pacar dan itu adalah Laras. Sosok yang selalu menikmati jajanan dari Alisya untuk Bumi ... sakit kalau diingat. But, kenapa, ya? Yang namanya hati, bandel sekali. Yang napanya cinta, bodoh dan gila. Alisya justru berdebar lagi, entah ke mana rasa sakit hati yang dulu ada itu pergi. Apakah cuma Alisya yang merasakan hal ini? Barangkali sebelum dirinya, ada sosok lain yang pernah mengalami jatuh dan cinta setipe dengan dia. Eh, tapi ini bukan tanpa sebab. Andai kemarin saat tak sengaja bersirobok di ambang pintu perpus, lalu setelahnya Bumi tidak ... tidak .... Uh, mendekatinya. Asli, Alisya kaget sekali kemarin itu. Dan jika harus kembali dikisahkan, kemarin itu .... "Baca yang ini." Alisya disodorkan buku. "Pelajari." Dia bahkan sampai mendongak, saat setelah ambil buku eksak untuk dipinjam nanti. Tiba-tiba muncul Bumi, membawa serta buku setema dengan apa yang Alisya cari. Bekal untuk menghadapi ujian nanti. "Ini juga." Buku yang lain lagi, Bumi letakkan di tumpukan buku Alisya. So, what? Apa maksudnya, ya, kan? Ini tiba-tiba. Yang paling membekas, yang membuat Alisya mau melangkahkan kakinya ke arah perpustakaan sepulang sekolah ini ... adalah kejadian kemarin saat Bumi bahkan mengajarinya. Sebentar memang. Itu pun saat masih di perpus. Alisya bertanya-tanya; itu cowok kenapa, ya? Tak sempat dia ucapkan kemarin, bahkan saat tinggal pun di bawah atap yang sama, tak lantas membuatnya bisa menyuarakan pertanyaan itu kepada Bumi. Kelu. Dan mungkin ini saatnya. Sekalian, memenuhi ajakan Bumi untuk lalu bicara soal kemarin itu. "Bumi?" Hari ekskul, alias harinya kegiatan yang cuma diselenggara seminggu sekali itu, jam pulangnya adalah pukul empat untuk para junior, tetapi biasa pukul lima saat itu adalah senior. Kadang suka kumpul atau rapat dulu, bahkan pernah sampai jam setengah enam, seperti sekarang. Di perpustakaan. *** "Makasih, ya, Ca." Dengan senyum paling lebar, Angkasa balas tutur kata lembut itu. Pun, menerima sodoran helm dari sosok di depannya. Sama, sedang mesem-mesem. Merona di pipi. Uh, manisnya .... "Mau mampir?" Tak langsung dijawab, Angkasa memandang lamat-lamat sosok gadis berseragam olahraga kenamaan SMA saingan. Yang minggu ini akan jadi rival turnamennya lagi. Biasa. "Boleh emang?" Agaknya, kelihatan malu-malu mau di situ. Pun, yang perempuan mengangguk sambil shy-shy cat. "Boleh. Tapi di teras aja paling, orang tua aku kayaknya belum pulang. Mm ... sepi. Yuk?" "Eh, jangan kalau gitu, Bel." Angkasa cengengesan. "Lho, kenapa?" Bella namanya. Dan asal kalian tahu, dia Mrs. Universe-nya sekolah saingan. Serasi, bukan? Dengan Angkasa. "Takut terjadi hal yang diinginkan." "Ish, Aca ...." Dengan semu merah jambu. Angkasa usap-usap lehernya. Salting dia. Baru kali itu mengalami yang namanya naksir anak gadis. Duh ... gini, toh? Ser-seran di d**a. "Ya udah, ya ... gue balik dulu." Angkasa sejatinya masih duduk manis di motor, sedangkan Bella sudah turun dan posisi di depan gerbang rumahnya. Tadi itu, Bella menelepon Angkasa. Bertanya, apakah bisa pulang bareng? Sekalian minta diantar ke suatu tempat. Eh, pulang-pulang magrib, deh. Lihat, langit sudah kejingga-jinggaan. Motor pun mulai Angkasa nyalakan, dia senyum lagi kepada gadis itu. Sesama pentolan sekolah, visualnya tidak main-main. Bella cantik dan manis di saat bersamaan, lalu Angkasa tampan dan keren diborong olehnya seorang. Masya Allah. Yang melihat auto bilang, "Dunia nggak adil. Harusnya yang ganteng sama yang B aja, yang cantik juga sama yang biasa-biasa aja. Biar istilahnya 'memperbaiki keturunan', bukan malah 'memonopoli hasil produksi unggulan'." Setampan dan secantik itu memang, Angkasa dan Bella. Yang mana hari itu ... mereka baru saja jadian. Eh, kalian nggak tahu, ya? Tadi saat setelah mengantar Bella ke suatu tempat, Angkasa sekalian confess. Soalnya, sebelum pulang, kan, mampir dulu juga di tempat makan. Ya, saat itu. "Pacaran, yuk, Bell?" Angkasa bilang begitu. Pun, lanjut dengan ... "Gue suka sama lo." Mangkuk bakso dan mi ayam menjadi saksi bisu. "Ya, tapi nggak mesti lo jawab sekarang, kok. Nanti pun--" "Nggak." Eh? Sampai sorot mata orang-orang yang ada di sana terfokus di diri Angkasa dan Bella. Deg-degan parah, watir ditolak, dan benar saja ... nggak, ya? "Nggak mau nanti, maunya dijawab sekarang." Angkasa makin deg-degan. Tegang. Orang-orang malah mencie-ciekan. Padahal, kan, belum diterima. Bella masih menggantungnya, meski dengan senyum paling manis di sana. "Jadi?" JADIAN. Tertanda, Angkasa dan Bella. Hari itu. Makanya, nih, pulang-pulang Angkasa mesem terus. Yang mana terkesiap di kala memasuki rumah, ternyata di ruang tamu orang-orang sedang berkumpul. Ada mama, papa, Bumi, dan Nia. Yang tidak ada hanya Mars, sedang audisi. Jauh soalnya. Well .... "Aca!" Mama sukses membuat senyum di wajah Angkasa lenyap hanya dengan sorot mata, gerakan berdirinya, juga tutur kata ... "Icanya mana? Kamu sendiri? Ca?" Oh, iya. Melirik Bumi. Menatap papa. "Ica nggak bisa dihubungi, kami pikir dia lagi sama kamu. Ditelepon juga kamu nggak diangkat." Karena itulah mereka menunggu. Namun, ... "Kok, kamu pulang sendiri, Aca? Mana Ica?" W-wait! Angkasa gegas merogoh tas ransel bagian terdepan, dia ambil ponselnya yang memang di-silent. Teringat sesuatu. Bukannya tadi sebelum meluncur jemput Bella, Angkasa sudah .... Laporan Kelinci Aca. Ya, mengirim pesan ke grup itu. Yang Angkasa buka lagi room chat-nya, ada beberapa pesan terbaru. Pesan balasan. Namun, yang menjadi fokus Angkasa cuma dua, di antaranya .... Banu: [Misi kedua gagal.] Banu: [Sorry, Ca. Misi buat ngajak pulbar Alisya, nggak berhasil. Dia balik duluan jadinya, ada perlu katanya. Ya, gue nggak bisa apa-apa.] Seperti itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD