6 || Sahabat Selamanya

1334 Words
"Aku nggak tau, ya, ada salah apa aku sampe Bumi makin nggak akrab begitu. Atau, kamu tau sesuatu tentang Bumi ke aku, Aca?" Masih di sekolah. "Entahlah, Ca. Aku juga nggak tau pasti. Tapi kalau Mars, aku tau." Ada jeda hening sesaat. "Kamu juga tau, kan, Ca?" imbuh Angkasa, perihal Mars itu. "Betewe, udah selesai belum ganti bajunya?" Oh, masih di ruang ganti yang biasa anak basket atau ekskul olahraga lain gunakan buat ganti pakaian. Mereka di situ. Alisya sedang mengganti seragam kotornya dengan baju olahraga Angkasa. Di mana cowok itu berdiri memunggunginya, sebab Alisya tak mau ditinggal sendiri di sana, bagaimanapun caranya Aca harus menemani Ica ganti baju tanpa melihat tentunya. "Iya, aku tau." Soal Mars, bukankah itu sangat kentara? Mars menyukainya, sedangkan Alisya berlagak seakan tak peka atas perasaan tersebut, selama ini. Hingga menerima lamaran Angkasa atas perjodohan itu, dengan tanpa memikirkan bagaimana dengan Mars. Tahu-tahu jadi berubah begini, dan Alisya pun di awal perubahan Mars, mempertanyakan hal yang sudah jelas sebabnya itu. Yeah, di atas luka karena sosok yang Mars sukai malah sudi dinikah oleh kembarannya, pasti ada kecewa yang begitu besar sehingga merasa harus dipertunjukkan dengan sikapnya yang seperti sekarang. Alisya mengerti. Hanya saja, dia menolak menerimanya. Sedih ... saat semestinya dia siap dengan semua perubahan drastis ini, khususnya Mars. Namun, Bumi? Ica tidak bisa memahami sikap Bumi yang semakin menjauhinya, kecuali kalau Bumi juga kecewa atas pernikahannya dengan Angkasa. Tapi, kan, Bumi bahkan menolak kejaran cintanya. Jadi? "Udah." Alisya selesai ganti bajunya, detik itu Angkasa berbalik. Well .... "Bajunya kegedean." Sambil Alisya tenteng seragam kotornya. Angkasa manggut-manggut. "Tapi bagus, jadi bisa nutupin noda yang di rok kamu juga." Setidaknya. Alisya pun tersenyum simpul, lalu mengambil langkah meninggalkan ruang tersebut, Angkasa buntuti. Berjalan dalam diam. Hingga kemudian Angkasa nyeletuk, "Sebenernya aku ke kantin bukan karena kebetulan, Ca." Ica pun menoleh. "Bumi chat." Menatap Angkasa. "Dia yang ngasih tau, nyuruh aku datang ke situ." Tuh, kan ... semakin patut dipertanyakan perihal Bumi. Alis dan kening Alisya sampai mengernyit. Sayangnya, bel masuk sudah berbunyi. Alisya jadi tak bisa menyuarakan isi kepalanya, dia dan Angkasa lalu berpisah di pertigaan koridor. Menuju kelas masing-masing. IPA. Jurusan yang Alisya ambil ini sangat bertolak belakang dengan hasil tes IQ sewaktu awal-awal sekolah, tetapi karena ada Bumi di sini, Ica memilihnya. Sial, cinta membuatnya tersesat begitu jauh. Padahal di jurusan ini pula dia patah hati, ada pacar Bumi yang katanya sekarang sedang mode backstreet. Yang sudah tidak sekelas dengannya, Laras naik ke kelas unggulan, membersamai Bumi. Sedangkan, Alisya? Meratapi kebodohan. Oke, oke. Salah sendiri. Sekarang jadi tersiksa, kan, mau menghadapi ujian, tetapi lemah di Kimia, Fisika, bahkan Biologinya? Argh! *** Bumi, Angkasa, dan Mars. Dikisahkan, dari dulu mereka selalu kompak bersama. Saling menjaga dan melindungi, sampai kemudian bertemu Alisya. Murid paling menyedihkan karena dia adalah sasaran bullying. Tahu? Di masa kecil dulu, ada lirik-lirikan di antara Alisya dan Bumi. Sampai statusnya nyaris jadi kakak-beradik. Namun, mereka bahkan sampai mengaku pacar-pacaran sekali pun orang tua sedang dekat-dekatnya saat itu. Yeah, dulu. Alisya sering berkilas balik pada masa di mana Bumi--di antara kembarannya--menjadi sosok paling 'perisai'. Melindunginya. Namun, sekarang Alisya cuma bisa menghela napas saja. Jelas-jelas sudah berbeda. Ya, mau berharap apa, sih? Hingga setiba di rumah, Bumi bahkan tidak meliriknya, apalagi bertanya; kamu oke? Tapi, Alisya sukses menahan laju pijakan pria itu. Bumi berhenti, yang Alisya tatap dan katakan, "Makasih." Bagaimanapun, Bumi yang sudah menghubungi Angkasa untuk datang. Ya, kan? Mari disimpulkan dari sudut pandang itu, Bumi memang tidak melindunginya secara langsung, tetapi dia masih menjelma pelindung. Persetan dengan segala sikap tak wajarnya yang masih belum Alisya pecahkan, tetapi ... makasih saja dulu. "Kalau kamu nggak chat Aca, entah bakal gimana jadinya aku di sana." Sekali lagi .... "Makasih, ya, Mbum." Dengan senyum paling manisnya. Yang tak mendapat respons berarti, selain dilepasnya cekalan itu dan Bumi berlalu. Sungguh. Mungkin ada epissode cerita yang Alisya lupakan, pernah ada, hingga Bumi begitu. "Gatel." Dan yang barusan itu, Alisya menoleh ... Mars bersama decakannya. Detik di mana dia berjalan melintasi tubuh Alisya. Maksudnya, gatel ... gatel apa? Alisya 'gatel', begitu? "Mars, tunggu!" Saat rumah keluarga si kembar sedang sepi kala itu. Papa Gempa bekerja, Mama Venus pergi dengan Nia, kuncinya dititip ke tetangga. Di mana Angkasa yang buka pintu, sudah lebih dulu masuk ke kamarnya. Dan kini, Alisya berhasil mengekori Mars sampai jadi berhadapan. Oh, tatapan itu ... sungguh sangat tidak sehangat dulu. Mars bahkan mencebik, tak mengizinkan Alisya bicara, dia lekas berlalu di setelah bilang, "Entah kenapa rasanya jadi segedek ini sama lo." Ica membeku, menggigit bibir di situ, dengan mata berembun yang dia tahan agar tidak jatuh tetesan. *** Sehari setelah acara lamaran dan penentuan tanggal nikah antara Alisya dan Angkasa, saat itu .... "Batalin." Mars mengajak Ica bertemu. Berdua. Ica bersedia karena itu adalah Mars, sobatnya. "Batalin acara pernikahan itu, Alisya!" Oh, Ica tersentak. Tak dinyana ajakan bertemu ini adalah untuk bahas hal yang sudah ditentukan dan dia setujui. "Ica, kamu tau kalo selama ini aku suka sama kamu, kan, Ca?" Masih bungkam. Bahu Ica pun Mars cengkeram. "Jadi, please ... batalin." Alisya menelan kelat saliva. "Mars ...." "Atau kamu emang suka sama Aca?" Jelas tidak. Alisya menggeleng. "Ya, makanya itu ... batalin, Ca. Jangan diterima. Sekali pun kamu harus menikah, aku nggak masalah kalau itu sama Bumi. Tapi kalau sama Aca ... nggak. Kamu tunggu aku aja. Aku akan bujuk mama. Ya?" Nada suaranya merendah, memelas di sana, sebagaimana sorot matanya. "Tapi, Mars ... apa bedanya aku nikah sama Aca atau kamu?" Dua-duanya, kan, Alisya tidak punya perasaan suka. Dia menunduk. "Maaf." "Ca--" "Makasih udah suka sama aku, dan maaf karena selalu tutup mata atas hal itu ... kamu tau aku sukanya cuma sama Bumi, kan? Dan Angkasa nggak masalahin itu sekali pun seumur pernikahan nanti, hati aku masih buat Bumi. Sedangkan kamu ...." Alisya menggeleng pelan. "Kamu suka sama aku dan akan lebih sakit kalau kita bersama, Mars." "Fuckkk!" Ica tersentak. Mars mengumpat. Dengan dilepasnya cengkeraman di bahu, lalu sorotan tajam penuh kekesalan di mata pria itu. "La-lagi pula ... kita masih sekolah." "Dan kamu bersedia dinikah? Ca, aku bahkan masih nggak habis pikir sama ide pernikahan ini. Kalau sekadar biar kamu aman dan ada temennya, tinggal di rumah kami tanpa harus dinikahin dulu pun aku rasa itu solusi tepat." Di situ, Alisya mengangguk. "Aku juga berpikir begitu, Mars. Tapi orang tua kita--" "Biar aku yang ngobrol sama mama dan--" "Jangan!" Why? Demikian sorot mata Mars. Yang sampai detik ini tidak mengerti. Dan hari di mana obrolannya dengan Alisya telah berlalu, esoknya Mars sudah bukan lagi dia yang dulu. Bukan lagi sosok hangat yang mengejar Alisya, melainkan .... "Kayaknya crush lo di-bully, tuh, Mars." Saat di kantin. Iya, Mars melihatnya. Bagaimana Alisya disiram oleh kawanan pacar Bumi. "Biarin aja." "Eh. Serius, Brodi? Lo biasanya paling--oke, fine. Gue diem." Lirikan Mars tidak bersahabat. Dia pun membiarkan apa yang terjadi kepada Alisya, meski setelahnya ... Mars melabrak Bumi. Tentu, Bumi adalah Bumi. Dilabrak pun tetap diam dan merasa itu bukan urusannya. Sekali pun Laras dan kawanannya itulah yang berulah. Bumi bilang, dia nggak tahu apa-apa. Hanya saja, sikap Mars di depan Alisya, rasa-rasanya tidak bisa menjadi baik secara terang-terangan. Dia ingin Ica tahu, beginilah Mars kalau dikecewakan. Beginilah hasil dari obrolan waktu itu, yang mana Alisya menolak menerima usulannya, dan kekeh mau menerima pernikahan dengan Angkasa yang direncanakan oleh para orang tua. Dan, saat ini .... Alisya menatap jejak langkah kepergian Mars dengan nanar. Persahabatan yang dulu indah, rusak total dimulai dari saat dia pindah. Bumi yang berubah, lalu sekarang Mars, dan .... "Astaga, Ca. Aku cari-cari, masih di sini ternyata. Kirain ketinggalan di sekolah." Hanya Angkasa yang tersisa. "Cepet ganti baju. Mama ngajak kita makan di luar, nih. Disuruh nyusul. Mama udah di lokasi duluan sama Nia." Oh, Angkasa .... "Kamu akan terus ada di pihak aku, kan, Ca? Apa pun keputusan aku, kamu nggak akan jadi kayak Bumi dan Mars, kan? Nggak peduli kamu nanti mau pacaran sama siapa, tapi kita tetep 'kita', kan, Ca?" Selamanya. Angkasa ucapkan satu kata itu, juga kalimat, "Kamu tenang aja."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD