Egois

1542 Words
Raina. . Sudah hampir satu minggu aku berada di panti asuhan milik ibu Asih. Hatiku begitu tenang dan damai ketika aku berada di sini. Sudah lumayan lama aku pergi, tetapi, Leon bahkan tak mencariku. Ah ... Apa yang kamu pikirkan sih Raina. Toh pada dasarnya juga kamu hanya orang ketiga, di dalam rumah tangga mereka. Seharusnya kamu bersyukur jika dia tak mencarimu. Jadi kamu tidak akan merasa bersalah dengan menyandang status sebagai seorang pelakor kan? Kamu juga tak pantas jika terus-terusan menjadi benalu di dalam rumah tangga mereka. Oke kembali ke topik. Tapi menurutku, yang jadi masalah sekarang adalah, rasa bersalahku kepada Pak Arif. Supir Leon itu, pasti mendapatkan omelan habis-habisan karena ulahku. Maafkan aku Pak, bukan maksud hatiku membuatmu menjadi seperti ini. Tapi inilah cara terbaikku agar aku bisa lepas dari bayang-bayang di dalam rumah tangga Leon dan Farah. Ah, lebih baik jika aku tidak memikirkan hal itu lagi kan? Bukankah kalo dia tidak mencariku, berarti memang benar dia hanya fokus pada tanggung jawabnya sesaat saja. Perasaanku kini malah berkecambuk dan bimbang. Entahlah, sekarang aku malah merasa semakin benci saja kepada Leon. Lelaki yang tak berperasaan itu. Ayo Raina, bangkit kamu pasti bisa melewati semua ini. Memulai kehidupan baru dan suasana baru. Semoga Allah membukakan jalan untukku. . Beberapa hari lalu Riri mengajakku pergi ke perpustakaan umum, khusus untuk penyandang disààbilitas. Di sana ada banyak sekali buku-buku yang dipinjamkan untuk semua kalangan. Kemarin aku sempat meminjam beberapa buku, aku mencoba memulai beradaptasi hidup sebagai wanita buta. Eh, ini bukan coba-coba lho ya. Tapi ya memang aku harus terbiasa dengan keadaanku yang sekarang bukan? Meski mataku buta, tetapi aku tak boleh buta akan pengetahuan, juga. Aku memutuskan untuk pergi ke perpus hari ini. Ini kali pertamaku keluar dari rumah tanpa ada yang mendampingi. Ayo Raina. Kamu pasti bisa! Semangatku bahkan sudah menggebu-gebu. Karna hari ini Riri kuliah, maka aku memutuskan untuk pergi sendiri dengan berjalan kaki. Ya, karna memang jarak antara panti dan perpustakaannya tidak memakan waktu yang lama dengan berjalan, yah mungkin butuh waktu sekitar lima belas menitan. Itu jika yang berjalan orang yang bisa melihat. Hehe. Tapi karena aku buta, ya paling banter itu, sekitar setengah jam. Tapi kalo lagi males ya sekitar empat puluh menitan. Sebenarnya tadi Ibu Asih sempat menawariku, agar anak-anak menemaniku pergi ke sana. Tetapi aku menolak, lebih baik aku berjalan dan mulai berusaha sendiri. Hari ini perpustakaan tidak begitu ramai. Butuh waktu sedikit lama untuk aku menemukan buku yang aku mau. “Sudah ini aja?” tanya penjaga perpustakaan kepadaku. “Iya Kak, trimakasih ya!” ucapku. “Iya sama-sama. Tumben, kamu sendirian?” “Iya temenku lagi kuliah, hari ini aku mau belajar menjalani hidup seperti orang buta pada umumnya kak,” kataku sambil terkekeh. “Ada-ada aja deh kamu. Oke deh, hati-hati di jalan ya! Pelan-pelan aja kalo jalan.” “Siap Kak, sampai ketemu lagi lain waktu,” ucapku sambil tersenyum. Aku mulai melangkah keluar dari perpustakaan. Setelah dapat buku yang aku cari tentunya, setelah itu aku memutuskan kembali ke panti. Karena kalo terlalu lama aku takut jika nanti malah membuat yang lain khawatir. Kini Aku mulai terbiasa dengan keramaian dan juga jalanan yang agak ramai. Pada waktu aku pulang, jalanan yang aku lalui tak terlalu sepi ataupun ramai. Standar lah menurutku. Tapi aku tetap memutuskan untuk menggunakan penutup telinga, takut jika sewaktu-waktu ada mobil atau kendaraan yang lain membunyikan klaksonnya. Uh ... Rasanya, gendang telingaku mau pecah kalo dengar suara yang mengagetkan seperti itu. Tapi alhamdulillah selama ini aku belum mengalaminya. Aku berjalan perlahan-lahan menyusuri trotoar, di sepanjang jalan menuju pulang. Di pertengahan jalan aku menghentikan langkahku, sepertinya ada yang mengikutiku dari tadi, lalu aku segera memutar badanku 180 derajat. Segera kuacungkan tongkatku ke depan. “untuk apa kamu datang ke sini?” ujarku. Aku membuka penutup telingaku. Sunyi. Tak ada suara apapun, kebetulan tak ada kendaraan yang lewat saat ini, tapi aku sangat yakin jika ada yang mengikutiku pulang. Yah ... bisa kalian tebak bukan, pelakunya siapa? Leon lelaki itu pasti sedang memeperhatikanku saat ini. “Darimana kamu tahu?” ucapnya heran. Benar bukan, dialah pelakunya. Aroma peromon miliknya menusuk ke dalam indra penciumanku dari tadi. Tak mungkin orang lain kan, cukup beberapa hari aku bersamanya sudah membuatku hapal dengan aroma maskulin miliknya. “Hah ... Aku memang buta, tapi perlu kamu ingat, jika aku bukan bodoh. Terlebih lagi aku juga tidak tuli.” Kupasang kembali penutup telingaku. Aku membalik badan lalu meninggalkan dia sendiri. Sudah pasti dia akan mengikutiku. “Raina.” diam, aku tak ingin menjawabnya. “Raina!” dia memegangi pundak sebelah kirirku. Segera ku tepis tangannya. “Apa? Jangan buat masalah di sini. Aku bisa saja berteriak, mengumpulkan orang-orang untuk mengeroyokmu,” ketusku. Aku kembali berjalan menuju ke arah panti. “Ra-” “Berhenti mengikutiku, Tuan!” selaku. “Aku ingin hidup dengan caraku sendiri!” “Raina dengarkan aku, aku memang egois. Tapi tolong dengarkan aku sekali saja!” pintanya. “Tidak. Tolong tinggalkan aku sendiri. Jika anda tidak pergi juga maka aku akan berteriak sekarang juga!” ancamku. “Oke, aku akan pergi. Tapi tolong katakan di mana kamu tinggal sekarang?” tanyanya. Kuembuskan napas panjang. Aku hanya bergeming lalu melanjutkan langkahku untuk pulang, tanpa menghiraukannya. Terserah jika dia mau marah atau menganggap aku egois. Tapi selama ini dialah yang egois kepadaku. Aku berjalan tanpa berbicara apapun kepadanya, kekesalanku yang kemarin masih membekas di relung hatiku. Dengan seenaknya sekarang dia malah muncul di hadapanku, tanpa merasa dosa sedikitpun. Aku segera berbelok ke panti dan masuk ke dalam. “Om tiapa?” samar-samar aku mendengar Ajeng berbicara kepada seseorang. Aku segera keluar, aku yakin jika Leon mengikuti ku sampai ke sini. “Maaf ada yang bisa saya bantu Pak?” belum sempat aku sampai ke pintu, Bu Asih sudah mengajaknya berbicara. “Begini Bu, saya kesini mencari Istri saya. Mungkin beberapa waktu ini kami sedang menghadapi sedikit masalah kecil. Ya, biasa lah Bu ada masalah rumah tangga yang perlu kami selesaikan,” ujarnya. “Anda suaminya Raina?” tanya Bu Asih. Aku masih berdiri di samping pintu bagian dalam. Tak ada niat untukku menguping pembicaraan mereka. Akan tetapi aku yang belum sempat keluar menemuinya, tapi ternyata Bu Asih sudah mengajaknya berbicara lebih dulu. Karena sudah ada Bu Asih, lebih baik aku pergi saja. Aku segera memasuki kamarku. Ya, karna aku tak ingin mendengarkan percakapan mereka lebih lanjut tentunya. Aku segera duduk di meja lalu membuka lembar demi lembar buku Braille. Meski aku belum lancar membaca setiap hurufnya, tetapi aku berusaha memahaminya perlahan-lahan. Tok! Tok! “Masuk aja nggak dikunci kok!” seruku. “Raina, boleh Ibu bicara sebentar?” ragu, Bu Asih sepertinya ingin membicarakan permasalahan tentang Leon. “Iya Bu, ada apa?” aku pura-pura tidak tahu saja. “Di luar ada laki-laki yang sedang menunggumu. Katanya dia suamimu. Bisakah kamu menemuinya dulu?” pinta Bu Asih kepadaku. “Biarkan saja dia Bu, saya tadi sudah bertemu dengannya di jalan. Saya juga sudah mengatakan kalo saya belum siap membahas masalah saya,” tolakku. Aku sama sekali tak ingin bertemu lagi dengan Leon kali ini. Belum cukupkah dia menyakiti hati Istri pertamanya. “Setidaknya temuilah dia terlebih dahulu Nak, sepertinya ada hal penting yang mau dia bicarakan!” bujuk Bu Asih. Aku sangat tidak enak dengan wanita paruh baya yang berada di hadapanku saat ini. Aku masih bergeming tak memberikan jawaban apapun. “Ibu tinggal dulu ya. Bukannya ibu mau mengatur hidupmu atau mencampuri urusan kalian. Tapi jangan berlarut-larut membiarkan permasalahan kalian mengambang tidak jelas Nak, jika kamu tidak menginginkannya, atau memang kamu sudah tidak sanggup dengan pernikahan kalian. Bicarakan semuanya secara baik-baik. Kamu juga jangan kelamaan mikirnya. Itu kasian suami kamu. Biar bagaimanapun dia tetap suami kamu Raina!” Aku hanya mengangguk pelan. Biarkan saja dia menungguku, sampai kapanpun aku juga tak mau menemuinya. Biarkan saja dia marah, lama-lama kalo dia bosan paling juga dia pergi, dan aku bakal diceraikannya. Begitu lebih baik. Aku melanjutkan membaca bukuku lagi. . . Tanpa terasa aku sudah membaca hampir seperempat halaman. Aku baru teringat kalo Leon masih menungguku. Ku raba meja mencari tongkat yang tadi sempat aku lipat. Aku keluar perlahan-lahan. Tapi sepertinya dia sudah pergi, karna aku terlalu lama membaca buku tadi. “Loh, kamu mau kemana?” heran bu Asih. “Keluar Bu,” jawabku. “Dia sudah pergi, Katanya ada masalah darurat dan sangat penting. Dia akan kembali lagi kalo masalahnya telah selesai.” Aku hanya mengangguk, lalu tetap keluar menuju teras. Entah mengapa, penjelasan dari Ibu Asih membuatku sedikit kecewa. Hey, ada apa ini Raina. Jangan bilang kamu mulai menyukainya. Atau malah kamu berharap lebih. “Raina?” Aku tersengak karena panggilan itu. “Eh ... Iya. Ada apa Bu?” “Bisa kamu duduk sebentar? Ada yang mau ibu bicarakan.” aku mulai berjalan mendekati Ibu Asih perlahan-lahan. Ibu Asih meraih tanganku lalu menuntunku untuk duduk di sampingnya. “Raina, karna kamu tadi tidak mau menemui suami kamu. Dia ada menitipkan pesan kepada Ibu.” “Apa itu Bu?” aku sedikit penasaran. “Rumah sakit telah menghubungi, katanya sudah ada pendonor mata untuk kamu.” Deg. Donor mata? Berarti kalo aku menerima itu akan ada orang yang pergi kan? Tidak aku tidak mau jika ada orang lain mengorbankan itu untukku. “Tidak usah Bu, lebih baik saya buta selamanya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD