Leon.
.
.
.
Aku sengaja menggoda Raina ketika berada di depan pusara Farah, dengan memancingnya soal anak.
Aku hanya ingin tahu seperti apakah reaksinya. Apakah dia akan marah atau malah menerimanya.
Maafkan aku Farah, bukannya aku mau jahat terhadapmu. Dengan pamer kemesraan di atas makammu.
Tapi bukankah ini yang kamu harapkan dariku, mencintai Raina melebihi aku mencintaimu.
Sungguh, kamu wanita paling baik yang pernah aku temui. Kamu akan selalu ku berikan tempat teristimewa di dalam hatiku. Maafkan aku yang terlambat mencintaimu.
Aku janji kali ini tidak akan menyia-nyiakan wanita yang engkau pilihkan untukku. Semoga kelak kita dipertemukan di Jannah Allah bersama-sama.
“Farah kan nyuruh kita bawa anak ke sini. Nah kita aja belum ngapa-ngapain,” godaku, aku penasaran dengan reaksinya selanjutnya.
“Kak Farah. Aku pamit lain kali aku akan kesini lagi,” ucapnya cepat. Dia berlari meninggalkanku sendirian di sini. Aku hanya terkekeh melihat tingkahnya yang malu-malu ketika aku menggodanya.
Aku jadi semakin senang kalo dia ngambek seperti ini. Aku putuskan segera mengejarnya menuju mobil, aku segera meraih jemari lembutnya.
“Maaf, aku nggak akan memaksamu kalo kamu belum siap dan belum mencintaiku,” ujarku.
Semoga dia mau memaafkan aku kali ini. Seharusnya aku tidak berbuat segegabah ini, mungkin saja dia masih trauma dengan mantan kekasihnya. Yah berpikir positif saja lah. Jika itu yang terjadi aku akan berusaha mengobati luka itu. Memberikan kenangan baru kami, ya hanya ada aku dan dia.
“Maafkan aku juga, aku akan berusaha membuka hatiku kedepannya,” ujarnya. Mendengar akan hal itu aku merasa begitu bahagia. Entahlah, perasaan yang aku rasakan kali ini benar-benar berbeda.
Aku menatapnya wajahnya dengan lekat.
Dengan mengumpulkan sejuta keberanian, aku segera menempelkan bibirku di bibirnya.
Cup.
Bibir kami saling bertaut, perlahan-lahan aku mulai mèlùmàt benda kenyaal miliknya. Bibirnya terasa begitu manis dan membuatku menjadi candu.
Namun sayang dia sama sekali tidak membalas ciuman yang aku berikan kepadanya. Bibirnya masih mengatup dengan rapat. Namun aku sama sekali tidak menyerah.
Aku mengigit bibir bawahnya agar mendapatkan celah, benar saja dia membuka bibirnya kali ini.
Aku segera memperdalam ciuman yang aku berikan kepadanya. Perlahan namun pasti dia juga membalas ciuman yang aku berikan kepadanya, tidak ada suara apapun di dalam mobil, selain decapan kami berdua yang saling bersautan memenuhi mobil. Ciuman kami berubah semakin intens dan mulai memanas.
Sial, karena ulahku sendiri. Sesuatu di bawah sana sekarang malah terbangun.
Aku segera mengakhiri ciuman kami kali ini.
Sungguh aku seorang pria normal, namun untuk sementara aku harus bisa mengendalikan nàfsúku sendiri saat ini. Mengingat dia baru saja sembuh, dan masih dalam proses pemulihan matanya.
Sabar Leon sabar. Belom waktunya.
Deru napas kami saling beradu. Kening kami saling menempel.
“Maaf,” segera ku kecup keningnya. Dengan cepat kurengkuh tubuhnya dan kupeluk dengan erat.
“Terimakasih sudah mau menerimaku. Aku akan menjagamu sampai kapanpun, aku janji nggak akan melepaskanmu sampai ajal menjemput ku.”
Aku melepaskan pelukanku darinya. Kulihat air matanya telah membasahi pipinya. Segera ku hapus menggunakan tisu.
“Kenapa nangis? Aku jahat ya?” dia hanya menggeleng.
“Katakanlah jika ada yang nggak kamu suka dariku,” dia menggeleng lagi.
“Kamu sariawan?” tanyaku sambil menaikan sebelah alisku.
Dia malah terkekeh sambil menangis. Lalu dia memukul lenganku pelan.
“Iya-iya, udah jangan nangis lagi. Tuh ingusnya jatuh,” godaku.
Dia segera mengambil tisue lalau mengelapnya. Menyadari aku hanya menggodanya, dia memukul lenganku lagi.
“Ish ... Iseng banget sih?” kesalnya. Aku segera mengusap puncak kepalanya. “Maaf, kita lanjut jalan-jalan apa pulang?”
“Terserah ... Eh ... Gimana kalo kita ke panti aja? Udah lama aku nggak ke sana. Aku kangen sama anak-anak.”
Benar, kenapa aku bisa lupa dengan Ibu Asih. Dia padahal sudah mewanti-wantiku agar segera memberikan kabar jika operasi Raina berhasil.
“Oke,” kulihat dia belum memasang sabuk pengaman di kursinya.
Aku segera menarik sabuk pengaman miliknya dan segera mengaitkannya. Dia terkesiap dan segera menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, ketika melihat aku yang tiba-tiba tepat di hadapannya.
Aku hanya tersenyum, sepertinya dia salah sangka terhadapku kali ini.
“Sabuk pengaman itu penting,” tuturku.
Aku mengacak rambutnya pelan.
“Hem ....” Dia tak banyak menjawab, aku yakin dia malu kali ini.
Aku hanya menggeleng melihat tingkahnya kali ini.
Perempuan emang gitu ya, bahasanya singkat-singkat semua. Mungkin aku harus kursus memahami bahasa wanita kali ya.
Aku segera melajukan kendaraanku menuju panti.
.
.
.
Tak berselang lama mobil kami sudah memasuki gerbang.
Setelah mobil berhenti Raina segera keluar dengan tergesa-gesa.
“Eh, hati-hati dong.”
Namun dia sama sekali tidak memperdulikan ucapanku sama sekali.
Aku mengikutinya dari belakang.
Ku lihat dia sudah di sambut oleh anak-anak panti.
“Eh ... Adha tak Laina tama Om,” ucap gadis kecil yang bernama Ajeng.
“Halo,” sapaku. Gadis kecil itu hanya tersenyum.
“Assalamu'alaikum ... Ucap kami serempak,”
“Waalaikumsalam,” wanita paruh baya itu langsung memeluk Raina dengan erat.
“Raina! Alhamdulillah ... Ini beneran kamu?” ucapnya sembari menangkup wajah istriku. Seolah dia tak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini, Raina yang bisa melihat tentunya.
“Iya Bu, ini Raina.”
“Ayo masuk-masuk,” aku hanya mengekor di belakang Raina.
Raina menceritakan semua yang kami Alami selama sebulan terakhir ini.
“Assalammualaikum, Itu mobil si, Aaaa Raina ...,” jerit seorang wanita yang baru saja memasuki rumah.
Mereka saling berpelukan seolah tidak bertemu selama bertahun-tahun. Siapa lagi jika bukan Riri.
Sepertinya aku tidak dibutuhkan di sini.
Ketika mereka sedang asyik berbincang-bincang aku fokus pada ponselku, sembari mengontrol pekerjaanku. Sudah satu bulan aku tidak masuk kantor, jelas pekerjaanku menumpuk. Untung saja aku memiliki Devi, asistenku yang cekatan dan bisa diandalkan.
Dia bahkan bisa menghendel semua urusan kantor.
Tanpa sengaja aku mendengar pembahasan Raina dan Riri mengenai perkuliahan. Kenapa aku bisa lupa, jika Raina masih bsrstatus sebagai masiswi di salah satu universitas negri di dekat sini.
.
Setelah selesai dengan temu kangen para penghuni panti kami berpamitan untuk pulang.
Mumpung libur aku ingin membawa Raina pergi ke pantai.
Mungkin dia ingin pergi menghilangkan penat dan kebosanannya.
Aku membawanya tanpa memberi tahu terlebih dahulu.
“Tutup mata kamu ya!”
“Untuk?”
“Kejutan, kalo aku kasih tau namanya bukan kejutan jatuhnya. Tapi kunci jawaban dong,” ucapku sembari meliriknya.
“Sudah cukup aku nggak bisa lihat kan kemarin,” ucapnya dengan sedikit kesal.
“Ya udah. Nggak usah tutup mata juga nggak apa-apa.”
Aku segera memarkirkan mobilku.
Kubuka pintu mobil lalu kuulurkan tanganku, lalu kugandeng dia menuju pantai.
Sebelum ke sini aku sudah memesan candle light dinner di tepi pantai sembari menikmati sunset di tepi pantai.
Ku bawa Raina menuju meja yang memang sudah ku pesan khusus sebelumnya.
Yah meski niatan menutup matanya gagal, setidaknya melihat wajahnya yang berbinar kali ini membuatku begitu puas kali ini.
“Ra?” aku menatapnya dengan lekat.
“Hem ...?” dia menghadap ke arah samping sembari menopang dagunya menggunakan tangan kirinya.
“Kamu nggak ada niatan buat lanjutin kuliah lagi?” selidikku.
Padahal aku tak sengaja menguping parcakapannya tadi.
“Entahlah, aku tak berhak memutuskan sendiri. Apalagi aku sudah berstatus sebagai seorang istri,” ucapnya, dia kemudian menghadap ke arahku. Pandangan kami saling bertemu untuk beberapa saat.
“Jika aku mengizinkanmu, apakah kamu mau Melanjutkannya?” tanyaku. Aku meraih jemarinya. Kusematkan sebuah cincin di jari manisnya. Dia nampak sedikit terkejut kali ini.
“Maaf terlambat, anggap saja ini sebagai pengganti lamaran yang tak pernah aku lakukan dulu, dan cincin ini sebagai saksi bahwa aku pernah melamarmu. Meski waktunya yang terlambat,” ucapku, dia menutup mulutnya dengan sebelah tangannya.
“Trimakasih. Aku akan menjaganya,” ucapnya sambil tersenyum.
Melihatnya bahagia aku juga ikut merasa bahagia.
Aku kembali mengenggam tangannya.
“Raina, betapa bersyukurnya aku saat ini. Kamu berada di sisiku. Akan aku genggam tanganmu dengan erat apapun yang terjadi, aku tidak akan pernah melepaskanmu, dan tidak akan pernah menyakitimu aku janji,” ucapku. Entah mengapa ekspresinya malah terlihat begitu biasa saja.
Apakah usahaku kali ini belum maksimal.
“Ini bukan rayuan semata Ra, tapi aku serius,” ucapku dengan penuh keyakinan.
“Jangan terlalu berjanji, aku takut jika kamu tidak akan menepatinya nanti. Lebih baik kamu buktikan tanpa harus banyak berjanji kepadaku!”
Ucapannya memang benar, bahkan bisa membuatku bungkam kali ini.
Tak beselang lama makanan yang kami pesan sudah sampai.
Kami menikmati hidangan yang bertema seafood ini.
“Kita menginap di hotel saja ya?” tawarku. Aku lelah jika harus menyetir pulang.
“Kenapa?”
“Yah mumpung masih liburan, yah anggap aja ini honeymoon kita yang tertunda,” kataku sambil meliriknya.
“Uhuk ...,” dia tersedak kali ini. Aku segera memberikan segelas air putih kepadanya.
Dia malah meminta penjelasan kepadaku melalui sorot matanya.
“Jangan berpikir negatif, aku nggak akan menyentuhmu kalo kamu belum siap,” ujarku.
“Oh, oke,” jawabnya singkat.
“Irit banget,” lirihku.
Setelah selesai makan malam kami berjalan menyusuri pantai.
Aku melihatnya kedinginan, segera ku buka jaketku lalu kupakaikan untuknya.
“Kita balik?” tawarku kepadanya. Dia mengangguk.
Aku berjalan menuju reseptionis untuk mengambil kunci kamar yang sudah ku pesan tadi.
Ada yang aneh sejak kami berjalan menuju hotel, setiap otang yang berpapasan dengan kami terlihat berbisik-bisik sedang membicarakan kami.
Ah mungkin mereka iri karena melihat kami bergandengan tangan sepanjang kami berjalan.
Aku membawa Raina masuk ke dalam kamar.
“Kamu mandi duluan saja,” kataku.
“Kamu?” dia nampak canggung setelah memasuku kamar dan melihat riasan kamar yang ku pesan ternyata penuh dengan bunga-bunga dan lilin. Sepertinya dia bakal salah sangka lagi nih.
“Aku nanti, atau ... Kamu mau aku mandikan?” godaku.
“Tidak terimakasih. Aku duluan.”
Dia segera berlari menuju kamar mandi.
Setelah kepergian Raina ke kamar mandi, tiba-tiba sebuah notifikasi pesan di ponsel ku berbunyi.
Belum sempat aku membukanya.
Sebuah panggilan masuk di layar ponsel milikku. Aku segera menggeser tombol hijau yang ada di layar.
“Halo?” sapaku kepada orang di seberang sana.
“ ...”
“Apa?”