"Maaf ... Aku mau kita putus, Rain," Senyumku mendadak pudar seketika, mendengar perkataan Azzam.
'Kretak'
Begitulah, kira-kira bunyi hatiku jika bisa terdengar saat ini. Hubungan yang kujalin selama dua tahun belakangan ini harus berakhir begitu saja di sebuah Caffe langgananku dengan Azzam.
Ya, aku dan Azzam sudah berpacaran selama kurang lebih dua tahun. Disaat kami akan menuju sebuah komitmen yang dinamakan pernikahan, ternyata hal sebaliknya malah terjadi.
"Maafkan aku Rain, orang tuaku sudah menjodohkanku dengan wanita lain. Aku tak bisa menolaknya, demi baktiku kepada mereka," Tanpa ada kata lain pria itupun meninggalkanku begitu saja. Bahkan, untuk sekadar protes saja bibir ini tak mampu untuk berucap.
Apalah daya, hubunganku dengan Azzam memang belum mendapatkan restu dari orang tuanya. Mungkin karena aku hanyalah, seorang anak yatim yang hidup sebatang kara. Selama ini orang tua Azzam yang tidak pernah mau melihatku, hal itu 'pun semakin membuatku minder dan berkecil hati.
Namun berulang kali Azzam menyakinkanku untuk tetap percaya diri bahwa derajat manusia itu sama di mata Tuhan. Perkataanya itu memang benar dan selalu ku jadikan acuan untuk tetap waras dalam menghadapi hubungan yang bermodalkan cinta.
Namun, malam ini. Keputusan Azzam menjawab semua keraguanku selama ini. Bahwa aku memang tidak pantas untuknya.
Dadaku terasa sesak dan nyeri, tatkala mengingat masa-masa manis nan indah berdua saat memadu kasih. Harus sirna begitu saja.
Kuputuskan meninggalkan caffe, tempat di mana dia memutuskan untuk meninggalkanku.
Kakiku menyusuri jalanan kota dengan lunglai.
'Zraassh'
Kutadahkan wajahku menyambut tetes demi tetes air dari langit, "Hah, bahkan hujan saja bisa mengerti perasaanku. Tuhan, Adilkah semua ini untukku?"
Aku tetap melangkahkan kakiku di tengah guyuran air hujan yang begitu lebat.
Karena air hujan, hal itu membuatku tak bisa memandang dan mendengar begitu jelas.
Tiiiin!
Suara klakson itu menyadarkanku. Namun aku sudah tak dapat menghindari mobil yang kini tepat berada di hadapanku.
Brakk!
Tubuhku melayang, "selamat tinggal dunia," kataku sambil tersenyum dan aku mulai kehilangan kesadaranku.
.
.
Hitam.
Itulah yang aku lihat pertama kali, ketika membuka mata. Apakah aku sudah mati?
Beginikah jika kita mati hanya gelap tak ada cahaya.
Apakah aku sudah berada di dalam kubur.
Tapi, aku masih bernafas dan aku masih bisa mendengar suara manusia lain.
"Aaaaa ...," aku begitu panik dan takut. Pendengaranku menjadi semakin peka terhadap suara-suara di sekitarku.
Berbagai macam suara terdengar beradu. Kedua tanganku secara otomatis menutup telingaku dengan rapat.
Aku tak tahu pasti apa yang terjadi dengan diriku. Aku tak tahan dengan berbagai macam suara yang ku dengar.
Hingga, yang terakhir bisa aku dengar suara seorang pria meminta pertolongan kepada dokter.
Aku kembali kehilangan kesadaranku.
.
Aku kembali tersadar. Sekarang aku lebih merasa tenang dan damai.
Entahlah, di mana aku saat ini?
Jika kalian bertanya kenapa dan apa yang terjadi kepadaku?
Jawabannya, aku juga tidak tahu. Bahkan di benakku saat ini begitu banyak pertanyaan dan dipenuhi dengan kekesalan.
Sunyi.
Damai.
Seperti tak ada kehidupan.
Aku berusaha bangkit dan meraba yang bisa kusentuh di sekitarku.
"Apakah kamu sudah merasa baik?" Suara itu mengagetkanku. Aku menoleh ke arah suara laki-laki itu.
"Siapa anda?" Tanyaku sedikit waspada. Hanya hitam pekat yang ada di depanku. Bahkan aku mengedipkan matapun tak ada gunanya. Aku mengucek mataku berulang kali hasilnya tetap sama, penglihatanku tetaplah hitam.
"Maaf, mengagetkanmu," kata lelaki itu "perkenalkan aku dokter Mahen yang menangani dan merawatmu," katanya yang terdengar berhati-hati dan pelan.
"Apakah saya buta dok?" Tanyaku kemudian. Aku begitu penasaran dan sudah menyiapkan hati untuk jawaban yang akan aku dengar.
"Maaf, tapi memang itulah kenyataanya. Kecelakaan yang menimpamu beberapa hari yang lalu."
Aku segera memotong perkataan dokter itu. "Ah ... saya ingat sekarang," Aku mulai memegang kepalaku dan mulai menutup telingaku.
Aku merasa panik dan tak tenang, keringat membasahi pelipisku. Aku berteriak dan mulai kehilangan kesadaran kembali.
.
.
Sudah dua minggu, sejak aku berada di dalam ruangan kedap suara ini. Kalian pasti bertanya bagaimana aku bisa tahu 'kan?
Setiap hari dokter dan perawat mengunjungi, mereka membantu mengurus keperluanku. Di situlah aku selalu bertanya hari jam dan tanggal.
Kepekaan terhadap suara yang ku alami, membuat aku harus bertahan di sini. Dokter Mahen selalu memberikan semangat dan perawatan yang dia bisa.
Aku harus belajar mengendalikan pendengaranku dan pikiranku agar bisa melalui hidup kedepannya, itulah yang dikatakan dokter dan perawat selama ini.
"Ini, kamu pakai penutup telinga jika kamu sudah tidak tahan dengan suara yang kamu dengar di luar nanti."
Dokter Mahen meraih tanganku dan memberikan sepasang benda yang dia katakan bisa membantuku. Aku memegang lalu menyimpannya pada saku bajuku.
"Terimakasih dok, berkat dokter saya sekarang bisa mengendalikan pendengaran saya," kataku dengan senyum mengembang.
"Bukan saya, tapi berkat usaha dan kemauanmu serta atas Izin Tuhan, kamu bisa dengan cepat belajar mengendalikan emosimu. Aku yakin situasi saat ini sangat sulit bagimu. Untuk orang yang buta karena kecelakaan aku yakin ini sangat sulit. Kamu adalah pasienku yang paling cepat dalam pemulihan. Mungkin karena semangatmu yang juga tinggi. Kamu harus kuat dalam menjalani hidupmu. Kamu masih beruntung diberikan kesempatan hidup untuk kedua kalinya."
"Trimakasih, dok. Semua perkataan anda benar, saya harus kuat dan mulai menata hidup kembali. Saya juga bersyukur karena Allah masih memberikan kesempatan untuk hidup," kataku sambil tersenyum.
"Apakah kamu yakin dan siap untuk keluar?" Tanyanya kemudian. Aku hanya mengangukkan kepalaku.
"Ada yang ingin bertemu dan berbicara denganmu. Orang ini mungkin bisa membuat kamu hilang kontrol lagi, apakah kamu yakin?" Tanya dokter itu.
"Jika ... saya tak mencoba, bagaimana saya bisa tahu dok?" Kataku kemudian. Orang ini yang menabrakku beberapa minggu yang lalu. Dokter Mahen telah mengatakan ini beberapa hari yang lalu.
"Baiklah ... tunggu sebentar ya!" Dokter itu keluar meninggalkanku sendiri. Tak lama setelah itu aku mencium bau lain yang jelas ini bukan bau dari suster Ana atau dokter Mahen. Aku, meyakini dia adalah orang yang dimaksud dokter Mahen.
"Silahkan duduk," kataku kepada orang itu.
"Darimana kamu tahu aku ada di sini?" Suara bariton laki-laki itu membuatku sedikit tersentak, ternyata dia sudah ada di dekatku.
"Maaf-maaf suaraku mungkin membuatmu sakit," katanya, kali ini suaranya agak pelan.
"Perkenalkan namaku Leonard Emillio. Panggil saja Leon," kata lelaki itu
Kuulurkan tanganku, "Nama saya Raina, anda bisa memanggil saya rain atau hujan jika lidah anda sulit mengucapkan bahasa asing," kataku tanpa membuat ekspresi apapun.
"Maaf ...," katanya kemudian.
"Untuk apa tuan?" Tanyaku sedikit heran.
"Aku sudah membuatmu kehilangan hal yang paling berharga dalam dirimu," suara Leon terdengar begitu sendu dan penuh penyesalan.
"Jangan menyalahkan diri anda tuan ... semua ini sudah takdir dari Allah. Saya harus kehilangan penglihatan. Mungkin, saya kurang bersyukur. Makanya Tuhan mengambilnya."
Hening.
Lelaki itu tak mengucapkan sepatah katapun. Sedetik setelah itu, aku merasakan ada sepasang tangan meraih tangan kananku di atas pangkuanku.
Aku langsung menarik tanganku karena kaget.
Ternyata lelaki itu bersimpuh di hadapanku dan menangis dengan penuh penyesalan.
"Jangan, membuat emosi saya semakin tak terkendali tuan," kataku pelan.
"Maafkan aku, karena-ku kamu tak bisa melihat indahnya dunia lagi," Katanya kemudian. Aku begitu penasaran seperti apa wajah lelaki yang berada di hadapanku ini.
"Saya sudah memaafkan anda sebelum anda meminta maaf kepada saya. Itu juga termasuk kesalahan saya, karena tidak berhati-hati," kataku kemudian.
"Itu juga termasuk kesalahanku. Aku tidak berhati-hati karena terburu-buru," kata Leon.
"Jika kita saling menyalahkan, masalah ini tidak akan selesai tuan," kataku sembari tersenyum. Walaupun aku dirugikan, tetapi tak sepantasnya aku menyalahkan orang lain atas kejadian yang menimpaku. Dengan cobaan ini, aku seharusnya lebih bersyukur dan menghargai apa yang aku miliki. Selama ini aku mungkin, kurang mensyukuri nikmat Tuhan.
"Selama kamu dirawat, aku sudah menghubungi keluargamu. Tapi, hanya ada tantemu saja yang bisa saya hubungi. Maaf ... tapi, tantemu itu sudah tak mau menampungmu lagi. Kemana orang tuamu?" Kata lelaki itu.
"Ah ... begitu ya, tante memang sudah tua dan sering sakit-sakitan, tapi ... anda tidak perlu khawatir dengan saya," Kataku sambil tersenyum.
"Ikutlah denganku dan tinggallah bersamaku." Kata-kata itu keluar begitu saja dari bibir lelaki itu tanpa ada beban.
"Ha ha ha ...," aku menggelengkan kepalaku perlahan sembari mengangkat bibirku membentuk simpul bulan sabit. "Apakah anda yakin dengan omongan anda tuan? Seorang wanita dan pria tanpa ikatan apapun tidak bisa tinggal bersama. Jika itu hanya rasa tanggung jawab dan belas kasih anda, kepada saya. Lebih baik anda tidak muncul lagi di hadapan saya. Saya masih mampu hidup dalam keterbatasan," kataku dengan lantang.
"Tidak, Aku akan menikahimu!" Katanya kemudian. Hal yang tak pernah aku fikirkan sebelumnya.
Deg
"Menikah? Menikahi saya karena kasihan? Sebaiknya anda tidak perlu melakukan itu. Simpan saja rasa empati anda. Wanita buta seperti saya tak akan bisa melayani suami, dan wanita buta seperti saya ini tidak pantas untuk anda!" Kataku sambil memalingkan wajahku ke sisi lain.
"Setuju atau tidak, aku tetap menikahimu. Aku pergi dulu." Lelaki itu benar-benar meninggalkanku sendiri.
Hah.
Menikah.
Bahkan kekasihku saja meninggalkanku.
Dasar lelaki aneh.
Umpatku kepada lelaki itu.
.
.
Dokter Mahen kembali menemuiku "kamu sudah siap?" Tanyanya kepadaku. Aku hanya menaganggukkan kepala. Dia memapahku membawaku keluar untuk pertama kalinya setelah beberapa minggu aku di dalam ruangan kedap suara.
Aku belajar mengendalikan dan merasakan apa yang ada di sekitarku. Saat aku keluar aku mencium berbagai macam bau yang berbeda.
Suara orang yang begitu banyak dan riuh membuatku sedikit kesulitan mengendalikan pendengaran dan fikiranku. Aku berusaha sekuat tenaga agar tidak kalah menghadapi ini. Aku memasang penutup telingaku. Mengikuti arahan dokter itu.
"Kamu baik-baik saja Rain?" Tanya dokter itu.
"Saya ... baik dok," kataku sambil tersenyum.
"Hari ini kamu bisa pulang, tuan Leonard sudah menjemputmu," kata dokter Mahen.
Deg
Jantungku mendadak sakit saat mendengar nama itu lagi. Padahal baru beberapa menit yang lalu aku berbicara kepada orang itu.
"Trimakasih dok, saya akan membawanya pulang. Ayo!" Ternyata Leon sudah berada di hadapan kami saat ini. Leon meraih tanganku lalu membawaku berjalan perlahan-lahan.
"Hati-hati Raina, jangan melewatkan kontrol minggu depan ya," kata dokter Mahen.
"Trimakasih dok," kataku kemudian lalu berjalan mengikuti arahan Leon.
"Tolong antarkan saya ke jl. Anggrek no 15 blok c," kataku kepada Leon.
"Aku akan mengantarmu setelah urusan kita selesai," katanya kemudian.
Langkahku terhenti mendengar perkataan Leon, "urusan apa lagi? Bisakah kita selesaikan di rumah saya saja?" Aku sedikit memohon kepada laki-laki itu, berharap dia menyetujui permintaanku kali ini.
"Kita akan menikah," kata lelaki itu berbisik di samping telingaku, embusan nafas lelaki itu membuat tubuhku sedikit meremang. Seketika kujauhkan tubuhku darinya.
"Menikah? Sudah saya katakan bahwa saya tidak mau, apa anda tuli? Sehingga tidak mendengar perkataan saya tadi?" Aku mulai tersulut emosi. Siapa yang mau menikah dengan orang yang bahkan aku tidak tahu bagaimana rupa dan sifatnya.
"Jangan membantah, asistenku sudah bertemu dengan keluargamu satu-satunya. Tantemu bahkan tidak mau menerimamu dan menyerahkan dirimu kepadaku sepenuhnya. Kami memilih jalur damai dan kekeluargaan daripada jalur hukum. Tantemu juga sudah menerima sejumlah uang dan dia sudah tak mau mengurusimu lagi. Maaf, seharusnya aku tak mengatakan ini," kata nya kemudian. Sepertinya lelaki itu menyesali apa yang telah keluar dari bibirnya.
Aku tersenyum, lagi-lagi dadaku terasa nyeri. Bahkan keluargaku satu-satunya pun juga mengkhianatiku.
Mungkin karena aku sudah tidak bisa bekerja dan menghasilkan uang. Tante pasti berpikir aku akan semakin menyusahkannya. Ditambah dia yang sudah mulai tua dan sakit-sakitan.
Sejenak aku berpikir keputusan apa yang harus aku ambil. Aku menunduk sambil berkata, "Aku sudah tahu sifat mereka. Baiklah aku terima pernikahan ini. Aku ingin tahu sampai mana anda sanggup menjalani pernikahan dengan orang buta seperti saya."
Kita lihat orang seperti apakah kamu Leonard?