Raina
.
.
Saat aku hendak beranjak pulang, aku mendengar dan merasakan ada langkah dengan perlahan mendekatiku.
“Raina?” sapa seorang wanita, dengan suara yang terbata.
“Riri?” aku yakin jika wanita itu adalah dia.
Seketika itu juga aku merasakan pelukan hangat darinya.
Sungguh aku begitu merindukan sahabatku yang satu ini. Tapi, ini sepertinya bukan waktu yang tepat untuk berkangen-kangenan dengannya.
“Aa ... Apa yang terjadi denganmu?” tanya Riri dengan terbata.
Riri memegang kedua pundakku saat ini. Ingin sekali aku menjawabnya, tapi Aku tak langsung memberikannya jawaban, dan malah segera memberikan pertanyaan balik untuknya.
“Ri, apakah kamu membawa mobil?” ucapku lirih dengan sedikit cemas.
“Iya, aku bawa,” jawab Riri dengan cepat.
“Tunggu sebentar ya.” kataku kepada Riri. Aku segera berdiri.
“Pak Arif!” teriakku kepada supir Leon. Aku yakin dia mengawasiku di sekitar sini.
“Iya nyonya, ada apa?” pria paruh baya itu terdengar berlari mendekatiku. Benar saja, dia tak berada jauh dariku.
Untung aku belum sempat menanyakan apapun kepada Riri. Jika dia mendengar percakapanku yang lain pasti akan lebih curiga, bukan?
“Bisakah saya minta tolong? belikan kami martabak telor dan juga es boba ya Pak, yang ada di persimpangan jalan Kamboja. Bapak tau kan?” kataku kepada lelaki itu, dengan memberikan uang seratusan dua lembar, aku tahu karena Kak Farah yang memberikannya kepadaku sebelum aku pergi tadi.
“Baik Nyonya, tapi jangan keman-mana ya! Saya takut jika nanti akan dimarahi tuan Leon jika terjadi sesuatu kepada anda,” tutur Pak Arif kepadaku. Aku sebenarnya merasa kasihan telah berbohong kepadanya.
“Iya pak. Tenang aja saya nggak keman-mana kok!” jawabku.
Aku sengaja menyuruh Pak Arif membeli martabak dan es boba yang agak jauh dari taman ini.
Ini adalah caraku untuk kabur darinya.
Aku yakin saat ini Riri sedang dilanda kebingungan, apalagi ketika melihatku dengan keadaan yang seperti ini. Ditambah lagi aku sudah tak bertemu dengannya cukup lama, bisa kuingat terakhir kali kami bertemu sebelum aku mengalami kecelakaan pada malam itu.
“Ri, Pak Arif sudah jalan kan?” tanyaku sedikit berbisik dan was-was. Takut jika dia masih mendengar ucapanku.
“Iya, udah pergi dia Rain. Kenapa bisa begini sih, kamu kemana aja?” tanya Riri dengan panik.
“Bawa aku pergi dari sini, cepat Ri!” pintaku kepada sahabat karibku.
“Kenapa sih Rain, sehar-”
“Cepat Ri, jangan banyak tanya dong,” potongku, “Nanti aku jelasin semuanya sama kamu. Tapi cepet tolongin aku.
Please Ri, cuma kamu yang bisa bantu aku sekarang!” terangku kemudian.
Tanpa banyak bertanya akhirnya Riri menuntunku menuju mobil lalu membawaku pergi dari taman.
Mobil yang dikendarai oleh Riri melaju dengan sangat cepat.
Bibirku komat-kamit, ada sedikit trauma ketika aku dibawa menaiki mobil dengan kecepatan yang sangat tinggi seperti ini.
Ya kali, siapa yang mau celaka untuk kedua kalinya.
“Raina, kamu okey?” tanyanya dengan cemas. Aku menelan salivaku dengan susah payah. Sebenarnya aku tidak baik-baik saja. Demi kabur dari Pak Arif aku harus bertahan.
“Masih aman kok. Masih lama nggak ya, Ri?” tanyaku.
“Sebentar lagi sampai, janji kamu bakal ceritain apa yang buat kamu jadi begini ya Rain?” ucap Riri.
“Iya, nanti aku cerita semuanya! Fokus Ri. Jangan sampe kita nyungsruk gara-gara kamu gak liat jalan.” kataku kepadanya.
“Iya ... Bawel amat. Ini juga fokus. Liat dong makanya, ups ... Maaf aku gak bermaksud,” lirih Rere.
“Santai aja kali, emang kenyataan aku buta kok,” kataku sambil terkekeh.
Hening.
Setelah beberapa waktu berlalu, aku masih dengan setia berpegangan dengan kuat di pintu mobil Riri.
“Sudah sampai Raina, ayo kita turun. Tunggu di situ sebentar ya ... Biar aku bantu kamu turun dari mobil.” Aku meraba pintu mobil berusaha membuka pintu agar aku tak merepotkannya.
Belum sepat aku memegang tuas pintu, Riri sudah membukakan pintu yang berada tepat di sampingku.
“Ayo!” Riri memegang sebelah lenganku lalu menuntunku berjalan perlahan-lahan.
Aku mendengar suara riuh anak-anak, sedang mengaji bersaut-sautan.
Aku yakin jika Riri membawaku ke panti asuhan, di mana aku sering menjadi relawan sewaktu aku masih bisa melihat dulu.
“Biar aku berusaha jalan sendiri Ri, gak selamanya aku bergantung kepada orang kan?” ucapku.
“Jangan begitu Raina, kamu udah aku anggep seperti saudariku. Kamu ngolang sebulan aja udah jadi begini. Pokoknya besok-besok kalo kamu butuh apa-apa langsung kabari aku. Gak mau tau pokoknya!” ujar Riri.
“Iya-iya, kok jadi kamu yg ngegas sih Ri?”
“Gimana nggak ngegas coba, kalo sekali ketemu kamu udah begini.’
Aku menahan lengan Riri lalu memeluknya dengan erat. Tak terasa di pipiku sudah mengalir air dengan begitu deras.
Lagi-lagi aku begitu mellow. Aku segera menghapus air mataku dengan cepat.
“Makasih banyak ya Ri, maafin aku. Sekarang aku malah jadi ngerepotin kamu.”
“Iya, udah jangan nangis. Malu tau dilihat sama orang.”
“Emang banyak orang ya Ri?” aku sedikit penasaran.
“Enggak. Ha ha ha!”
“Ih, gak lucu tau.” aku memanyunkan bibirku.
“Iya, maaf. Ututu, anak tantik jangan ngambek dong.”
“Cantik enggak, buta iya.”
“Kamu emang cantik. Udah, jangan dibahas lagi. Ayo kita ke dalam!” ajak Riri.
“Loh, Nak Riri kok tumben ke sini nggak ngabari dulu?” Suara itu aku sangat yakin jika dia adalah ibu Asih. Pengurus yayasan panti asuhan ini.
“Iya Bu.” Riri menuntunku menuju ke arah ibu Asih.
“Nak Raina?” wanita paruh baya itu akhirnya menyadari keberadaanku. Dengan cepat dia merengkuh tubuhku dan memelukku dengan erat.
“Apa yang terjadi Nak, kenapa bisa jadi begini?” bu Asih melepaskan pelukannya kemudian menangkup kedua pipiku, sembari mengusap kedua pipiku dengan lembut.
Sungguh aku merindukan sosok seorang ibu sebagai sandaran saat ini. Seandainya Ibuku masih hidup. Aku pasti bisa membagi kisahku kepadanya.
“Iya Bu, ini ujian buat saya.” jawabku. Aku berusaha menetralkan suaraku agar tak berlarut-larut dalam meratapi nasibku saat ini.
“Ayo masuk, jangan lama-lama di sini.”
Bu Asih dan Riri menuntunku menuju aula di mana anak-anak sedang mengaji sore.
.
.
.
Kedatanganku disambut oleh anak-anak panti dan pengurus panti lainnya.
“Dewi, Sinta, Nina. Bawa yang lain pergi dulu ya. Ibu mau bicara sama kakak-kakak ini dulu!” perintah Ibu Asih, kepada anak-anak yang lebih besar untuk membawa adik-adik yang lain pergi.
“Yah, Ibu tami tan inin main tama Kak Liri dan Kak Laina.” sela salah seorang anak yang aku yakini namanya adalah Ajeng gadis kecil berusia 5 tahun yang dulu sering aku ajak bermain.
“Iya ... Nanti kalian bisa main Sama Kak Riri dan Raina.” balas bu Asih.
“Janji Ya, Kakak Laina jangan pergi. Di sini aja. Diluar nggak aman.” ucap Ajeng dengan polosnya. Aku hanya tersenyum dan mengangguk pelan.
Sungguh Panti adalah rumah-ku yang kedua.
Di sini aku bisa merasakan keluarga yang begitu aku dambakan. Selama ini aku hanya tinggal bersam Tante Marta adik Almarhum Ayah, yang sama sekali tak memperdulikanku, semenjak Almarhum Ayah pergi meninggalkanku untuk selamanya. Dia bahkan mengusirku dari rumah peninggalan Ayah dan Bunda.
Untungnya aku sudah mampu bekerja sehingga aku bisa menghidupi diriku sendiri.
“Ibu bikin minum dulu ya?” kata Bu Asih. Aku hanya mengangguk.
“Raina, bagaimana semua ini bisa terjadi? Siapa laki-laki yang menemanimu tadi, dan siapakah Tuan Leon?” lagi-lagi Riri mencecarku dengan banyak pertanyaan.
“Dia ... Supir suamiku Ri,” terangku.
“Su- suami?” jerit Riri. Aku yakin jika sahabatku ini pasti syok dengan apa yang barusaja didengarnya.
Ya, wajar sekali sih.
Karna yang dia tahu kekasihku adalah Azzam. Lelaki yang telah meninggalkanku begitu saja beberapa waktu lalu, dengan menggoreskan luka yang begitu dalam.
“Iya Ri, semuanya berawal dari beberapa pekan lalu. Malam itu Azzam memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami dengan alasan dia menerima perjodohan yang diperintahkan oleh kedua orang tuanya,” lirihku.
“Apa? Kenapa dia berubah menjadi lelaki b******k seperti itu?” aku tahu jika Riri sangat kesal saat ini. “terus? kita harus kasih pelajaran buat cecunguk satu tu Rain. Aku janji bakal bantuin kamu. Enak aja, gara-gara dia sahabatku satu-satunya jadi menderita kayak gini. Lanjut ceritanya. Maap kelepasan,” kata Riri dengan emosi yang meluap-luap diakhiri dengan kekehannya.
Aku hanya menggelengkan kepalaku sambil tersenyum.
Jujur di dalah hatiku masih mencintai Azzam. Lelaki yang telah memporak-porandakan hati dan kehidupanku. Munafik jika aku bilang tidak. Apalagi kami telah menjalin hubungan selama dua tahun lebih. Selama itu juga cinta kami tumbuh semakin dalam. Tapi sayangnya kelakuannya membuatku kecewa dan sakit.
Aku melanjutkan ceritaku kepada Riri, “... di malam itu juga Leon menabrakku hingga aku buta. Karna tante Marta mengetahui kalo aku sudah tidak bisa melihat dan tidak bisa menghasilkan uang lagi. Dia meminta pertanggung jawaban dari Leon agar menikahiku,” terangku kepada Riri.
“Kamu terima gitu aja? Emang dasar deh itu nenek sihir dari dulu selalu aja manfaatin kamu. Perlu di kasih pelajaran deh kayaknya Rain, biar pinternya nambah.”
“Hus, gak baik ngomong kayak gitu sama Orangtua Ri, Aku sudah menolaknya waktu itu, tapi Leon memaksaku dan teguh pada pendiriannya. Itu juga sebagian dari ancaman tante Marta, dia mengancam akan membawa masalah ini ke jalur hukum dan menuntut Leon,” jelasku.
“Tapi, beruntung dong kamu Rain. Lepas dari Azzam kamu malah dinikahi pria kaya yang bertanggung jawab. Sampe-sampe tadi aja supirnya disuruh ngawasi kamu.”
“Bertanggung jawab emang ... tapi masalah yang lebih besarnya ada lagi Ri,”
“Ini minumnya, Raina mau minum? biar ibu bantu?” tanya Bu Asih.
“Nanti saja Bu,” tolakku. Karna aku masih ingin menyelesaikan ucapanku tadi.
“Terus, lanjut Rain. Penasaran aku.”
“Masalahnya ...,” aku menggigit bibir bawahku. Tanganku meremas kain celana yang aku pakai. “Aku cuma istri ke duanya.”
“Uhuk ...,” Riri terdengar sersedak, mungkin dia sedang minum saat ini.
“Iya, aku cuma istri kedua Ri. Aku perusak rumah tangga orang, mungkin kalo di masukkan infotaiment perlambean aku pasti sudah dicap sebagai pelakor sama netijen. Miris sekali kan nasibku?” aku menarik napas lalu mengembuskannya. “Sungguh wanita manapun pasti nggak akan mau dimadu Ri, Bu. Aku rasa lebih baik aku yang mundur. Aku tidak mau mengganggu kehidupan rumah tangga mereka. Biarkan aku hidup dengan caraku sendiri. Begitu lebih baik daripada aku nantinya dicap sebagai seorang pelakor,” lirihku.
Hening.
“Memangnya, kamu nggak dikasih tau soal statusnya Nak?” aku hanya menggeleng.
“Terus, kamu sudah mengabari suami kamu pada saat kamu ke sini tadi, Nak?” tanya bu Asih.
Lagi-lagi aku menggeleng.
“Aku nggak tahu harus ngomong apa lagi Rain?” ungkap Riri. “beneran deh ... Saat ini kepalaku sakit, setelah mendengar ucapanmu tadi.”
Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Riri saat ini.
“Bolehkah saya izin untuk tinggal di sini untuk sementara waktu Bu?” tanyaku kepada Bu Asih.
“Iya, kamu boleh tinggal di sini. Panti akan selalu terbuka untuk kamu dan Riri kapanpun itu. Tapi ... apakah tidak sebaiknya kamu memberikan kabar kepada smuamimu dahulu Nak?” tutur Bu Asih.
“Saya sengaja menghindarinya Bu, saya sengaja menghilang dari kehidupannya. Tolong sembunyikan saya jika suatu hari ada yang mencaritahu keberadaan saya.”
“Iya, kami akan berusaha menutup mulut kami. Tapi jika sudah tepat Ibu harap kamu segera menyelesaikan permasalahan kalian Raina. Karna ini bukan hanya menyangkut permasalahan pribadimu saja, akan tetapi menyangkut orang lain juga. Hadapilah setiap masalahmu Nak, jangan lari semua itu hanya akan memperkeruh, biar bagaimanapun dia masih berstatus sebagai suami sahmu menurut agaman maupun negara,” Pungkas bu Asih.
Dia selalu menasehatiku karna dia tahu aku sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi sebagai tempatku bersandar.
“Ya sudah, Ibu akan menyuruh anak-anak menyiapkan kamar untukmu.”
“Trimakasih Bu, saya hanya bisa merepotkan saja.” tak terasa air mata yang sudah aku coba tahan dari tadi akhirnya luruh juga. Aku tergugu tak bisa berkata-kata.
Lagi-lagi hatiku sakit jika mengingat kenyataan hidupku saat ini. Sepetinya cobaan yang dibarikan oleh Allah sangat berat untukku. Akan tetapi, jika mengingat sebuat hadist yang mengatakan bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan umatnya. Berarti aku termasuk orang yang mampu. Karna itu aku diuji oleh Allah, berarti aku mampu melewatinya. Itulah keyakinanku.
“Jangan sedih Rain, kami akan selalu ada buat kamu!” ucap Riri dan Bu Asih secara bersamaan. Mereka berdua kemudian memelukku dengan erat. Aku menumpahkan seluruh tangisku dipundak mereka berdua.
“Trimakasih-trimakasih, kalian selalu membantuku ketika aku terpuruk.”
“Kamu udah Ibu anggap sebagai anak dan kamu adalah bagian dari keluarga di sini. Pasti kamu sangat kesulitan kan akhir-akhir ini?” ucap bu Asih dengan suara lembut sembari mengusap punggungku.
Perasaanku mengharu mendengar penuturan Ibu Asih. Wanita yang sangat sabar, yang mendedikasikan hidupnya untuk mengurus panti, dengan uang peninggalan mendiang suaminya. Dia memilih tak menikah lagi karna pada dasarnya Ibu Asih memang sudah divonis mandul oleh dokter. Karena itu dia memilih untuk mengurus anak-anak jalanan dan anak yang ditelantarkan oleh Orangtuanya.
.
.
.
Setelah Riri berpamitan untuk pulang, anak-anak mengantarku ke kamar yang sudah disediakan.
Aku melamun memikirkan bagaimana nasib Pak Arif saat ini, dan bagaimana bingungnya dia ketika menyadari aku sudah tidak berada di taman. Aku merasa kasihan, akan tetapi aku juga tak ingin berlama-lama berada di rumah itu. Karna aku yakin aku hanya akan melukai perasaan Kak Farah.
“Maafkan aku Kak Farah tak bisa berpamitan kepadamu, semoga kamu bahagia bersama dengan suamimu. Maafkan juga aku yang telah menjadi orang ketiga di dalam rumah tanggamu.”
Bersambung ...