Permintaan Maaf

2085 Words
Raina . . . Aku mendengar setiap triakan Leon dari balik jendela kamarku. Hingga Ibu Asih memberitahukan kepadaku, bahwa Leon sudah menungguku berjam-jam di luar dengan berhujan-hujanan. Sungguh, hatiku menjadi tidak tega mendengarnya. Biar bagaimanapun dia adalah suamiku. Kuputuskan untuk segera beranjak. Perlahan-lahan aku keluar dari kamar berjalan menuju ke tempatnya. “Temuilah dia Nak. Selesaikan masalah kalian!” aku hanya mengangguk mendengar ucapan Ibu Asih. Hujan di luar masih sangat lebat. “Leon!” jeritku. Aku yakin jika dia masih berada di sana. Tanpa aba-aba dia memelukku dengan erat sembari mengusap punggungku, dia juga menciumi puncak kepalaku. Dingin, sesaat aku bergeming tak membalas pelukannya. Dia pasti kedinginan. “Raina. Maafkan aku, maafkan atas keegoisanku dan kecerobohanku saat mengambil keputusan,” ucapnya dengan bergetar. Aku yakin jika dia sedang mengigil karena kehujanan. Aku jadi merasa tidak tega. “Ayo kita pulang, kamu bisa sakit jika seperti ini,” kataku “Aku akan berpamitan kepada Ibu Asih.” kulepaskan pelukannya kini bajuku pun ikut basah karena ulahnya, aku berjalan masuk menemui Ibu Asih tentunya. Kali ini dia menuntunku. Ada perasaan aneh menyeruak di dalam hatiku saat ini. “Ibu?” “Iya Nak, Ibu di sini!” Ibu Asih menghampiri ku lalu memegangi kedua jemariku. “Bu, Rain pamit. Maafkan Rain jika selama tinggal di sini Raina sudah membuat repot Ibu dan yang lainnya. Tapi boleh kah Rain ke sini lagi kapan-kapan?” kataku ragu, dan dengan sedikit sesal di dalamnya. Sungguh sebenarnya aku belum mau meninggalkan tempat ini. Tempat ternyaman yang pernah aku singgahi selama hidup. “Iya, kapanpun kamu mau, rumah ini akan selalu terbuka untukmu. kamu hati-hati ya! Ingat ya Nak. Kalo kamu suatu hari ada masalah dengan suamimu atau siapapun jangan suka berpikiran sempit dan lari dari masalahmu. Kamu harus Mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu. Kamu sudah dewasa, kamu tahu mana yang baik dan buruk serta salah dan benar. Nak Leon, tolong saya titip Raina. Dia sudah seperti anak saya. Jika Nak Leon melukai perasaanya itu sama artinya Nak Leon juga melukai hati dan perasaan saya. Jika Nak Leon sudah tidak menginginkan Raina, suatu hari nanti. Ibu selalu terbuka dan akan menerima Nak Raina kapanpun itu. Kembalikan dia dengan utuh seperti kamu membawanya saat ini. Itu saja pesan Ibu.” Aku segera memeluk Ibu Asih dengan erat. Wanita yang kuanggap sebagai orang tuaku selama ini. Lagi-lagi aku begitu cengeng. “Sudah jangan nangis terus. Itu suami kamu sudah kedinginan nungguin kamu dari tadi!” ucap Bu Asih. Dia mengusap pundakku lalu mencium pipi kiri dan kananku. “Saya pamit Bu. Trimakasih sudah menjaga dan merawat istri saya.” ujar Leon. “Titip Raina ya. Cubit dia kalo nggak nurut.” ucap Bu Asih sambi terkekeh. “Siap Bu,” balasnya sambil terkekeh juga. Sejak kapan mereka menjadi akrab seperti ini. “Ayo Raina,” Leon menuntunku. “Tak Laina!” suara Ajeng menghantikan langkahku. Aku berhenti lalu menghadap ke arah suara itu. Kurentangkan kedua tanganku sambil berjongkok. Gadis kecil itu menghambur ke dalam pelukanku. “Jangan pelgi!” ucapnya sambil terisak. “Kakak nggak pergi. Nanti kakak akan kembali lagi. Mengunjungi Ajeng dan kakak-kakak yang lain.” ucapku meyakinkannya. “Djanci yach!” aku mengangguk. Cup. Gadis kecil itu mencium singkat pipiku. “Trimakasih ya, jangan nakal kalo kakak nggak ada ya! Jangan suka membantah ucapan kakak-kakak yang lain. Jangan lupa makan sayur ya. Kamu suka bohongi Kak Raina kan. Mentang-mentang kakak nggak bisa lihat.” ucapku sambil memanyunkan bibirku. “He he. Iyach nanti Adjheng Matan Cayul yan banaaaaak banet.” anak ini sungguh menggemaskan. “Dah Ajeng. assalamualaikum ...” “Waalaikumsalam ...” jawab semua orang yang ada di situ dengan serempak. “Ayo!” Loen meraih tabganku membawaku menuju mobil. “Kita ke rumah sakit ya!” “Ngapain? Langsung pulang aja, lagian kamu basah semua. Nanti sakit!” ucapku. “Kalo sakit ya tinggal di rawat sekalian. Mumpung tujuannya rumah sakit.” ucapnya sambil terkekeh. “Ih nyebelin tau nggak. Ngapain ke rumah sakit kalo nggak ada yang sakit?” heranku. “Udah ikut saja!” Titahnya. Aku hanya bisa menuruti ucapannya. Yah mau berongak juga hasilnya akan sia-sia. Apalagi dia yang mengendarai mobilnya. “Kamu sudah makan?” tanyanya. “Em ...-” Kruuuuk! Aku tersipu malu ketika perutku saat ini tak bisa diajak kerjasama tentunya. Emang dari siang aku belom makan apapun. “Oke. Kita singgah di restoran sebentar ya!” Leon menghentikan mobilnya. “Kenapa berhenti?” heranku. “Aku mau ganti baju sebentar, sepertinya ada baju ganti di jok belakang. Kenapa? Kamu mau membantuku?” kelakarnya. “Percuma meminta bantuanku.” jawabku sambil terkekeh. Leon segera berpindah ke jok belakang dan mengganti bajunya. Tok! Tok! Tok! “s**t, apa lagi ini?” kesalnya. “Siapa?” aku penasaran. “Polisi.” “Hah?” aku kaget. Memangnnya kenapa kami sampai ada polisi mengetuk kaca mobil kami? “Ada apa Pak?" tanya Leon. Dia membuka kaca mobil. “Bapak parkir sembarangan. Apakah anda tidak melihat ada rambu dilarang parkir di situ? Terus kalo mau berbuat m***m bukan di sini tempatnya pak!” ujar polisi itu. “Siapa yang mau berbuat m***m sih pak?” Leon kesal. Tentu saja dia kesal, apalagi tuduhan polisi itu sama sekali tidak benar. “Kalo tidak m***m kenapa anda tidak memakai baju dan berduaan di dalam mobil hujan-hujan begini?” cecar polisi itu. “Astaga Pak! Berdosa Anda, menuduh saya m***m dengan istri saya sendiri. Saya tidak memakai baju karna saya sedang ganti baju, baju saya basah ketika saya kehujanan tadi. Istri saya sudah mengomel dari tadi gara-gara saya berhujan-hujan. Sekarang Bapak lagi yang mengomeli saya. Kok hari ini saya apes banget.” Leon mendengus kesal. Aku hanya bisa menahan tawaku ketika mendengar Leon sedang menggerutu tidak jelas. “Maaf menganggu kenyamanan Bapak. Tapi sebaiknya bapak segera memindahkan kendaraan anda. Karna bisa menganggu pengendara lain. Maaf atas ketidak sopanan saya.” jelas polisi itu. “Saya juga minta maaf pak, telah melanggar peraturan. Kerena saya tidak melihat rambunya tadi,” sangkal Leon. Setelah selesai dengan urusan polisi itu. Leon membawaku menuju sebuah restoran. “Ayo. Pelan-pelan.” dia membantuku turun dari mobil. Kami memasuki restoran yang terbilang ramai. “Aku kurang nyaman,” bisikku kepadanya. “Santai saja. Ayo!” ajaknya. “Ih ganteng-ganteng kok sama cewek buta sih?” ”Iya ... Tapi ceweknya juga cantik. Tapi sayang buta.” Begitulah kira-kira bisik-bisik yang aku dengar. Sebenarnya aku kurang nyaman karena hal ini, orang-orang pasti akan mencemo’oh. Tapi masa bodoh dengan semua itu. Mau mengelak juga faktanya aku buta. “Duduk di sini!” Leon mengarahkanku menuju sebuah kursi. “Kamu mau makan apa?” tanyanya kepadaku. “Kamu pilihkan saja. Yang penting nggak ribet waktu makan.” “Ya sudah, em ... Saya pesan dua porsi spageti dan minumnya jus jeruk.” “Baik, ditunggu sebentar ya Pak, Bu,” kata pelayan wanita itu. “Maaf.” ucapku sedikit ragu. “Kamu tidak perlu minta maaf, seharusnya aku yang minta maaf. Aku tak sesempurna Nabi, tapi aku memutuskan untuk poligami. Tapi aku berjanji akan berlaku adil kepada kalian,” ujarnya. “Biar bagaimanapun aku yang salah. Masuk ke dalam rumah tangga kalian dalam waktu yang singkat. Pasti Kak Farah.” “Kamu tidak perlu memikirkannya.” potongnya. Padahal aku belum selasai dengan ucapanku. “Ini pesanannya Pak, selamat menikmati.” “Terimakasih,” kataku. “Bisa makan sendiri?” tanya nya. “Tentu.” aku meraba meja perlahan. Ting! Tanpa sengaja aku menjatuhkan entah garpu atau sendokku. “Sudah tau buta. Pake sok-sokan mau makan di resto,” gerutu seorang ibu-ibu. Lagi-lagi aku mendengarkan orang berbisik-bisik dibelakang ku. Aku mengembuskan napas panjang. “Pelayan!” teriak Leon. “Ada yang bisa saya bantu Pak?” seorang pelayan berjalan mendekat ke arah kami. “Saya mau boking resto ini bisa?” “Maaf Pak, tapi masih banyak pelanggan kami.” ucap pelayan itu ragu. “Saya tidak mau tahu. Kosongkan segera resto ini. Biar saya yang bayar semua pesanan pelanggan di sini!” ujarnya. “Baik akan segera saya lakukan. “Apaan si Le, jangan seperti itu. Bikin malu tau nggak!” aku menjadi kesal dengan tingkah Leon yang suka seenaknya. “Kamu diam saja! Intinya aku tidak suka jika istriku dihina oleh orang. Itu membuatku sakit.” katanya dengan santai. Dasar konyol. Benar saja dalam waktu lima menit resto ini benar-benar ditutup olehnya. Aku gak tahu apa yang telah dia lakukan sehingga membuat pelayan itu menuruti ucapan Leon. Samar-samar aku mendengar pelanggan menggerutu dengan kebijakan restoran yang terbilang aneh. Menutup restoran karena hal sepele seperti ini Leon menarik kursinya mendekatiku. “Sini aku suapi. Aa ... Buka mulutmu!” “Aku bukan anak kecil lagi, lain kali kamu nggak perlu lakuin hal begini lagi. Jangan mentang-mentang punya uang kamu bisa seenaknya,” ucapku sedikit kesal kepadanya. “Hemm ... Lain kali akan kuboking sebelum pergi makan. Ayo buka mulutmu. Jangan lama-lama masih banyak urusan yang harus aku selesaikan!” titahnya. Kali ini aku hanya menurut dan menghabiskan setiap suap makanan yang dia suapkan hingga suapan terakhir. “Sudah ayo!” “Kamu nggak makan?” heranku. Dari tadi dia menyuapiku dan tiba-tiba langsung mengajakku pergi. “Sudah ... Sambil menyuapin aku juga makan tadi.” Setelah mengurus p********n Leon membawaku menuju ke mobil lagi. “Maaf ya, kamu jadi repot memiliki istri sepertiku!” kataku dengan sedikit penyesalan. “Hem ...” “Kamu marah?” aku merasa kesal ketika dia hanya menjawab ku dengan singkat. “Nggak!” “Terus?” “Enggak ada, aku nggak marah Raina.” Cup. Benda kènyàl menyentuh pipiku sekilas. “Leon!” jeritku. Dia hanya terkekeh. Selama perjalanan menuju rumah sakit kami tak saling bicara sedikitpun. Entahlah. Aku masib kesal semenjak dia mencuri ciuman di pipiku tadi. Tak terasa akhirnya kami sampai di rumah sakit yang dimaksud Leon. Dia menuntunku ke dalam. Entah ke mana dia membawaku, aku hanya bisa menurut saja. “Hai Raina? Apa kabar?” sapa dokter Mahen. “Alhamdulillah ... Baik dok.” ucapku sembari tersenyum. “Ayo. Kamu harus siap-siap!” “Kemana dok?” tanyaku heran. “Bersiap untuk operasi.” “Pergilah Rain. Jangan buat aku kecewa jika kamu sampai menolak,” tutur Leon. “Janji kamu harus bangun lagi ya!” ujar Leon, tak lupa dia mengecup keningku singkat. Aku hanya mengangguk heran dengan maksud dari ucapannya. Aku duduk di atas kursi roda lalu diantar oleh dokter Mahen menuju kamar inapku. “Dok? Bolehkah saya tahu. Siapakah gerangan yang baik hati sehingga memberikan matanya untukku?” aku begitu penasaran saat ini. “Em ... Yang jelas dia adalah wanita dengan hati malaikat. Tapi sayang umurnya tak akan lama lagi. Penyakitnya sudah sangat parah. Nanti setelah kamu bisa melihat aku akan memberitahumu,” ujarnya. Tapi sungguh aku begitu penasaran saat ini. “Aku turut sedih sebenarnya dok. Aku juga tak tega jika harus menerima matanya. Setidaknya kasih bocoran sedikit bisa dong dok?” rengekku. “Iya ... Nanti aku bakal kasih tau kok. Oh iya. Kamu puasa dulu ya. Operasinya akan dilakukan besok pagi.” “Baik dok.” “Oke. Aku akan memeriksa pasienku yang lain. Kamu istirahat saja ya!” Aku hanya menuruti perkataan dokter Mahen. . . . Hari di mana aku akan melakukan operasipun tiba. “Dok apakah saya bisa mengucapkan terimakasih kepada orang yang akan memberikan matanya kepadaku sebelum aku di operasi?” tanya ku kepada dokter Mahen. “Tentu saja. Tapi dia sudah tidak sadarkan diri.” “Kamu sudah siap?” tiba-tiba Leon sudah ada di dekatku. Dia mendekapku dengan erat. “Iya.” jawabku singkat. “Kamu harus bangun lagi ya?” “Hem. Aku nggak janji. Karna hanya Allah Dzat pemberi hidup dan mati,” ucapku tanpa ragu. “Saya permisi Pak Leon. Saya bawa Ibu Raina ke ruang operasi.” “Saya serahkan semuanya kepada anda dok.” “Baik pak!” Dokter Mahen membawaku menuju ruang operasi. “Raina. Orang yang akan mendonorkan matanya ada di sampingmu,” jelas dokter mahen. “Bolehkah saya memegang tangannya dok? Saya ingin mengucapkan sesuatu.” “Tentu.” dokter mahen menuntun tanganku untuk memegang jemari orang itu. Tangannya begitu lembut dan halus. “Siapapun kamu. Aku sangat berterimakasih, aku berharap kamu bisa hidup lebih lama lagi. Tapi kata dokter Mahen itu tidak mungkin. Mengingat penyakit yang kamu derita sudah cukup parah. Aku hanya bisa mengucapkan banyak terimakasih dan aku doaku yang terbaik untukmu.” Kurain tangan lembut itu lalu kucium dan kuhirup punggung tangannya. Deg! “Aroma ini tak asing bagiku. Tapi siapa?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD