Avgld 10

4939 Words
 “Gimana keadaan kamu di sana?” Tanya Galdin, “kapan kamu bangun lagi? Sebulan ini Galdin udah bisa hidup tanpa kamu, sekarang giliran kamu yang harus nepatin janji.” Lirih Galdin yang tanpa terasa air matanya perlahan turun. Galdin menangis dalam diam, tubuhnya bergetar hebat menahan tangis. “Ternyata kamu kelemahanku mulai sekarang.” Gumam Galdin. “A - Galdin!” “Galdin.” Galdin mendongakkan kepalanya, air matanya kembali turun saat mendengar suara Avitha tengah memanggilnya. “Galdin.” Avitha berusaha membuka kedua matanya, kepalanya terasa pusing dan sesekali meringis nyeri saat dia menggerakkan seluruh tubuhnya. “Akhirnya kamu bangun juga.” Ujar Galdin seperti terdengar putus asa di telinga Avitha. Galdin beranjak dari duduknya, “aku panggil tante Poppy dulu ya.” Avitha menahan tangan Galdin, “ka – mu di – sini aja.” Pintanya seraya menggerakkan kepalanya ke samping untuk bisa menatap wajah Galdin yang tengah tersenyum memandangnya. Galdin meraih kedua tangan Avitha lalu mengecupnya lama, “jangan pernah berpikiran untuk meninggalkan aku lagi.” “Mi – num.” “Ah iya aku sampe lupa, Putri Tidur nya Galdin pasti haus kan.” Kekeh Galdin seraya membantu Avitha duduk. “Berapa lama aku istirahat?” “Ck, kamu masih bilang itu istirahat? Bagaimana mungkin saat kondisi kamu naik turun disebut istirahat, kamu bikin aku khawatir.” Cibir Galdin. “Ma – af.” Cicit Avitha yang masih terdengar lemas. “It`s ok babe, no problem.” Avitha mengedarkan pandangannya, “Dimana mereka?” “Dimana mereka?” ‘DEG’ “Galdin!” Panggil Avitha menyadarkan lamunan Galdin. “Hah gimana?” Bengong Galdin. “Mereka pada kemana?” Tanya Avitha. “Ooooh.” Sahut Galdin malah membulatkan bibirnya membentuk huruf O. Avitha yang kesal pun langsung menyubit lengan Galdin, “ish, aku nanya kok malah gitu.” “Hehe.” Cengir Galdin. “Jadi me – re – ka pada kemana?” Gemas Avitha mengeja perkatanya. Perasaan Galdin campur aduk saat Avitha menekankan kata ‘mereka’, antara bingung, senang, takut, sedih bersamaan. “Emangnya mereka siapa?” Selidik Galdin. “Mama, Papa, sama bang Sam lah.” Ketus Avitha menjawab. Galdin mengangguk paham, “Aaaah, mereka.” Ada jeda sebentar sebelum Galdin melanjutkan ucapannya, “ tante Dina sama om Deni ke Jakarta kalo bang Sam ke Cafe.” “Berapa lama katanya?” Tanya Avitha terdengar sedih. Galdin menggelengkan kepalanya pertanda tak tahu, “kan ada Galdin yang nemenin kamu.” Ujar Galdin seraya mengelus puncak kepala Avitha. Avitha mengangguk, “Galdin!” Rajuk Avitha seraya memainkan jari tangan Galdin. “Apa hm?” “Mau es krim.” Rengek Avitha terus menusuk – nusukkan jari telunjuknya pada telapak tangan Galdin. Galdin tersenyum sebentar melihat tingkah lucu Avitha, kemudian dia menggelengkan kepalanya, “No! Kamu baru aja sadar, diperiksa tante Poppy juga belum.” “Aaah aku mau eskrim Galdin, aku udah baikan loh nih liat.” Ucap Avitha seraya turun dari kasur lalu berputar – putar kegirangan layaknya anak kecil yang tengah asyik bermain di taman hiburan. Galdin menatap Avitha syok, bagaimana bisa dia melihat Avitha yang sudah bisa berputar – putar sedangkan gadis itu baru saja sadar dari koma nya bahkan Galdin melihatnya sendiri bahwa Avitha baru sadar. “Kamu kok bisa?” Tanya Galdin terkejut. Avitha cengengesan seraya menatap mata Galdin, “hihihi, Galdin jangan marah yak.” Cicit Avitha menghampiri Galdin lalu menarik ujung kaos yang dikenakan Galdin, “sebenernya Avitha udah bangun dari tadi pagi. Avitha juga udah jalan – jalan sama mamanya Galdin heee.” Ucap Avitha seraya menatap Galdin ketakutan. Raut muka Galdin perlahan mendatar, tatapan tajam tertuju pada Avitha, dia melangkahkan kakinya mengikis jaraknya dengan gadis di hadapannya kemudian menarik tangan Avitha sehingga membuat dadanya bertubrukan dengan kepala Avitha. “Awsh,” – Ringis Avitha, -- “d**a kamu keras banget sih aku gak suka.” Protes Avitha di tengah pelukan Galdin seraya menngusap kepalanya. “Justru bagus sayang, dulu kamu bilang kalo punya pacar harus yang badannya tegap, ini aku rela tiap hari olahraga demi kamu loh.” “Iya bagus, tapi itu dulu tau, sekarang aku gak mau itu lagi. Nanti pas kamu masuk SMA bisa pamer perut sama d**a kan? Pasti kamu mau genit sama kakak kelas kan?” Tuduh Avitha pada Galdin, “terus nanti tiap olahraga kamu bisa nunjukin perut kamu kan? Ish pokoknya gak boleh terjadi.” Avitha tak menampik ketampanan Galdin, diusianya yang bahkan belum genap tujuh belas tahun tapi Galdin mampu menghipnotis semua mata yang melihatnya. Mau dilihat dari segi apapun lelaki itu sungguh mempesona. “Loh kenapa?” Tanya Galdin tak terima seolah – olah dia kesal pada Avitha. “Ish.” Kesal Avitha seraya mencubit perut Galdin. “Loh kok dicubit sih? Aku kan Cuma nanya kenapa?” Tanya Galdin serius. “Ya gak kenapa – kenapa.” Balas Avitha cepat. Galdin terkekeh pelan, “ya udah kalo gak papa, tapi ya kayaknya itu ide bagus.” Ujar Galdin membuat Avitha mendelikkan matanya. “Ish nih rasain nih, enak kan? Nih lagi.” Cubit Avitha bertubi – tubi, “lagi nih.” Lanjut Avitha. Bukannya kesakitan Galdin malah tertawa merasa geli, “Hahaha adudududuh ampun deh geli ini.” “Rasain tuh.” Tiba – tiba Galdin mengangkat tubuh Avitha ke pundaknya lalu menjatuhkannya di atas ranjang, di pandangnya Avitha yang tengah terkejut , dengan gerakan cepat Galdin membalas perbuatan Avitha yang tadi sudah menyerangnya dengan cubitan. “Ini balasannya sayang.” Kekeh Galdin sembari menggelitiki pinggang Avitha, alhasil gelitikannya mampu membuat Avitha merasa kegelian. “AAAAAA MAMA! Hahaha PAPA! Hahahah BANG SAM! Hahahaha AAAAA A tolongin AVITHAAAA! Hahaha” Teriak Avitha di sela tawanya. “Kalo kamu teriak aku tambahin ya.” Ancam Galdin menertawakan Avitha. “Ampun dah! Avitha gak akan teriak lagi, -hahaha- stop Galdin –Hahahaha- . Galdin ih stop, hahaha.” Galdin mengabaikan permohonan Avitha, dia masih kekeh menggelitiki Avitha. “Galdin plis deh, jangan kayak gini.” Mohon Avitha. “Minta maaf!” Titah Galdin dengan dingin seraya menghentikan gelitikannya. “Hah Gimana?” Tanya Avitha berusaha mengatur nafasnya. “Cepet!” Sentak Galdin. ‘Astaga Galdin cepet banget berubah sikapnya’ batin Avitha Sampai Avitha baru menyadari kalau Galdin tengah marah kepadanya saat ini. Avitha kemudiam memberanikan untuk menatap Galdin yang ternyata tengah menatapnya tajam dengan tangan masih terus menggelitiki seluruh tubuhnya. “Kenapa nangis? Who hurt you babe?” Avitha menggelengkan kepalanya seraya menegadahkan wajahnya agar air matanya tak keluar, “my expectations.” “Why? Apa yang kamu harapin? Kamu berharap aku senang mendengar kabar bahwa aku tengah dibohongi seorang Avitha?” Galdin tertawa mengejek Avitha, hal itu membuat Avitha semakin memandang Galdin ketakutan. “Oke – oke aku ngaku salah, maafin aku gak ngabarin kamu tadi pagi.” Ucap Avitha seraya berusaha untuk menggenggam tangan Galdin yang tengah berada di pinggangnya. Galdin menghentikan pergerakannya, matanya masih menatap Avitha tajam, rahangnya yang mengeras sangat terlihat jelas mengartikan kalau dia sedang menahan marahnya. “Yang bener.” Titah Galdin. “Aku Avitha Pouril minta maaf sama Galdinior Dino.” Ucap Avitha seraya menahan tangisnya. Galdin menaikkan sebelah alisnya, “Karena?” Mata Avitha tak sanggup menatap balik Galdin, dirinya sibuk melirik kesana – kemari demi menghindari tatapan tajam Galdin. “Ka – karena?” Tanya Avitha bingung, “Ahh, karena Avitha gak ngasih kabar sama Galdin.” Tak peduli air matanya sudah mengalir, Avitha hanya ingin Galdin segera menjauh dari hadapannya dia sangat takut menatap Galdin yang berada di atasnya. “A – Galdin.” Panggil Avitha. Tak ada sahutan dari Galdin, lelaki itu masih saja terus menatap Avitha tajam. “Galdin ih.” Isak Avitha seraya mendorong badan Galdin agar menjauh darinya. “Galdin ih, berat.” Galdin masih menatap Avitha tajam, seolah – olah Avitha adalah hal yang paling Galdin benci. “Galdin, gue takut.” Cicit Avitha berusaha keras mendorong Galdin. Bukannya menjauh Galdin malah memajukan wajahnya membuat Avitha bisa merasakan nafas milik lelaki di depannya, hanya tinggal beberapa senti lagi hidung mereka bertemu, air mata semakin keluar tanpa Avitha sadari. Galdin menghentikan aksinya saat hidungnya bersentuhan dengan hidung milik Avitha. Dengan tampangnya yang dingin dia beranjak dari atas Avitha lalu keluar kamar pergi meninggalkan Avitha yang masih menangis pelan. - “Gimana keadaannya Galdin?” Tanya Zacky saat melihat Galdin tengah menuruni tangga. “Dah bangun.” Balas Galdin seraya berjalan menghampiri Zacky yang tengah duduk berkumpul bersama Rio, Delva dan adiknya. “Lo apain Avitha sih bang?” Tanya Lexia. Galdin mengernyit heran, “emangnya?” “Barusan kita denger Avitha teriak – teriak gak jelas, mana minta tolong lagi.” Ucap Delva menjawab Galdin. “Tau ah, gak mood ngomong gue.” Kesal Galdin. “Lah?” Bingung Delva, Lexia dan Rio barengan. “Kalian samperin Avitha sana, jangan lupa bawa air minum lagi buat Avitha.” Suruh Galdin terdengar kesal. “Emang lo mau kemana bang?” Tanya Lexia. Galdin mengacuhkan pertanyaan adiknya itu, dikeluarkannya ponsel miliknya lalu membuka dan memiringkan ponselnya untuk memainkan sebuah permainan. Zacky merasakan ada yang tidak beres dengan sahabatnya itu, “Lexia lo ke atas duluan sama Delva, Rio ikut gue ke dapur.” Titah Zacky diangguki oleh mereka. Galdin menatap satu persatu teman yang mulai pergi meninggalkannya, matanya mulai berair. “Mereka tega banget ninggalin Galdin sendirian.” Sedih Galdin, “padahalkan Galdin mau ditemenin.” Jarak antara dapur dan ruang keluarga berdampingan, hal itu membuat Zacky bisa mendengar rajukan Galdin. Zacky berniat menguping terlebih dahulu, dia ingin tahu apa yang membuat Galdin terlihat murung. “Galdin kesel banget sama Avitha, dia bohongin Galdin. Masa udah sadar dari pagi tapi dia gak ngabarin Galdin sih.” Gerutu Galdin seraya mengetuk – ngetuk layar ponselnya. “Ckckck, lo kayak bocah asli.” Geleng Zacky menghampiri Galdin. Galdin menatap Zacky seraya mencebibkan bibirnya, “Galdin udah gede.” “Lo kayak bocah asli, itu bibir gak usah digituin.” “Ish.” Kesal Galdin menatap Avitha. “Lo gak ikut ke atas?” Tanya Zacky. “Gak.” Putus Galdin cepat. Zacky menggeram kesal menatap Galdin yang sifatnya seperti anak kecil, “lo bohong ya pas bilang sayang sama Avitha?” Galdin menggeleng cepat, “Gak, gue bener mana ada gue bohong.” “Ya udah ayok ke atas lagi.” Titah Zacky. Galdin terdiam, “gue disini aja.” “Dasar keras kepala, bilangnya sayang. Gue ambil baru tau rasa lo.” Ejek Zacky meninggalkan Galdin. “Eh apaan sih lo, gue beneran sayang sama – anjing!” Zacky menghentikan langkahnya kemudian berbalik melihat Galdin yang tengah terjatuh seraya mengangkat kaki nya ke atas. “Anjir lo berdarah Galdin, hahaha.” Tawa Zacky pecah saat matanya menangkap lutut Galdin berdarah. “Duh Zack tolongin, linu gue.” Avitha berlari menuruni tangga, matanya membulat melihat darah bercucuran dari lutut Galdin. “Ya ampun, Galdin berdarah!” Panik Avitha berlari ke arah dapur. Galdin menatap kepergian Avitha, “kok kamu malah ke dapur sih? Bukannya bantuin aku.” Kesal Galdin yang sesekali meringis. Avitha datang membawa pisau dan lakban, hal itu membuat Galdin menatap Avitha takut. “Eh kok bawa pisau dapur sama lakban sih? Lo mau obatin gue apa bunuh gue?” Tanya Galdin mulai panik. Avitha berjalan mendekat seraya menatap Galdin dengan tenang, “emang siapa yang mau bunuh lo? gue Cuma mau bungkus kaca yang ada di meja biar gak kena orang lagi.” Galdin menjatuhkan rahangnya, “hah? Lo gak mau obatin luka gue shh?” “Iya.” Ucap Avitha menggeleng dan menganggukkan kepalanya bergantian. “Iya apa enggak Avitha? Shhhh – pelan dong Yo, lutut gue nyutnyutan kegores kaca.” Protes Galdin. “Udah untung lo gue gotong ke sofa, ckckck” Protes Rio balik. “Iya sama enggak.” Balas Avitha. “Iya? Enggak?” Bingung Galdin sesekali meringis. “Iya aku obatin kamu tapi gak sekarang, aku mau bungkus kaca meja dulu.” Jelas Avitha. “Shhh, Zack lo tiupin dong lututnya.” Titah Galdin pada Zacky. “Ogah.” “Yo, Rio! Tiupin kaki gue dong.” Pinta Galdin pada Rio. “Gak, kagak mau males.” Sahut Rio. “Dek, lo gak mau jadi adek durhaka kan?” Lexia menatap sinis Galdin. “Sssh, Va Delva!” Panggil Galdin. Delva yang sedang membantu Avitha mengelap darah yang berada di meja pun menoleh, “apa sih Galdin?” Sahutnya tajam. “Viiiiii, Avithaaaaa!” Rajuk Galdin seraya memperhatikan Avitha yang tengah sibuk mengepel lantai. “Viiii, obatin dulu kaki aku. Ini sakit banget tau, perih.” Rengeknya kembali. Avitha menoleh sebentar lalu menatap Delva, “lo bisa kan sendiri?” “Bisa lah, lo urus aja bayi besar lo.” Sahut Delva. Galdin mendengus saat dirinya disebut bayi, sementara Zacky dan yang lainnya hanya tertawa mendengar ledekan yang dibelikan Delva. Avitha beranjak menaiki tangga meninggalkan semua orang, “gue ambil kotak P3K dulu.” Ujarnya menjawab pertanyaan Galdin yang bahkan lelaki itu pun belum mengeluarkan pertanyaannya. Setengah jam berlalu... “GALDINIOR DINO!!!! SINI LO!” Teriak Avitha dari arah dapur. “GALDINIOR DINO!! SINI LO!” Teriak Avitha memenuhi seluruh ruangan. “Aaaaaa gak mau, kamu jangan deket – deket sama aku.” Teriak Galdin seraya berlari untuk menghindari kejaran Avitha. Avitha menatap Galdin yang berada beberapa meter darinya, kedua tangannya dia simpan di pinggang dengan mata yang melotot tajam. “Ck Galdin lo kekanakan banget sih, tadi bilang gak mau dibawa ke rumah sakit. Sekarang giliran Avitha mau obatin lo malah kabur.” Ujar Zacky. Galdin mengabaikan apa yang dikatakan Zacky, dia sedang kelimpungan mencari cara agar bisa menjauhi Avitha. "Gue tarik omongannya, nanti aja sama mama di rumah." Rajuk Galdin di di hadapan semua temannya. "Lo lupa bang? Mama kan paling gak suka nyium bau darah lo bang." Ujar Lexia. Galdin menatap Lexia, "sama lo aja kalo gitu dek." "Gak, lo mau gue buntungin pakek pisau ini." Ancam Lexia seraya menodongkan pisau yang sedang dia pakai untuk mengupas apel. Galdin bergidik ngeri melihat adiknya menodongkan pisau kepadanya, "dasar kejam. " Gerutunya pelan. "Udah lah sini, lo mau gue obatin Galdin. " Pinta Avitha. “Huaaaa mama, aku gak mau diobatin sama Avitha.” Rengek Galdin sembari berjongkok karena kelelahan. "GALDIN! Lo mau di obatin sama siapa kalo gak sama Avitha? Dokter gak mau, sini lo ikut gue. Gue bawa lo ke mang Dimon. " Teriak Lexia hendak menghampiri Galdin. Galdin semakin menjauh saat mendengar nama 'mang Dimon', pasalnya mang Dimon itu tukang kebun yang tiap harinya selalu bawa alat - alat tajam buat motong rumput. "GAK MAU! " "Berisik Galdin." Protes Delva diangguki oleh Rio dan Zacky. Berbeda dengan Galdin dan Avitha yang tengah asyik main kejar – kejaran, teman mereka tak melakukan apa – apa. Yang mereka lakukan dari tadi hanyalah menyaksikan aksi kejar – kejaran pasangan itu. Avitha melambaikan tangannya pada Galdin, “Sini gak!” Galak Avitha, “Galdin sini gak! Lo mau lukanya iritasi hah?” Tanya Avitha menghentikan kejarannya. “Gak.” Geleng Galdin. “Ya ampun Galdin, lo kekanakan banget sih. Lo mau mati kehabisan darah apa?” Sentak Avitha yang sudah pusing dengan kelakuan Galdin yang membuat kotor seluruh lantai akibat darah yang bercucuran dari kaki Galdin. “Gak mau.” "Galdin ayo cepetan." "Gak." “Lo!” Jeda Avitha seraya menghampiri Galdin, “lantai semua kotor gara – gara lo Galdin, arghh.” Geram Avitha saat dirinya berhasil menarik kerah baju Galdin. “Aaaaaaaaa.” Teriak Galdin hendak kabur, namun dengan cepat Avitha menahannya. “Bodo Galdin, terserah lo aja. Pergi ke rumah sakit sana, paling juga lo disuntik terus di jait lututnya.” Kesal Avitha menyerah. Galdin terdiam sesaat, matanya mulai berani untuk melihat Avitha. “Ya udah sini yuk, aku janji pelan – pelan bersihinnya.” Ucap Avitha menenangkan Galdin. “Gak mau, tadi aja kamu nekennya kekencengan. Gak, Galdin gak mau.” “Aku janji, pegang janji ku. Kalo gak diobatin, nanti lukanya makin parah oke.” Ucap Avitha membuat Galdin mengangguk, “Janji ya.” Ucap Galdin memastikan. Avitha tersenyum, matanya memandang Rio dan Zacky bergantian. Seolah mengerti akan tatapan Avitha, mereka bergegas menghampiri Galdin lalu membopongnya untuk dibawa ke sofa. Kali ini Galdin tidak berontak, dia menurut seperti seorang anak keci. Tatapan takut pada Avitha saat melihat gadis itu tengah berjalan mendekatinya. Avitha tersenyum, “tenang aja Galdin, ini Cuma harus dibersihin doang.” "Huwaaaaaaa" Teriak Galdin sangat nyaring, hal itu membuat teman - temannya menertawakan Galdin. "Ada apaan sih ribut banget?" Tanya Samuel yang baru saja pulang dari Cafe. "Loh ini kenapa lantainya kotor banget?" Tanya Samuel menyusuru segala penjuru. Merasa tak ada jawaban, akhirnya Samuel pergi menuju ruang keluarga dan betapa terkejutnya saat melihat meja kaca yang baru beberapa hari yang lalu dia beli terlihat seperti barang rongsok. "Kalian apain meja ini?" Sentak Samuel menatap semua orang bergantian. Tidak ada yang menjawab pertanyaan Samuel, "Avitha bisa jelasin?" Tanya Samuel seraya memperhatikan Avitha yang tengah mengobati luka di kaki Galdin. "Ekhem, attention please!" Dehem Zacky, "Avitha kayaknya kita harus pulang sekarang deh, takut kemaleman." Lanjut Zakcy di angguki Rio, Delva dan Lexia. Avitha yang memang sudah tahu bahwa mereka akan kabur pun langsung mengambil pisau yang ada di atas meja lalu menodongkannya pada Zacky, Rio dan Delva bergantian. "Tidak semudah itu kawan." Sinis Avitha. Galdin pun ikut mengangguk, "yup, kalian gak boleh kabur gitu. Kita harus beresin --" "Lo aja kali, ngapain ajak kita. Bukannya lo yang gak bisa diem lari kesana kemari hah? " Sindir Zacky. "Ckckck, kalian emang temen yang gak solid ya. " Heran Galdin menggelengkan kepalanya. "Dih, emang siapa temenan sama anak cengeng? " Ledek Lexia. "Gue gak cengeng ya. " Protes Galdin. "Emang si Lexia bilang lo cengeng? " Tanya Delva seraya menaikkan alisnya. "Arghhh, awas aja lo pada. " Ancam Galdin seraya menggusar rambutnya dengan kasar. "Ckckck, jadi ini semua salah siapa? " Sinis Samuel seraya berkacak pinggang dan menatap Galdin tajam. Galdin memberikan cengiran khasnya, "saya bang Sam. " Lirih Galdin sedih. Samuel tersenyum meledek Galdin, "bagus, itu artinya lo tahu kan apa yang harus dilakukan? " "Iyak kakak ipar, aku paham. " Sahut Galdin dengan malas. Avitha mencubit perut Galdin, membuat laki-laki itu meringis. "Emang siapa yang mau jadi istri lo? Hah? " Tanya Avitha meledek. "Dih, emang adik bang Sam cuma lo doang apa? " Sinis Galdin pada Avitha. Tatapan Avitha langsung menuju Samuel, sedangkan Samuel hanya mengedikkan bahunya tak tahu. “Ya udah Avitha, kalo gitu kita pulang dulu.” Pamit Delva pada Avitha. “Loh kok sebentar banget sih.” Protes Avitha. “Mereka disini udah tujuh jam, apa itu sebentar Avitha?” Tanya Galdin tajam, "udah sana lo pada. " Usir Galdin langsung mendapat toyoran dari adiknya. Avitha merenggut kesal, “ya udah sana kau juga pulang hush.” “Gak, aku pulang kalo bang Sam udah pulang.” Sanggah Galdin. "Gue udah di sini dari tadi t***l. " Ujar Sam. "Hehe" Cengir Galdin. "Ya udah yuk. " Ajak Delva. Avitha mengangguk, "kalian hati - hati ya bawa mobilnya. " Ucapnya seraya mengantar temannya ke depan pintu. "Nanti kalo main lagi kalian satu mobil aja, jangan tiap orang bawa mobil. " "Siap ibu! " Ucap mereka serentak. "Bye Vika sayang! " Salam Zacky yang langsung bergegas menyalakan mobilnya. Waktu berlalu cepat, kini Galdin berhasil membereskan kekacauan yang sudah dia perbuat. “Aku udah gak butuh kamu sekarang, pulang sana. Lagian Lexia nanti mau ke sini lagi buat nemenin aku, bentar lagi juga Silvi ke sini mau nginep.” Ujar Avitha sinis seraya mendorong Galdin. "Gak ada, gak ada nginep - nginep ya. Apalagi sama si Lexia, gak boleh. " Cegah Galdin. "Apan sih lo bang, mama aja udah izinin gue. " Protes Lexia. Galdin menatap Avitha dan Lexia bergantian, “pasti kalian mau aneh – aneh kan?” selidiknya. "Kita mau movie maraton Galdin, lo gak usah negatif thinking gitu. " Jelas Avitha pada Galdin. Galdin menghela nafas kasar, “oke.” Ucap Galdin pasrah seraya berjalan menuju pintu luar. Sudah satu minggu berlalu semenjak Avitha bangun dari koma, dan kini Avitha telah kembali beraktivitas seperti biasanya. Keadaanya sudah dinyatakan sembuh, bahkan sudah diperbolehkan untuk sekolah kembali. Seperti biasa, pagi ini Avitha harus bangun untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang pelajar. Hari ini juga dia memutuskan untuk mulai bekerja kembali di Kafe miliknya, padahal awalnya dia memutuskan untuk fokus terlebih dahulu di sekolah dan menyerahkan urusan Kafe kepada kedua Dina, namun karena Dina juga sibuk dengan bisnis butiknya dan tidak ada waktu untuk mengunjungi Kafe.  Karena ketidakhadiran Avitha di sekolah, membuatnya harus bergerak cepat agar bisa menyusul beberapa pelajaran yang tertinggal. Bukan hanya tertinggal pelajaran saja, dia juga ketinggalan beberapa berita yang sudah lama ini menjadi trending topik. Seperti pagi ini.... “Abang anterin sampe kelas, nanti.” Ajak Samuel. Avitha menggeleng, “Gak usah Bang, gue sendiri aja.” “Gak, nanti lo jadi bahan tontonan sama anak – anak.” “Justru kalo gue di anterin sama lo, bakal nambah gosip lagi.” Ketus Avitha, “udahlah gak papa, gue yakin bisa. Lagian kan kali ini gue gak culun lagi.” Lanjutnya seraya menyisir rambutnya. Samuel memandang Avitha kesal, “lo masih SMP dek, kok bisa – bisanya isi tempat pensil lo make up semua.” “Ya elah bang, kali ini gue bukan Avitha si culun lagi. Tapi apa?” Tanya Avitha pada Sam. “Ya enggak gitu juga kali Dek.” Cibir Samuel seraya mengacak kembali rambut Avitha, “lo lebih kayak cabe – cabean mangsanya om – om tau, wkwkwk.” Lanjut Sam diakhiri dengan tawanya. Avitha merenggut kesal, “Tai lo.” Gerutu Avitha. “Ya abisnya kumplit bener make up nya.” Kekeh Samuel. “Segala sesuatu itu harus full gak boleh setengah – setengah, eh tapi Bang gak papa deng ya kalo om – om nya kayak papa nya Galdin juga.” Kekeh Avitha yang langsung mendapat jitakan di jidatnya. “Lo mau jadi nyokap tirinya si Galdin hah?” Sinis Sam, “kalo gue jadi Galdin pasti bakal sedih, nyokap tiriku adalah mantanku. Hahahaha” Tawa Samuel pecah. Avitha memukul pelan lengan Samuel, “garing ish.” “Haha, gue masih pengen ngakak.” Ujar Sam di sela tawanya. “Yeu bukan gitu maksudnya, gue kan Cuma bilang kalo om – om nya kayak om Dino ya gak papa. Gue nyebut nama om Dino juga bukan maksud mau nikung tante Lina juga kali.” Tukas Avitha, “tau ah ribet ngobrol sama kakek – kakek kayak lo.” Sinis Avitha. Samuel tiba – tiba menepuk jidatnya pelan, “gue lupa.” “Lupa apaan bang?” “Dek, lo bisa kan?” Tanya Samuel mencari jawaban di mata Avitha. “Bisa apaan?” Samuel menghela nafas lagi, “jauhin dulu Galdin sama temen – temennya.” Avitha mengernyi kebingungan, “loh emang kenapa?” Sam terdiam sebentar, “lo inget kemarin malem gue pergi ?” Avitha mencoba mengingat, “inget, lo bilang mau ke acara ulang tahunnya perusahaan temen papa kan?” Samuel mengangguk sekaligus menggeleng, hal itu membuat Avitha menatap kakaknya bingung. “Gue gak jadi ke acara itu, karena tiba – tiba om Dino nelpon gue dan ngajak makan malam keluarga. Gue kira ada lo sama Galdin juga di sana, ternyata cuma gue sendiri anak mudanya. " "Emang ada siapa aja?" Tanya Avitha. "Nyokap - bokap sama kakek - nenek nya Galdin. " Jelas Samuel. "Loh? Kenapa lo di ajak makan malam sama keluarga Galdin? " Kaget Avitha. "Nah itu dia yang sekarang bakal jadi masalah lo. " Tukas Sam. "Apaan, orang lo yang makan malam nya kok gue kena masalahnya sih. " Gerutu Avitha kesal. "Ini bakalan jadi masalah lo kalo gak jauhin Galdin. " Jelas Samuel. "Kenapa gue harus jauhin dia? " "Lo inget dulu nenek pernah cerita kalo dia punya sahabat tapi malah jadi musuhan sampe sekarang? " Tanya Samuel. Avitha mengangguk pelan, "inget lah." Samuel mengangguk, "nah itu dia, orang yang nenek bicarain itu adalah neneknya si Galdin. " Avitha terkejut, "what? Jadi musuh nenek yang pernah rebut kakek itu neneknya si Galdin? " Jeda Avitha, "wah tega bener sih. " Samuel menggelengkan kepalanya, "apa lo bisa jauhin Galdin dulu? Kemarin neneknya titip pesan buat lo, katanya gini. " Samuel menjeda sebentar, "kamu bilang sama adik kamu, kalo saya tidak suka sama dia oke. Terutama saya tidak suka sama nenek kalian, jadi selama saya ada di Indonesia dia hanya harus jauhin cucu saya. " Ujar Samuel meragakan gaya seperti seorang nenek yang tengah berkacak pinggang. Avitha tertawa melihat abangnya memperagakan gaya nenek - nenek, “oke – oke, gue jauhin Galdin selama dia di Indonesia aja kan? Hahaha” Samuel menganggukkan kepalanya, “tapi kayaknya Galdin juga bakalan dijodohin deh, soalnya gak lama setelah neneknya ngobrol sama gue dateng lah seorang wanita.” “Siapa?” “Gak tahu, Cuma penampilannya kayak lo pagi ini.” Sahut Sam, “bedanya dia kayak udah umur dua puluhan gitu.” “Ohh.” Angguk Avitha, "buruan jalan, udah hijau tuh. " Tunjuk Avitha pada lamu lalu lintas. Samuel tersenyum melihatnya, "kayaknya hubungan lo sama Galdin gak semulus yang gue kira ya. " Avitha hanya tersenyum menanggapi ucapan Sam, “kenapa? Apa Galdin belum nyatain perasaannya sama lo dek? Atau dia udah gak cinta lagi sama lo? Apa jangan – jangan dia Cuma mainin lo dek?” Tanya Samuel . Avitha menggeleng, "Enggak, hampir tiap hari Galdin nyatain perasaannya sama gue. Cuma gue nahan dia dulu, gue rasa ada yang aneh sama dia." Ujar Avitha. “Aneh?” Tanya Sam. “Gue ngerasa aneh aja, moodnya itu cepet banget berubah loh bang. Kadang dia jutek banget sama gue, gak lama dari situ eh tiba – tiba possesive banget. Kalo lagi main juga kadang dia nangis, gak sampe satu menit dia udah ketawa lagi.” Tutur Avitha. “Gue juga ngerasa aneh sih sama dia.” Ujar Sam mengangguk setuju. Samuel menghela nafas kasar, “si Zacky ngapain pake pindah ke sekolah Galdin segala coba, lo kan jadi sendirian.” Protes Sam seraya menyugar rambutnya ke belakang beberapa kali. "Udah deh, lagian tinggal beberapa bulan lagi gue keluar. " Jelas Avitha. "Ya tetep aja, gue khawatir." Avitha memegang tangan Samuel, "gue gak papa. "   ~   Sesampainya Avitha di sekolah, dia melihat di sepanjang koridor, banyak segerombolan siswa - siswi tengah memperhatikan penampilannya. Penampilan mampu membuat semua orang terpesona saat melihatnya. Terlihat dari tatapan memuja saat Avitha turun dari mobil. Namun sayang saat gadis itu ingin berbaur dengan keramaian berjalan menuju koridor, tiba - tiba semua orang menatapnya sinis. Banyak bisikan yang dia terima dari telinga kiri dan kanannya. Tak sedikit juga yang membicarakannya adalah murid laki - laki. "Oh ini Avitha Pouril, selebgram itu. " "Cih, munafik banget. " "Zacky, Galdin, Delva di embat semua. " "Numpang kekuasaan bokap aja belagu. " "So soan jadi murid culun. " "Sama aja sih kayak si Zacky juga, kayaknya dia udah tau siapa Avitha jadi dia deketin. " "Dih, kalo gue sih tetep pilih Fiona. " "Anak manjanya keliatan, nyewa bodyguard yang nyamar jadi murid sini. Ckckck" “Lo tahu gak berapa jumlah murid yang nyamar buat jagain Avitha?” “Berapa emang?” “Katanya sih ada dua puluhan gitu, terus kemarin yang keluar ada lima.” “Anak mana aja ya?” “Kayaknya dipencar deh, tujuh – delapan – sembilan ada pasti.”   "Huft." Avitha menghela nafasnya, “gak sesuai sama dugaan.” Gumam Avitha seraya berjalan mengabaikan mereka. Selama ini Avitha selalu memimpikan saat - saat seperti ini, dimana dia bisa menunjukkan jati dirinya sendiri. Akan tetapi kenyatannya jauh dari ekspektasinya, dia membayangkan akan begitu di sayangi saat identitasnya terbongkar. Avitha melanjutkan jalannya berusaha menghiraukan ucapan mereka, "cih dulu mengagumi. " Tepat di depannya ada segerombolan siswa yang sudah dia ketahui bahwa mereka adalah musuh Zacky. Tanpa ragu Avitha melewati mereka satu persatu, dan saat satu siswa lagi belum dia lewati tiba - tiba dia mendengar bisikan. "Cantik sih, tapi munafik. " Bisik murid lelaki tepat di samping Avitha, "mau ke club mana dek, aku anterin. " Lanjut siswa itu. Avitha berhenti lalu berbalik lalu meilhat name tag cowok di depannya, 'Fraggy' batin Avitha menghapalkan namanya. Lalu... 'PLAK' Setelah mengeluarkan unek - uneknya, Avitha melangkahkan kakinya lalu menarik kerah cowok di depanya kemudian mendekatkan bibirnya pada wajah lelaki itu dan berkata. "Pulang lewat mana? " Bisik Avitha tepat di hadapan wajah Fraggy, "gue tunggu depan halte. " Ucap Avitha langsung mengedipkan sebelah matanya dan melepaskan cekalannya pada kerah baju Fraggy lalu menepuk - nepuk pipi Fraggy pelan lalu berbalik pergi. -- Hacur sudah mood Avitha untuk pergi ke dalam kelas, akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke atap. “Ngapain lo di sini?” Tanya Avitha saat matanya menangkap ada Zacky sedang duduk di pinggiran rooftop. Zacky menoleh ke belakang lalu tersenyum pada Avitha seraya mengacungkan dua jempolnya. Avitha menggeleng - gelengkan kepalanya heran, "lo ngapain di sini? Tempat lo bukan di alam sini. " "Maksud lo gue harus di alam mana? " Tanya Zacky sinis. Avitha tertawa, "kok bisa masuk? " "Lewat belakang." Balas Zacky. "Ooh." "Lo hebat. " Puji Zacky pada Avitha. Avitha menoleh, “apa ini alesan lo pindah sekolah?” Tanya Avitha. Zacky mengangguk, "lo harus tahan, tegakkin harga diri lo oke. Jangan mau di katain lemah lagi. " “Gini ya rasanya gak ada temen, gak ada yang bisa belain gue, gak ada yang suka traktir makan, gak ada yang suka jailin, gak ada yang suka ngikutin gue kayak paparazi." Ujar Avitha sedih. Zacky tersenyum mendengarnya, "lo bisikin apa sama Fraggy?" Tanya Zacky. “Apa lo di jauhin juga?” Tanya Avitha balik. "Ck, gue nanya kok dikasih pertanyaan lagi. " Decak Zacky kesal. Avitha merebahkan tubuhnya di paha Zacky, “Gue kira dengan terbongkarnya identitas mereka akan menghargai, tapi..”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD