Menarik Perhatian

1756 Words
Morgan Roderick Veit, biasa dipanggil Morgan Veit. Seorang lelaki berusia tiga puluh lima tahun, yang berstatus duda setelah perceraiannya dengan sang mantan istri satu tahun yang lalu. Pria itu adalah CEO ternama di kota tempat dia tinggal. Menjadi satu-satunya pewaris dari keluarga Veit yang memiliki power kuat di kota besar New York tersebut. Kekayaan yang setinggi langit membuatnya disegani banyak orang dan tentunya menjadi pusat incaran banyak wanita. Apalagi saat ini statusnya adalah duda. Begitu banyak yang menginginkannya, tentu saja Morgan bisa menunjuk siapa saja yang dia inginkan. Tapi sayangnya, Morgan sama sekali tidak tertarik dengan wanita manapun setelah mendapatkan pengkhianatan dari mantan istrinya—Elara. Morgan terkenal begitu dingin, tak banyak bicara dan tak tersentuh. Seperti saat ini, pria itu berjalan dengan santai menuju ruang makan, tanpa mempedulikan beberapa pelayan yang sedang membungkukkan badan untuk memberikan hormat padanya. Berparas tampan, dengan tubuh yang atletis membuatnya tampak begitu gagah. Bahkan kemeja yang dia pakai begitu pas ditubuhnya yang kekar. Tentu saja tubuhnya begitu bagus, karena hobi Morgan adalah berolahraga. Selain itu, dia juga sangat menyukai olahraga menembak. Morgan menarik kursinya sendiri dan duduk tanpa memperhatikan siapa yang saat ini sedang menyiapkan sarapan pagi untuknya. Ketika melihat tangan pelayannya berbeda, dia lantas mengangkat pandangannya untuk menatap pelayan yang sedang menghidangkan makanan untuknya. “Di mana kepala pelayan?” Suara berat Morgan mulai mendominasi. Ini kali pertama pria itu mengeluarkan suara saat berada di meja makan. “Kepala pelayan sedang tidak enak badan, Tuan. Jadi, saya yang menggantikannya.” Mendapatkan jawaban tersebut, Morgan tak menanggapi. Seperti biasa, dia hanya akan bicara seperlunya. Pria itu mulai menikmati makanannya. Namun diam-diam, dia melirik pelayannya ini yang sedang menuangkan air mineral ke dalam gelasnya. Lagi-lagi untuk pertama kalinya, pelayan tersebut menarik perhatiannya. Morgan pikir, dia baru melihat pelayannya yang ini. “Siapa namamu?” Pelayan tersebut sontak menghentikan pergerakan tangannya yang sedang menuang dan menjawab, “saya, Anneliese, Tuan Morgan.” “Pelayan baru?” “Ya, Tuan. Sejak tiga bulan yang lalu.” jawab Anneliese setenang dan sesopan mungkin. Tidak ada lagi pertanyaan yang Morgan lontarkan pada Anneliese saat ini. Pria itu hanya mengangguk saja sebagai tanggapan. Sedangkan Anne, diam-diam sedang memikirkan ucapan para pelayan lain yang mengatakan bahwa Morgan ini seperti robot. Sama sekali tidak akan peduli terhadap pelayan, apalagi sampai mengajaknya bicara. Tapi pada kenyataannya, tidak seperti itu. Justru Morgan yang mengajaknya bicara lebih dulu. Bahkan tidak terlihat jika pria itu adalah pria yang galak dan kasar. Morgan menyelesaikan sarapannya tidak lebih dari 15 menit. Dia meneguk minumannya sampai tandas sebelum beranjak dari duduknya. “Aku sudah selesai.” Anne mengangguk dan mendekat untuk membereskan semuanya. Tapi dia mendadak terkejut saat Morgan justru kembali balik badan menatap ke arahnya. “Siapa tadi namamu?” Pertanyaan tersebut tentu saja membuat Anne tercengang seperkian detik, sebab sang tuan kembali menanyakan namanya. “Anne, Tuan.” “Anne, kerja bagus.” pujinya lalu langsung melangkah pergi meninggalkan ruangan tersebut. Membuat Anne mendadak terpaku di tempatnya. Bukan karena dia menyukai majikannya sendiri, tapi keterpakuan Anne ini disebabkan sang tuan mengajaknya berbicara berulang kali meskipun hanya dalam satu kalimat pertanyaan. Ini pertama kalinya dia berbicara face to face dengan Morgan. Sebab dari awal dia bekerja, Anne tak pernah memiliki kesempatan untuk berhadapan dengan pria itu. Lebih tepatnya, Morgan yang tidak pernah mau tau mengenai para pelayannya. +++ Jari telunjuk Morgan terus bergerak menggulir layar Ipad-nya. Dia nampak fokus saat ini meskipun masih berada di perjalanan. Pria itu duduk di jok belakang, dan asisten pribadinya—Leo yang mengemudikan mobilnya. Sejenak Morgan menghentikan aktivitasnya saat ini. Pelayan tadi sedikit menarik perhatiannya, dan sekarang berhasil mengacaukan pikirannya. Tidak, bukan karena dia menyukai pelayan itu. Tapi daya tarik yang wanita itu pancarkan begitu berbeda. Mampu menarik perhatian orang-orang yang akan melihatnya. Selain itu, fisik sempurna yang Anne miliki membuatnya terkagum. Pelayannya itu, nampak seperti bukan wanita dari kalangan orang biasa. Morgan menggeleng pelan, lalu kembali fokus pada layar ipadnya. Tidak seharusnya dia memikirkan seorang pelayan. Fokusnya kali ini bukan mengenai pekerjaan, tapi mengenai kabar yang dia dapatkan dari seseorang mengenai mantan istrinya. Setelah sekian lama, akhirnya Elara mengumumkan hubungannya dengan selingkuhannya yang tak lain adalah salah satu sahabat karib Morgan sendiri yaitu Dante. Morgan tersenyum kecut sambil terus menggulir layar ipadnya untuk melihat lebih banyak lagi foto dan informasi yang dia dapatkan. Dikhianati oleh dua orang kepercayaannya membuat Morgan benar-benar marah. Luka yang Elara torehkan begitu membekas. Meskipun dia masih mencintainya, tapi kini kebencian Morgan pada Elara jauh lebih besar. “Dua orang pecundang yang saling mencintai, sekarang sudah berani mengumumkan hubungannya di depan publik.” seru Morgan. Meskipun wajahnya nampak begitu tenang, percayalah, di dalam lubuk hatinya dipenuhi dengan kabut dendam. Morgan kembali memasukkan ipad miliknya ke dalam tas kerja berwarna hitam yang dia bawa. Lebih baik berhenti sebelum emosinya meluap dan tidak tahu bagaimana cara untuk meledakkan semuanya. Dia memilih untuk diam selama di perjalanan. Setibanya di kantor, kedatangan Morgan tentu saja menarik perhatian semua karyawan yang ada di sana. Mereka menyapa dan memberikan hormat pada Morgan. Aura yang Morgan ciptakan begitu kuat. Meskipun pria itu jarang tersenyum, tapi Morgan tetap terlihat sangat menarik bagi kaum hawa. “Selamat pagi, Pak Morgan.” sapa Lucy—sekretaris pria itu yang sudah berdiri rapi di tempatnya. “Ya, pagi.” Jawab Morgan begitu singkat. “Pak Morgan—“ “Ada apa?” sela pria itu saat Lucy berniat untuk menghentikan langkahnya. Leo yang berada di belakang Morgan sendiri menaruh seluruh atensinya pada Lucy. Karena jujur saja, baru kali ini Lucy berani menghentikan langkah Morgan yang hendak masuk ke dalam ruangannya. “Nona Elara berada di ruangan Anda. Saya sudah mencegahnya agar tidak masuk, tapi Nona Elara memaksa.” Ekspresi wajah Morgan sedikit berubah. Meskipun di dalam dia begitu kesal, tapi nyatanya di luar dia masih bisa mengontrol dirinya sendiri. “Maafkan saya, Pak!” lanjut Lucy sedikit menunduk takut. “Tidak masalah.” sahut Morgan. Pria itu menoleh ke belakang, “Leo, kau tidak perlu masuk.” “Baik Tuan,” Morgan langsung mengambil alih tas kerjanya yang semula dibawakan oleh Leo. Pria itu masuk ke dalam ruangannya dengan penuh percaya diri. Kedua matanya menangkap sosok wanita cantik dari masalalu yang sedang duduk di sofa panjang. “Kau terlihat semakin tampan saja, mantan suamiku.” seru Elara yang bangkit dari duduknya. Berjalan mendekati Morgan yang baru saja mendudukkan diri di kursi kebesarannya. “Ada perlu apa kau kemari?” tanya Morgan dengan tatapan yang begitu dingin. Tapi justru itu yang membuat Elara tersenyum. “Aku datang untuk mengundangmu ke acara pertunanganku dengan Dante di Roma. Aku rasa, kau sudah mendengar beritanya juga kan?” tanyanya sembari meletakkan sebuah undangan pertunangan yang di desain begitu mewah di atas meja pria itu. “Sayangnya aku terlalu sibuk. Tidak ada waktu untuk mendengarkan berita yang tidak penting.” jawab Morgan begitu santai dan itu justru membuat Elara menatapnya heran. “Ada yang ingin kau katakan lagi? Jika tidak, kau bisa pergi.” Elara tertawa kecil lalu berjalan memutari meja kerja pria itu. Dia mendekat ke arah Morgan yang duduk tenang di tempatnya. Dengan berani, Elara menyentuh pundak Morgan dan berkata, “aku tahu kau pasti sedang berusaha untuk menyembunyikan kesedihanmu kan?” Sudut bibir Morgan terangkat begitu mendengar pertanyaan dari Elara. Dia lantas menoleh ke samping, sedikit mendongak untuk menatap Elara yang posisinya lebih tinggi darinya saat ini. “Apa terlihat ada gurat kesedihan di wajahku?” tanya pria itu menatap Elara tanpa ragu. “Dengar, aku tidak peduli kau akan bertunangan dengan siapa meskipun itu dengan Dante sahabatku sendiri. Hanya saja, aku cukup heran dengannya.” Elara mengerutkan keningnya dan Morgan tertawa kecil. “Bagaimana bisa dia menyukai bekas dari sahabatnya sendiri?” Ah, bukan, bahkan jauh sebelum resmi berpisah, kalian sudah menjalin hubungan perselingkuhan. —lanjut Morgan dalam hati. “Jaga bicaramu Morgan! Katakan saja jika kau memang cemburu karena aku dan Dante menjalin hubungan! Tapi kau tidak bisa seenaknya mengataiku seolah aku adalah barang bekas!” Morgan diam tak menyahut, membiarkan amarah Elara meluap. “Sampai sekarang saja kau masih sendiri. Itu membuktikan jika kau memang masih memiliki perasaan padaku. Jangan munafik, Morgan! Aku tahu betul sebesar apa rasa cintamu padaku!” “Maaf Elara, tapi sayangnya kau salah. Seseorang yang terlihat sendiri belum tentu dia benar-benar sendiri. Aku bukan orang yang suka pamer dalam dunia percintaan.” Elara tersenyum meremehkan dan menyahut, “buktikan saja jika kau benar-benar tidak sendiri! Aku tahu betul bagaimana kau, Morgan!” Pria itu hanya mengedikkan bahu acuh dan Elara langsung keluar dan pergi dari sana begitu saja. Hal pertama yang Morgan lakukan setelah kepergian Elara adalah, mengumpat. Ya, mengumpat karena bisa-bisanya dia bicara seperti itu. Padahal, dia benar-benar tidak memiliki kekasih. Tentu saja, karena dia sedang tak tertarik untuk menjalin hubungan dengan siapa pun. “Bodoh kau Morgan!” umpatnya menyalahkan dirinya sendiri. Pria itu sampai memijat kepalanya yang mendadak pusing. Dia mencoba untuk menenangkan pikirannya. Entah mengapa, mendadak Morgan kepikiran dengan pelayan barunya tadi pagi. Pelayan yang sempat menarik perhatiannya. Morgan tersenyum miring, saat memutuskan menarget satu orang untuk dia manfaatkan. Seseorang yang bisa dia jadikan alat untuk balas dendam dan balik membuat mantan istrinya itu merasa tersaingi. “Anneliese,” Wanita itu hanya perlu sedikit memakai riasan dan pakaian mewah agar terlihat lebih menawan. Jika boleh jujur, Anneliese jauh lebih cantik dari Elara. Morgan tidak tahu mengapa pilihannya jatuh pada wanita itu. Tapi yang jelas, hanya Anneliese yang menarik perhatiannya sejak awal. Jadi tidak ada salahnya jika dia mencoba untuk menjadikan Anneliese kekasih pura-puranya. Demi membungkam mulut Elara. Tanpa pikir panjang, Morgan meraih ponselnya dan menghubungi seseorang. “Leo, masuk ke ruanganku sekarang juga.” perintahnya saat panggilan tersebut tersambung. Morgan harus mencari tahu semua tentang Anneliese. Seluk beluk wanita itu dan semuanya sebelum benar-benar menjadikannya sebagai kekasih pura-pura. Tidak membutuhkan waktu lama, Leo datang ke ruangan Morgan sesuai dengan perintah. “Permisi Tuan, Anda membutuhkan sesuatu?” “Aku ingin kau mencari tahu informasi tentang Anneliese, pelayan baru di rumah. Semuanya tentang wanita itu hari ini.” “Baik Tuan, saya akan melakukannya sesuai dengan perintah Anda.” “Bagus, pastikan semuanya akurat.” “Tentu, Tuan Morgan.” “Kau bisa pergi sekarang.” Leo langsung membungkukkan badannya dan berpamitan untuk pergi dari sana. Ketika Leo pergi, Morgan kembali sibuk dengan pemikirannya sendiri. Memang sepertinya dia harus balas dendam dengan cara yang elegan. Bahkan Elara dengan Dante bermain dengan sangat halus. Menyembunyikan hubungan perselingkuhan tersebut dengan mulus. Bahkan memainkan peran dengan begitu baik, karena sejak awal keduanya tidak mengakui hubungan tersebut. Lalu sekarang muncul dan mendeklarasikan hubungan mereka tanpa merasa bersalah sama sekali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD