Setelah motor Bang Lino yang membawa istriku hilang dari pandangan, aku kembali masuk rumah untuk melanjutkan ngadem. Cuaca hari ini semakin terasa membara.
Baru saja menghabiskan kopi, mematikan rokok dan hendak masuk kamar untuk rebahan, tiba-tiba aku dikejutkan dengan kedatangan seorang tamu istimewa yang sebelumnya tidak pernah bertamu, walau kami tinggal dalam satu kompleks kontrakan.
“Eh tumben Mbak?” tanyaku refleks karena terkejut. Selama ini justru aku merasa dia selalu sinis memandang kami, terutama terhadap Tristan. Adakah sebuah rekonsiliasi yang akan ditawakannya?
“Aku ada perlu dikit sama kamu,” ucapnya datar seraya menapa wajahku intens.
“Tumben perlu apa, Mbak? Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku seraya membalas tatapannya yang terasa agak sedikit aneh.
“Maaf ya Fan, ganggu nih. Aku cuma penasaran aja, mau nanya, siapa sih yang biasa nganter jemput istrimu?” tanya sang tamu to the poin.
“Oh, itu Bang Lino, teman kerjanya Tristan. Mbak naksir sama dia?” candaku.
“Ih amit-amit, kenal juga engak!” sergahku ketus.
“Terus kenapa?” tanyaku sambil memicingkan mata menatap wajahnya yang masih sudah terkesan menor di siang hari begini.
“Itu beneran teman kerjanya istrimu?” tanyanya lagi seolah curiga. Kedua matanya menatap tajam wajahku penuh misteri.
Aku menjawab dengan anggukkan tipis-tipis. Isi kepala langsung dipenuhi pikiran negatif. Sangat meyakini jika tetanggaku ini mau menyelidik dan mencari bahan gosip buat digorengnya. Bahkan lebih jauh, mungkin dia akan mempersembahkan kompor meledug ke hadapanku.
“Kok gak pake seragam? Kan istirmu pake seragam Bogor Fried Chicken?” selidiknya lebih mendetail. Sepertinya dugaanku tidak meleset, dia memang sedang mencari bahan nyinyiran.
“Bang Lino kan pake jaket, Mbak. Dia pake seragam juga kok, tapi emang gak keliatan,” sangkalku karena memang begitu adanya. Aku mencoba berusaha tetap santai merespon penyidikannya, walau suasana hatiku sudah mulai tidak nyaman.
“Masa sih? Emangnya kamu yakin lelaki bernama Lino itu hanya sebatas teman kerja istrimu?” tanya dia yang sepertinya sangat enggan untuk menyebut Tristan nama istriku.
“Yakinlah, Mbak. Memang apa urusannya sampai segitunya ngelidik istri saya? Gak usahlah repot-repot ngurusin Tristan, belum tentu juga istri saya mau kurus, hehehe,” balasku dengan sedikit diselipkan candaan, berharap ada sedikit mencair tidak terkesan tegang dan menyelidik.
“Yeee, bukannya mau repot-repot ngurusin istrimu, Arfan. Tap..”
“Sudahlah Mbak!” potongku dengan nada yang mulai sedikit naik. “Tristan itu istri saya, dia dibonceng sama Bang Lino teman kerjanya, lebih tepatnya atasannya walau beda divisi, itu sudah seizin saya. Jadi gak ada masalah!” Suaraku kembali menurun walau emosiku mulai sedikit terpancing.
“Eeeh, kok kamu langsung ngolot gitu, kayanya mau marah sih, Fan?” Wanita berpakaian seksi dan bertubuh sintal itu sedikit mundur menjauhiku.
“Saya gak marah Mbak, hanya menjelaskan!” tegasku.
“Aku juga kan cuma nanya doang, ya sekalian aja mau mengingatkan.” Sepertinya tetangga sebelahku ini sudah benar-benar tak mau mengerti.
“Mbak mau mengingatkan apa sama saya?” Aku balik bertanya dan menatapnya penuh curiga.
“Masa iya sih teman kerja sampai segitunya. Istrimu itu boncengannya kok mesra banget, kaya orang pacaran gitu. Kalau menurut aku sih gak wajar aja. Sepertinya kamu memang mengizinikan istrimu selingkuh ya?” Nyinyiran istrinya Mas Rojak semakin menjijikan.
“Hey, Mbak!” bentakku dengan suara yang cukup keras hingga membuatnya sedikit terperanjat.
“Tristan sama Bang Lino, mau pelukan kek, mau ciuman kek, kan sudah seizin saya suaminya. Urusannya sama kamu apa?” Pikiranku yang sedang kusut memudahkan terpancingnya emosi dan serasa ada tempat untuk melampiaskan.
“Heh Arfan! Kamu suami apaan? Masa iya istrinya berbuat gitu dibiarin? Dimana harga dirimu sebagai lelaki? Badan doang gagah, muka doang ganteng, tapi gak punya harga diri dilecehakn istrinya. Sangat memalukan!” gertaknya dengan nada tinggi dan sangat merendahkanku.
“Hey Winda! Gua ini suaminya Tristan, ngapain juga lu mempertanyakan itu? Gua tidak pernah merasa dilecehkan oleh Tristan. Emangnya elu siapa harus merasa peduli dengan harga diri gua?” Aku pun tak mau kalah gertak, bahkan satu telunjukku sudah mulai mengarah ke wajahnya.
“Ya udah kalau kamu gak mau dikasih tahu!” sergahnya.
“Memangnya siapa yang minta dikasih tahu sama elu? Repot amat hidup lu malah sibuk ngurusin rumah tangga orang!” sentakku.
“Susah kalau bocil udah pada kawin, jadinya aneh gitu, dikasih saran malah ngamuk! Hii, mit amit!” pungkasnya sambil bergegas keluar dari rumahku tanpa permisi apalagi mengucapkan salam. Sepertinya dia takut melihat wajahku yang mungkin terlihat merah saga terbakar amarah.
“Lagian lu jadi tetangga usil amat, sih! Urus aja keluatga lu sendiri!” timpalku dengan nada kesal.
Balasan umpatannya masih terdengar namun kurang jelas. Sepertinya dia sudah kembali masuk ke rumahnya.
“Emang gua pikirin!” makiku pelan, sambil menutup dan mengunci pintu, takut dia kembali nyelonong masuk seperti tadi.
Mimpi apa gua semalam?’ batinku sambil merapikan gelas bekas ngopi lalu membawanya ke dapur.
Dalam sepanjang hidup, baru kali ini aku beradu urat leher dengan emak-emak. Sungguh diriku sudah layak disebut lelaki pecundang yang kehilangan akal sehat. Mau melayani ocehan emak-emak yang gak bermutu seperti dia. Tetapi itu harus aku lakukan, kalau bukan suaminya siapa yang akan membela istri yang difitnah sekeji itu.
Dia biasa disapa Mbak Winda. Berusia kira-kira dua puluh sembilan atau tiga puluh tahunan. Sudah menikah dengan Mas Rojak, sopir pribadi salah seorang pejabat pemda. Tabiat Mbak Winda banyak omong, senang ikut campur urusan orang, suka berdandan menor serta biasa berpapakain seksi. Sepertinya dia juga terlalu bangga dengan dirinya sendiri.
Menurut beberapa tetangga, Mbak Winda berasal dari kampung sama sepertiku. Namun gaya hidupnya terkesan merasa paling modern dan cenderung sombong. Bila dilihat dari sisi ekonomi, keluarganya memang terlihat lebih mapan dibanding penghuni lain. Mas Rojak dan Mbak Winda belum dikarunia anak, walau mereka sudah cukup lama berumah tangga.
Nah, kenapa jadi begini?
Kata Bang Lino mengatakan tetangga terdekat bisa jadi customer pertamaku? Ini malah sebaliknya. Kalau begini Mbak Winda justru bisa jadi musuh pertamaku. Semoga itu tidak terjadi. Aku dan Tristan tinggal di sini bukan untuk mencari musuh, tetapi belajar berumah tangga dan mencari persaudaraan.
Belum lama aku dan istriku tinggal di kawasan ini. Relatif masih jarang berinteraski dengan para tetangga, hanya sekedar say hello dan perkenalan basa-basi biasa. Namun demikian, aku sudah banyak mendengar tentang keburukan tabiat Mbak Winda yang ternyata kurang akur dengan hampir semua tetangga.
Mama Elsa, pemilik kontrakan malah sering mewanti-wantiku untuk tidak terlalu dekat dengan Mbak Winda. Beliau menyebutna sebagai pelakor, raja fitnah, lambe turah, biang gosip dan julukan tak berakhlaq lainnya. Bahkan ada rumor yang mengatakan jika Mbak Winda pernah jadi penghuni lokalisasi pelacuran. Entahlah.
Aku segera masuk kamar dan rebahan di atas kasur sambil merenungi ucapan Mbak Winda. ‘Susah kalau masih bocil sudah menikah.’ Tak ada yang salah dengan ucapannya.
Sejatinya aku dan Tristan memang masih bocah, belum layak menikah. Usiaku baru 20 tahun, status mahasiswa. cuti pada semester lima karena harus fokus mencari nafkah untuk keluarga. Sementara istriku pun tidak jauh berbeda.
Tristan berusia 21 tahun dan terpaksa cuti kuliah karena orang tuanya sudah tidak mau membiayainya. Aku sendiri tidak punya kemampuan finansial karena statusku yang setengah penggangguran. Jangankan untuk membiayai kuliahnya, untuk makan sehari-hari pun masih kerepotan.
Perjalanan hidup dan cinta kami memang sangat panas dan tragis. Semua gara-gara kebodohan kami yang tidak bisa menahan godaan syahwat. Sumpah demi apapun, ini adalah pengalaman hidup paling pahit dan menyakitkan yang pernah kami alami. Nanti aku akan ceritakan semuanya secara detail.
Beberapa bulan yang lalu, kami tertangkap basah dalam keadaan bugil oleh orang tuanya Tristan. Ya, kami sedang melakukan hubungan terlarang di rumahnya. Orang tua mana yang tidak naik pitam, melihat anak gadis kesayangannya sedang digagahi oleh lelaki yang justru paling mereka benci.
Masih beruntung aku hanya dihajar sampai pingsan, tidak sampai mampus. Tidak terbayangkan kalau sampai dilaporkan pada pihak berwajib dengan tuduhan perbuatan zinah atau merebut calon istri orang. kala itu Tristan sudah jodohkan dengan seorang pengusaha muda yang jelas-jelas bukan tandinganku.
Untuk kesekian kalinya Pak Hasto, papanya Tristan memintaku untuk meninggalkan anaknya. Aku sudah sangat pasrah karena dari sejak awal mendekati Tristan hanya karena dendam. Namun Tristan justru memintaku untuk menikahinya dan rela tidak diakui sebagai anak oleh keluarganya.
Setelah menikah dalam suasana yang sangat menyedihkan, kami pun diusir. Orang tua Tristan tidak mau menampung kami di rumahnya yang megah. Kami dianggap sampah yang menghancurkan rencana besarnya besanan dengan seorang pejabat ternama. Mereka bahkan meminta kami untuk tinggal di tempat yang jauh, kalau perlu berbeda kota.
Sampai detik ini, aku pun belum berani berterus terang kepada keluarga besarku di kampung, perihal statusku. Entah apa yang akan mereka lakukan jika tahu anak kebanggannya telah menjadi sorang suami dan cuti kuliah. Mungkin mereka juga akan mengusirku, atau bahkan lebih sadsis dari itu.
Aku dan Tristan resmi menyandang gelar sebagai Pengantin Remaja U-22, alias pasangan suami istri di bawah usia 22 tahun. Sayangnya kami berbeda dengan Timnas Garuda Muda U-22 yang telah sukses menorehkan prestasi gemilang di ajang Sea Games 2023, Kamboja.
Beruntungnya Tristan tidak sampai hamil. Sungguh Tuhan masih sangat baik kepada kami. Setidaknya bisa sedikit terlepas dari beban keterpurukan yang lebih parah. Tak terbayangkan bagaimana repotnya jika saat ini Tristan dalam keadaan mengandung anak kami.
Saat ini aku dan Tristan tinggal di rumah kontrakan sederhana. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kami sama-sama bekerja dengan penghasilan yang tidak seberapa, bahkan belum ada kejelasan yang tetap.
Aku freelance sales motor dengan penghasilan mengandalkan bonus penjualan. Sementara Tristan menjadi pelayan restoran cepat saji Bogor Friend Chicken, dengan penghasilan yang juga belum seberapa karena masih magang sampai beberapa bulan ke depan.
Sebenarnya aku memiliki keahlian khusus yang bisa menghasilkan uang dengan lebih mudah dan relatif besar. Sebelum menikah aku menggeluti side job sebagai terapis alias tukang pijat. Namun setelah menikah, Tristan memintaku untuk tidak melanjutkannya.
Bisa dimaklumi dan aku pun menghargai permintaannya.
Sejujurnya godaan untuk selingkuh dan atau berbuat kurang senonoh saat sedang memijat, memang sangatlah dahsyat. Terlebih lagi kebanyakan pelanggangku dari kalangan emak-emak ganjen. Aku sangat yakin permintaan Tristan, semata-mata demi kenyamanan dan keutuhan keluarga kami.
Tetapi apakah Tristan juga tidak tergoda oleh rayuan lelaki lain yang segalanya lebih dariku, seperti yang dituduhkan Mbak Winda tadi?
Entahlah!
^*^