7. Dendam

1661 Words
“Fadia, tolong cek dokumen ini ya, perhatikan typo dan angkanya,” ujar seorang pria yang berdiri di belakang Fadia, Fadia menoleh tampak atasannya itu menatapnya membuatnya sedikit sungkan. Pria yang berusia hampir empat puluh tahun itu memang belum pernah menikah, dia terkenal sedikit arogan dan tak bisa dibantah. Hampir semua staff tak menyukainya, namun sayangnya pekerjaannya sangat baik. Selain dua attitude yang membuat nilainya minus, dia tak memiliki kekurangan lain. Wajahnya meski terbilang tidak terlalu tampan namun juga tak bisa dibilang buruk. Fadia sering terganggu dengan kumis tipisnya yang menurutnya tak biasa, karena hanya tumbuh di sisi kanan dan kiri, bukan di bawah hidungnya. Perawakannya tak terlalu besar, tingginya pun mungkin hanya beda lima centi dengan Fadia. Dia pernah gagal menikah beberapa tahun lalu dan katanya hal itu yang membuatnya ragu menjalin hubungan dengan wanita lain. Lagi pula para staff tak ada yang menyukainya secara khusus karena sikapnya yang suka memerintah. “Baik, Mas Hessel,” jawab Fadia menerima berkas itu. Hessel terlihat memperhatikan Fadia dari atas ke bawah, pakaian Fadia berbeda dari biasanya dan sepertinya wanita itu sedikit mengenakan riasan di wajah. “Kamu terlihat berbeda?” ujar Hessel membuat Fadia terkejut, dia pikir pria itu sudah meninggalkannya, namun tangan Hessel kini berada di sandaran kursi kerjanya membuat jarak mereka tampak dekat. Aroma parfum mahal Fadia yang dibelikan ibunya kemarin itu terhirup di indera penciuman Hessel. Yang anehnya justru membuatnya tampak tak suka. “Oh ini, dibelikan ibu,” jawab Fadia tak enak hati, jelas wajahnya menunjukkan kurang nyaman namun Hessel terlihat tak peduli. Hessel kemudian meninggalkannya karena Fadia menarik kursi agar sedikit menjauh darinya. Teman kerja Fadia menghampirinya dan berdiri di sampingnya. “Ngapain dia?” tanya wanita bernama Zivana itu. Wanita itu sudah menikah tahun lalu dan sudah memiliki satu anak bayi, bisa dibilang Zivana yang paling sering bertegur sapa dengan Fadia meski Fadia terlihat jaga jarak, namun Zivana seolah tak peduli karena memang pembawaannya yang ramah pada semua orang. “Ngasih tugas,” jawab Fadia. “Hadeh, pekerjaan seperti ini aja dia enggak bisa?” sungut Zivana, lalu dia menepuk bahu Fadia pelan. “Sabar ya, by the way, kamu terlihat pantas mengenakannya, cantik,” ucapnya tulus memuji Fadia yang membuatnya tersenyum tipis. Apakah selama ini dia terlalu menutup diri? “Ziv,” panggil Fadia ketika wanita itu hendak meninggalkannya. “Ya Fadia?” “Nanti siang makan di mana? Boleh gabung?” tanya Fadia, Zivana menyunggingkan senyum lebarnya dan mengangguk antusias. “Kita mau makan bakso, tapi jalan sedikit ya,” kekeh Zivana. Fadia pun mengangguk. Dia teringat pesan dari Afsheen yang mengatakan bahwa dia harus membuka dirinya, persahabatan tidak seburuk itu. Fadia tersenyum tipis, ternyata benar yang dikatakan Afsheen, nyatanya Zivana terlihat tidak seburuk pikirannya. Selama ini ke mana saja dia? Ketika makan siang berlangsung, Fadia melihat dua orang wanita menghampiri Zivana, keduanya tampak seusia dengannya, satu berkaca mata dan tampak paling tinggi di antara mereka, sementara satu lagi berambut panjang sebahu, dia tampak cantik namun wajahnya terlihat ramah. “Fad, sudah selesai?” tanya Zivana, Fadia mengangguk dan mengambil dompet kecilnya juga ponsel keluaran terbaru itu. “Hai,” sapa wanita berkaca mata, sebenarnya Fadia sering melihatnya bersama dengan Zivana namun baru kali ini dia bertegur sapa dengannya. “Fadia, ini namanya Nada dan ini Shena,” kenal Zivana pada Fadia. Fadia menyalami wanita berkaca mata bernama Nada, dan wanita yang tampak memukau bernama Shena. Dia tak hanya cantik namun sangat modis. Fadia memang masih tampak canggung bersama dengan mereka yang sudah saling mengenal cukup lama, namun dari percakapan itu Fadia tahu kedua teman Zivana berada di divisi yang berbeda dengannya, mereka pun berada di lantai lain. Mereka keluar dari gerbang bersamaan, Zivana berjalan berdampingan dengan Fadia sementara Nada dan Shena lebih dulu. Perjalanan menuju gerai bakso itu tidak terlalu terasa jauh karena mereka terus berbincang dan menertawakan beberapa hal, bahkan Fadia ikut tertawa ketika Zivana dan Shena saling melempar lelucon konyol. “Budeehh yuhuuu, bakso empat, oiya Fadia suka tetelan enggak?” tanya Shena. “Tetelan itu ... apa?” tanya Fadia. Shena dan kedua temannya saling tatap. “Lemak, gajih ya seperti itu,” jelas Zivana. Fadia pun menggeleng, lemak dari daging adalah hal yang tak pernah disajikan di rumahnya. “Good, kita cocok, pakai tetelan semua ya budeh,” ujar Shena mendapat tatapan protes dari Fadia. “Nanti jatah kamu untukku, hehehe duduk di samping aku,” kekeh Shena membuat Fadia tersenyum kecil dan mengangguk. Benar apa yang diucapkan Shena, gadis pecinta tetelan itu mengambil dari mangkuk Fadia dan juga Nada, sementara Zivana tak mau menyerahkan miliknya karena dia pun menginginkannya. Mereka tertawa lagi karena aksi konyol itu. “Fadia, sering-sering dong makan siang sama kita,” ajak Shena. “Memangnya boleh?” tanya Fadia. “Ih siapa yang larang?” celetuk Shena yang terdengar sangat ramai. Nada lebih kalem namun dia tetap bisa mengimbangi kelakar kedua temannya itu. “Fadia tinggal di mana?” tanya Nada. “Di Selatan,” jawab Fadia yang tampak sedikit tidak nyaman jika menyebutkan alamat rumahnya karena dia takut temannya menjadi canggung, biar bagaimana pun dia tinggal di kawasan elit. Bagaimana tidak, orang-orang yang tinggal satu kompleks dengannya merupakan orang-orang cukup terpandang, dari artis yang paling terkenal, sampai pejabat, bahkan seorang mantan wakil presiden pun memiliki salah satu rumah di kompleks tersebut. “Shena juga tinggal di daerah selatan,” ujar Zivana sambil mengetukkan tangannya ke meja karena Shena tampak serius menikmati baksonya. “Duh enak banget, iya aku juga di selatan,” ujar Shena sambil tersenyum tipis, Fadia bisa melihat dia yang juga tak nyaman mengatakan alamat tempat tinggalnya hingga mereka membahas hal lain. Setelah makan siang yang menurut Fadia lain dari biasanya, mereka pun kembali ke kantor, bahkan di tangan mereka sudah menenteng es kopi dari salah satu coffe shop yang mereka lewati, kopi dingin dengan whip cream di atasnya yang membuatnya tampak sangat menarik. Shena berjalan bersama Fadia dan menekan tombol lift, sambil menunggu lift Shena melihat seorang wanita yang tampak tak asing tergesa memasuki lift di seberangnya. “Feya?” tanya Shena, wanita itu tak melihatnya karena lift segera tertutup, Shena menelengkan kepalanya. “Kamu kenal?” tanya Nada. “Kayaknya namanya Feya tapi setahu aku, hmmmm enggak deh mungkin aku salah lihat,” ujar Shena sambil tersenyum tipis seolah menutupi sesuatu. “Besok makan bareng lagi yuk Fadia,” ajak Shena sambil melingkarkan tangan di lengan Fadia. Fadia mengangguk membuat kedua teman lainnya tertawa. “Duh rembes, aku harus kabur ke nursing room pribadi,” ujar Zivana ketika pintu lift terbuka, tiga temannya itu hanya tertawa dan memaklumi Zivana yang memang masih menyusui. *** Ketika Fadia tiba di rumah, dia disambut oleh kakaknya yang langsung mengajaknya ke garasi dan menunjukkan mobil yang dibelinya untuk adik tercinta. Sebuah mobil yang bisa dibilang cukup mahal dengan kapasitas empat orang. Berwarna putih yang sangat bersih dan tampak berkilau. “Mas?” tanya Fadia, Erlan hanya tersenyum dan menyerahkan kunci mobil itu pada adiknya. “Gunakan ya, jangan naik bus lagi,” ucap Erlan. Fadia memeluk kakaknya erat. Meskipun uang di rekeningnya mungkin jauh lebih banyak dibanding harga mobil ini, namun Fadia tetap merasa perlu berterima kasih, dia selama ini sangat takut menggunakan uangnya. Dia tak mau ayahnya marah padanya karena dia menggunakan berlebihan padahal itu haknya. Fadia sudah bisa menyetir, jelas saja dia bisa, namun dia tak pernah berani menyetir sendiri. Malam ini dia membawa mobil itu mengelilingi perumahan bersama kakak pertamanya. Dia merasa dia sudah sangat mahir, mobil ini dirancang sedemikian rupa sehingga terasa sangat nyaman. Mungkin setelah nomor mobilnya keluar dia bisa menggunakannya untuk ke kantor. Fadia mengucap terima kasih dan memeluk Erlan, hal yang hampir tak pernah dilakukan lagi dewasa ini. Erlan mengusap kepala adiknya dengan lembut. Fadia berhak mendapatkan kebahagiaan dan semua haknya. *** Feya memasuki kamar kostnya yang terletak tak jauh dari kantor Erlan, bahkan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Kamar yang fasilitasnya sangat memadai yang tentu akan membuat harganya lebih tinggi dibanding kamar lain, namun tak apa, menjadi asisten Erlan membuatnya mendapatkan gaji yang cukup besar. Dia menyalakan AC sebelum melepas sepatu dan tasnya, tampak di dinding ada foto keluarganya yang sudah tergantung dengan rapih. Ayahnya yang berbadan tegap dengan kulit sawo matang, juga ibunya yang bertubuh mungil berkulit putih. Sementara Feya diapit oleh keduanya yang memasang wajah bahagia meski terlihat sederhana. Feya merebahkan diri di ranjang kecil itu sambil menatap foto tersebut, “tenang saja ayah, Feya akan balas dendam pada mereka,” ujar Feya dengan mata berapi-api. Belasan tahun silam, ayahnya adalah petugas keamanan di rumah Warren Wibisono, ayahnya lah yang menghandle anjing penjaga, hanya sedikit saja kesalahan yaitu menyerahkan pekerjaan ke penggantinya dan tak memperhatikan kandang anjing itu, ayahnya harus dijebloskan ke penjara. Mendekam cukup lama, bertahun-tahun. Keluarga kaya itu melampiaskan kemarahannya pada semua petugas keamanan di rumahnya. Tak hanya itu, pengasuh anaknya pun ikut dipenjara. Selain mendekam di penjara, setelah keluar dari jeruji besi itu tak ada yang menerima ayahnya bekerja karena dianggap telah sangat lalai, nama ayahnya begitu tercoreng. Feya sangat ingat betapa dia menemani ibunya harus bekerja dari satu rumah ke rumah lain untuk menjadi kuli, mencuci, menyetrika, mengepel atau menyikat kamar mandi, yang uangnya hanya cukup untuk membayar kontrakan dan makan sehari-hari. Bahkan setelah ayahnya keluar dari penjara kehidupan mereka tak lebih baik, ayahnya yang tak pernah dapat pekerjaan menjadi sangat sedih, pada akhirnya mereka semua pulang ke desa untuk bertani di ladang salah satu teman ayahnya. Sejak itu Feya sangat benci dengan keluarga Warren Wibisono, ketika namanya muncul di televisi atau surat kabar, dia terus saja mengumpat dan memakinya. Dia berkata bahwa dia akan memberi pelajaran bagi keluarga itu, meskipun dia tahu dia tak memiliki kekuatan besar untuk melawannya, namun dia tetap bertekad, pelajaran sekecil apa pun itu akan dia lakukan. Kini dia sudah masuk dalam lingkaran keluarga itu, menjadi asisten anaknya yang tentu saja paling dekat dengannya. Dia akan berusaha sekuat tenaga untuk melaksanakan misinya. Namun, masih terlalu dini jika dia dia melakukannya saat ini, dia harus mengatur strategi untuk bisa mengalahkan musuhnya nanti. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD