Afsheen menyiram dirinya dengan kran shower, berdiri cukup lama di bawah guyuran air dingin tersebut. Dia tak mengerti apa yang terjadi? Mengapa dia tak bisa menahan hasratnya tadi? Apakah karena dia merasa prihatin dengan kisah hidup Fadia yang kekurangan kasih sayang? Atau di hatinya memang sudah terpatri rasa spesial untuknya?
Afsheen sangat menyesali tindakannya, ini kali pertama untuk Fadia. Meskipun mereka melakukannya tanpa paksaan, namun tetap saja tidak seharusnya dia membobol pertahanan yang harusnya hanya diberikan untuk suaminya itu!
Kini pria tampan itu keluar dari kamar mandi, memakai kimono handuk dan mengeringkan rambut dengan handuk yang berukuran lebih kecil, memandang wanita yang tertidur pulas di ranjang dengan tubuh tertutup selimut sampai dadanya.
Dia bergelung nyaman seperti bayi dalam rahim ibunya, Afsheen menatap wanita itu lekat. Jika diperhatikan lebih jauh, wanita itu sangat cantik, kulitnya putih seputih kapas. Hanya saja wajahnya terlihat kaku dan juga tanpa perawatan yang memadai. Jika memang dia anak pengusaha WW Group, mengapa dia tak merawat dirinya sama sekali? Bukankah seharusnya dia mendapatkan fasilitas yang sangat mendukung?
Fadia menggeliat dalam tidurnya, Afsheen mengusap kepala wanita itu, lalu dia berbaring miring dengan menjadikan lengan sebagai bantalan, entah sudah berapa lama dia terus menatap wanita itu tanpa berniat untuk tidur.
Hingga pagi menjelang, Afsheen masih pada posisinya memperhatikan wajah wanita itu lekat. Fadia mengerjapkan mata dan menatap Afsheen yang memaksakan senyum padanya.
“Sudah jam berapa?” tanya Fadia. Afsheen bergerak melihat jam tangannya di atas nakas.
“Jam empat pagi,” jawab Afshen, “ahhh aku ketiduran cukup lama,” ujar Fadia hendak bangkit, namun dia merasakan sesuatu yang menyakitkan mendera di bawah sana. Keningnya berkernyit dan sedikit ringisan keluar dari bibirnya.
“Aku siapkan air hangat untuk mandi, kamu tunggu di sini,” ucap Afsheen pelan. Dia pun beringsut dari ranjang menuju kamar mandi, menyalakan kran untuk mengisi jacuzzi dengan air hangat, dia juga menyalakan lilin aromatherapi agar lebih tenang.
Foam lembut yang dibiarkan memenuhi tempat mandi itu. Setelah merasakan suhunya pas dia pun kembali ke ranjang. Fadia sudah duduk menutupi d**a dengan selimutnya. Kakinya menjuntai ke lantai dan menatap Afsheen lekat.
Afsheen membuka selimut itu, Fadia meringis dengan wajah malu, ah apa yang membuatnya malu? Semalam tadi pun dia sudah tak berbusana ketika pria bayarannya itu menggagahinya dengan sangat jantan.
Afsheen membungkuk, menggendong Fadia yang melingkarkan tangan di lehernya.
“Aku berat kan?” tanya Fadia.
“Bahkan kapas jauh lebih berat dari kamu,” tutur Afsheen seraya tersenyum manis, senyum yang menutupi luka hatinya.
Dia menurunkan Fadia dengan lembut di dalam air hangat, Fadia mulai merasa nyaman. Afsheen mengambil kursi kecil dan menyabuni tangan Fadia, juga punggungnya, dia melakukannya dengan sangat telaten. Berendam di air hangat membuat rasa sakit Fadia mulai berkurang. Perlakuan Afsheen yang sangat lembut membuatnya merasa disayangi, meskipun dia tahu Afsheen melakukannya hanya demi uang semata.
Setelah mandi, Afsheen kembali menggendong Fadia membantu mengeringkan rambutnya dengan hair dryer, bahkan sampai mengantar Fadia menuju mobil Pinkan yang standby di parkiran.
“Aku minta maaf,” tutur Afsheen sebelum Fadia memasuki mobil itu. Fadia meletakkan telunjuk di bibirnya sendiri.
“Rahasiakan ini,” ucapnya pelan. Afsheen mengangguk dan membiarkan Fadia pergi, menatap kepergian mobil itu dengan pandangan tak terbaca. Zevan membawa tas di punggungnya dan menyikut Afsheen sambil menyalakan puntung rokok.
“Kenapa?” tanya Zevan. Afsheen menggeleng, belum siap untuk menjawab, lalu dia melihat jam tangannya, sebaiknya dia segera pulang ke rumah.
Fadia langsung masuk ke kamar yang disiapkan untuknya oleh Pinkan, mungkin saat ini tantenya itu masih tidur dengan pulas di kamarnya.
Fadia beringsut dan menarik selimut, meski sudah tidur cukup lama dia tetap merasakan kantuk. Sudah beberapa jam tertidur, dia merasakan seorang memegang keningnya hingga dia membuka matanya.
“Tante?” tanya Fadia. Pinkan merasakan suhu tubuh Fadia yang meningkat.
“Kamu sakit? Agak demam,” ucap Pinkan.
“Ya, hmmm sedikit pusing,” ucap Fadia.
“Ya sudah tante minta mbak buatkan bubur ya, kamu di sini saja. Jangan pulang dulu, papa kamu ada di rumah seharian ini,” kata Pinkan. Fadia mendesah kecewa dan mengangguk.
“Papa kamu itu aneh banget! Padahal dulu saat kamu lahir dia memamerkan kamu ke semua orang sambil berkata, anaknya ini akan menjadi putri yang paling cantik dan paling beruntung di dunia, dia akan memanjakannya dengan segalanya. Tapi apa? Berubah begitu saja!” sungut Pinkan.
“Aku juga enggak mengerti kenapa tante? Papa saat melihatku seperti melihat kotoran, sering membuang wajah,” ucap Fadia lirih.
“Mama kamu juga ikut-ikutan, buat tante geram saja.” Fadia hanya tersenyum tipis dan memegang tangan tantenya itu.
“Untung ada tante, ibu kedua untukku,” kekeh Fadia.
“Ah kamu ini, seharusnya tante adopsi saja kamu ya,” ujar Pinkan meski dia tahu kedua orang tua Fadia takkan memberikannya di bawah pengasuhannya. “Ya sudah kamu istirahat dulu, nanti habis makan bubur, minum obat, kamu bisa puas-puasin istirahat di sini,” imbuhnya. Fadia pun mengangguk dan berterima kasih pada sahabat ibunya itu.
Memejamkan mata dan kembali terbayang adegan semalam, dia menyentuh bibir dengan tangannya sambil tersenyum tipis, ternyata ciuman itu bisa terasa sangat nikmat jika dengan orang yang sudah ahli.
***
Afsheen terbangun dengan rasa terkejut, dia menatap ke sekeliling, kamarnya masih tampak sama. Di rumah sederhana dengan tiga kamar. Rumah yang dibelikan oleh suami dari tante yang menjadikannya simpanan, jauh sebelum dia meninggal. Dia menghibahkan rumah ini untuk Afsheen.
Berada di sebuah perumahan tua yang sebenarnya wilayahnya cukup luas, sedikit demi sedikit dia merenovasi rumah ini yang dulu merupakan rumah tua, sehingga menjadi modern minimalis seperti sekarang. Dia duduk dan memandang dirinya dari pantulan cermin di lemari baju. Sekali lagi, dia merasa sangat menyesal telah bercinta malam tadi.
Dia sangat ingin menghubungi Fadia, namun pihak managemen selalu melarang keras talentnya untuk menghubungi pelanggan. Jika sampai ketahuan dia akan dikeluarkan tanpa rasa hormat sama sekali.
Afsheen turun dari ranjangnya, menuju dapur, dia mengambil air mineral dari dalam kulkas, sama seperti hujan yang turun semalam, sore ini pun langit masih menyiramkan airnya ke tanah. Dia memandang dari kaca di arah dapur, pepohonan di belakang rumahnya yang tak terlalu luas itu bergemerisik karena angin.
Kira-kira Fadia sedang apa? Mengapa dia sangat menyita perhatiannya? Wajarkah jika Afsheen terus memikirkannya? Dia tak pernah melakukan ini pada wanita yang belum berpengalaman.
Sementara Fadia masih bergelung nyaman di kamar tamu milik Pinkan, dia melihat ke arah jendela, air hujan masih turun dari langit, seolah menumpahkan seluruh air yang terkandung di awan. Fadia tidak sedih sama sekali, dia juga tak menyesal melakukan hal itu. Dia merasa ini adalah titik balik dalam hidupnya. Untuk kali pertama, malam tadi dia justru merasakan kebebasan, seolah lepas dari belenggu yang menyiksanya.
***
Pinkan merawat Fadia dengan sangat baik, sehingga wanita itu bisa pulang ke rumah dengan kondisi tubuh yang jauh lebih baik. Besok sudah hari kerja yang itu berarti dia harus kembali ke rutinitas awalnya.
Bahkan asisten rumah tangga Pinkan sudah membereskan semua pakaian dan barang yang dibelikan untuk Fadia oleh ibunya, dicuci dan ditata sedemikian rupa sehingga ketika tiba di rumah, Fadia hanya tinggal memindahkannya ke lemari saja.
Dia melewati ruang tamu menuju kamar hingga dia dihalau oleh sang kepala pelayan di rumah itu. Wanita ber-rahang tegas itu mendongak menatap Fadia lalu mengulurkan tangannya agar Fadia menyerahkan tas besar yang dibawanya.
“Sudah prewash?” tanyanya dengan suaranya yang khas.
“Sudah.” Fadia berkata sangat pelan.
“Sebaiknya Nona ikut makan malam bersama keluarga, karena Tuan besar besok akan pergi ke Sydney,” tutur Kepala Pelayan itu. Fadia menunduk dan tersenyum tipis. Ada atau tak ada dirinya mungkin tak penting di rumah ini. Hingga pelayan lainnya menghampiri kepala pelayan dan membisikkan sesuatu. Kepala pelayan itu menyerahkan tas besar berisi pakaian dan barang milik Fadia untuk diletakkan di kamarnya.
“Tuan besar sudah tahu kalau nona sudah tiba, jadi silakan ke ruang makan,” pinta kepala pelayan itu membungkuk hormat. Fadia pun tak bisa berkelit. Dia kemudian berjalan menuju ruang makan, melihat dari piring kakaknya, sepertinya mereka sudah makan dari tadi karena isinya sudah tinggal separuh.
“Malam,” sapa Fadia yang kemudian mengambil duduk di samping ibunya. Ayahnya hanya melirik sekilas dan kembali melanjutkan makan malam. Kedua kakaknya menatap Fadia dengan pandangan penuh tanya.
Fadia hanya mengangguk dan menggeleng ketika pelayan hendak menyiapkan makanan untuknya, dia tak terlalu bernafsu makan, apalagi tadi dia sempat memakan cemilan dengan Pinkan sambil menonton acara comedy sebelum pulang.
“Namanya Darius Ananta,” ucap ayahnya dengan suara berat, semua orang menatapnya lekat termasuk Fadia, dia pun melanjutkan perkataannya, “anak pertama pengusaha tambang dan batu bara, persiapkan dirimu Fadia, kalian akan segera bertunangan.”
“Pa!” protes Erlan. Ayahnya melirik ke arahnya dengan tatapan datar.
Lucky menarik napas panjang dan berbicara, “Darius terkenal sering gonta ganti pasangan, penyuka seks bebas, dia juga pernah terlihat kasus obat terlarang, papa yakin menjodohkannya dengan Fadia?”
“Dia juga pernah melakukan tabrakan brutal saat remaja,” imbuh Erlan. Fadia menatap piringnya dengan pandangan tak terbaca, lalu senyumnya menyeringai secara menyeramkan yang bahkan membuat semua yang menatapnya menjadi bergidik ngeri.
“Setelah dua puluh satu tahun, akhirnya papa menyadari bahwa papa memiliki anak perempuan?” tanya Fadia, lalu melepas sendok dan garpu dengan kasar, dia pun berdiri dan tersenyum miring, “sama seperti sebelumnya, tolong anggap saja aku telah mati, Pa.”
Fadia meninggalkan ruang makan itu diiringi dengan senyum bangga dari kedua kakaknya yang mengacungkan ibu jarinya. Hingga Warren menggebrak meja dan kedua kakaknya terdiam.
“Anak itu!” geramnya.
Sophia menunduk dan tersenyum tipis, entah mengapa dia senang mendengar Fadia bisa berbicara dengan tegas seperti ini?
***