Waktu menunjukkan pukul 6 pagi. Addara hanya diam berbaring di tempat tidur, padahal hari ini waktunya kembali masuk kantor.
Biasanya ia sudah bersiap-siap mandi dan sarapan. Namun, rasanya tidak semangat untuk melangkahkan kaki ke kantor.
Alasannya satu! Karena ia tidak ingin bertemu Daffa. Jadi, kantor Daffa hanya beda satu gedung dari kantornya. Mau tidak mau, kadangkala mereka memang sering berpapasan, khususnya saat jam makan siang. Bahkan, Daffa sering meluangkan waktu untuk makan siang di kafe dekat kantor berdua saja dengannya.
Tapi kali ini, Addara ingin melupakan itu semua. Ia tidak ingin melihat suaminya, apalagi kalau harus berhadapan dengan perempuan itu!
Tiba-tiba saja, tubuh telanjang mereka berdua di kamar itu kembali melintas dalam benak pikirannya. Addara duduk di tempat tidur dan berulang kali memukul guling. Marah sekali rasanya!
Bagaimana menghilangkan bayangan itu??? Ini membuatnya kesal setengah mati!
Tiba-tiba bel pintu apartemennya berbunyi. Ia pun bangkit dari tempat tidur dan mengintip dari lubang pintu. Ternyata Daffa. Apa yang ia lakukan sepagi ini di apartemennya?
“Ara buka! Jangan membuatku berteriak-teriak di lorong apartemen!” Daffa bicara dengan keras. Addara akhirnya membukakan pintu itu.
Daffa masuk ke dalam apartemennya dan menutup pintunya. Addara hanya diam menatapnya. Tidak ingin mempersilahkan masuk ataupun duduk.
“Apa kamu masih marah? Ara, maafkan aku.. Aku datang untuk menjemputmu dan mengantarkanmu ke kantor..” Daffa bicara dengan tenang tanpa ada perasaan bersalah.
“Kamu normal?” Addara membelalakkan matanya! “Apa maksudmu?” Daffa balas bertanya. “Ka-kamu bisa bersikap tanpa rasa bersalah sedikitpun?? Kurangajar! Daffa, aku serius dengan kata-kataku! Pengacaraku akan menghubungimu hari ini!” Addara kesal sekali rasanya.
“Ara, kamu marah padaku kemarin itu, dan harga diriku tersinggung. Tapi aku sekarang berpikir kembali dan ingin menjelaskan kalau itu hanya fling biasa. Aku tahu aku salah.. Tapi.. Tidak ada hati untuknya. Kamu memilikiku seutuhnya. Cuma kamu Ara..” Daffa kembali merayu. “TI-DAK!!! Kamu gila Daffa!” Addara emosi sekali.
“Tolong keluar dan jangan kembali lagi ke hadapanku!” Addara menyentaknya. “Kamu sendiri bilang kalau banyak perempuan yang mengejarmu. Pilih saja mereka! Aku tidak akan menyesal melepasmu Daffa! Pergi dari hidupku!”
Daffa menatapnya marah, lalu memeluk Addara erat.
“Lepaskan aku!!!” Addara mendorong Daffa sekuat tenaga. Tapi suaminya itu terlalu kuat, Daffa malah mencoba menciumnya. Addara merasa jijik sekali. Gairahnya seperti menghilang entah kemana. Daffa sudah kehilangan pesona di matanya. Tidak ada lagi debar itu.
“Aku tidak mau! Aku tidak mau!! Daffa lepaskan aku!!!” Addara akhirnya melepaskan kekuatannya sebisanya dan berhasil melepaskan diri. Air mata kembali turun di pipinya, “Ke-kenapa kamu setega itu padaku? Kamu bilang sayang, tapi bermain api? Itu sakit sekali rasanya."
"Daffa, tolong mengerti, hidupku sudah tidak mungkin ada kamu di dalamnya. Setiap mengingatmu, aku juga mengingat perempuan itu. Dan tidak hanya itu, kalian bersetubuh di kamar kita.. Itu penghinaan buatku!” Addara kembali melepaskan perasaan dan emosinya.
Daffa menatapnya tajam, “Kamu serius menolakku? Aku sudah merendahkan diriku untuk kembali datang ke sini dan kembali meminta maaf. Waktu itu, aku emosi dan kamu juga. Tapi aku berpikir dan menenangkan diri. Aku tidak akan menyerah pada pernikahan ini. Jadi, Ara, pikirkan semuanya! Sungguh perempuan itu tidak ada apa-apanya..”
“Ka-kamu memang kurangajar.. Pergi Daffa! Pergi! Jangan kembali lagi!” Addara berteriak. Amarah membara di dadanya dan tidak ingin melihat wajah Daffa. Ia bergegas ke arah pintu dan membukanya.
“Aku sungguh merelakanmu dengan siapapun.. Silahkan saja!” Addara bicara tajam. “Sekarang keluar..”
Daffa melangkah keluar dari ruangan itu. Addara dengan cepat menutupnya.
Ia langsung mengambil ponselnya dan tidak lagi menunda menelepon pengacara itu. Addara membaca namanya, MAHA ABIMANA. Lalu mulai menekan tombol call.
Maha, “Selamat pagi..”
Addara, “Selamat pagi, perkenalkan nama saya Addara. Saya mendapatkan nomor dari Pengacara Iffa Hasna. Ada yang mau saya konsultasikan. Apa bisa meminta waktu bertemu?”
Maha, “Pagi ini bisa. Saya ada di kantor, mungkin kalau tidak keberatan sekitar pukul 10 pagi. Kantor saya di Jalan Biru Laut No 7.”
Addara, “Baik. Nanti saya ke sana.. Terima kasih banyak.”
Ia kemudian menelepon Alya dan memberitahukannya kalau akan datang ke kantor siang hari.
Addara pun bersiap-siap. Tiba-tiba bel pintu kembali berbunyi. Ia hendak menelepon keamanan kalau itu Daffa. Tapi ternyata Malika.
“Ah, kebetulan kamu datang ke sini.. Aku sudah kontak pengacara Iffa, tapi dia ternyata di luar negeri. Dan, aku mendapatkan kontak pengacara lain namanya Maha Abimana,” Addara bercerita.
“Lalu?” Malika duduk di sofa dan terus menyimak. “Lalu, aku akan bertemu dengannya pagi ini. Please temani aku..” Addara setengah memohon. “Tahu tidak? Si Daffa barusan kembali ke sini. Kelakuannya tidak masuk akal dan semakin membulatkan tekadku untuk segera bercerai.”
“Ok.. Aku kosong sampai pukul 2 siang. Ada jadwal pemotretan nanti untuk sebuah iklan,” Malika menyanggupi.
Malika Airani, sahabatnya adalah seorang fotografer ternama. Ia seringkali memotret untuk majalah ataupun iklan dan masih banyak lagi. Namanya sudah menjadi jaminan di antara para model.
Addara langsung melompat dan memeluk Malika, “Thank you!"
"Aku serius merasa malu. Ini pengalaman yang tidak pernah aku bayangkan akan aku alami," Addara menggelengkan kepalanya tak percaya. Malika mengangguk, “Itu juga perasaanku. Tapi, perselingkuhan tidak bisa ditolelir. Aku tidak ingin lagi bersama si Ghani. Lelaki model begitu tidak bisa dikasih maaf.”
Malika menyebut mantan suaminya yang bernama Ghani Syabil. Mantan suaminya itu berselingkuh dengan seorang model. Setelah berbulan-bulan proses perceraian, akhirnya mereka pun resmi tidak lagi menjadi suami istri.
“Nanti apa yang harus aku lakukan pertama kali?” Addara bertanya pada sahabatnya itu. “Pertama kamu harus menunjuk dulu pengacara itu dengan memberikan surat kuasa. Nanti dia akan membantu mendaftarkan gugatan cerai termasuk membuatkan surat gugatan cerai,” Malika menjelaskan. “Dengan menunjuk pengacara, kamu tidak ribet lagi.. Yang utama adalah soal administratif, aku paling tidak bisa urusan itu, seperti mempersiapkan surat gugatan cerai.. Ah malas.."
“Tapi nanti lah kamu bicara sama pengacara langsung. Aku tidak terlalu ingat lagi.. Semua masa lalu,” Malika tertawa, “Aku tadinya mau mengajakmu sarapan. Kita sarapan ok?”
“Ok.. Sekalian, ada yang mau aku ceritakan! Kamu pasti kaget!” Addara tersenyum lebar. “Apa?” Malika penasaran.
“Nanti! Kita sarapan dulu..” Addara menarik malika keluar apartemen. "Oh ya, dompetku hilang entah kemana. Sementara ini, traktir aku please?"
"Kenapa bisa?" Malika heran sendiri. "Aku juga tidak tahu. Nanti setelah selesai dari kantor pengacara, antara aku ke bank ok?"
"Ok bu.." Malika menjawab dan kemudian melangkah ke parkiran memasuki mobil Malika.
***
Aksa sama sekali tidak ingin bangkit dari tempat tidur. Ia tak percaya, apa yang ia rasakan harus ia akhiri. Tidak rela rasanya. Perasaan ini sudah lama tidak ia rasakan.
Ia berguling di tempat tidur, dan melihat sebuah dompet di meja sebelah tempat tidurnya. Oh, dompet milik Addara, belum ia kembalikan.
Bagaimana cara mengembalikannya tanpa harus bertemu? Kalau bertemu, rasanya semakin sulit saja melupakan perempuan cantik itu. Ah, cinta itu kejam! Kenapa bisa merasakannya pada orang yang salah..?
Aksa akhirnya bangun. Ia harus pergi ke bank hari ini, ada pertemuan dengan Kepala Cabang Bank ABMN yang akan mengurus rekening perusahaan restoran miliknya.
***
Malika dengan kaget membelalakkan matanya!
“A-apa??? Pengemudi taksi online itu seorang chef. Dan bukan sembarang chef tapi Head Chef The Menu Bistro??? Malika kaget bukan kepalang. “Iyaa… Jangan bicara keras-keras,” Addara menutup mulut Malika.
“Ke-napa dia melakukannya?” Malika penasaran sekali. “Dia bilang karena aku.. Mmm.. Menyihirnya..” Addara dengan malu-malu mengungkapkan apa yang Aksa ucapkan.
“Oww… Dia jatuh cinta pada pandangan pertama??” Malika tersenyum jahil. “Ah, ini peluang kamu move on..”
Addara menggeleng, “Tidak secepat itu Al.. Aku akui dia tampan, simpatik, kharismatik.. Belum lagi, makanan karyanya luar biasa menggugah selera. Aku jatuh cinta dengan kreasinya.. Tapi, tidak secepat itu.. Aku perlu waktu..”
Malika hanya tertawa, “Aku hanya bilang…” Addara melihat jam tangannya, “Sudah pukul sembilan lewat, kita berangkat sekarang ok?”
“Ok..” Malika mengangguk.
Selang setengah jam perjalanan, mereka tiba di Kantor Pengacara Abimana & Partners. Staf sekretaris memintanya menunggu di ruang rapat.
Dengan gugup, Addara mengetuk-ngetuk meja dengan jari jemarinya. “Sudahlah, jangan grogi!” Malika menenangkannya.
“Ok..” Addara mengangguk dan menarik jari-jarinya agar tidak lagi mengetuk meja itu.
Keduanya otomatis menoleh ke arah pintu, saat mendengar pintu ruang rapat terbuka dan ada langkah seseorang memasuki ruangan itu, “Maaf menunggu…”
Orang itu berdiri di hadapan mereka, dan Addara tak bisa menutupi rasa kagetnya. Ini lelaki di acara semalam, yang bersama Anjani!