Perempuan Tua di Malam Itu

1558 Words
Perempuan Tua di Malam Itu PUKUL enam belas. Ray baru tiba di rumah. Ia masuk kamar, melepas pakaian seragamnya lalu mengganti dengan kaos putih dan celana panjang yang tergantung di kapstok belakang pintu kamar. “Ray!” suara ibunya memanggil dari luar kamar. “Ya, Ma!” “Shalat Asar dulu, ya... baru makan!” “Ray sudah shalat di masjid sekolah, Ma!” ucap Ray. “Benar?” “Ko tak percaya sih?” “Baiklah, tuh makanan sudah Mama siapkan di meja makan!” seru ibunya. Ray keluar kamarnya. Menuju ruang makan. Dilihatnya Mia dan Rayna duduk manis di situ. Makan dengan lahap. “Kalian baru makan?” tanya Ray seraya mengambil tempat duduk. “Makan siang udah tadi sepulang sekolah,” Rayna yang menjawab. “Mia juga sudah makan siang sama teman di cafe baru. Tadi abis Zuhur,” Mia tak mau kalah. “Jadi kalian sekarang bukan makan siang?” Ray menatap mereka satu per satu. “Makan sore,” Mia senyum. “Masa jam segini makan siang, ya makan sore lah...” cibir Rayna. “Kakak di sekolah cuma makan lemper, bakwan, martabak lipat, dan kerupuk kulit. Tidak makan apa-apa lagi,” jelas Ray sembari mengambil nasi putih dari tempat nasi. “Makanya... kamu jangan terlalu fokus belajar hingga lupa makan,” ibunya berdiri di dekat lemari pendingin. “Maksud Mama, ya belajar, belajar saja... serius, tapi jangan lupa perutmu harus diisi. Lagian kan, di kantin sekolah ada yang jual nasi.” “Ada sih, Ma. Tapi Ray malas antri. Takut keburu masuk kelas.” “Kalau begitu, besok Mama siapin nasi dan lauk pauk. Kamu bawa misting ke sekolah, ya? Biar pagi-pagi sekali, Mama memasak dulu.” Ray menggeleng cepat. “Tidak usah, Maaa.... lagian Ray ini sudah kelas dua belas, masa sih bawa misting segala ke sekolah?” “Kayak anak TK...” ledek Mia. Rayna tertawa renyah. Ray manyun. Lalu memasukkan suapan nasi ke mulutnya. Disusul keratan daging sapi berbumbu merah. Nikmat terasa di lidahnya. Ratna piawai memasak. Beres ketiga saudara itu makan, Ratna menghampiri Ray yang tengah berada di kamarnya. “Ray, tadi siang Bu Marsinah kemari. Malam ini Dani mau menginap di rumahnya tapi Dani minta ditemenin kamu,” ucap Mama. “Ya, Ma. Tadi waktu di sekolah, Dani juga bilang gitu.” “Jadi, kamu mau nemanin Dani?” ibunya menatap. Ray mengangguk. “Ya, terpaksa, Ma.” “Ko terpaksa sih?” “Ya, karena dia kolokan dan...” “Dan apa?” “Penakut.” “Kalau kamu taidak penakut, ya Ray?” Ratna menatap Ray. Ia teringat dengan mimpi dan suara garukan di kaca jendela malam-malam ke belakang. Melintas pula wajah Bah Dulah yang masih penasaran menginginkan Ray tinggal bersamanya di Banjarnegara. Selepas Magrib, Dani sudah ke rumah Ray. Tak lama, mereka keluar dan menuju rumah sebelah. Rumah Bu Marsinah. Semenjak kecil, ia kerap bermain di teras rumah itu, bahkan sebelum Bu Marsinah tinggal di situ. Tapi kalau menginap, sesekali ya pernah. Atas permohonan Dani yang terkadang sulit ditolak meski akhirnya Ray juga acap menolak. Dani pun mengurungkan menginap bila Ray tak mau menemani. Dani terlalu penakut. Ray juga terkadang kesal dengan sifat penakut sahabatnya sang satu itu. Dan malam ini, malam kesekian kali ia akan menginap di rumah ini. Rumahnya terlampau besar. Apalagi hanya Bu Marsinah sendiri yang menempati. Semenjak Pak Misbah meninggal dunia, rumah ini kian sepi. Bahkan terkesan angker. Konon, banyak orang pernah mendengar suara-suara aneh dari dalam. Baik ketika ada Bu Marsinah di dalam, maupun saat Bu Marsinah pergi menginap di rumah anaknya, yaitu ayahnya Dani. Rumah Dani terletak di pusat kecamatan. Sebenarnya, Bu Marsinah menginginkan Dani tinggal bersamanya. Dani disediakan kamar sendiri. Kamarnya tidak begitu luas namun cukup nyaman dan tenang. Kamar Dani terletak di paviliun, dekat dapur dan ada ruang nonton TV. Ruangan nonton khusus untuk Dani atau teman-temannya saja. Bu Marsinah lebih banyak menghabiskan waktu di ruang depan yang luas. Ray dan Dani kenal semenjak Bu Marsinah menjadi warga sini. Ray dan Dani teman satu sekolah. Satu angkatan, satu jurusan, hanya beda kelas. “Kenapa kamu tak ajak Fian menginap di sini menemanimu?” Ray melirik Dani yang asyik dengan game di gawainya. “Sama saja bohong!” “Karena sebelas dua belas sama kamu?” Dani melirik sembari tersenyum. Lalu mengangguk. Ray geleng-geleng kepala. Fian pun tak jauh dengan Dani, penakutnya tak ketulungan. Malah, Fian sesekali tidur bersama ibunya. Ray geli ingat cerita Fian. Terlebih bila temannya yang satu itu telah merasakan ketakutan yang sangat bila mendengar genting rumahnya dilempar pasir atau batu oleh si Gembel, jin penunggu rumah Haji Jajuli. “Ngapain senyum-senyum?” tanya Dani kembali melirik Ray. Lalu Ray membuka laptop yang dibawanya. Dinyalakannya. “Inget tingkah Fian. Coba kalau kalian melewati malam bersama lalu diganggu hantu!” “Raaaay!” Dani terperanjat dan serta-merta menyimpan gawai di samping bantal. “Tak usah bahas hantu, aaah!” “Kenapa? Takut?” Ray menahan tawa. “Iyyyaaa!” Dani sedikit kesal. “Sudah tahu aku ngajak kamu nemanin itu biar tak takut, eh ini malah mengundangnya...” “Mengundang siapa?” “Aaaaahhh... sudahlah!” “Oke!” jemari Ray mulai bermain di atas keyboard. Menit-menit berlalu. Dani membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ray tak terpengaruh. Diliriknya, mata Dani mulai terpejam. Malam kian terasa senyap. Rumah besar yang sepi dan angker. Dimatiknnya laptop. Dimatikan juga lampu kamar. Gelap. Lalu tubuhnya pun berbaring. Ray masih belum mengantuk padahal Dani sudah pulas sejam lalu. Tidur membelakanginya. Suara musik dari laptop pun sudah tak bisa dinikmati karena sudah dimatikan. Ray melek sendirian. Untunglah membawa laptop hingga ia bisa sambil mengerjakan tugas. Dan pada akhirnya selesai. Ia memang anak yang rajin belajar. Tangannya memegang perutnya dirasa kenyang karena sebelumnya menikmati makan malam dengan Dani. Masakan Bu Marsinah super lezat. Lalu Ray membayangkan keadaan rumah yang luas ini yang seringnya dihuni Bu Marsinah seorang diri. Suami Bu Marsinah, kakek tiri Dani sudah dua tahun meninggal. Bu Marsinah menikah dengan kakek tiri Dani yaitu Pak Misbah. Sebelumnya Pak Misbah memiliki istri bernama Bu Naning dan meninggal dua tahun sebelum Pak Misbah menikah lagi dengan Bu Marsinah. Begitu cerita Dani yang didengar Ray. Tubuh Ray kembali beranjak. Ia sama sekali belum merasa mengantuk. Kembali laptop dinyalakan. Namun lampu kamar tak berani dinyalakan karena akan mengganggu lelapnya tidur Dani. Iseng, Ray mengetik. Mencoba membuat makalah tugas sebuah mata pelajaran yang sebenarnya masih lama dikumpulkan. Bulan depan. Namun, ia suntuk. Baru saja lima belas menit berlalu, hawa dingin menyergapnya. Bulu kuduknya sesaat meremang tanpa ada sesuatu hal yang mengiringi sebelumnya. Ia merasa heran. Jemarinya dipercepat mengetik meski konsentrasi sempat terusik. Aura malam itu terasa lain. Seolah ada makhluk lain menemaninya di kamar. Malam itu Ray, tak seperti biasanya merasa takut membayangkan rumah besar yang ini. Namun rasa takut ditahannya, ia harus ingat dirinya laki-laki. Selama ini pun, ia bukan termasuk anak penakut. Tapi semenjak di rumahnya pernah mendengar suara aneh dekat jendela yang berujung melihat wujud menyeramkan, sebuah kepala dengan wajah mengerikan, ia sempat didera perasaan gelisah. Apalagi beberapa malam ke belakang, didengarnya kembali suara di jendela dapur lalu suara yang tengah memasak di dapur Bu Marsinah. Ditambah, cerita Ima di suatu pagi tentang keanehan di rumah ini, membuat pikiran Ray sempat terusik. Dimatikannya laptop. Ruangan gelap. Ray membaringkan tubuhnya di samping Dani yang memunggunginya. Terlelap dibuai mimpi malam. Dani itu penakut. Tiap neneknya meminta menginap, Dani selalu meminta ditemani Ray. Tapi Ray acap menolak. Konon, banyak penghuni dari bangsa selain manusia. Orang-orang sekitar yang pernah melintasi rumah ini menjelang tengah malam, sempat mendengar suara air dari kran di kamar mandi. Saat penghuni rumah tak ada. Tapi bukan itu yang membuat Ray menolak. Ia hanya malas saja menginap di rumah orang lain. Entah pukul berapa Ray masih belum bisa tidur, malah ia jadi ingin buang air kecil. Dicoba ditahannya. Lalu hendak keluar dari kamar. Langkahnya tertahan di ambang pintu. Matanya menangkap sosok Bu Marsinah di ruang TV yang gelap, tengah dan serius menonton sebuah siaran budaya. Rambut beruban perempuan tua itu tampak jelas terkena cahaya dari pesawat TV. Ray menautkan kedua alis. Ia tak mendengar sebelumnya Bu Marsinah menghidupkan TV. Tapi suara TV memang hampir tak terdengar hanya gambarnya yang terlihat. Ray segan melewati Bu Marsinah yang tampak konsentrasi penuh. Perempuan berambut putih itu tampak tak mau terganggu. Diurungkan niat Ray ke kamar mandi. Untung keinginan buang air kecil dapat ditahannya dan ditangguhkan. Kembali masuk kamar yang gelap lalu membaringkan tubuhnya di samping Dani. Ray pun tertidur pulas. Pagi-pagi sekali Ray dan Dani bangun. Mereka berencana pergi bersama ke sekolah. Kebetulan Dani membawa pakaian seragam, sepatu, tas lengkap dengan perlengkapan belajar. “Dan… nenekmu malem-malem suka nonton TV, ya?” tanya Ray. “Enin?” Dani meyakinkan. Ia biasa memanggil Enin pada Bu Marsinah. “Ya. Suka nonton malem kan?” “Ah, nggak juga...” “Tadi malem aku lihat beliau serius nonton di sini!” “Wah... masa!” “Iya! Masa aku bohong sih?” “Kamu salah lihat kali!” “Tidak sama sekali, mataku masih normal, Dani!” Dani terdiam sesaat, lalu, “Tapi... aku percaya ucapanmu, ko. Ray... sekali lagi, kamu melihat Enin menonton tengah malam?” “Ya, baweeeeel!” “Serius?” “Bosen aku bicara sama kamu, ah... yu kita siap-siap!” Ray beranjak. “Tunggu, aku jadi penasaran mengenai penglihatanmu di malam tadi. Kamu... melihat Enin menonton TV tengah malam, itu hal aneh buatku,” ucap Dani serius. “Tapi itu benar, Dan.” “Di ruang TV di paviliun ini?” Dani tampak mendadak kaget. Ray mengangguk. Meyakinkan. “Tidak mungkin, Enin tidak pernah nonton di sini. Di ruang TV depan saja jarang nonton malem-malem. Salah lihat kali!” Dani menjelaskan. Ray bingung. Dani malah berputar-putar. Seperti orang linglung. Tiba-tiba Bu Marsinah menghampiri mereka dan menawarkan mau sarapan apa. Dani balik menanyakan kebenaran neneknya menonton TV tengah malem. Kepala Bu Marsinah menggeleng. Justru beliau tidur selepas shalat Isya dan baru terbangun menjelang Subuh. Begitu penjelasannya. Ray dan Dani hanya bisa saling bertatapan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD