Penghuni Vila Aling
PUKUL lima, Dani dan ketiga temannya sudah bangun. Bukan dibangunkan kakek dan neneknya Dani. Melainkan terbangun karena suara beduk dan azan dari masjid yang berdiri tepat depan rumah dimana mereka menginap. Hanya terhalang jalan aspal yang tak lebar tapi masuk mobil. Tepat belokan. Di samping kiri masjid, Vila Aling berdiri.
Dani mengajak teman-temannya untuk turun dari ruang atas karena mereka berempat tidur di ruang atas. Sementara ruang bawah, hanya ada kakek dan nenek Dani.
“Lagi pulas, terbangun, duh! Mimpiku kandas!” Dani sedikit menggerutu. Ray tak berkomentar. Begitu pun dengan Fian dan Dirga. Mereka semua turun lewat beranda atas. Meski masih merasa terkantuk-kantuk. Lalu kaki-kaki mereka menuruni tangga karena ada tangga khusus yang bisa langsung ke pinggir jalan di luar rumah lalu baru masuk ruang tamu. Jadi, tanpa harus melewati ruang bawah. Jika mau ke luar rumah pun cukup dengan tangga luar. Kebanyakan bentuk rumah-rumah di situ memang seperti itu. Memiliki dua tangga, yang satu menuju ke ruang bawah, dan yang satunya lagi dari teras ruang atas dan langsung ke luar.
Tiba di luar masjid, mereka mengantri dengan orang-orang yang sama-sama hendak mengambil air wudlu. Usai solat berjamaah, Dani mengajak ketiga temannya duduk di ruang tamu dimana semalam mereka mengobrol bersama kakek Rahmat. Neneknya Dani yang bertubuh gemuk pendek tersenyum ramah. Lalu membawa dua piring, yang satu berisi ketan goreng, yang satu bala-bala dan pisang goreng. Tak lupa sambal kacang di piring kecil. Ditaruhnya di atas meja kaca bertaplak putih berenda. Kakek Rahmat pun tak mau kalah dari istrinya, membawa nampan berisi empat gelas teh manis.
“Silakan, anak-anak, mumpung gorengannya masih hangat,” ucap kakek Rahmat. “Minumannya juga baru saja kakek bikin. Teh asli dan gula batu. Diseduh pakai air panas mendidih dari atas kompor. Bukan dari termos. Cocok kalau di sini minuman hangat. Kan cuacanya dingin.”
“Terima kasih, Kek… jadi merepotkan ya dengan kedatangan kami,” Ray merasa risih dengan sikap laki-laki tua itu yang begitu perhatian. Pasangan tua yang baik dan ramah itu membuka warung kecil yang menjual kebutuhan sehari-hari masyarakat sekitarnya. Kalau pagi-pagi, mereka pun menjual makanan yang digoreng seperti ketan, pisang, bala-bala dan rarawuan.
“Wah, mantap banget nih ketan goreng, besar gini, kalau di tempat kita nih bisa dua ribu rupiah harganya per buah,” Fian menatap saksama isi dalam piring. Lidahnya ngiller. Lalu tangannya mengambil satu buah goreng ketan. Dicoelkan pada sambal kacang. Lalu dimakannya perlahan. Dirga pun mengikuti. Ray masih malu-malu. Padahal, ia paling doyan makan ketan goreng kalau di rumahnya. Bisa minta nambah terus. Mau yang warna hitam maupun putih, ia suka. Namun, ibunya tak suka membuat sendiri tapi suka membeli dari warung hingga Ray terkadang merasa kurang kenyang. Melihat goreng ketan yang besar-besar, lidahnya bergerak-gerak. Sedangkan Dani tengah memakan goreng pisang kesukaannya dengan lahap. Sesekali mereka berempat menyeruput perlahan minuman yang masih dirasa panas di lidah mereka.
“Kakek nenekmu sibuk ya kalau pagi-pagi?” tanya Ray pada Dani.
“Iya… apalagi kalau tahun-tahun sebelumnya, saban akhir pekan atau liburan itu sangat ramai di sini. Para pendatang yang menghabiskan waktu liburannya di sini. Menempati vila-vila sekitarnya. Termasuk Vila Aling yang di depan,” kata Dani. “Jadi, warung ini banyak pembeli, dan kalau melayani orang-orang bermata sipit, harganya bisa beda, nggak seperti sama pribumi. Misalnya goreng ketan yang biasa dijual seribu rupiah, kalau sama nonpribumi, dijualnya dua kali lipat, jadi dua ribu rupiah. Begitu pun dengan makanan atau dagangan lainnya.”
“Kenapa gitu harus dibedakan?” tanya Fian.
“Si mata sipit itu rata-rata orang kaya, sementara pribumi golongan menengah ke bawah. Menjual dengan lebih tinggi pada nonpribumi wajar, toh bagi mereka nggak dibilang mahal, sudah terbiasa di kota besar tempat mereka tinggal, mahal-mahal harga makanan,” jelas Dani.
“Terus… sekarang warung ini agak sepi?” tanya Ray.
“Menurut Nenek, iya… nggak seramai dulu… pemilik vila-vila sudah jarang yang datang, entahlah mungkin usaha mereka di Jakarta lagi sepi.”
“Kalau pemilik Vila Aling?” Dirga yang sedari tadi tak bicara, mulai buka mulut.
“Sama. Malah itu sudah lama, begitu kata kakek. Tapi bukan lantaran usahanya sepi di sana, melainkan, mmmm…” mata Dani melirik ke arah belakang. Mencari sosok kakeknya. Namun, kakeknya tengah sibuk melayani pembeli dari kaum pribumi. Dani pun tak berani memanggilnya untuk sekadar diajak berbincang mengenai vila yang berada di depan rumah ini.
“Melainkan kenapa?” tanya Dirga penasaran.
“Vila Aling itu semula ada penjaganya. Bah Jali dan Umi Rahmi. Pribumi, nggak punya rumah. Orang-orang yang setia pada majikan juga dengan loyal meladeni tamu-tamu yang mengaku para pelanggan toko pemilik vila. Bah Jali dan Umi Rahmi pun tinggal di vila.”
“Lalu?”
“Mereka berdua sudah meninggal. Sejak saat itu, bukan hanya pemilik vila yang nggak mau datang tapi juga para tamu yang biasa menghabiskan akhir pekan di Cipanas ini,” jelas Dani. Perbincangan mereka kian seru ketika kakek Rahmat menghampiri dan ikut nimbrung. Meyakinkan kebenaran ucapan Dani.
“Berarti... itu vila… angker, ya Kek?” tanya Fian.
“Orang-orang bilangnya begitu, Nak. Katanya, kalau pas ada ronda malam lewat jalanan sini, mereka kadang melihat dua sosok yang tengah mengobrol di beranda. Sosok-sosok itu mirip sekali dengan Bah Jali dan Umi Rahmi.”
“Padahal kan sudah meninggal, ya?” Fian meyakinkan.
“Benar.”
“Berarti… siapa yang mereka lihat?” bulu kuduk Fian mendadak merinding meski di pagi hari. Kakek Rahmat tersenyum bijak seraya mengangkat kedua bahunya. Dani terdiam. Ia tak menceritakan jika semalam mendengar suara laki-laki yang mendehem dari dalam vila. Dani dan Fian mendengarnya tepat setelah menyimpan kedua motor di pojok halaman, bagian selatan dan dekat dengan bangunan vila. Dani tak mau membuat Ray dan Dirga jadi ketakutan. Sementara Fian pun tak berani berucap setelah semalam Dani mengingatkan agar tak mengutarakan hal itu. Mereka berempat baru memulai liburan dan tak mau dihantui dengan yang berbau menakutkan.
“Lebih baik kalian jalan-jalan pagi sana! Sambil berolahraga! Keliling komplek perumahan! Biar segar dan sehat. Nanti sepulang jalan-jalan, kalian mandi,” begitu saran kakek Rahmat yang segera diiyakan oleh Dani dan ketiga temannya. Mereka pun beranjak, lalu mulai berjalan-jalan ke arah timur. Melintasi rumah demi rumah kemudian vila demi vila. Mereka begitu menikmatinya. Sembari menghirup udara pagi yang sejuk. Jauh sekali dengan lingkungan tempat mereka di kota kecamatan kecil yang berada di Bandung Barat. Cipanas tak jauh berbeda dengan Lembang kalau dari cuaca dan situasi daerahnya yang sama-sama kawasan wisata. Sesekali, Dani menggoda gadis-gadis manis yang kebetulan berpapasan dengan mereka di jalan.
Tak terasa, sudah pukul sembilan. Mereka berjalan-jalan hingga ke jalan protokol. Melintasi rumah makan Padang yang sangat besar, lalu minimarket, lalu hotel-hotel. Berbelok lagi dan berjalan agak menanjak. Cukup jauh tapi tak dirasa letih lantaran dimanja dengan pemandangan yang menawan.
Tiba depan vila Aling, mereka melepas lelah. Kakek Rahmat teriak, menyuruh beristirahat di beranda vila saja. Namun, Dani langsung menolak. Ia masih kepikiran suara deheman yang tertangkap di telinganya tadi malam.
“Kalau keringat udah kering, kita mandi yu?” ajak Ray. Ketiga temannya mengiyakan. Lalu pergi ke kamar mandi umum di belakang masjid. Ada empat kamar mandi hingga bisa mandi sendiri-sendiri. Terasa segar. Ray berulangkali berdecak merasakan kenikmatan air dingin yang mengguyur tubuhnya.
Setelah berpakaian santai, mereka duduk-duduk di beranda ruang atas. Sembari menatap alam pemandangan yang indah. Terhampar tampak dari atas. Nenek Dani memanggil Dani dari ruang bawah untuk mengajak teman-teman Dani turun ke ruang makan. Fian dan Dirga yang paling antusias. Apalagi melihat makanan yang tergelar di meja makan. Goreng ayam, ati ampela, tahu, tempe, tumis kangkung, sambal dan lalap labu siam dan daun wortel. Usai makan siang bersama, mereka pamit pada kakek Rahmat hendak berjalan-jalan ke puncak. Mereka pun mengeluarkan kedua motor dari halaman vila.
Tiga jam, Ray dan ketiga temannya berjalan-jalan menikmati pemandangan puncak sembari menghirup udara yang segar. Makan jagung rebus yang dibeli di pinggir jalan. Rasanya, mereka masih ingin berlama-lama. Namun, hari menjelang sore. Mereka pun kembali ke rumah kakek Rahmat.
“Mau jalan-jalan lagi, tidak?” tanya kakek Rahmat pada mereka.
“Nggak, Kek. Cape. Mau rehat saja di ruang atas,” jawab Dani.
“Kalau begitu, motor amankan dulu, Dan,” kakek Rahmat menatap kedua motor depan pagar vila.
“Nanti malam saja, Kek.”
“Atau masukkan saja dulu di dekat pagar. Nanti malam, baru amankan di pojok.”
“Nanti sekalian malam saja, Kek,” Dani bersikeras dan kakeknya tak bicara lagi. Membiarkan cucunya naik tangga luar diikuti teman-temannya yang kesemuanya berjaket tapi beda warna.
Selepas magrib, mereka berada di ruang atas. Main kartu sembari bercengkrama. Sesekali, Ray memainkan gitar. Kakek Rahmat meminjam dari cucunya yag tinggal di sekitar situ. Namun, cucunya yang satu itu meski laki-laki dan berusia tak jauh dari Dani, tak mau berbaur karena sudah mahasiswa tingkat dua. Tak terasa, azan isya pun berkumandang. Dani, Ray, Fian, dan Dirga tengah malas semua solat berjamaah di masjid. Akhirnya, mereka berwudlu di kamar mandi di ruang bawah. Lalu solat berjamaah di ruang atas. Kebetulan ruang atas ada dua kamar dan satu ruangan cukup luas. Tentu saja, semua merasa betah. Ketika mereka tiduran sembari mendengarkan musik, mata Ray tak terasa menahan kantuk yang tiba-tiba menyerang hingga matanya pun terpejam. Ia tak ingat apa-apa lagi. Malah, suara musik yang terhenti pun, Ray tak tahu lantaran terlelap dibuai mimpi. Makan malam yang nikmat selepas magrib membuat perutnya kenyang dan mudah mengantuk.
Ray menduga, ketiga temannya pun sudah tertidur, tapi ketika ia terjaga dari tidurnya, ia kaget lantaran teman-temannya yang tadi bersama di ruangan main kartu, sudah tak ada. Tubuh Ray beranjak. Lalu masuk ke kamar depan. Tak ada temannya. Kemudian ke kamar satunya lagi. Teman-temannya tak ada. Ke mana mereka? Pikirnya bingung sembari masih menahan kantuk. Ia tak tahu jam berapa. Gawainya tak aktif semenjak magrib.
Ray pun menuruni tangga yang langsung ke ruangan bawah. Bersua dengan kakek Rahmat di ambang pintu yang menuju ke ruang keluarga. Kakek Rahmat mengatakan jika Dani, Fian, dan Dirga ke rumah saudara Dani yang tinggal tak terlalu jauh dari situ. Mereka tak mengajak Ray karena Ray tengah terlelap.
“Mau menyusul mereka? Biar kakek antar,” ucap kakek Rahmat tapi Ray menolaknya. Ia bilang mau menunggu saja.
“Mereka bawa motor, Kek?” tanya Ray.
Kakek Rahmat menggeleng. “Tidak. Jalan kaki. Dekat, ko… Nak.”
“Lama ya?”
“Dani ketemu sodara-sodaranya, dia lagi betah kali, jarang-jarang ke sini kan kalau Dani, Nak. Mungkin lama atau mungkin juga sebentar lagi pulang.”
“Kek, motor sudah Dani amankan?” Ray khawatir dengan motornya terlebih mendengar cerita kakek Rahmat perihal kasus pencurian motor yang tengah marak sekitar sini. Bahkan, motor yang berada di teras dan berpagar pun, bisa diangkut maling.
“Belum, Dani bilang nanti sepulang mereka.”
“Biar Ray saja yang amankan. Biar tenang. Kalau nggak cepet, takut keburu lupa.”
“Kamu benar, Nak. Dani kadang teledor.”
Ray tersenyum tanpa berkomentar.
“Motornya dua, biar kakek bantu kamu, ya?”
Ray menggeleng. “Nggak usah, Kek. Kan Ray bisa dorong satu-satu.”
“Baiklah, gimana kamu saja, Nak,” kakek Rahmat menepuk bahu Ray. Ray pun mengambil dua kunci motor yang tergeletak begitu saja di atas meja. Lalu tubuhnya beranjak ke luar rumah. Menyeberang jalan. Tiba depan pagar. Membuka pagar. Kedua motor ada di luar pagar. Ia menaiki motornya lalu masuk ke pelataran vila. Berbelok. Berhenti di pojokan. Motor dikunci. Tubuhnya berbalik melangkah kaki lebar-lebar menuju pagar depan. Lalu menaiki motor Dani, melajukan pelan masuk pelataran. Menuju pojokan. Memarkir motor itu di sebelah motornya. Motor Dani pun sudah dikunci. Ray menghela napas panjang. Bernapas lega. Mengedarkan pandang sesaat ke segenap penjuru halaman. Juga teras vila. Gelap. Tak ada cahaya lampu. Entahlah, tiba-tiba bulu kuduknya merinding bersamaan dengan suara dari dalam vila. Seperti suara perempuan yang tengah menangis lirih.***