Terjerat Masalah
PAGI-pagi sekali, Dani sudah tiba di luar pagar rumah Ray. Hari Minggu. Ray masih berada dalam kamarnya. Ratna membuka pintu depan dan memersilakan Dani masuk. Dani pun memarkir motornya di halaman. Lalu masuk beriringan dengan Ratna. Dani mengetuk pintu kamar Ray. Dari dalam, Ray menyuruh membuka pintu karena tak dikunci.
Dani tampak gelisah ketika sudah bersama Ray. “Ray, tolonglah aku, plis!”
Sejenak, Ray mengamati Dani yang masih berbalut celana training merah dan kaos putih dilapisi jaket merah. Wajahnya tak segar seperti tak tidur semalaman.
“Ada apa, Dan?” Ray heran. Tak biasanya Dani datang ke rumahnya di pagi hari apalagi Minggu. “Kamu menginap di rumah nenekmu?”
Dani menggeleng. “Indah, Ray.”
“Kenapa Indah?” tanya Ray.
“Tadi selepas Subuh, dia telepon aku. Katanya, dia sudah berada di depan sekolah kita sekarang.”
“Hah?” Ray kaget. “Indah sekarang depan sekolah?”
Dani mengangguk. “Iya, Ray!”
“Ngapain?” Ray kian heran. “Untuk apa?”
Dani mengeluh pendek. Lalu menceritakannya jika kemarin sore, Indah meneleponnya dan menceritakan akan datang ke Bandung, hendak ke rumah Dani. Awalnya, Dani menduga itu hanya candaan Indah. Namun, ternyata sungguh-sungguh. Indah membuktikan ucapannya. Sebelum Subuh, sekitar pukul dua dini hari, dia pergi dari rumahnya. Menuju jalan besar. Mencegat bus jurusan Bandung. Tak lupa, Indah membawa salin beberapa pakaian.
Ray mendecak. “Indah… kabur?”
“Bukan. Pergi dari rumahnya.”
“Pergi dari rumahnya… pamit?”
“Aku nggak tanya!”
Ray geleng-geleng kepala. “Dasar! Harusnya kamu tanya! Tapi aku yakin, dia memang nggak pamit pada keluarganya alias kabur!”
“Entahlah, Ray... aku bingung.”
“Untuk apa dia ke rumahmu… kalau bukan untuk meminta perlindungan? Karena pastinya, gegara masalah dia mau dikawinkan sama Abah, begitu kan?”
“Sepertinya… memang begitu, Ray. Ah, aku bingung jadinya, Ray, makanya aku kemari. Tadinya masih mau tiduran di rumah, tapi gegara dia telepon dan bilang sudah ada di depan sekolahku… jadinya aku kalut!” Dani tampak resah. Pikirannya kacau karena memikirkan itu.
“Kenapa dia nggak ke rumahmu, malah ke sekolah kita?”
“Aku nggak pernah bilang alamat rumahku… tapi kalau alamat sekolah, ya aku pernah bilang, lagian kalau alamat sekolah kan mudah dicari!”
“Benar juga,” ucap Ray. “Apa yang kamu harapkan dariku untuk membantu masalahmu?”
“Yang bermasalah itu Indah! Tapi sekarang aku juga bermasalah!”
“Aku paham, sebaiknya Indah... kita bantu keluar dari masalahnya! Aku kasihan juga!”
“Terus gimana, Ray? Dia kan meminta aku menjemput ke situ. Dan akan terus minta aku ajak dia ke rumahku. Dia mau menginap entah berapa malam. Tapi itu akan jadi masalah besarku jika sampai aku bawa anak gadis orang ke rumahku! Apa kata orang tuaku? Yakin deh, mereka marah apalagi Mama! Kamu tahu kan sifat Mamaku kayak gimana? Nggak kayak Mama kamu yang super pengertian!” Dani terus berkeluh kesah. Sesekali menghela napas, bimbang.
“Meski kamu terus terang jika itu bukan salahmu… tapi atas permintaan Indah yang tengah terjerat masalah yang rumit?”
“Ya, Ray. Aku nggak mau orang tuaku sampai tahu hal ini.”
“Terus, Indah mau kamu suruh menginap di mana? Losmen? Hotel? Penginapan? Ada gitu di darah kita?” seru Ray. “Kalau mau… masjid banyak, luas dan karpetnya lebar lagi!”
“Jangan becanda, Ray! Aku lagi pusing! Harusnya kamu cari solusi! Nih, aku sampai belum sarapan!”
“Mau kuambilkan nasi goreng buatan Mamaku? Masih ada ko kalau untuk porsi sedang!” Ray menawarkan seraya tubuhnya hendak beranjak.
“Nggak usaaah! Aku bukan mau minta sarapan tapi mau minta solusi! Tuh, gimana Indah menunggu! Sendirian lagi depan pintu gerbang yang sepi!” Dani kian bingung.
Ray kembali duduk. “Terus, kalau Indah nggak mungin kamu ajak ke rumahmu, mau kamu ajak kemana? Gunung? Laut?”
“Gimana kalau dia kubawa ke rumahmu saja?”
“Apa? Rumahku? Rumah ini?” Ray mengangkat kedua alisnya.
“Ya, rumah ini, emang rumahmu ada berapa?”
Ray cepat menggelengkan kepala. “Nggak... nggak!”
“Mama kamu orang yang sangat pengertian! Pasti mau menerima Indah! Indah juga bisa tidur bersama kedua adikmu kan sama-sama perempuan! Ya nggak, Ray?” desak Dani tak sabar.
“Nggak!” seru Ray lalu segera menungkup bibir dengan kedua tangannya. Tak sadar dan takut suaranya terdengar orang rumah. Apalagi tengah ada ayahnya yang baru pulang semalam. “Pokoknya, kamu jangan berharap Indah bisa menginap di sini apalagi bermalam-malam. Semalam juga nggak mungkin.”
“Ray, bukankah Indah menganggapmu keluarganya?” Dani menatap Ray penuh harap. Ponselnya berdering lagi. Indah menelepon dan menanyakan posisi Dani apakah masih di rumahnya atau sudah di jalan menuju sekolah dimana Indah menunggu. Dani menjawab, ia masih di jalan dan meminta Indah sabar menunggu. Dani pun berjanji pasti akan menjemputnya.
“Beda situasinya, Dan,” ucap Ray lunak setelah Dani usai bicara dengan Indah di telepon. “Saat ini, kondisi Indah bukan hendak bersilaturahmi tapi kabur dari rumahnya. Selain itu, Indah dalam masa hendak dinikahi Abah. Kalau Abah sampai tahu Indah kabur dan kaburnya ke rumahku, bukan nggak mungkin, Abah akan marah padaku. Mama dan Papa pun akan terbawa-bawa! Meski aku berusaha membatalkan rencana Abah untuk menikahi Indah, tapi aku nggak mau kalau sampai dianggap ornag yang bikin gara-gara kaburnya Indah. Kamu paham maksudku?”
Dani diam sejenak. Lalu mengiyakan dengan suara melemah. “Ya, Ray. Kalau Wak Dulah sampai tahu Indah kabur ke rumahmu juga, tentu dia akan marah padaku ‘kan?”
“Nah, itu pun sudah pasti, Dan!”
“Jadi... gimana? Ko aku jadi tambah bingung gini? Ah, gegara Indah... nih aku jadi terjerat masalah gini!” Dani jadi menggerutu.
“Bukan gegara, Dan. Indah dalam kondisi tertekan dan ketakutan. Ya, wajib kita tolong. Sebelum Abah tahu Indah kabur ke daerah ini dan sengaja menemuimu, kita amankan Indah.”
“Ya, tapi di mana?” Dani resah. Tangannya mengacak-acak rambutnya yang sedikit jocong.
Ray berpikir sejenak. Matanya terpejam. Tak berapa lama, dibukanya kembali. “Kalau di rumah… Bu Marsinah, gimana?”
Dani menggeleng. “Nggak ah, Ray.”
“Nenekmu pasti senang ada teman.”
“Aku nggak mau ambil resiko kalau tiba-tiba Mama berkunjung ke rumah Nenek dan bersua Indah. Lagian, Nenek belum tentu juga setuju Indah menginap di rumahnya. Indah orang asing baginya, Ray. Selain itu, tetangga di sini bisa-bisa curiga kalau tahu ada orang lain di rumah nenekku. Ah, nanti takut jadi masalah baru di sini, malah jadi berabe!” ucap Dani. Ray pun mengiyakan karena alasan Dani masuk akal. Sesaat, Ray berpikir lagi hingga ia mendapat secercah harapan. Senyum terulas dari bibirnya. Lalu dengan segera mengajak Dani pergi. Mereka naik motor berbeda. Melaju cepat dan tiba depan pintu gerbang sekolah.
Indah tengah berdiri di depan sebuah warung tutup di seberang sekolah. Ketika melihat Dani dan Ray, senyumnya mengembang. Meski di mata Ray, senyum itu terkesan dipaksakan. Ray melihat kesedihan dalam mata gadis itu.
Ray tak turun. Dani yang turun. Lalu berbincang dengan Indah. Sepuluh menit kemudian, Indah dibonceng. Tas besar hitam milik Indah dibawa Ray di motornya. Motor Dani mengikuti motor Ray yang melaju duluan.
Tiba depan sebuah rumah besar yang sepi. Lingkungan yang sepi. Rumah-rumah yang sepi. Kosong tanpa penghuni. Hari Minggu terkadang para pemilik rumah datang dan menyemarakkan suasana. Namun, hari Minggu ini tampak tak ada pengunjung. Mereka semua tak pulang. Kecuali rumah yang hendak dikunjungi Ray, Dani, dan Indah. Rumah Bunda Dewi.
Bunda Dewi membuka pintu pagar. Tersenyum menyambut tiga remaja yang datang. Lalu memersilakan masuk. Dipandanginya wajah Indah yang cantik dan putih. Rambutnya yang hitam panjang dan lurus, dikepang satu ke belakang. Pakaiannya yang sederhana tak mengurangi kecantikan gadis itu.
“Oh, ini yang kamu bilang namanya Indah itu, Ray?” Bunda Dewi melirik pada Ray.
Ray mengangguk. “Iya, Bun. Yang tadi Ray bilang di telepon.” Lalu Indah mencium punggung tangan Bunda Dewi dengan takjim.
“Bunda ambil minuman dan makanan dulu ke belakang, ya?” Bunda Dewi melesat ke dalam. Lima belas menit kemudian datang dengan dua gelas tinggi teh manis. Lalu pergi lagi ke belakang. Mengambil makanan dalam piring dan dua stoples kecil berisi makanan ringan dan kacang kupas yang renyah.
“Makasih, Bun!” ucap Dani. “Tumben, Bunda nggak pulang ke Cibiru?”
“Nggak, Dan. Tanggung. Besok ada supervisi di sekolah. Ada pemeriksaan administrasi para guru.”
“Oh, lagi sibuk ya, Bun?”
“Ya, Dan. Hari Rabu minggu ini… kamu bisa mulai melatih lagi nggak? Buat persiapan saja… hari besar di bulan depan.”
“Siap, Bun…”
“Bun...” Ray menatap Bunda Dewi. “Sebagaimana yang Ray ceritakan tadi di telepon, Bunda bisa bantu ‘kan?”
Bunda Dewi mengangguk bijak. “Nggak apa-apa, Ray, Dan… kalau Indah mau menginap di sini, ya alhamdulillah, Bunda ada teman. Ihwal masalah Indah… ya nanti Bunda ikut mencari solusi. Bunda juga tahu karakter Wak Dulah bagaimana. Ya, sebaiknya gadis seperti Indah kalian lindungi. Jangan sampai orang seperti Wak Dulah merampasnya. Apalagi Indah gadis yang sangat cantik.”
Indah tersipu malu. Wajahnya menunduk. Ray dan Dani pun pamit dan berjanji sore datang lagi. Sepeninggal Dani dan Ray, Bunda Dewi mengantar Indah ke kamar tengah. Disuruhnya Indah membereskan pakaiannya dan dirapikan ke dalam lemari yang kebetulan kosong. Indah menurut. Bahkan, sembari beres-beres di kamar, Indah membantu Bunda Dewi memasak di dapur. Indah pun melakukan pekerjaan rumah lainnya. Mencuci piring, menyapu lantai, mengepel dan beres-beres dalam rumah. Bunda Dewi sangat terpikat dengan sikap gadis cantik itu.
“Indah, Bunda ada keperluan ke rumah teman guru. Besok kan ada pemeriksaan ke sekolah Bunda. Jadi Bunda agak sibuk, nih. Tidak apa-apa Indah sendirian di rumah?”
Indah tersenyum. “Indah sendiri di sini. Bunda kalau mau pergi, silakan saja.”
“Kalau misal, dari rumah teman Bunda... Bunda langsung ke sekolah, gimana? Di sekolah juga ada kerjaan.”
“Tak apa-apa, Bun.”
“Kamu berani sendiri di sini?”
“Berani. Indah juga sering sendiri kalau di rumah Indah di kampung.”
“Baiklah… kalau begitu, Bunda pamit dulu, ya… assalamu’alaikum.”
Indah membalas salam. Bunda Dewi berlalu dari hadapannya. Indah tak bisa diam. Tangannya selalu ingin mengerjakan sesuatu. Pukul empat belas, Bunda Dewi belum kembali. Maat Indah terasa berat, ingin tidur. Namun, ditahannya, ia tak enak jika Bunda Dewi pulang tapi ia tengah tidur. Akhirnya, ia menahan matanya agar tak terpejam. Lalu kakinya berjalan-jalan sekitar beranda yang memanjang dari arah timur ke barat. Sembari melihat-lihat bebungaan di halaman yang panjang tapi lebarnya tak seberapa.
Ketika kakinya melangkah ke beranda sebelah timur, ia lalu duduk di kursi rotan di sana. Melamun sendirian. Ia sengaja mematikan ponsel yang dibiarkannya di dalam kamar. Kartunya pun sudah dilepas untuk menghindari orang-orang di rumah di kampungnya yang pasti mencarinya. Toh baginya, dengan Dani tak mesti dihubungi karena Dani tahu keberadaan Indah. Ia pun sangat terpikat dengan kebaikan hati Ray. Sejujurnya, ia menyukai Ray. Ada rasa lain saat mengingat Ray. Namun, ia tak berani berharap. Terlebih ia sangat menghargai Dani yang tampak menyimpan perasaan khusus.
Angin siang hari meniup wajah lembutnya. Rumah yang sepi. Ia pun merasakan kesenyapan. Tak ada suara manusia di sekitarnya. Menyelusup rasa cemas. Bunda Dewi begitu lama, ia mulai dihinggapi resah. Ada rasa yang tak biasa. Bulu kuduknya sedikit meremang meski siang hari yang panas. Kala tenggelam dalam lamunan, matanya menangkap sosok di arah barat. Seorang perempuan berbaju putih kusam lebar tengah berjalan cepat seperti sedikit melayang. Menuju lorong kecil yang menghubungkan ke ruangan belakang.
Indah penasaran. Tubuhnya beranjak lalu melangkah cepat menuju lorong. Memastikan siapa yang datang. Namun ketika tiba di lorong, ia tak menemukan sosok tadi. Tangannya refleks membuka handle pintu dapur. Menduga sosok tadi masuk situ. Namun, di dapur, tak ada sesiapa. Senyap.***