Uji Nyali
MALAM itu, Ray dan ketiga temannya masih mengobrol di ruang atas. Yang dibicarakan, masih seputar vila-vila kosong yang acap mengundang rumor orang-orang sekitarnya. Mengenai penampakan. Mengenai suara-suara aneh. Mengenai kejadian-kejadian ganjil yang selalu dikaitkan dengan vila-vila tak berpenghuni manusia.
“Dir, tadi kamu yang kebagian menyimpan motor ke halaman Vila Aling,” Dani berhenti bicara sembari menatap Dirga. “Ada yang kamu dengar?”
Dirga menghela napas, hatinya mengakui. Namun, ia tak mau mengatakan yang sebenarnya lantaran khawatir suara-suara yang tadi sempat tertangkap di telinganya—kala ia baru saja mengamankan motor di pojok vila yang gelap, tiba-tiba ada suara deheman laki-laki dari dalam vila, lalu bisa saja terbawa ke dalam mimpinya. Hingga, mulutnya seketika bungkam meski ketakutan menyelimutinya.
“Ada nggak?” tanya Dani lagi. “Ko malah diem?”
“Kalau kamu... gimana?” Dirga balik bertanya.
Dani menganggukkan kepala. “Ya, aku dengar beberapa kali. Suara deheman laki-laki.”
“Dari dalam vila itu kan?” Dirga ingin memastikan.
“He-eh. Fian juga sama,” Dani melirik Fian. “Ya, kan… Fian?”
“Ha-ah,” Fian yang asalnya tak mau cerita, terepaksa mengangguk karena waktu kejadian pun bareng-barenag sama Dani.
“Kalau kamu, Ray?” tatapan Dani beralih pada Ray.
Ray mengulas senyum. “Aku mau tahu dulu cerita Dirga.”
“Okelah,” Dirga mulai berucap lagi. “Tadi… karena kalian minta aku simpan motor Ray dan motor Dani ke dalam vila…”
“Bukan ke dalam, ke halaman,” ralat Ray.
“Ya, halaman.”
“Kalau ke dalam vila, emang kamu berani gitu?” Fian menatap Dirga.
Dirga tak menghiraukan pertanyaan Fian yang bisa saja membuat tidurnya tak lelap. “Pas aku baru beres masukin motor yang kedua, tubuhku baru saja mau berbalik dan berjalan… tiba-tiba saja… telingaku mendengar suara laki-laki dari dalam vila… mendehem.”
“Hiiiii…” bulu kuduk Fian merinding. “Kebayang… kamu sendirian, kalau aku… pas bareng Dani. Jadi ada teman lari.”
Ray tersenyum tipis. “Sudah kuduga.”
“Kamu sendiri, gimana Ray? Sama… dengar suara yang mendeham?” Dirga menatap Ray. Begitu pun Dani dan Fian.
Kepala Ray menggeleng pelan. “Nggak mendengar.”
“Masa?” Fian tampak heran. “Kamu nggak dengar apa-apa? Aneh ya? Nggak adil banget, masa kita bertiga, aku, Dani, dan Dirga mendengar suara laki-laki yang mendehem… ko Ray nggak? Benar-benar nggak adil tuh! Mentang-mentang Ray pemberani… jadi nggak ditakut-takutin hantu!”
Ray jadi tertawa.
“Tuh… malah ngetawain!” rutuk Fian.
Ray menghentikan tawanya. “Aku juga mendengar. Tapi bukan suara deheman laki-laki seperti yang kalian bertiga alami.”
“Lalu?” desak Dani.
“Yang kudengar…” Ray sengaja menggantung ucapannya biar ketiga temannya yang penakut, tambah penasaran.
“Apaaaaa?” Dani, Fian, dan Dirga serempak berseru.
“Ada seorang perempuan tengah menangis liriiiih…” ucap Ray. Sontak tubuh Fian nyaris melompat lantaran takut. Ia membayangkan jika dirinya sendiri yang mengalami. Sendirian lalu mendengar suara itu. Entah apa yang akan dilakukannya.
“Kamu melihatnya?” tanya Dani.
Ray menggeleng. “Nggak. Hanya suaranya yang kudengar.”
“Kamu… takut nggak?” tanya Dirga.
“Jujur, rasa takut ada… manusiawi. Tapi aku nggak seperti kalian yang langsung berlari terbirit-b***t. Atau mungkin kalau Fian suka menjerit-jerit, ya?”
“Menjerit … aku nggak, masih sadar. Kalau lari, emang,” Fian mencoba berkilah.
“Ko yang didengar Ray… beda banget, ya?” Dani heran.
“Mungkin hantu itu ingin memberi kejutan yang berbeda sama Ray,” timpal Dirga.
“Hanya menguji kita… sampai sejauh mana keberanian kita. Karena… rasa takut itu sebenarnya hanya buatan manusia itu sendiri. Kita sendiri saja yang membuatnya. Ketika kita dihadapkan pada kejadian-kejadian seperti itu, apa kita sanggup melawan rasa takut atau nggak? Nah, di situlah kita diuji. Dan ada yang berhasil ada yang nggak,” jelas Ray.
“Di antara kita berempat, memang cuma kamu Ray yang paling pemberani.”
“Aku nggak merasa pemberani. Cuma kalau dulu-dulu, aku nggak begitu peduli jika orang-orang suka membicarakan baik yang berhubungan dengan hantu atau hal-hal mistis. Aku berusaha nggak memedulikan. Dan tak mau menanggapinya apalagi memikirkannya. Kuanggap itu hal yang nggak penting.”
“Termasuk ketika aku suka cerita horor kalau kita nginap di rumah nenekku?” tanya Dani.
“Ya, Dan. Awalnya aku nggak peduli ‘kan?”
“Tapi pada akhirnya kamu pun jadi suka tanggap jika aku atau yang lainnya cerita horor?” tanya Dani lagi.
“Benar. Itu berawal dari lantaran aku sendiri yang mengalaminya. Satu, dua kali, aku merasa biasa saja. Tapi ketika mulai kerap terusik dengan kejadian demi kejadian, baik suara maupun penampakan… mau tak mau… aku pun mulai mengakui, jika rasa takut itu ada. Kataku tadi, punya rasa takut itu manusiawi, wajar… asal kita sadar, kita nggak bisa terus seperti itu. Bagaimana caranya melepaskan rasa takut? Ya, salah satunya dengan cara menahannya. Menahan rasa takut itu.”
“Aku juga ingin bisa melawan rasa takut…” kata Dirga sungguh-sungguh.
“Dengan berusaha tenang,” ucap Ray.
“Justru, itu kelemahanku, kadang nggak bisa tenang.”
“Aku punya ide agar kita bisa melawan rasa takut! Ya, itung-itung berlatih… biar nantinya kita semua menjadi sosok-sosok yang pemberani! Sosok-sosok yang nggak lemah ketika kita diganggu makhluk tak kasat mata!” kata Ray meyakinkan.
“Ide apa, Ray?” tanya Dani serius.
“Dengan uji nyali!” seru Ray.
“Boleh! Gimana kalu nanti setelah kita semua berada di Banjarnegara? Katamu, Wak Dulah itu punya tempat-tempat angker yang biasa digunakan untuk ritual!” Dani begitu tertarik.
“Bisa saja, Dan. Tapi aku mau memulainya dari kawasan sini… karena ternyata di sini juga … tak sedikit rumor keberadaan hantu terutama di vila-vila kosong yang tak berpenghuni manusia.”
“Hemmmm… aku sih, oke-oke saja. Tapi gimana dengan Fian dan Dirga?” Dani menatap Fian dan Dirga.
Dirga menghela napas ragu tapi lalu kepalanya mengangguk. Disikutnya lengan Fian. “Kamu sendiri, mau ikut kami bertiga… atau nggak?”
“Kalau nggak ikut satu orang…. sama saja bohong!” ucap Dani. “Kita kan berempat. Masa cuma bertiga yang mau uji nyali.”
“Oke!” Fian buka suara. “Siapa takut?”
Dani mencibir. Ray hanya mengangkat bahu.
“Di mana uji nyalinya?” Fian seolah menantang padahal hatinya kembang kempis.
“Gimana Ray saja. Dia yang akan menentukan,” jawab Dani.
“Kita masih punya satu malam di sini. Bukan malam ini, malam besok. Karena lusa, suruhan Wak Dulah akan menjemput kita. Kita akan uji nyali di vila depan rumah ini.”
“Vila Aling?” Dirga bertanya.
Ray mengangguk. “Kakek Rahmat pernah menawariku, kalau-kalau kita berempat mau sesekali merasakan bermalam di vila gratis… ya Vila ALing. Kuncinya, bisa kakek Rahmat pinjam sama kang Ali, begitu katanya.”
“Aku setuju!” ucap Dani serius. Dirga dan Fian pun tak bisa menolak keputusan untuk uji nyali, malam besok di Vila Aling.
Satu persatu, mereka mulai memejamkan mata. Lalu semua terlelap. Tubuhnya terbaring di atas karpet beludru hijau di ruang atas. Tidak tidur di kamar. Alunan musik masih mengalun lembut dari laptop Ray. Gawai mereka tergeletak tak jauh dari laptop.
Sekitar pukul dua dini hari, mata Ray terkuak. Tangannya mematikan laptop. Tubuhnya pun beranjak. Dilihatnya, Dani, Dirga, dan Fian terlelap. Dengkur halus mereka kentara. Ia ingin membangunkan ketiga temannya tapi tak tega. Takut mimpi indah semua temannya terusik. Ia pun memilih diam. Namun, lampu ruangan terang. Tubuhnya pun bangkit. Menghampiri sakelar lampu di dinding. Gelap. Rasa kantuk mulai menyerang lagi ketika tubuhnya terbaring lagi di samping Dani. Terlebih tubuhnya menggigil kedinginan. Cuaca Cipanas yang memang terkenal dingin. Namun hanya beberapa menit matanya terpejam dan hendak kembali menjemput mimpi. Lantaran matanya kembali terkuak setelah telinganya menangkap perbincangan entah di mana. Awalnya, ia menduga perbincangan itu dari ruang bawah. Kakek Rahmat dana istrinya. Namun, setelah disimaknya lagi, suara itu bukan datang dari bawah tapi dari arah luar. Siapa yang tengah mengobrol di luar di malam buta begini? pikirnya.
Suara-suara yang berbincang tambah jelas tertangkap telinganya. Kendati tak begitu jelas apa yang tengah diperbincangkan orang-orang itu. Rasa penasaran menggulungnya. Tubuhnya seketika bangkit. Melangkahkan kaki menuju pintu luar. Lalu dibukanya pintu yang tak terkunci. Langkahnya ke teras. Sesaat berdiri depan pagar kayu. Suara itu datangnya dari pekarangan Vila Aling. Dari terasnya yang tanpa lampu. Mata Ray menangkap dua sosok di bawah gelap tengah asyik bercengkrama. Duduk bersebelahan di sebuah kursi panjang. Seperti laki-laki tua dan nenek tua. Mungkin, mereka suami istri, pikir Ray.
***
“Kek, ada yang mau Ray ceritakan,” bisik Ray pada kakek Rahmat ketika dilihatnya laki-laki itu sudah beres menggoreng bala-bala. Dani dan kedua temannya berada di ruang tamu tengah menikmati makan bubur ayam. Ray pamit sebentar untuk ke kamar mandi padahal ia berdusta. Ia hanya mau menghampiri kakek Rahmat dan mengajak bicara sebentar.
Ray memberi isyarat pada kakek Rahmat yang dimengerti oleh laki-laki tua baik itu. Mereka berdua ke suatu dapur. Ray bilang, semalam ia melihat dua sosok di teras vila tengah berbincang. Sepasang tua yang menurut perkiraan Ray, itu pasangan suami istri.
“Itu Bah Jali dan Umi Rahmi,” bisik kakek Ray di telinga Ray. “Maksud kakek… mendiang Bah Jali dan mendiang Umi Rahmi.”
“Ya, Ray paham, Kek. Apa kakek pernah melihatnya juga?” Ray penasaran.
Kakek Rahmat tersenyum simpul. Lalu menepuk bahu Ray. “Yang penting, tidak mengganggu kita.”
“Benar.”
“Kalau sama kamu, kakek sangat percaya. Coba latih Dani biar dia tak menjadi remaja yang penakut. Dia itu laki-laki.”
“Kek, masih berlaku tawaran kakek?” Ray balik bertanya.
“Soal menginap di Vila Aling?”
“Ya.”
“Kapan?”
“Malam sekarang.”
“Kamu berani ‘kan?” kakek Rahmat menatap Ray. “Tapi… kakek sangat percaya padamu.”
“Mencari pengalaman sekaligus melatih diri kami, Kek.”
“Bagus! Kakek pinjam kuncinya nanti sama Ali. Dia baru datang paling sekitar pukul sepuluh.”
“Makasih sebelumnya ya, Kek.”
“Sama-sama. Dani dan kedua teman kalian… sudah setuju?”
“Sudah, Kek.”
“Baiklah, sekarang kamu makan bubur ayam dulu sana, nanti keburu dingin nggak enak!” kata kakek Rahmat. Ray mengiyakan lalu menghampiri teman-temannya. Hari berlalu dengan cepat. Tak terasa, apalagi Dani mengajak ketiga temannya kembali berjalan-jalan. Yang dituju daerah Cibodas. Mereka menghabiskan waktu di taman Cibodas.
Menjelang sore baru kembali di rumah kakek Rahmat. Nenek Rahmat tampak khawatir karena tak memberi bekal makanan pada mereka ketika berangkat pagi-pagi sehabis mandi.
“Kami sudah makan di restoran,” ucap Dani sembari tersenyum pada neneknya.
“Gaya, kamu ini,” kata neneknya. “Apa nggak mau lagi makan masakan nenekmu ini?”
“Bukan gitu, Nenek Sayang, sesekali kan boleh makan di luar,” Dani memeluk tubuh neneknya. Ray begitu terpikat dengan keakraban Dani dan neneknya. Dani pun sangat akrab dengan Bu Marsinah, neneknya dari pihak ayahnya. Ray tak bisa mengalami seperti Dani. Berakrab-akraban dengan nenek atau kakeknya. Nenek dan kakek dari pihak ayah dan ibunya, semua sudah meninggal. Yang dimilikinya, tinggal Wak Dulah, adik mendiang kakek dari pihak ayah. Itu pun jarang bersua.
“Kami besok mau melanjutkan perjalanan berlibur kami ke Banjarnegara,” ucap Ray. “Terima kasih atas semua kebaikan Nenek dan Kakek, ya… yang selalu kami repotkan.”
“Kakek dan nenek, menunggu Ray datang lagi kemari, ya? Kan kalian nanti banyak libur… kata Dani begitu,” neneknya Dani melirik Dani lalu beralih pada Ray. “Juga Fian dan Dirga… kami tunggu, ya? Nenek senang banget kalian berada di sini.”
Malam mendekap. Semenjak bada Isya, Ray dan teman-temannya sudah berada di dalam Vila Aling. Dani pun baru tahu ternyata vila yang kini diinjaknya termasuk pekarangan tempat menyimpan motor, itu bagian atas. Vila ini bertingkat dan bagian bawahnya sejajar dengan hamparan tanah pekarangan.
“Jangan berisik,” Ray mengingatkan. Mereka tengah berkumpul berempat di sebuah kamar yang cukup luas. Ruangan terang. Ruangan lainnya dibiarkan gelap. Dani tak berani ke ruangan lain untuk sekadar menghidupkan lampu agar tak gelap.
“Kamar mandi di mana?” Fian melirik pada Dani. “Kalau-kalau, tengah malam kita terbangun dan kebelet mau pipis…”
“Ada di ruang belakang. Ada beberapa kamar mandi,” jelas Dani meski ia tahu dari kakeknya tadi sebelum masuk ke vila.
“Kalau aku pingin pipis, antar aku, ya Dan?” rajuk Fian.
“Manja!” seru Dani.
“Kita ke ruangan bawah, yu?” ajak Ray.
“Ngapain?” Dirga tampak ketakutan.
“Sekalinya tidur di vila ini, masa kita nggak tahu ruang bawah!” jelas Ray lalu mengajak Dani. “Yu, Dan!”
“Berempat… oke!” seru Dani. Dirga dan Fian mengikuti dari belakang. Berjalan-jalan mengitari ruang atas yang gelap. Lalu menemukan tangga ke bawah. Mereka satu per satu menuruninya. Tibalah di ruang bawah. Gelap. Tangan Ray meraba-raba dinding hingga sakelar lampu tersentuh. Ruangan terang. Namun tak begitu terang cahayanya.
Ray menuju sofa berwarna gelap. Duduk. Fian, Dani mendekati. Juga Dirga. Beberapa menit terdiam. Cuaca dingin sangat menusuk kulit. Mereka berempat menggigil kedinginan meski tubuh mereka dibalut jaket tebal dan celana jins. Tiba-tiba lampu meredup. Terus meredup. Bersamaan dari dinding sebelah timur, tampak bayangan hitam besar serupa manusia bertubuh besar. Ray mengamati dengan saksama. Teman-temannya tak melihat bayangan itu. Terngiang-ngiang di telinga Ray, cerita kakek Rahmat yang mengingatkan jika di sebelah barat vila, tepatnya bagian bawah, itu pemakaman umum.***