Menyelamatkan Gadis Idaman
PINTU rumah itu terkuak usai Ray mengucap salam. Bu Marsinah, perempuan tua bertubuh gemuk itu tersenyum ramah. Lalu memersilakan Ray masuk. Sudah tiga bulan, ia tak menginjakkan kaki di rumah Bu Marsinah. Terhitung semenjak Dani tak mengajaknya menginap di sini. Bukannya Dani tak pernah tidur lagi di sini. Masih pernah dua-tiga kali. Namun, bukan Ray yang menemaninya melainkan Fian.
Ray merasakan aura dingin ketika masuk ruang tamu lalu ruang tengah. Terlebih, rumah ini hanya ditempati Bu Marsinah. Bahkan, perempuan itu pun terkadang pergi ke rumah Dani dan menginap di sana.
Sesaat, mata Ray mengamati lukisan-lukisan yang menempel di dinding. Lukisan lama. Mendiang suami Bu Marsinah, suka lukisan semasa hidupnya. Lukisan laki-laki tua, lukisan perempuan tua, dan lukisan anak kecil. Semua terasa menyeramkan bagi Ray. Namun, ditepis rasa takut yang mulai mengusiknya. Kedua kakinya terus melangkah. Ke ruangan belakang. Lalu masuk pavilliun. Kosong. Tak ada siapa-siapa. Televisi tak menyala. Sepi. Bu Marsinah melangkah kaki menuju dapur dan membuat minuman.
“Sini masuk, Ray!” panggil Dani dari dalam kamarnya. Ray melirik jam tangan di pergelangan tangan kiri, baru pukul dua puluh lebih beberapa menit. Dani meneleponnya untuk datang ke rumah Bu Marsinah. Dani sudah menunggu semenjak Magrib. Seperti biasa, Dani akan menginap atas permintaan nenek tercintanya dan Dani pun minta ditemani Ray. Ray sempat menyuruhnya untuk mengajak Fian. Apalagi di rumah, ada ayah Ray. Namun, Dani menolak dengan alasan tak jelas. Hingga akhirnya, Ray menuruti permintaan Dani meski ayahnya sempat melarangnya menginap. Namun, ibunya dengan lembut meminta Ray menuruti Dani. Ratna cukup dekat dengan Bu Marsinah dan ia merasa peduli pada perempuan janda tua yang tinggal sendirian itu. Apalagi, rumah itu acap mendatangkan rumor mengenai cerita-cerita seram. Dani takut, wajar. Bu Marsinah kesepian, dan Ratna memikirkannya. Salah satunya agar Ray tak menolak jika Dani minta ditemani.
Langkah kaki Ray masuk kamar Dani setelah terlebih dahulu mendorong pintu bercat cokelat muda itu. Kamar yang didaulat milik Dani. Meski ditempati hanya sesekali. Ruang kamar terang. Dani tengah duduk di atas pembaringan dengan santai. Kedua kakinya berselonjor dengan punggung menyandar ke dinding. Sebelah tangannya memegang gawai.
Ray duduk di pinggir tempat tidur. “Kenapa nggak ajak Fian sekalian... biar malam ini kita bisa bertiga di sini? Lebih seru, bisa ngobrol-ngobrol semalaman. Mumpung, besok Minggu.”
Dani menggeleng. “Nggak, kali ini nggak, Ray. Aku mau kita berdua saja. Ada hal penting yang ingin kubicarakan sama kamu.”
“Sebegitu penting?” tanya Ray.
Tak berapa lama, pintu didorong dari luar. Bu Marsinah masuk dengan tangan membawa nampan berisi dua gelas s**u cokelat dan sepiring ketan goreng. Lalu ditaruh di atas meja yang bisa digunakan Dani belajar jika tengah menginap di rumah ini. Ray mengucap terima kasih pada neneknya Dani yang sekaligus tetangga baiknya.
“Penting banget,” jelas Dani setelah neneknya berlalu dari dalam kamar.
“Soal apa?”
Dani tersenyum tawar.
“Soal apa, Dan?” tanya Ray lagi. Kedua kakinya naik ke atas tempat tidur. Jadi berhadapan dengan Dani. Dani pun melipat kedua kakinya dan bersila.
“Soal.... cewek,” ucap Dani.
Ray mendecak. “Jangan mulai lagi, Dan! Nggak adakah yang lebih penting dibicarakan selain bahas cewek dan cewek melulu? Kamu harus ingat, kejadian buruk yang menimpamu. Saat di kampung Mang Dayat, kita menonton acara dangdutan di pesta hajatan.. malam Minggu itu, kamu malah menghilang dari kami.”
“Waktu itu entah kenapa... tiba-tiba aku ingin pulang, Ray. Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, kenapa ko aku mau pulang ke rumah Mang Dayat sendirian... bukankah di rumah itu nggak ada siapa-siapa? Dan aku pasti akan sendirian di sana ‘kan? Coba kamu pikir, masa aku seberani itu? Apalagi malam sebelumnya aku mengalami kejadian menegangkan ketika ada makhluk halus memeluk tubuhku dari belakang!” Dani berucap panjang lebar untuk klarifikasi pada sahabatnya.
“Nah, itulah kamu! Itu pikiranmu yang lagi kosong... jadinya ngawur! Aneh-aneh! Dampaknya, apa yang terjadi? Kami kelabakan mencarimu! Kami pun nggak bisa tidur karena memikirkan kamu yang nggak kunjung pulang ke rumah Mang Dayat. Pagi-pagi kami mencarimu lagi dan aneh... kamu malah tengah tidur di atas nisan di bawah pohon kamboja. Apa itu nggak aneh-aneh?”
Dani mendesah. “Ya... itu kejadian ganjil dan aku nggak mau mengalaminya lagi. Gadis misterius yang menyebabkan aku sampai begitu.”
“Dan gadis misterius itu...hantu!” tegas Ray.
“Jangan keras-keras bicaranya, Ray!” Dani menurunkan volume suaranya. “Nanti nenekku dengar!”
“Itu akibat kamu yang mudah tergoda dengan cewek! Lalu sekarang, kamu memanggilku kemari... mengajakku menginap di sini menemanimu... mau bahas soal cewek... tuh buat apaan lagi! Penting bangat ya buatmu? Pengalaman di kampung Mang Dayat harusnya jadi pelajaran!” Ray mengingatkan. Lalu tubuhnya sesaat beranjak. Menghampiri meja. Mengambil gelas lalu menyeruput isinya. Nikmat terasa hangat mengaliri tenggorokannya. Satu buah ketan goreng dilahapnya hingga habis. Lalu dialirkan dengan air s**u dalam gelas tadi.
Ray kembali ke tempat tidur. Duduk bersila menghadap Dani yang sama-sama duduk bersila.
“Cewek yang mau kuceritakan cewek beneran... maksudku, bukan cewek jadi-jadian seperti di kampung Mang Dayat!”
“Cewek mana lagi yang kini kamu incar?”
Dani menarik dua ujung bibirnya. Membentuk senyuman yang terkesan dipaksakan. “Masih cewek yang lama, Ray.”
“Saudara sepupuku? Cika?” Ray menatapnya.
Dani menggeleng. “Bukan.”
“Indah?”
Dani menganggukan kepalanya. “Ya, Ray.”
“Kenapa dengan dia?”
“Kamu juga tahu kan, aku dan dia suka komunikasi semenjak aku dapat nomor ponselnya tempo hari waktu kita mau ke Banjarnegara dan singgah di sana.”
“Ya, karena kamu yang cerita. Kenapa dengan Indah?” Ray mengulang pertanyaan tadi.
“Sudah tiga kali tadi siang dia meneleponku.”
“Dia yang meneleponmu atau kamu yang meneleponnya?”
“Dia, Ray. Ya, memang biasanya yang memulai menelepon itu aku. Tapi hari tadi, dia yang memulai. Dan tiga kali meneleponnya.”
“Oh, ya... apa dia kangen banget sama kamu sampai menelepon berkali-kali? Atau karena ponselmu nggak aktif... jadi dia menelpon berulang?” tanya Ray.
“Bukan dua-duanya.”
“Lalu?”
“Dia curhat, Ray. Menumpahkan isi hatinya. Tapi bukan isi hatinya yang mencintaiku melainkan mengenai permasalahannya. Pikirannya lagi kacau.”
“Hemmm, itu bukan menumpahkan isi hati tapi berbagi cerita, atau melepaskan uneg-uneg,” ralat Ray.
“Terserahmu bagaimana menyimpulkannya. Yang pasti, hati Indah lagi resah dalam beberapa minggu ini. Dia butuh orang yang bisa diajak bicara. Dan aku yang menurutnya cocok diajak bicara, begitu kata dia, Ray.”
“Dia nggak coba bicara sama orang-orang terdekatnya di sana? Sama kedua orang tuanya, atau keluarganya yang lain. Atau pastinya... dia juga punya sahabat di sana. Setahuku, cewek-cewek yang belum menikah di kampung itu, pada rajin pergi mengaji. Mereka pun tampak rukun. Aku yakin, Indah punya banyak teman apalagi dia bunga desa.”
“Ray, kamu sama Indah masih keluarga?”
“Kenapa nggak kamu tanya sama Indah?” Ray balik bertanya.
“Dua bilang... masih, katanya. Tapi waktu aku pernah tanya sama kamu, kamu bilang bukan.”
“Hemm, orang desa itu memiliki sikap keluargaaan yang baik. Jadi, semisal di antara mereka tak ada hubungan darah pun... mereka selalu menganggap ada hubungan keluarga. Ya, alhamdulillah... kalau Indah menganggapku sebagai keluarganya. Aku nggak kenal Indah. Hanya tahu saja. Itu pun setelah dia dan kamu dekat. By the way... katamu, Indah tengah punya masalah, nah... masalah apa tuh?”
Dani menghela napas berat. Lalu diembuskannya. Wajahnya sedikit muram. Hingga Ray pun merasa heran. “Kalau kamu mau aku tahu masalah Indah, ya bicaralah padaku, jangan ragu... kecuali kalau kamu mendadak keberatan, ya nggak usah. Jangan memaksakan.”
“Gini, Ray... Indah mau dikawinkan oleh orang tuanya.”
Ray tersenyum bijak. “Jadi itu masalah dia yang membuat wajahmu muram?”
“Hubunganku dengan Indah belum jauh, baru sebatas teman baik. Kamu juga tahu. Meski kuakui, aku menyukainya sama dengan menyukai Cika, tapi aku nggak mau berharap terlalu banyak darinya. Jika Indah mau menikah dengan laki-laki pilihannya... ya apa boleh buat. Aku hanya bisa berdoa untuk kebahagiaannya.”
“Tapi Indah mau kawin... masalah buat Indahnya, ya?”
“Karena keinginan orang tuanya. Bukan kehendaknya sendiri.”
“Berarti bukan dengan laki-laki pilihannya?”
“Bukan, Ray... aku juga nggak tahu siapa laki-laki pilihannya,” ucap Dani mendadak lirih suaranya.
“Mungkin saja memang kamu laki-laki pilihannya. Tapi dia juga sadar, kamu masih sekolah, dan meskipun sebentar lagi kamu lulus sekolah, kamu nggak mungkin mau langsung nikah. Kamu kan mau kuliah dulu atau minimalnya bekerja, mencari pengalaman. Urusan nikah, urusan entah tahun berapa. Begitu kan?”
“Ray, yang membuat Indah resah, laki-laki pilihan orang tuanya selain bukan laki-aki yang dicintainya... juga laki-laki menakutkan... bagi Indah.”
“Laki-laki menakutkan?” Ray mengangkat kedua alisnya. “Apa laki-laki itu sejenis makhluk tak kasat mata juga seperti cewek misterius yang meninggalkanmu di pemakaman umum Pasirparia?”
“Jangan becanda, Ray. Aku serius!” ucap Dani.
“Oke, aku juga serius. Langsung saja, siapa laki-laki menakutkan itu? Dia bilang sama kamu ‘kan?” Ray jadi penasaran.
“Dia... Wak Dulah, Ray. Abahmu,” jelas Dani. Bukan main Ray kaget. Jantungnya dirasa nyaris rontok. Tangannya memegang d**a. Merasakan degup keras di dalamnya. Matanya terbuka lebar. Nyaris loncat. Ia seperti tak percaya dengan apa yang diutarakan Dani. Perihal Wak Dulah yang hobi menikahi gadis-gadis muda dan cantik itu bukan rahasia umum. Semua sudah tahu. Namun, jika tiba-tiba ingin mempersunting Indah, tentu saja Ray sangat kaget. Terbayang sosok gadis desa yang cantik, ranum, dan menjadi idaman banyak pemuda remaja di kampung itu. Lalu, Wak Dulah, laki-laki tua yang pantas menjadi kakeknya Indah, hendak memetiknya. Mencicipinya. Menjadikannya istri. Ray tiba-tiba merasa tak rela. Meski Wak Dulah acap memiliki istri seusia Indah, tapi Ray merasa berat harus mengetahui Indah akan dinikahinya. Ray tahu Dani menyukai Indah. Ray pun tak memiliki perasaan khusus pada Indah. Namun, Ray tak mau Wak Dulah memilikinya. Sama sekali, Ray tak ingin. Menyelusup rasa iba dan prihatin pada Indah juga mengecam sikap orang tua Indah yang berbuat sesuka hatinya.
“Besok aku mau menelepon Abah,” putus Ray tiba-tiba.
“Jangan kamu bilang... apa yang aku bilang barusan, ya?”
Ray menggeleng. “Aku nggak akan bilang kamu yang bilang. Aku mau pura-pura tahu dari orang di desa itu yang sudah meneleponku.”
“Lalu?”
“Mau kuperingatkan Abah agar membatalkan keinginannya itu.”
“Akankah berhasil?” Dani menatap penuh harap.” Jujur Ray... aku tak mau Indah menikah dengan laki-laki setua Abahmu, maaf.”
“Sama...”
“Tolonglah Indah, Ray. Kamu lakukan demi Indah, bukan demi aku. Lepaskan Indah dari incaran Abahmu.”
“Semoga berhasil, aku akan usahakan, ya?”
“Makasih sebelumnya, Ray,” ucap Dani lalu tubuhnya beranjak. Mengambil gelas di atas meja belajar. Lalu meminumnya hingga tandas karena sudah hangat. Pikirannya sedikit tenang setelah bicara dengan Ray. Ia pun sangat berharap Ray bisa menolong Indah.
Pukul dua puluh tiga, mereka baru tidur. Lampu ruang kamar sengaja dimatikan. Ray berselancar di dunia mimpi. Lalu bersua dengan Wak Dulah. Laki-laki itu marah pada Ray yang ikut campur dengan niatnya yang hendak menikahi Indah. Wak Dulah mengeluarkan jurus-jurus saktinya hingga tubuh Ray terpelanting jauh. Lalu berusaha menganiaya Ray dengan sabuk saktinya. Ray berlari sejauh mungkin untuk menghindari kejaran Wak Dulah. Masuk hutan belantara. Tak ada seorang pun yang bisa menolong Ray dari kejaran Wak Dulah yang marah.
Napas Ray sesak lantaran berlarian sangat jauh. Melintasi gunung, lembah, dan sungai. Tubuhnya terjatuh di sebuah jurang yang dalam. Lidahnya bergerak-gerak hendak berteriak. Namun sontak matanya terkuak. Kamar yang gelap. Mulutnya mengucap istigfar. Lalu telapak tangannya mengusap wajahnya yang berkeringat.***