Di Ujung Malam

1990 Words
Di Ujung Malam SETELAH kedua orang tuanya menyepakati rencananya untuk kuliah dimana kampus Cika berada, sepekan kemudian, Ray sudah mempersiapkan apa saja yang hendak dibawanya. Barang-barangnya sampai dua kopor lebih. Untung saja, Ray menolak keras ketika ibunya hendak membekalinya kasur lipat dan lemari plastik. Ray menegaskan, di tempat kos yang akan dihuninya, sudah tersedia semuanya. Meski ia belum tahu hendak kos di mana, yang pasti, ia tak akan kos di pondokan tempat Cika. Kendati, sebelumya, ia ingin. Namun teringat dengan Dani yang bersikeras tak mau di sana. Ray pun akhirnya mempertimbangkannya lagi. Terlebih, ia pun ingat kala malam terakhir menginap di sana. Di kamar kosong itu. Saat, matanya baru saja hendak terpejam, dikejutkan suara tirai jendela yang bergeser sendiri, lalu tampak sosok perempuan berambut panjang dengan baju putih. Tengah berdiri di luar dan menatap ke dalam. Hiiii... bahu Ray merinding. “Kenapa kamu bergidik?” tanya ibunya memerhatikan Ray yang tiba-tiba bersikap seperti itu, usai membereskan semua barang yang hendak dibawanya. Ray menggeleng cepat. “Nggak, Ma. Ray cuma kedinginan. Kan masuk musim hujan, Ma.” “Makanya, jaket jangan lupa kamu bawa. Jangan cuma satu-dua, tapi semua.” “Hm, Mama... cukuplah dua saja. Toh, nanti saat Ray pulang kan, bisa tukar.” “Ray... kamu sudah yakin kan kuliah di kampus yang sudah kamu pilih itu?” tanya ibunya. “Sudah, Ma. Tenang saja.” “Tapi kapan kamu daftarnya? Kamu kan belum ke sana lagi setelah pulang dari menginap di tempat kos Cika!” “Mama, Mamaaaa.... sekarang itu jamannya serba daring, Ma. Apa-apa, tinggal sentuh layar hape. Nggak wajib pergi ke lokasi, ko!” “Ouh,” ibunya tertawa geli. “Berarti, kamu sudah deal jadi mahasiswa sana ‘kan?” “Calon mahasiswa, Mama!” “Ya, itu. Mmmmm, bayaran di awal tahun masuk, kan mahal, Ray... Mmmm, apa uangmu cukup?” “Alhamdulillah, Ma. Kan hasil waktu kerja di Kalimantan itu, Ray tabung di bank. Hanya sedikit yang terpakai.” “Seandainya uangmu tak cukup untuk bayar kuliah, Mama bisa jual dulu perhiasan Mama, meski tak banyak,” ucap ibunya sembari mengamati cincin dan gelang emas yang dikenakannya di jari dan pergelangan tangan. Ratna sedih, Ray bertekad membiayai sendiri. Hasil kerja kerasnya yang tak lama. Sementara, Wak Dulah yang dulu berjanji akan menanggung semua biaya kuliah Ray, kini sudah lama tak pernah memberi Ray uang. Itu semenjak Wak Dulah marah pada Ray yang dianggap ikut campur urusan Wak Dulah dengan Indah. Hingga Indah tinggal bersama Bunda Dewi. Bahkan Indah kian sulit dijamah Wak Dulah. Indah pun pulang kampung hanya sesekali lantaran takut ada Wak Dulah di kampungnya. Kedua orang tuanya yang balik mengunjungi Indah ke rumah Bunda Dewi. Tahu begitu, Wak Dulah kian menyimpan amarah pada Ray. Dan dampaknya, ia sempat mengancam Ratna. Entah serupa ancaman yang bagaimana, bagi Ratna, ancaman Wak Dulah meski hanya isapan jempol tapi menakutkan. Terkadang, laki-laki tua itu merasa punya wewenang pada diri Ray juga merasa dirinya bisa melakukan apa saja. Wak Dulah pun sudah tak menghubungi Ray lagi. Dan Ray pun berlaku sama. Ia tak mau memulai menghubungi. Namun meski sikap adik mendiang kakeknya seperti itu, Ray tetap menaruh hormat. Ray pun masih menunggu Wak Dulah meneleponnya. Berbincang seperti dulu. Namun untuk saat ini, Ray tak terlalu memikirkan laki-laki itu. Ray lebih memusatkan perhatiannya pada urusan kuliah dan masa depannya. Dan, Ray tak mau membebani orang tuanya. Apalagi ibunya. Begitu besar keinginannya untuk kuliah. Uang simpanannya, meski tak begitu yakin akan cukup menjamin kebutuhannya dalam beberapa semester, tapi Ray sudah merencanakan, setelah menjalani kuliah nanti, ia akan mencari uang. Dengan cara bagaimana pun, yang penting halal. Ia dan Dani sudah berikrar bersama. “Mama nggak usah ikut memikirkan kalau soal biaya kuliah.” “Kamu itu di sana bukan hanya butuh biaya kuliah. Tapi buat biaya hidup. Kebutuhanmu yang tak terduga dan lain-lain... apa tak kamu pikirkan dari sekarang?” “Sambil jalan saja, Ma. Nggak usah dijadikan beban. Harus percaya. Kita itu punya Alllah. Biar Dia saja yang mengatur semuanya. Katanya, kalau untuk biaya pendidikan, selama orang itu sungguh-sungguh berusaha... pasti selalu ada jalan. Allah itu tahu apa yang kita butuhkan bukan yang kita inginkan. Dan InsyaAllah, keperluan Ray di rantau... akan dicukupkan oleh Allah. Amiiiin...” Ray menatap ibunya yang masih berdiri di dekatnya. Sementara Ray duduk di sofa. Dengan kedua kali terlipat. Hari menjelang sore. Ray menunggu mobil yang akan mengantarkannya ke Jatinangor. Mobil milik Bunda Dewi. Kebetulan anak sulungnya tiba dan membawa mobil itu. Dan yang akan mengantar Ray, Fajar, pamannya. Fajar bisa menyetir mobil. “Amiiin yaa rabbal’alamiiiin... semoga kamu selalu mendapat kemudahan di sana. O. ya... apa Mama tak boleh ikut mengantarmu nih?” tanya Ratna mencoba sekali lagi merajuk lantaran sedari awal, Ray mengingatkan agar ibunya tetap di rumah. “Nggak usah, Ma. Mia dan Rayna nggak ada teman. Lagian Papa kan lagi ada kerjaan di Jakarta. Pulang dua minggu lagi, begitu kata Papa tadi malam di telepon. Doakan saja Ray selamat sampai tujuan.” “Kalau mendoakanmu, itu tak usah kamu minta. Selalu, Ray. Hanya tadinya, Mama ingin tahu tempat kosanmu.” “Kapan-kapan kan Mama bisa ke sana. Menengok Ray. Nggak harus hari ini. Lagian, paling Ray cari kosan malam. Nanti Mama ikut sibuk dan pusing. Biar Ray saja sama Om Fajar,” jelas Ray dengan suara lunak. “Masa malam-malam kamu cari kosan sih? Apa tak sebaiknya, di kosan Cika saja, kan katamu banyak kamar yang kosong! Biaya sewanya terjangkau lagi!” seru Ratna cerewet. Ray mendesah. Tentu saja, ia tak mau mengatakan yang sebenarnya mengenai pondokan itu yang banyak penampakan makhluk halus. Meski, ia tak begitu mempermasalahkan itu. “Ma, bukan apa-apa. Dani mau kos di tempat lain.” “Dani nggak mau kos di tempat Cika? Kenapa?” “Ya, dia punya alasan sendiri yang Ray juga nggak tahu. Hak dia ko kalau nggak mau, nggak bisa Ray paksa,” ujar Ray disertai senyum bijak di bibirnya. “Terus, sekarang kamu mau kos yang sama dengan Dani?” tanya ibunya. Ray mengangguk. “Mungkin.” “Ko mungkin sih?” “Hemmm, Mama... kalau nggak akan kos sama Dani, Ray tentu akan kos di tempat Cika. Begitu.” “Eh, di tempat Cika... yang kos, banyak perempuan atau laki-lakinya?” “Kenapa tanya itu?” “Mau tahu saja.” “Kayaknya, banyak cowoknya, Ma!” “Hah? Ko Cika beraninya kos di tempat kayak gitu? Harusnya, kan tempat kosnya yang imbang antara laki-laki dan perempuan!” “Sudahlah, Ma. Jangan banyak ngurusin orang!” “Cika bukan orang lain tapi keponakan Mama, saudara sepupumu! Nah, justru kamu harus menjaga dia!” “Duuuh, ko jadi nggak kondusif gini sih ngobrol sama Mama! Udah dulu, ya? Sebentar lagi Om Fajar datang nih... dia lagi ambil mobil ke rumah Bunda,” jelas Ray dan lagi-lagi tersenyum bijak pada ibunya yang tengah cerewet. “Nanti perginya sama Dani?” “Berdua sama Om Fajar.” “Lho, Dani?” “Ma... Dani baru besok menyusul. Sudah, ya, Ray mau telepon lagi Om Fajar, takut anteng ngobrol di rumah Bunda,” ujar Ray lalu merogoh gawai dari saku celana jins-nya. Lalu menempelkan di kupingnya dan menelepon pamannya. Ratna menghela napas, kemudian berlalu dari hadapan Ray. Namun, setelah Ray beres berteleponan dengan Fajar, Ratna muncul lagi. “Ray, Mama ko jadi cemas padamu.” “Cemas apaan sih Mama ini?” Ray geleng-geleng kepala. “Masa malam-malam cari kosan sih, harusnya kan kamu langsung datang ke kosan yang sudah tinggal kamu tempati? Bukan waktunya malam-malam masih cari. Terus kalau tidak menemukan kosan, itu barang-barang mau ditaruh dulu di mana? Masjid?” Ratna menatap tajam ke arah Ray. “Terus, kamu mau tidur di masjid juga?” Ray mendecak. “Ray sama Dani ketika di sana, sering cari, Ma. Pilih-pilih. Tanpa sepengetahuan Cika. Jadi Ray sama Dani selain ngurusin tempat kuliah... juga suka berkeliling naik motor melihat dan mempelajari situasi dan kondisi di kota itu. Termasuk memilih-milih tempat kos. Begitu, Mama tersayang. Sudah, ah. Nggak usah mencemaskan Ray biar Ray tenang perginya.” Ratna menghela napaa. “Baiklah.” “Ada Om Fajar. Om kan adik Mama, berarti sama... dia itu kayak orang tua Ray juga ‘kan? Om Fajar mau menginap nanti di sana. Mama tenang, Ray sudah punya tujuan datang ke pondokan yang mana. Dan besok pun, Dani akan menyusul ke sana. Dani nggak bisa bareng sekarang karena menunggu dulu ayahnya yang sedang ada keperluan ke Cipanas, disuruh Mama Dani, mengantarkan uang untuk Kakek Rahmat.” Ratna tampak tenang mendengar penuturan anak laki-lakinya. Beberapa menit kemudian, Fajar datang. Mobilnya diparkir di pinggir jalan besar. Fajar dan Ray masing-masing membawa kopor. Ratna ikut membantu kopor yang lebih kecil. Tiba di Jatinangor, sudah lewat magrib karena Ray dan Fajar makan dulu dan istirahat di tengah perjalanan. Malahan, sempat solat magrib sebelum tiba di Cileunyi. Setelah mobil yang mereka tumpangi memasuki kota mahasiswa itu, Ray memberi petunjuk pada Fajar agar membelokkan mobil ke jalanan kecil. Melewati pondokan demi pondokan. Lalu kebun ubi. Lalu pondokan lagi. Kemudian tanah kosong. “Di mana pondokan yang hendak kamu huni itu, Ray? Ko nggak nyampai-nyampai,” Fajar tampak tak sabar. “Dikit lagi, Om.” “Kalau terlalu jauh, Om khawatir kamu menuju kampus... kejauhan, dong!” ucap Fajar. “Justru Ray ingin cari pondokan yang bisa membuat Ray tenang ketika belajar, Om. Jauh dari lalu-lalang orang-orang. Nyaman, damai, sejahtera, hehehe...” Mobil pun menepi setelah Ray memberi kode untuk berhenti. Halaman pondokan itu cukup luas. Berdiri megah sebuah pondokan bertingkat dua. Banyak kamar. Sejenak, Fajar takjub dengan kondisi bangunan juga pekarangan. Malah, ada kolam hias. Di sekeliling ditumbuhi pepohon yang rindang. Namun, sepi. Para penghuni pondokan seperti sengaja mengurung diri di dalam kamar masing-masing. Padahal, hujan tak turun semenjak pagi meski mulai memasuki musim penghujan. Langit tak mendung kendati tak begitu cerah. “Kayak kuburan gini Ray. Nyaman sih nyaman, tapi kalau sepi kayak gini!” Fajar melirik Ray. Mereka berdua masih berdiri di pekarangan. Mengedarkan pandangan ke seantero pondokan. “Banyak penghuninya, ko...” “Kata siapa?” “Kata Ray...” “Tapi sepi...” “Emang di pasar... ramai?” Ray tertawa geli. “Kita langsung turunin barang-barangmu?” “Nanti, Om. Kan belum tahu juga kamar Ray yang mana.” “Lho?” Fajar jadi bingung dengan keponakannya itu. Kembali menatap pondokan yang megah. Ada tulisan di depannya. Pondok Surya Gemilang. “Ray mau telepon dulu Kang Jamal, penjaga pondokan ini. Kami sudah ngobrol-ngobrol tempo hari,” ucap Ray lalu menelepon orang yang dimaksud. Hanya berselang sepuluh menit, laki-laki yang bernama Jamal itu muncul. Usianya dua puluh lima tahun. Masih bujangan dan tinggal di pondokan ini juga. Ia menyalami Ray dan Fajar lalu mengajak ke ruangan tamu. Jamal menjelaskan jika pondokan ini terdiri dari empat puluh kamar. Fajar sampai terkaget-kaget. Namun, kamar yang terisi hanya sepuluh. Giliran Ray yang kaget. Jamal bilang, minggu lalu ada beberapa penghuni yang mendadak pindah. Lalu, Jamal menyebutkan biaya sewa. yang sangat membuat Ray kaget juga lantaran murah. Jauh lebih murah dari pondokan yang dihuni Cika. Padahal, di sini jauh lebih bagus. Fasilitasnya pun lengkap. “Kalau masih merasa kemahalan, nanti saya bisa minta keringanan dari pemilik pondokan ini, biar diturunkan lagi khusus buat Ray dan teman Ray itu... siapa, lupa lagi? Oh, ya... Dani.” “Terima kasih, Kang.” “Berarti... deal nih, Ray tinggal di sini?” “InsyaAllah.” “Kalau Dani?” “Dia sudah pesan sama Ray, gimana Ray, katanya... berarti jadi. Dua kamar. Kamar Ray dan kamar Dani. Berdampingan, ya? Maklum kami sahabat dekat,” ucap Ray sembari mengulas senyum simpul. Fajar tak banyak komentar. Ia ikut menyepakati saja. Matanya tampak menahan kantuk. Juga letih setelah membawa mobil dalam perjalanan yang cukup jauh. Tiba di kamar, Ray dan Fajar solat dulu. Kamar mandi tak jauh dari kamarnya. Kemudian, mereka langsung tidur setelah melapisi kasur busa dengan seprei yang dibawanya dari rumah. Kala Ray terlelap, Fajar terbangun lantaran mendengar suara perempuan memanggilnya dari luar. Seperti suara Nadya, istrinya.***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD