Ada yang Lebih Ditakutkan

2021 Words
Ada yang Lebih Ditakutkan SEMALAMAN, Indah diliputi rasa gelisah. Kabar bahwa Wak Dulah tengah mencari keberadaan dirinya, membuat pikirannya tak tenang. Bahkan, Wak Dulah sempat menanyakannya pada Ray dan terkesan menuduh Ray tahu keberadaan Indah. Meski memang Ray yang menitipkan Indah di rumah Bunda Dewi, Ray tak bermaksud menyembunyikannya. Awalnya, hanya membantu Dani yang berkeluh kesah padanya. Kini, ketika Wak Dulah mendesak Ray untuk mengatakan dimana Inda berada, Dani seolah tak mau tahu. Ray jadi bingung. Sementara, ia pun tak tega pada Indah yang banyak berharap pada Ray untuk selalu membantu dari kejaran Wak Dulah. Tubuh Indah membelakangi Cika. Sudah dua malam, Cika tidur di rumah Bunda Dewi. Menemani Indah lantaran Bunda Dewi pun sudah dua hari berada di Cibiru, tempat suaminya. Kebetulan, Cika baru usai ujian akhir, hingga ia punya waktu beberapa hari pulang dari tempat kos di Jatinangor. Cika pun hanya bilang hendak menemani Bunda Dewi. Begitu yang diucapkan pada ibunya. Ibunya pun tidak tahu jika kakaknya—Bunda Dewi pergi dan tujuan Cika menginap untuk menemani Indah. Rita, ibunda Cika, tak tahu perihal keberadaan Indah. Begitu pun dengan ibunda Ray. Sementara, Bunda Dewi, begitu paham dengan permintaan Ray, keponakan tercintanya, jika Bunda Dewi pun harus merahasiakan keberadaan Indah. Demi menolong Indah yang memang benar-benar terjerat dalam masalah. Malam kian bergerak dan terasa lamban. Mata Indah terpejam tapi ia belum juga bisa tidur. Apalagi dibuai mimpi yang indah. Hatinya masih gelisah. Juga cemas dan merasa khawatir. Terbayang orangtuanya yang bingung harus mencarinya ke mana. Juga saudara-saudaranya yang lain. Bahkan para tetangga dan warga lainnya—begitu memang kebiasaan di kampung yang suka peduli dengan orang lain meski bukan keluarga sendiri. Belum lagi, Wak Dulah yang pastinya menyalahkan kedua orangtua Indah yang lalai hingga Indah pergi tanpa diketahui ke mana. Kaca jendela bergetar. Seperti ada yang tengah menggetarkannya. Lalu terdengar garukan kuku-kuku tajam di kaca. Treeeek. Treeeeek. Treeeeek. Indah mencoba mengabaikannya. Kejadian serupa sudah acap didengarnya semenjak tinggal di rumah Bunda Dewi. Ia tak peduli meski semisal wujud menyeramkan itu muncul lagi. Kepala tanpa badan. Wajah menyeramkan yang pernah menatap dan seperti hendak melumatnya habis. Ia benar-benar tak peduli. Bahkan jika makhluk itu menerkamnya ke atas tempat tidur, ia pun sudah tak peduli. Pikirannya pun benar-benar kacau. Ia teringat ibunya, ayahnya, saudaranya, tetangganya, dan yang lainnya. Terutama ibunya, wajah permpuan itu berkelebat dalam benaknya. Namun, Indah tak merasa bersalah lantaran gara-gara ibunya yang terus memaksanya mau menikah dengan laki-laki tua yang lebih pantas menjadi kakek Indah, itu yang membuat Indah minggat dari rumahnya. Cika terjaga lantaran tubuhnya terasa gerah. Selimutnya disingkap. Tubuhnya berbalik menghadap Indah. Matanya terkuak. Dilihat Indah--meski dalam gelap, matanya terkuak, terlihat warna putih bagian matanya. Cika sangat kaget. Disentuhnya lengan Indah. “Indah,” panggil Cika. “Ya, Kak Cika.” “Kamu kebangun?” Indah mendesah. “Indah... belum tidur.” Rasa kantuk menjauh dari Cika. Ia heran dengan Indah. “Kenapa? Ada yang kamu pikirkan?” Indah kembali mendesah. Dan di telinga Cika, terdengar begitu resah. Seolah menanggung beban yang berat. Cika tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Lalu Cika membujuk Indah agar mau membicarakan apa yang menjadi pikirannya. Indah pun akhirnya menumpahkan keresahan hatinya. Termasuk masalah yang membelitnya hingga ia sampai di rumah Bunda Dewi. Indah cerita sembari tubuhnya tetap berbaring, sesekali menghadap Cika, meski tak bisa melihat wajah Cika dengan jelas karena kamar yang gelap. Tubuh Cika beranjak. Lalu menghampiri sakelar lampu. Kamar terang. Ia duduk di atas pembaringan. Tubuh Indah pun bangkit lalu duduk. Berhadapan dengan Cika. Jarum jam pendek pada jam dinding yang menempel di dinding kamar, mengarah ke angka dua belas. Angka panjang pada angka dua. “Aku sangat merasakan apa yang kamu rasakan juga apa yang menimpamu, Indah. Tapi, sampai kapan kamu akan terus bersembunyi dari Wak Dulah? Juga, kasihan keluargamu yang kebingungan mencarimu ke sana-kemari, apa tak kamu pikirkan?” “Ya, Kak Cika... Indah juga ingat sama keluarga terutama Ibu meski Ibu jahat pada Indah.” “Ibumu nggak jahat, dia bermaksud baik... ingin melihatmu bahagia, tapi dia salah mencari laki-laki untukmu. Wak Dulah nggak pantas menjadi suamimu. Kamu harus bahagia bukan dengan laki-laki tua... apalagi seperti Wak Dulah, tapi kamu harus mendapatkan laki-laki yang sebaya atau lebih tua sedikit darimu. Dan tentunya, yang cocok denganmu.” “Indah tahu betul kalau Wak Dulah sering kawin sama perempuan muda, dan mereka katanya jatuh di pelukan Wak Dulah dan bersedia menjadi istrinya bahkan jadi istri muda. Indah juga pernah mendengar, perempuan-perempuan itu mau dinikahi dan merasa cinta pada Wak Dulah setelah Wak Dulah mengirim ilmu kinasihan, penabur sukma itu, Kak Cika...” Cika mengangguk. “Ya, aku pernah dengar dari Tante Ratna, Mama Ray. Kamu pernah ketemu Mamanya Ray?” Indah menggeleng. “Indah nggak pernah keluar dari rumah ini. Yang kukenal hanya Bunda Dewi, pemilik rumah ini, yang sangat baik pada Indah. Selain beliau, Indah hanya tahu dan kenal Dani, Ray, Dirga, dan Fian. Udah, itu saja. Lagian kalau Ray ajak aku ke rumahnya, dia nggak akan mau. Nanti Indah jadi pertanyaan ibunya Ray. Misalnya... siapa itu, Ray?” “Indah, aku mau tanya yang agak pribadi... bolehkah?” “Silakan, Kak.” “Mmm... di kampungmu, kamu punya pacar?” Indah menggelengkan kepala. “Nggak pernah punya pacar, Kak. Kalau teman laki-laki biasa ya ada, teman di kampung. Tapi nggak begitu dekat.” “Kamu... nggak suka salah satu dari mereka?” “Maksudnya... suka gimana?” “Yaaa, suka mengarah ke cinta lah, misal... kamu berharap cowok itu jadi pacar atau suamimu.” “Duh, kalau berharap ingin punya suami, Indah masih belum kepikiran.” “Tapi kalau punya pacar... pernah terpikir kan?” Indah termenung. Rasa gelisah sedikit hilang setelah mengutarakan semuanya pada Cika. Ia memang butuh orang yang bisa diajaknya bicara. Dan bukan laki-laki. Sementara selama di sini, ia hanya bicara dengan Ray dan Dani. Dengan Bunda Dewi, perempuan itu terlampau sibuk. Indah pun sangat segan padanya. “Kalau nggak suka dengan pertanyaanku, nggak usah kamu jawab,” tangan Cika menyentuh tangan Indah. “Bukan begitu, Kak. Tapi, memang Indah belum pernah merasakan yang aneh-aneh.” “Aneh-aneh gimana?” “Maksudnya, perasaan khusus pada cowok.” “Mmmmm, kalau... sama... Dani?” pancing Cika. Kepala Indah menggeleng. “Nggak juga, Kak.” “Ngak ada perasaan istimewa pada Dani?” Indah mengangguk. “Masa sih? Dani kan baik juga... cukup ganteng, kulit putih, tubuh tinggi...” Indah menatap Cika. “Indah suka dia karena di baik pada Indah. Indah merasa sama dia... sebagai kakak.” “Sebagai kakak?” tanya Cika. “Kakak atau Kakaaaak?” “Benar, Kak. Indah anggap kakak. Dan bukankah... dia lebih suka sama Kak Cika?” Cika mengulas senyum. “Kata siapa?” “Indah tahu dari Ray dan Dirga waktu mereka menginap di sini,” ucap Indah polos. “Makanya Indah penasaran ingin tahu... yang mana yang namanya Kak Cika itu. Pantas saja Dani begitu kagum padamu karena wajahmu sangat menawan.” “Hehehehe. Lucu.” “Lucu di mananya?” tanya Indah. Ia pun senang dengan curhat pada Cika mengenai keresahan hatinya lantaran masalah dengan Wak Dulah, hatinya kini cukup terhibur. Meski matanya belum juga dirasa mengantuk. “Yaaaaa, kita sama-sama nggak punya perasaan istimewa pada Dani, hanya suka padanya lantaran dia baik,” jelas Cika. “Tapi kayaknya... kalau aku perhatikan kemarin-kemarin, kamu sukanya sama...” “Sama siapa?” potong Indah cepat. “Sama Ray, ya?” tembak Cika. Indah tak menjawab. Wajahnya menunduk malu. “Oke, kembali lagi sama masalahmu, apa yang akan kamu lakukan sekarang setelah Wak Dulah menduga jika kamu ada di daerah sini, maksudnya... Wak Dulah kan seolah mendesak Ray mengatakan dimana kamu berada. Berarti Wak Dulah memang curiga, perginya kamu dari rumahmu... ada hubungannya dengan Ray!” “Nggak ada hubungan sama sekali dengan Ray! Justru, Indah ke kota ini lantaran ingin menemui Dani! Indah ingin minta bantuan padanya! Memang aku terlalu grasak-grusuk dan menganggap mudah jika Indah bisa menumpang begitu saja di rumah Dani. Ternyata, Indah malah jadi merepotkan Ray juga Bunda Dewi. Termasuk Kak Cika yang suka menemaniku di sini kalau Bunda Dewi sedang pergi ke rumahnya yang di Cibiru,” jelas Indah panjang lebar. “Indah nggak mau Ray jadi kebawa-bawa, karena dalam hal ini yang salah Indah, karena telah merepotkan semua.” “Tapi, pada kenyataannya sekarang, Wak Dulah yang mendesak Ray, Ndah.” “Ya, itu salah satu yang membuat Indah tak bisa tidur dari tadi.” “Setelah kau curhat padaku dan cerita masalahmu, paling tidak... kamu sedikit tenang kan?” “Ya, alhamdulillah. Terima kasih, Kak Cika.” “Sama-sama.” “Ada saran apa buat Indah?” “Lewat tengah malam gini, nggak bisa konsentrasi kalau harus cari solusi, semoga esok pagi... ketika mentari mulai memancar, ada solusi buatmu. Semoga juga, Ray, Dani bisa cari jalan dan menghindari Wak Dulah yang terus mendesak. Sebab, kasihan juga Ray. Sekarang, aku agak lapar nih...” usai bicara, Cika memegang perutnya yang bersuara. “Mau cari makanan ke dapur?” Indah menawarkan. Namun, ia enggan harus pergi ke dapur sendirian. “Bikin mi rebus, yu?” ajak Cika. “Boleh.” Mereka berdua beranjak dan menuju dapur. Menyalakan kompor gas. Menaruh panci kecil berisi air. Setelah mendidih, memasukkan dua mi yang sudah dikeluarkan dari kemasannya. Sembari menunggu matang, semua bumbu ditaburkan ke dalam mangkuk. “Satu mangkuk besar, ya... jadi dua mi, kita masukkan sini saja, ya? Nggak apa-apa satu mangkuk kita makan berdua?” kata Cika. Ia terbiasa begitu jika kebetulan malam-malam di tempat kosnya di Jatinangor, memasak mi rebus dengan sesama penghuni kos yang berjenis kelamin perempuan. “Kebersamaan,” Indah tersenyum. Ia sebenarnya betah tinggal di rumah Bunda Dewi kalau ada teman ngobrol apalagi teman perempuan yang bisa menemaninya. Namun, ia sadar, ia tak bisa menuruti keinginannya untuk berlama-lama di rumah ini. Esok atau lusa, mungkin Wak Dulah akan mengetahui keberadaannya di sini. Dan bukan tak mungkin, Indah akan dibawa pulang ke kampung halamannya. Rasanya, Indah berat harus berpisah dari Bunda Dewi, Cika, Ray, dan Dani. Ia juga suka dengan teman-teman Ray seperti Dirga dan Fian. Rasa resah kembali menggelayutinya. Meski di rumah ini acap mengalami kejadian-kejadian aneh, malah beberapa kali melihat jelmaan makhluk halus, juga suara-suara menakutkan yang acap mengusiknya, tapi baginya--- itu tak sebanding daripada ketidakrelaannya harus pergi dari sini. “Yuk, kita makan di kamar saja! Kamu bawa mangkuk mi. Aku bawa dua gelas minum, ya?” kata Cika sembari mengisi dua gelas dengan air mineral dari dispenser di samping lemari pendingin.Mereka pun beriringan menuju kamar lagi. Kamar tengah. Makan mi berdua dengan lahap. Lalu meneguk minum usai mi tandas masuk melewati kerongkongan mereka. “Kalau abis kenyang, biasanya langsung mengantuk,” kata Indah. Giliran Indah yang mematikan lampu kamar setelah menaruh mangkuk dan dua gelas di bawah dekat dinding pembatas ke ruangan lain. Lalu tubuhnya berbaring di samping Cika. Keduanya berselimut dengan selimut yang berbeda. Mata mereka pun terpejam dijemput kantuk yang menyerang. Lelap. Dengkur halus terdengar dari mulut Cika. Indah memunggungi Cika. Dari dalam ruang keluarga, terdengar suara kursi seperti ada yang menggeser-geser. Telinga Indah menangkapnya. Begitu pun dengan Cika. Keduanya terjaga pada jam satu lewat tiga puluh menit. “Suara apa, Ndah?” bisik Cika. “Kayak kursi digeser-geser, Kak.” “Kursi yang di mana, ya? Kayaknya... arah suaranya nggak jauh dari sini.” “Dari ruang keluarga, Indah yakin, Kak.” “Siapa yang menggeser kursi-kursi itu, Ndah?” “Indah nggak tahu, Kak.” Bulu kuduk Cika merinding. Tubuhnya menghadap Indah yang juga tengah menghadap padanya. Suara kursi yang digeser masih didengarnya. Malah ditambah bunyi sepatu. Seperti orang yang tengah berjalan-jalan di sekitar ruangan itu. “Ndaaaah, kamu dengar suara lain?” “Ya, Kak... kali ini ada suara langkah kaki bersepatu.” “Siapa itu, Ndaaah?” suara Cika dipelankan. Tubuhnya gemetaran. Ia tak mau menoleh ke arah pintu kamar. “Indah juga nggak tahu, Kak. Tapi nggak mungkin itu bunyi sepatu orang.” “Maksudnya?” “Masa ada orang di sana!” “Kalau bukan orang, berarti...?” tubuh Cika kian gemetaran. Indah tak mau menjawab. Ia pun takut tapi berusaha melawan rasa itu. Ia lebih takut dengan hari esok jika tiba-tiba Wak Dulah datang ke rumah ini.***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD