Bujukan Wak Dulah

2021 Words
Bujukan Wak Dulah DUA minggu lagi, Ray liburan semester. Ibunya sudah menanyakan rencana liburan Ray yang hendak dihabiskan dimana. Namun, Ray masih bingung. Beberapa waktu lalu, Wak Dulah datang ke rumah dan meminta Ray liburan sekolah di Banjarnegara. Meski Ray menolak keinginan Wak Dulah untuk mengangkatnya sebagai anak, tapi kalau untuk berlibur di tempat lelaki itu, Ray sama sekali tak keberatan. Justru, ia menyambut baik tawaran itu, terlebih ia sangat menginginkannya. Ia bisa mengunjungi tempat-tempat wisata di Jawa Tengah sebagaimana yang dijanjikan Wak Dulah padanya. Ray belum pernah ke sana. Dan, liburan yang akan dilewatinya, ia berharap bisa. Apalagi kalau bisa bersama temna-teman dekatnya. Dani, Dirga, Fian, atau teman-teman lainnya. Baik yang satu kelas maupun dari kelas lain. Ray kan punya banyak teman. Dan, mereka sangat menyukai berteman dengan Ray. Tentu, sangat menyenangkan berlibur bersama. ”Bagiamana kata Wak Dulah, waktu kamu bilang kamu mau ajak teman-temanmu ke sana?” tanya Ratna. “Wak Dulah tak keberatan. Dia mengizinkan, yang penting Ray senang, begitu katanya, Ma.” “Hemmm, tapi ide bagus juga ya kalau kamu bawa serta banyak teman, biar kamu selamat dan Mama di sini pun tenang serta tak berpikiran was-was.” “Was-was kenapa gitu, Ma?” Ray heran. Lalu ia duduk di kursi yang ada di ruang makan. “Kamu kan tahu, Wak Dulah ingin kamu jadi anaknya.” “Ya, tahu, Ma. Tapi kan dia nggak memaksa.” “Nggak memaksa tapi tetap berusaha.” “Yang penting kan, sampai hari ini, Ray tetap di sini. Dan kalaupun bersedia liburan di sana, Ray pasti kembali ke sini. Ke kampung halaman Ray. Berkumpul kembali sama Mama, Papa, Ray dan Mia. Liburan di sana hanya untuk sementara. Bukan selamanya. Ya, waktunya liburan saja, Ma.” “Mama paham.” “Terus, hubungannya dengan rasa was-was dan teman-teman Ray… itu gimana?” “Gini, Ray,” Ratna mendekati Ray. Berdiri di sampingnya. “Kalau ada teman-temanmu, kecil kemungkinan Wak Dulah tak akan membujukmu untuk tinggal seterusnya di sana. Kamu harus paham maksud dia mengajakmu ke sana, berlibur memang… juga sekalian biar dia bisa berhasil membujukmu.” Ray terdiam sesaat. Mencoba mencerna ucapan ibunya. Ia pun mulai memahami maksud ucapan ibunya. Ia pun akhirnya mengiyakan. “Ya, Ma. Mama tenang saja.” Esok harinya, sepulang sekolah, Ray membicarakan hal itu pada Dani, Fian, dan Dirga. Belum kepada teman-teman yang lain yang rencananya mau diajak. “Aku sih oke-oke saja, Ray. Siapa yang tak mau berlibur agak jauh? Bosen libur di tempat dekat terus. Tapi, masalahnya…” Fian berhenti bicara lalu menatap Dirga. Dirga pun mengangguk paham. Ray mendehem. “Masalahnya… ongkosnya, kan?” Fian tersenyum seraya menjentikkan kedua jarinya. Dirga pun mengiyakan. Dani mengangkat bahu. Baginya, soal ongkos pulang pergi Banjarnegara Bandung, neneknya pasti mengabulkan. Neneknya punya gaji pensiunan dari mendiang suaminya hingga kalau urusan uang tak pernah membebani anaknya. Apalagi pada cucunya yang masih berstatus pelajar seperti Dani. Justru, Dani sangat dimanja neneknya. Ray berpikir sesaat. Ia bisa saja menanggung ongkos Fian dan Dirga tapi hanya satu jalan. Ketika berangkatnya. Namun, pulangnya bagaimana? pikir Ray. Kendati Wak Dulah pasti memberi Ray uang, tapi bukan berarti Ray harus menanggung ongkos pulang kedua temannya. Ray juga masih suka menabung. Lalu, bagaimana dengan biaya lainnya? Makan di rumah Wak Dulah, tentulah gratis. Sebebasnya, persediaan makanan di rumahnya melimpah asal perut sanggup menampungnya. Tapi jika jalan-jalan keluar rumah apalagi ke tempat wisata, mungkinkah lelaki itu memberi uang lagi? Ray pun tak mau membebani lelaki itu. Jika ia banyak bergantung, bukan tak mungkin Wak Dulah akan merasa berjasa. Lebih jauh merasa berhak memiliki Ray dan meminta Ray tinggal di sana. Ray membayangkan jika sampai ia tak diperkenankan pulang kembali ke Bandung. Bahunya mendadak bergidik. “Nanti, kita bicarakan lagi,” ucap Ray. “Bagaimana dengan teman-teman yang lain, katamu… mau kamu ajak juga?” tanya Dani. “Mereka baru kuajak…. Jika kita berempat yakin pergi, begitu,” tegas Ray. “Berarti… berlibur di Banjarnegera… belum yakin?” desak Dani yang sangat antusias berlibur di sana. “Belum,” tandas Ray. “Yuk, kita pulang. Keburu sore!” Dirga naik motornya. Dani naik motornya. Ray naik motornya tapi membonceng Fian. “Dan… kamu nggak mau menginap di rumah Bu Mar?” tanya Ray. Dani menggeleng. “Nanti saja kalau rencana kita ke Jawa Tengah jadi… aku mau menginap beberapa malam di rumah nenekku tercinta yang cantik.” “Pasti mau membujuk nenekmu ya… biar nenekmu kasih uang banyak,” kata Fian. Dani tertawa. Kepalanya mengangguk mantap. “Sambil dikelonin nenekmu… bobonya, ya?” goda Fian. Dani melotot. Fian tertawa lepas. Mereka berempat pun keluar dari pelataran parkir sekolahnya. Menuju rumah masing-masing. Dalam dua malam, Ray mempertimbangkan rencananya. Wak Dulah pun meneleponnya beberapa kali. Ray bilang, belum ada kepastian lantaran akan menghadapi dulu ujian semester. Tentu, harus konsentrasi belajar. Wak Dulah berusaha maklum. “Ma, boleh Ray tanya?” Ray menghampiri Ratna ke kamar. Perempuan yang melahirkannya itu tengah berbaring. Namun tidak tidur. Suaminya tak pulang. Ratna beranjak. Lalu duduk. “Ada apa?” “Wak Dulah suka ke sini itu kan bukan hanya untuk menemui Ray atau Papa.” Ratna tersenyum tipis. “Ya, karena dia sering ke sini. Tapi tak ke rumah ini. Malah, Mama kadang tahu dari orang lain kalau dia itu hampir sebulan sekali ke kampung ini. Atau ke kota. Menemui Haji Jajuli.” “Nah itu yang ingin Ray tahu lebih jauh.” “Jangan bertanya yang Mama tak tahu, ya?” “Iya. Ma, apa hubungan Wak Dulah dengan Haji Jajuli?” tanya Ray penasaran. Ratna menghela napas terlebih dahulu. Diliriknya Ray yang tampak ingin tahu sekali. “Mama nggak tahu atau tak mau mengatakannya?” Ray menatapnya. “Jika Mama keberatan, ya nggak apa-apa, Ray nggak akan memaksa.” “Kamu nggak akan memaksa malam ini. Tapi malam-malam yang akan datang, pasti akan menanyakan hal yang sama. Mama tahu karaktermu,” Ratna tersenyum bijak. Ray tersenyum simpul. “Begitulah anakmu ini.” “Haji Jajuli berguru sama Wak Dulah.” “Waaaaaah,” Ray terkaget-kaget. “Sejak kapan?” “Sudah lama.” “Mama tahu dari orang lain?” Ratna menggeleng. “Atau Wak Dulah sendiri yang bicara sama Mama?” Ratna kembali menggeleng. “Mama menyimpulkan sendiri.” “Ma… apa yang diinginkan Haji Jajuli? Maksud Ray… kenapa Haji Jajuli sampai berguru sama Wak Dulah?” “Setiap manusia itu punya keinginan, Ray. Dan sangat wajar, seseorang ingin memenuhi apa yang dibutuhkannya.” “Haji Jajuli itu kan orang kaya. Nggak mungkin dia ingin kaya lewat Wak Dulah.” “Haji Jajuli mungkin saja nggak merasa kaya… lalu…” “Lalu berguru sama Wak Dulah untuk menambah kekayaannya?” Ray menatap Ratna. Ratna mengangkat bahunya. “Entahlah…” “Wak Dulah memangnya punya ilmu pesugihan?” Ray tambah penasaran. “Mama nggak tahu, Ray. Yang Mama tahu hanya, Wak Dulah itu orang sakti yang memiliki banyak ilmu kebatinan. Dan dia, banyak dicari orang-orang yang punya kepentingan.” “Berarti Haji Jajuli punya kepentingan sama Wak Dulah.” “Kemungkinan besar. Lagian buat apa Wak Dulah mau-maunya suka mengunjungi Haji Jajuli… dari Banjarnegara ke Bandung. Sudah, ah Ray… kalau ngomongin adik mendiang kakekmu itu… nggak akan habis-habis ceritanya,” Ratna kembali merebahkan tubuhnya di atas pembaringan. Ray masih ingin mengajak ibunya berbincang. Namun, Ratna tampak mengharapkan Ray segera berlalu dari kamarnya. Ratna letih dan mulai mengantuk. Ray paham. Tubuhnya pun beranjak. Meninggalkan ibunya sendirian. Tiba di dalam kamarnya, Ray jadi tak mau membuka laptop. Ia hanya merenung. Lalu memikirkan Wak Dulah dan ilmu-ilmunya. Ray tak tertarik dengan ilmu-ilmu seperti itu. Apalagi menurut ayahnya, ilmu yang didalami Wak Dulah kebanyakan ilmu hitam. Ray tak mau sampai terjerumus jika terlalu dekat dengan lelaki itu. Seperti itulah yang acap menjadi pertimbangannya. Akan tetap, jika Ray ingin tahu sedalam apa ilmu lelaki itu, Ray hanya sebatas ingin tahu. Tidak ada maksud tersembunyi lainnya. Apalagi hendak berguru. Dulu, apalagi ketika menginjak remaja, ia tak pernah tertarik ketika mendengar orang menceritakan segala yang berhubungan dengan ilmu mistis. Ia pun tak percaya dengan hantu kendati mengakui hantu ada di sekitar manusia. Namun, Ray berusaha menyangkal dan mengabaikan keberadaan makhluk kasat mata. Namun, ketika ia mulai diteror lewat keca jendela rumahnya, kamarnya, lalu muncul penampakan. Kemudian kejadian-kejadian menakutkan yang dialami teman-temannya. Dialami Cika, saudara sepupunya. Terlebih, garukan kuku-kuku tajam milik wujud menyeramkan yang hanya menampakkan kepala, Ray kian yakin, itu kiriman Wak Dulah yang masih penasaran dengan Ray. Ia pun jadi balik penasaran. Mengenal Wak Dulah lebih dekat meski tak harus dekat secara fisik. “Wak Dulah ingin mewariskan ilmunya sama Ray, anak kita,” begitu perbincangan antara ayah dan ibunya yang sempat Ray dengar tanpa sepengetahuan mereka. Ia pun tak balik bertanya pada mereka dan memilih bungkam, pura-pura tak tahu. Semakin kedua orang tuanya mempertahankan Ray, semakin Wak Dulah penasaran untuk memiliki Ray. Akhirnya, lantaran keinginannya belum juga terpenuhi, lelaki itu acap mengirimkan yang berbau mistis pada Ray dan berimbas pada teman-temannya. Sebelumnya, Ray pun tak pernah tahu dengan niat Wak Dulah. Perbincangan orang tuanya pula yang membuatnya tahu hingga Ratna pun pada akhirnya jujur. Wak Dulah acap berganti istri. Anehnya, hampir semua perempuan yang dinikahinya itu, selain cantik dan muda, juga kaya raya. Dari perempuan-perempuan itu pun, Wak Dulah memiliki anak-anak yang tak satu pun berjenis kelamin laki-laki. Hal itulah yang melatarbelakangi lelaki itu bersikeras untuk mendapatkan Ray. Hingga pukul satu dini hari, Ray masih terjaga. Benaknya masih dipenuhi semua cerita yang berkaitan dengan Wak Dulah. Sampai-sampai, lelaki itu terbawa dalam mimpinya. Namun, saban lelaki itu hadir dalam mimpinya, selalu saja menjelma menjadi sosok yang menakutkan. Yang membuat Ray benar-benar ketakutan. Padahal, sebelumnya Ray berdoa terlebih dahulu sebelum didekap mimpi. Pagi-pagi sekali, sebelum berangkat ke sekolah, gawai Ray berdering. Ray yang sudah berseragam dan masih di dalam kamarnya, mengangkat gawainya. Lalu terdengar suara Wak Dulah yang selalu berusaha menunjukkan kasih sayang dengan ungkapan kalimat-kalimat manis untuk Ray. “Anak Abah… belum pergi sekolah, ya?” selalu begitu ucapan Wak Dulah pada Ray. Memanggil ‘Anak Abah’ padahal Ray itu termasuk cucunya. Lantaran kakek Ray itu kakak kandung Wak Dulah. Ray membiarkan Wak Dulah tetap memanggil begitu. Toh, baginya, tak merasa dirugikan. “Ko Wak Dulah tahu?” tanya Ray heran dengan Wak Dulah yang acap mengetahui apa yang tengah dilakukan Ray. “Abah tahu apa yang kamu lakukan pagi ini. Kamu sudah berseragam, siap-siap hendak ke sekolah. Kamu juga lagi malas sarapan. Semalam kamu tidur larut malam kan karena memikirkan rencanamu untuk berlibur di Banjarnegara, lalu memikirkan banyak hal tentang Abah,” ucap Wak Dulah membuat bibir Ray mau tak mau tresenyum. Ia pun mengakui kehebatan lelaki itu yang memiliki banyak keunggulan. Punya mata batin yang kuat salah satunya. Ray bangga sebenarnya. “Benar banget, Wak.” “Ray, anak abah yang sangat abah sayang… jadi kan berlibur di sini, ya?” Wak Dulah mulai melancarkan aksi bujuk rayunya. “Ray belum bisa memastikan, tapi Ray janji… hari ini harus sudah memberi jawaban sama Wak Dulah.” “Abah tunggu, ya?” tak berapa lama, Wak Dulah memutus perbincangan di telepon. Ray pergi ke sekolah. Pada jam istirahat, ia berkumpul lagi dengan Dani, Dirga, dan Fian. Dan lagi-lagi, membahas rencana liburan. Hingga akhirnya sepakat, jadi. Ongkos Dirga dan Fian akan ditanggung Ray dan Dani. Tiba-tiba suara gawai Ray berbunyi. Wak Dulah yang menelepon. Ia mengatakan jika Ray akan pergi bersama teman-temannya, maka Wak Dulah akan menjemput dengan mobilnya. Wak Dulah akan sekalian ke Bandung, tepatnya ke kota untuk bersua Haji Jajuli. Ray pun mengabarkan pada teman-temannya. Bukan main gembiranya terlebih Fian dan Dirga yang tak jadi membebani Ray dan Dani. Apalagi Wak Dulah berjanji akan mengantarkan pulang mereka berempat seetlah liburan selesai. “Gimana rencanamu ajak teman lain?” tanya Dani pada Ray. “Sepertinya…’ “Jangan sepertinya! Yang yakin saja!” seru Dani tak sabar. “Aku tak jadi ajak mereka karena alasan…” “Mobil Wak Dulah tak muat menampung banyak temanmu,” Dani melengkapi ucapan Ray yang menggantung. “Yes!” seru Ray semangat. “Mungkin lain kali kuajak teman lain!”***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD