Sekolah Itu Gudang Hantu

2031 Words
Sekolah Itu Gudang Hantu DANI tiba di sekolah dasar itu lebih awal. Ray masih bersama Dirga dan Fian di sekolahnya. Menemui salah satu guru mapel yang memanggil Dirga. Ray dan Fian hanya mengantar. Akhirnya, Dani pergi sendiri. Di halaman sekolah, masih sepi. Ia memarkir motor dekat pohon sukun. Lalu, tubuhnya turun dari motor. Ia pun duduk di bangku panjang yang berada di teras. Depan ruang guru. Menatap halaman sekolah. Ia memang datang lebih awal dari rencana bersua anak-anak tim marching band ini. Janji latihan pukul tiga sore. Sementara, ia sudah keluar dari kelasnya pukul dua kurang. Begitu pun dengan teman satu angkatan. Semua kelas dua belas. Dihelanya napas dalam-dalam. Tenggorokannya terasa haus. Ia tak sempat ke kantin sekolahnya tadi lantaran ingin segera tiba di sekolah dasar ini. Meski ternyata masih sepi. Semua murid di sini sudah pulang ke rumah masing-masing. Begitu pun dengan guru-gurunya. Ia menduga, Fajar, pamannya Ray, masih di sekolah sebagaimana kebiasaannya yang suka menghabiskan waktu hingga sore. Namun, motornya tak ada. Ia ingin meneleponnya tapi segan. Ia akan menunggu Ray saja dan memintanya menelepon pamannya itu. Dani menelan ludah. Ia benar-benar haus. Ingin ada air mengalir melintasi kerongkongannya yang dirasa kian kering. Teringat ucapan Bunda Dewi, agar Dani tak usah merasa sungkan jika ingin membuat minuman, kopi, s**u, kopi s**u, teh manis atau sekadar air putih. Semua tersedia di dalam ruang guru. Ruang itu pun akan dibiarkan terbuka dan tak akan dikunci oleh penjaga sekolah saban Dani hendak melatih tim marching band. Tubuhnya bangkit dari bangku. Lalu masuk ke dalam. Sepi. Matanya melirik ke pojok kiri. Dihampirinya dispenser. Di atas meja bertuliskan nama lengkap Fajar, ada gelas kosong posisi tertutup, tampaknya bersih dan belum terpakai, begitu pikirnya. Ia mengambilnya. Ingin membuat teh manis karena dispenser tersebut dibiarkan terus menyala hingga mudah jika membutuhkan air panas. Dani mengambil sendok yang dipikirnya bersih juga, masih di atas meja Fajar. Lalu mengaduk air dalam gelas yang berbaur gula putih dan teh celup yang sudah lebur. Tangan kanannya masih mengaduk sendok dalam gelas, ketika telinganya mendengar suara pintu menutup. Dadanya berdegup. Ia kaget. Ia pun menduga, itu bunyi pintu toilet karena di dalam ruangan ini ada toilet khusus untuk para guru. Namun, rasa penasarannya begitu tinggi. Pintu toilet tak bisa langsung terlihat olehnya karena terhalang lemari yang dipakai penghalang. Tangannya melepaskan sendok. Lalu kakinya melangkah perlahan menuju depan toilet. Ia melihat pintu itu menutup rapat. Sesaat mematung di sana. Ia tak tahu, apakah pintu itu tadinya terbuka atau menutup. Namun, bunyi yang didengarnya tadi persis bunyi pintu jika tengah ditutup. Ingin tangannya mengetuk pintu bercat hijau itu. Atau kalau bisa, mendorongnya hingga terkuak lebar. Untuk memastikan, apakah di dalam ada orangnya atau tidak. Mungkinkah ada penjaga sekolah? Ia menduga-duga. Ataukah mungkin Fajar? Pikirannya beralih pada guru olahraga di sekolah ini. Namun, jikapun iya, mengapa, ia tak bersua Fajar di ruangan ini tadi saat masuk. Ataukah… Fajar sudah berada di dalam toilet ketika ia masuk? Ah, berbagai dugaan mengusiknya. Kepalanya menggeleng kuat-kuat. Penjaga sekolah, tak mungkin, Fajar pun tak mungkin apalagi tak ada motornya terparkir di depan. Ray sempat bilang beberapa hari lalu, Fajar tak membawa motor ke sekolah lantaran dipinjam saudara sepupu Ray yang motornya tengah diservis di bengkel. Mungkin memang Fajar? Duganya kembali mendadak resah dan ragu. Tubuh Dani yang masih mengenakan seragam putih abu-abu, berkeringat dingin lantaran mulai disergap rasa takut. Tubuhnya pun segera berbalik. Menghampiri meja Fajar. Mengambil gelas berisi teh manis lalu kakinya melangkah tergesa-gesa, keluar dari ruangan itu. Ia kembali duduk di atas bangku. Ditemani segelas air teh manis. Meski dengan perasaan tak menentu. Suara motor mendekat ke arah gerbang sekolah. Tampak motor Ray. Membonceng Fian. Sementara Dirga berlari-lari kecil di belakang, mengikutinya. Dani merasa lega. Ia tak sendirian lagi. Ray memarkir motornya tak jauh dari motor Dani. Lalu Ray turun. Diikuti Fian. Begitu pun Dirga. Semua menghampiri Dani. “Kamu nggak bawa motor?” tanya Dani. “Nggak, kamu kan tahu… motorku dipakai ayahku.” “Hehe… lupa. Nggak konsen nih.” “Mau dong minumannya,” ucap Dirga yang tampak keletihan lantaran usai berlari-lari kecil dari sekolahnya menuju sekolah ini meski gedungnya bersebelahan. “Bukan minuman dingin,” jawab Dani. “Nggak apa-apa, hangat atau panas pun, kan bakal jadi dingin.” “Bikin sendiri!” “Nggak apa-apa?” Dirga ragu. “Udah ada izin dari Bunda Dewi,” jelas Dani. “Minuman bebas buatku, Ray, dan teman-temannya.” “Teman-temannya… maksudnya… aku dan Dirga?” Fian tersenyum penuh harap ingin membuat minuman seperti yang tengah diseruput Dani. “Ya, bikin sendiri sana!” ucap Dani. Dirga dan Fian masuk ke ruang guru. Ray duduk di samping Dani. “Anak-anak belum pada datang, ya?” “Ya, soalnya jadwal latihan jam tiga. Sekarang baru mau setengah tiga,” ucap Dani. “Ray… Om Fajar, tumben nggak ada.” “Mungkin disuruh langsung pulang sama Bunda Dewi.” “Kenapa, ya?” “Laah, sekarang kan Om Fajar sudah punya istri, masa sesuka hati pulangnya.” “Tapi kata Bunda Dewi, Om Fajar itu suka menolak kalau diminta menemani Bunda Dewi di rumahnya? Atau menjaga rumah itu jika Bunda Dewi lagi ke Cibiru.” “Karena… Om Fajar penakut.” “Dia… takut juga ya tidur di rumah Bunda Dewi?” selidik Dani. “Begitulah…” “Hemmm, sebenarnya, perasaanku waktu menginap di sana pun, merasa nggak nyaman, Ray. Kamu sih pulas. Dirga dan Fian juga pulas. Tapi… aku dilanda ketakutan yang sangat. Aku… melihat guling melayang, Ray,” tutur Dani. Ray mendesah. Lalu melirik temannya itu. “Memang… hantu itu suka sekali kalau menggangu orang penakut.” Dani terdiam. Waktu itu, ia memang tak menceritakan apa yang dilihat di kamar tengah rumah Bunda Dewi. Ray merogoh saku celana seragamnya. Lalu menelepon Fajar. Tak berapa lama, Fajar muncul dengan motornya. Ia belum pulang ke rumahnya. Namun, tengah berada di rumah teman sesama guru olahraga yang mengajar di sekolah lain. Rumahnya tak jauh dari sini. “Ray, malam ini kita menginap di sini, yu?” ajak Fajar semangat setelah turun dari motornya. Fian dan Dirga menghampiri dengan tangan masing-masing memegang gelas berisi teh manis. “Sekarang malam Rabu, ya?” Ray berpikir sesaat. “Aku sih oke-oke saja, Om. Tapi bagaimana dengan Tante Nadya?” Fajar tersenyum. “Aman… dia kan menginap di rumah Bunda Dewi. Malah sudah di sana.” “Tante Nadya tidur di rumah itu sendirian?” Fajar menggeleng. “Nggak laaaah. Mana beraniii? Bunda Dewi kan ada. Tadi juga mengajar ke sini. Bunda Dewi ingin ditemani Tante Nadya. Malah, kalau Om nggak salah dengar… Rayna dan Mia juga mau ikut menginap.” “O ya?” Ray menatap pamannya. Ia teringat ibunya di rumah. Namun, malam ini, ayah Ray akan pulang. Jadi, Ray sedikit tenang mengetahui ibunya tak akan sendirian di rumah malam nanti. “Dirga dan Fian… siap menginap ‘kan?” Fajar menatap Dirga lalu beralih pada Fian. Dirga dan Fian bingung, mau menolak tak enak. Kalau ikut menginap, khawatir melewati malam yang menyeramkan. Akhirnya, kepala mereka mengangguk. Mereka sangat segan dengan Fajar. Kalau urusan izin pada kedua orang tua mereka, mereka pun yakin tak akan kesulitan. Kedua orang tua mereka, jika tahu anak-anaknya ada acara dengan Ray, maka akan langsung menyetujuinya. “Sip kalau begitu,” Fajar tersenyum. “Kalau Dani… nggak ditanya, Om?” Dani menahan tawa. “Kalau kamu, nggak usah ditanya dan diminta jawaban… karena kamu itu wajib menginap. Kamu kan tokoh penting di sini, pelatih handal, hehehehe…” ucap Fajar diakhiri dengan derai tawa. “Ah, Om bisa saja,” Dani malu-malu. “Tapi, kami nggak bawa salin pakaian, Om…” ucap Ray. “Masa tidur pakai seragam sekolah, nggak nyaman banget.” “Gampang soal itu mah!” seru Fajar. “Di ruang olah raga, Om simpan beberapa baju Om. Kaus dan training. Kan kita nggak jauh beda ukuran badannya, ya, hehehe…” “Ah, Om kan gemuk!” Fian meliriknya. “Nggak gemuk! Tapi nggak kurus kayak kamu!” Fajar mencandai Fian. “Hahahaha!” Ray tertawa. “Telepon dulu orang-orang di rumah biar nggak khawatir!” kata Dani serasa beranjak dari tempat duduknya lantaran dari arah pintu gerbang, mulai bermunculan anak-anak yang akan latihan marching band. Dani menuju ruang seni. Bersama Dirga, mengeluarkan alat-alat marching band. Lengkap dengan bendera dan tiang-tiang kecil. Karena sore ini latihannya sekaligus bersama para pembawa bendera. *** Malam di rumah dinas. “Enak ada TV sekarang di sini,” Dani tersenyum. “Karena Bunda Dewi…” kata Fajar. Mereka berlima berkumpul di ruang tamu yang merangkap ruang berkumpul. Duduk bersila di atas karpet plastik merah yang tergelar. “Sekarang rumah dinas ini bersih… penjaganya rajin merawatnya, ya?” tanya Ray pada pamannya. Fajar mengangguk. Mereka baru usai makan malam. Masing-masing satu bungkus nasi Kapau. Fajar yang mentraktirnya karena baru beberapa hari mendapat gaji. Jarum pendek pada jam dinding mengarah angka sepuluh. Namun, mereka belum merasa mengantuk padahal, terutama Dani-- cukup lelah melatih anak-anak. Hingga langit hampir diselimuti gelap. Tiba-tiba, telinga mereka mendengar bunyi pintu gerbang sekolah. Seperti ada yang hendak membukanya. Mereka saling tatap. Ray teringat dengan motornya. Ia pun sempat mendengar tengah marak pencurian motor di kecamatan sebelah. Bukan tak mungkin mulai merebak ke daerah sini. Lalu Ray mengutarakan kecemasannya itu. “Coba cek motor Om, motor Ray dan Dani,” kata Fajar. Dani tampak enggan beranjak. Ray menyuruh Fian dan Dirga. Mereka berdua pun tampak enggan tapi segan pada Fajar. Akhirnya mau juga keluar dari rumah. Mengawasi motor-motor. Lalu kembali ke dalam. “Aman, Om!” Fian tersenyum. Lalu kembali duduk bersama Dirga dekat Ray. “Eh… Om punya cerita, lho!” “Cerita apa?” tanya Fian dan Dirga hampir bersamaan. “Cerita… kalau di sekolah ini… siang hari pun banyak hantu,” ucap Fajar tanpa beban padahal ia sendiri pun penakut. Namun, ia suka sekali menceritakan seputar hantu jika banyak orang. Fian dan Dirga tak berucap. Ketakutan mulai merayapinya. Fajar pun mulai bercerita. Mengenai orang-orang yang pernah melihat sosok guru-guru di pagi hari padahal guru-guru itu tak merasa jika yang dilihatnya itu mereka. “Maksudnya, gimanaaa… ko Dani nggak paham cerita Om?” “Gini… semisal… ada orang di luar sekolah lewat sekolah ini pukul enam pagi, dia lihat Bu Lilis sedang duduk di bangku depan ruang guru. Ternyata, Bu Lilis itu tiba di sekolah pukul setengah delapan. Berarti…. Yang dilihat itu kan bukan Bu Lilis asli…” “Lalu… siapa?” tanya Fian. Fajar tersenyum. “Siapa… hayooo?” Ray mendecak. Sebenarnya, ia kurang suka dalam situasi malam terlebih di tempat yang memungkinkan hantu tengah berkeliaran, malah ada orang yang memancing dengan memperbincangkan hantu dan sejenisnya atau yang berkaitan dengan itu. Namun, ia membiarkan saja pamannya terus mengoceh. Seolah hendak menakut-nakuti Dani. Fian, dan Dirga. Ray tak menanggapinya. Matanya lebih memusat pada layar kaca. “Terus... ada apa lagi, Om?” Dani malah tertarik. “Banyak laaaah… ada murid pernah melihat gurunya sedang duduk di kursi guru. Jam tujuh atau kurang, sekitar itu. Murid kelas dua. Padahal, gurunya belum datang.” “Hiiiii…” bahu Fian bergidik. “Apa lagi?” Dani terus menantang Fajar bercerita lebih banyak. Ray jadi gemas. “Kalau diceritakan, nggak akan habis satu malam. Yang terakhir, Om lihat loker baja di ruang guru bergeser sendiri.” Dani kaget. “Loker yang dekat dispenser?” “Ya!” Tubuh Dani agak gemetaran. Teringat tadi siang sempat membuat teh manis dan ia sendirian di ruang guru. Dekat loker itu. Malah, telinganya mendengar jelas bunyi pintu toilet tertutup sendiri. Lantaran ia yakin, tak ada sesiapa pun di ruang guru tadi siang selain dirinya. “Sekolah itu… gudangnya para hantu. Wajar sih… karena ketika siang hari, sekitar pukul tujuh hingga satu siang, sekolah ramai dengan anak-anak. Lalu selepas jam itu, mendadak senyap. Makanya, hantu-hantu akan muncul pada jam-jam ketika sekolah sepi,” ceracau Fajar. “Seperti malam ini, senyap. Gedung sekolah kosong, hantu-hantu berkeliaran di dalamnya. Sebagian di halaman sekolah. Sebagian masuk ke ruang-ruang lain. Termasuk ruangan ini. Rumah dinas ini.” “Hiiiiiiiiiii!” Dirga bergidik. Tubuhnya beranjak lalu berlarian tak tentu arah.***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD