Tragedi Perut

1540 Words
Tragedi Perut TAK seperti biasanya, Ray tak menyalakan laptop malam itu. Ia rebahan saja di atas karpet. Sendiri. Jarum pendek pada jam yang nemplok di dinding, mengarah angka sembilan. Jarum panjangnya tepat berada di angka enam. Bunyi tiktak jarum detik tak henti berdetak. Memecah malam yang sunyi. Sekitaran rumahnya, sudah biasa senyap. Ruangan terang. Rumah sepi. Ray sendirian semenjak magrib. Ibu dan kedua adiknya menginap lagi di rumah Tante Rita. Alasan, masih kangen Cika. Mereka bersua hanya dua minggu sekali. Itu pun Cika paling dua malam. Esok akan pergi lagi ke kota dimana kuliah dan kos di daerah sana, tak jauh dari kampus tempatnya menimba ilmu. Tadi pagi, Ray sempat bersua dengan Cika di depan masjid. Cika cerita mengenai jendela kaca kamar kosnya yang digaruk-garuk tengah malam oleh kuku-kuku makhluk menyeramkan. Ray sempat berpikir dengan suara itu yang bukan hanya teralami olehnya. Namun juga oleh Dani dan sekarang Cika. Suara yang berawal datang pada mimpi ibunya. Suara yang dikirimkan oleh Wak Dulah dan Ray belum tahu. Ibunya masih merahasiakannya. Tiktak jarum terus berdetak. Jarum detik yang terus merayap cepat. Ray menatap langit-langit ruangan tengah. Trek trek trek. Bunyi di kaca jendela depan. Ia terperanjat. Matanya melirik ke arah pintu yang terhubung ke ruang depan. Suara itu, suara itu... suara itu... datang lagi. Suara yang baru saja terpikirkan olehnya. Seolah langsung terkontak. Suara yang pernah didengarnya. Bukan hanya sekali, dua kali, tiga kali. Namun beberapa kali. Dadanya berdegup sesaat. Ia ingat ucapan Dani kalau kawannya itu pun sempat beberapa kali dihantui suara serupa. Di kaca jendela. Bukan hanya jendela rumah. Namun juga jendela kamar. Bukan hanya kamarnya saja. Namun ketika menginap di rumah Bi Tita, bibinya Ray. Lalu cerita Cika tadi pagi, masih tema serupa. Garukan di kaca jendela yang jelas ulah makhluk menyeramkan. Aaah, Ray bingung. Soal suara itu terus beredar di kepalanya. Cerita Dani. Cerita Cika. Dia, Dani dan Cika. Mendengar suara yang sama. Mengapa? Mengapa? Mengapa? Degup di dadanya mereda. Suara itu tak datang lagi. Menghilang. Ray tak akan bisa melupakan kala pertama mendengar suara itu. Berulang-ulang. Seolah menerornya. Ia pun pernah mendapati seraut wajah menakutkan dari kepala tanpa badan. Yang menatapnya seolah hendak menerkamnya. Setelah peristiwa itu, ia kerap mengalami kejadian yang berhubungan dengan hantu. Baik wujud maupun sekadar suara. Ray tiba-tiba gelisah. Tubuhnya berbalik. Ada perasaan kesal pada ibu dan kedua adiknya yang malah menginap di ruma Tante Rita. Alasan kangen. Selain itu, kamar mandi yang diperbaiki dan belum bisa digunakan menjadi penyebab utama, mereka memilih tidur di rumah saudara. Ya, kamar mandi terutama kloset belum bisa dipakai. Padahal bisa saja menumpang di toilet masjid untuk sementara waktu. Ray juga sebenarnya agak kesal dengan kamar mandi yang jadi tak bisa difungsikan. Ayahnya belum juga pulang. Jadi perbaikan harus mengandalkan orang lain yang tentu saja wajib dibayar dengan rupiah. Mungkin besok sudah bisa digunakan, harap Ray dalam hati. Ia pun sedikit kerepotan harus ikut ke kamar mandi tetangga. Di masjid airnya banyak. Namun berat melangkah karena jarak yang tidak bisa dibilang dekat meski itu masjid terdekat dari rumahnya. “Kalau mau ke kamar mandi, kenapa tidak ke sini saja?” Bu Marsinah pagi-pagi sekali menawarkan. Ketika Ray baru beres mandi dari kamar mandi rumah Ima. Ray menjawab dengan tersenyum. Sebenarnya ya, rumah perempuan tua itu paling dekat bahkan berhimpitan. Sangat elok jika menumpang saja di sana. Apalagi hanya Bu Marsinah sendiri yang tinggal. Persediaan air sangat banyak. Ray pun berencana menumpang mandi sepulang sekolah. Namun baru saja tiba di rumah kala pulang sekolah, ia hendak ke rumah Bu Marsinah, rumah itu terkunci rapat. Ray mengetuknya. Tak ada yang menyahut. Lalu dicoba memanggilnya. Tetap tak ada sahutan. Sepi. Ima keluar dari rumahnya. “Ray, Bu Mar tadi pamit mau ke Karanganyar. Biasa, mau menginap,” ucap Ima. Ray bingung, sementara tubuhnya yang masih berbalut seragam sekolah, terasa lengket. Gerah. Tak tahan ingin segera menyiramnya dengan air dingin. Tentu sangat menyegarkan. Ia sudah membayangkan itu. “Mandi di sini lagi saja, Ray,” ajak Ima ramah sembari memerhatikan handuk merah hati yang tersangkut di bahu Ray. “Malu, tadi pagi numpang mandi kan di rumah Tante Ima.” “Hemmmm.... kamu ini, ko pakai malu segala. Lain waktu mungkin saja, Tante juga perbaiki kamar mandi dan kamar mandi tak bisa digunakan untuk beberapa hari. Tentu Tante pun tak akan segan-segan ke rumahmu. Ikut mandi,” Ima tersenyum. “Okelah, Tan... tapi gratis kan, ya?” Ray mencoba berseloroh. Ima tertawa kecil. “Emang toilet di pom bensin atau terminal?” Ray pun ikut tertawa. Tadi sore itu, Ray pun sekalian berwudlu untuk shalat magrib. Shalat isya, ia di masjid. Lalu pulang, bermain laptop sejam. Kemudian makan malam. Rebahan. Mendengar garukan kuku di jendela. Ia terperanjat ingat itu. Tubuhnya seketika berkeringat bersamaan lampu rumah yang padam. Gelap. Ia memekik tertahan. Perutnya melilit. Ingin buang air besar. Makan malam dengan sambal pedas olahan ibunya yang sangat mengundang lidah untuk terus mencicipinya hingga habis tak bersisa di cobek, terkadang berakhir derita. Ditahannya perut yang masih melilit. Ke mana ia harus menumpang buang air besar? Ke masjid, jauh. Ke rumah Ima, ia tak berani mengetuk pintu rumahnya terlebih sudah malam. Andai Bu Marsinah tak pergi, ia lebih baik mengetuk pintu rumah itu. Perempuan tua nenek kawan dekatnya itu tentu dengan senang hati akan membuka daun pintu. Dan memersilakannya masuk. Mungkin Ray diajak menginap, menemaninya. Ah, Ray bingung. Tangannya memegang perutnya yang mulas. Ia mengutuk sambal buatan ibunya. Jadi menyesal makan dengan sambal tadi. Di sela rasa sakit di sekitar perutnya, melintas di benaknya, toilet di pekarangan rumah Haji Jajuli. Toilet yang dibiarkan digunakan siapa saja. Bebas. Haji Jajuli pun sengaja menyediakan untuk umum meski jarang ada yang ke sana. Semua warga di sekitarnya punya kloset. Selain itu, kalau siang hari ke sana untuk buang hajat, di pekarangan yang maha luas itu, terkadang ada pembantu Haji Jajuli yang tengah menjemur padi. Atau ada anak-anak sekolah dasar, laki-laki semua, yang tengah bermain kelereng atau main layangan. Jadi, orang pun segan ke sana. Jika malam hari, kebanyakan orang akan takut. Bahkan melintasi pekarangan itu pun takut. Teman Dani, Fian pernah malam-malam menumpang buang hajat di toilet itu. Lagi enak-enaknya menunaikan hajat, tiba-tiba dari atas atap rumah Haji Jajuli ada yang melempar pasir. Fian kontan keluar toilet lalu lari terbirit-b***t dengan celana terlepas karena ketakutan. Dani dan Ray sampai terpingkal-pingkal mendengar cerita Fian di depan laboratorium sekolah. Ah, Ray gelisah. Namun sakit di perutnya sedikit hilang. Tangannya mencari-cari gawai dalam gelapnya ruangan. Alhasil, teraba. Tubuhnya bangkit dan duduk. Mencoba menelepon ibunya. Namun tak ada sahutan, ibunya sudah terlelap dibuai mimpi. Bahkan tak tahu aliran listrik di sekitar rumahnya mati. Ray mendesah, resah. Tak ada persediaan lilin di rumahnya. Atau kalaupun ada, ia tak tahu dimana ibunya menyimpannya. Mungkin di tempat yang tersembunyi seperti laci meja atau lemari. Namun Ray tak berniat mencarinya karena di dalam rumah benar-benar gelap gulita. Ia tak bisa melihat apapun. Bahkan sesekali kakinya menyentuh benda hingga tubuhnya nyaris terjatuh. Terlebih ketika ujung ibu jari kakinya terantuk entah benda apa, ia meringis kesakitan. Sembari aduh-aduhan. Perut Ray kembali melilit. Kali ini, tak dapat ditahannya. Ia pun keluar rumah, hendak menuju pekarangan rumah Haji Jajuli. Namun kala melintasi rumah Bu Marsinah, dilihatnya Dani tengah membuka pintu rumah itu lalu masuk. Dahi Ray mengernyit. Darimanakah Dani? Ataukah baru tiba? Namun, kepalanya dengan cepat menggeleng. Itu sesuatu yang tak mungkin. Lagipula, Ray tahu Bu Marsinah tengah tak berada di rumah itu. Begitu menurut cerita Ima. Namun, bayangan orang itu serupa Dani. Ray yakin bisa menebaknya meski dalam gelapnya malam. Hampir tiap hari, ia bersua kawannya yang satu itu di sekolah. Ray hapal postur tubuhnya. Kalau iya Dani, untuk apa Dani masuk rumah itu? Kembali kepala Ray menggeleng. Ataukah.... Sesaat Ray tertegun, sakit dalam perutnya dicoba ditahan. Rasa penasaran yang tinggi pada Dani. Ia pernah mendengar cerita teman di kelasnya tentang teman lain yang suka pacaran berduaan di rumah kosong. Mungkinkah Dani melakukan hal yang sama? Memanfaatkan rumah neneknya saat kosong? Tapi dengan gadis mana? Ray mencoba menduga-duga meski ia sama sekali meragukan bila Dani berprilaku seperti itu. Dani tak punya pacar meski ia suka Cika atau Indah. Namun tak begitu serius. Dan kalaupun iya pacaran, Dani tak akan serndah itu. Ah, disingkirkan prasangka yang menjilatinya. Mengapa ia menduga hal-hal aneh? Pikirnya. Ia harus berpikiran positif pada Dani. Adapun, Dani sudah jelas tipikal penakut. Masuk rumah kosong tanpa penghuni yang sudah terkenal angker di malam hari saat aliran listrik mati apalagi, itu... tidak mungkin. Ray mengucek matanya. Namun, bayangan yang dilihatnya tengah membuka pintu rumah itu lalu segera menutupnya kembali. Malahan, Ray mendengar bunyi pintu tertutup. Rapat. Ia jadi gelisah. Angin malam menerpa wajahnya. Ray mencoba memanggilnya. Dani tak menyahut. Ray penasaran. Langkahnya mendekati pintu itu. Sembari menahan sakit perut. Dipanggilnya lagi nama Dani.Tak ada sahutan. Hening. Kupingnya didekatkan di lobang kunci. Masih sama. Hening. Tak ada tanda-tanda orang di dalam. d**a Ray yang semula berdegup, sedikit mereda. Ia bernapas lega dan hendak membalikkan tubuhnya. Namun... hey! Tubuhnya urung bergerak lantaran ada yang menembus gendang telinganya. Tubuhnya bergeming. Beberapa saat kemudian, terdengar bunyi kompor gas dinyalakan. Lalu wajan ditaruh di atasnya. Tak lama, bunyi minyak goreng dengan desis khasnya. Sreng-sreng-sreng. Spatula beradu dengan wajan. Keringat membasahi tengkuk Ray. Di dalam rumah Bu Marsinah sangat gelap. Tak ada sinar cahaya.***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD