Tak Ada yang Mati Dibunuh Hantu

1951 Words
Tak Ada yang Mati Dibunuh Hantu HUJAN turun membasahi bumi semenjak sore, kendati hanya gerimis. Fian sendirian di rumah. Kala tiba sepulang sekolah, didapati rumahnya kosong. Kedua orang tua dan adik satu-satunya, belum kembali dari rumah saudaranya di kampung sebelah semenjak tiga hari lalu. Ibunya sempat meneleponnya tadi pagi sebelum Fian pergi ke sekolah, kalau belum bisa pulang karena saudara yang tengah hajatan membutuhkan sekali bantuan dan melarang pulang cepat-cepat. Fian tak banyak berkomentar lantaran merasa percuma, toh tetap ia harus sendiri lagi di rumah. Ia tak berani lagi meminta Ray untuk menemaninya. Ray pun belum tentu mau, ia menyimpulkan sendiri. Cuaca sangat dingin. Fian baru usai melaksanakan solat magrib. Ia masih bersarung dan kepalanya berpeci hitam. Lalu menuju ruang tengah. Menghidupkan televisi berukuran 14 inch lalu duduk di kursi. Mencari siaran yang disukainya lewat channel di remote control dalam genggaman tangannya. Namun, tak ada satu pun acara yang menurutnya menarik lantaran tiba-tiba pikirannya terpusat akan melewati malam lagi sendirian. Disimpannya remote control di atas meja bertaplak batik kuning berbunga putih merah. Lalu beralih mengambil gawai yang tergeletak di sebelahnya. Dicobanya menelepon Dani. Beberapa kali hingga akhirnya bisa tersambung. “Kamu di mana, Dan?” “Aku di rumahku, laaah…” “Kirain di rumah Bu Mar.” “Nggak. Kenapa gitu?” “Tadinya… aku mau minta ditemani… atau… aku mau nebeng menginap di rumah Bu Mar… kalau kamu ada di situ.” “Tapi kenyataannya, sekarang aku tak lagi di rumah nenekku. Kenapa… kamu sendirian lagi di rumahmu?” “Ya…” “Nggak kamu ajak lagi Ray?” “Nggak enak, Dan. Lagian, kayaknya dia pun bakalan menolak.” “Kalau kamu tidur di rumah Ray, gimana?” “Aku juga nggak berani, takut Ray lagi nggak mau terganggu, Dan. Dia kan kadang gitu, seringnya ingin menyendiri kalau sudah di rumahnya.” “Emang. Terus, jadinya malam ini... kamu di rumah sendirian ‘kan?” “Ya, mau gimana lagi,” Fian pun pasrah akhirnya. “Nikmati saja…” ucap Dani diakhiri dengan derai tawa. “Kenapa ketawa?” Fian heran. “Ngebayangin kamu ketakutan di rumah sendirian dan diganggu makhluk halus.” “Hemmm… aku nggak takut,” sanggah Fian. “Masa?” sindir Dani. “Ya!” “Buktinya mau minta ditemani tidur!” “Butuh teman ngobrol saja,” Fian membela diri. “Alasan! Bilang saja yang sebenarnya kalau kamu takut! Kamu juga manja ih!” Dani terus meledeknya. “Kamu kalau memang nggak mau nemanin aku di rumahku, ya sudah! Nggak usah malah meledekku dan mau nakut-nakutin aku!” Fian jadi kesal pada Dani kendati ia acap nebeng motor Dani jika pulang sekolah. “Siapa yang menakut-nakutin kamu?” “Ya kamu lah!” “Nggak ko! Kamunya saja yang penakut kaliiiii!” Fian jadi malas berkomentar. “Hahahaha!” Dani malah tertawa. Fian langsung mematikan gawainya. Rasanya, ia percuma saja menelepon Dani. Bukannya memberikan solusi dengan ketidakberdayaannya sendiri di rumah. Malahan, menakut-nakutinya (menurut Fian) juga meledeknya. Padahal, ia pun tahu, Dani pun penakut meski kadarnya tak sebesar rasa takut yang dipelihara Fian. Usai solat isya, Fian pergi ke dapur. Menyeduh mi instant yang masih tersedia di lemari dapur. Namun, tak ada telur sebutir pun apalagi sosis yang jarang sekali dibeli oleh ibunya. Namun, ia bersyukur dengan mi instant yang ada meski tinggal satu karena ia tak perlu keluar rumah untuk beli ke warung dalam kondisi hujan. Hanya lima belas menit, menyeduh mi sudah beres. Dituangkan ke dalam mangkok bening. Namun, baru saja tangannya hendak mengangkat mangkok itu, dari kaca jendela, terdengar suara garukan kuku-kuku. Sontak, ia kaget. Hampir saja mangkoknya tersenggol dan bisa saja isinya tumpah sekaligus mangkoknya pecah di lantai. Untung, ia bisa menahan dengan tangannya. Matanya mengarah pada jendela kaca kecil agak di atas. Ia yakin, telinganya baru saja menangkap suara itu. Tak salah dengar. Siapa yang telah menggaruk-garukkan kuku-kuku di kaca jendela dapur? pikirnya heran disertai rasa takut yang mulai melumatinya. Garukan itu terdengar lagi malah kaca jendelanya agak bergetar seperti ada yang sengaja menggetarkannya. Tangan kanan Fian gemetaran, tapi segera mengangkat mangkok berisi mi rebus yang masih panas, dengan hati-hati dan takut tumpah, tubuhnya berbalik lalu melangkah agak cepat menuju ruang tengah. Dengan perasaan tak karuan, ia makan mi rebus dengan agak tergesa-gesa dan ingin cepat habis. Pukul delapan, tubuhnya beranjak dari kursi setelah mematikan televisi. Langkahnya menuju kamar yang berada paling depan. Kamarnya. Dimatikannya lampu. Sarung dan peci telah dilepaskan. Ia hanya berkaus hitam polos dengan bawahan celana farasit biru. Tubuhnya berbaring di atas kasur yang tak empuk dimakan zaman. Dipejamkan mata. Namun, tak dirasanya mengantuk. Ia ingin membuka gawai, mengintip media sosial agar tidak suntuk sebelum kantuk menyerang. Namun, gawai tertinggal di atas meja ruang tengah dan ia malas mengambilnya. Akhirnya, tubuhnya tetap terbaring sembari memejamkan mata. Menanti kantuk. Di luar, gerimis masih belum reda. Sesekali, angin berdesir. Daun-daun dari pepohonan saling bergesekan. Di luar rumahnya, ditanami berbagai tanaman seperti pohon palem. Malah, ada pohon jambu batu yang sudah tua dan tinggi tapi masih suka berbuah meski jarang-jarang. Sepi. Di luar sepi sekali. Telinganya tak mendengar lalu-lalang orang-orang seperti ketika hujan tak turun. Orang-orang sekitar memilih mengurung diri di dalam rumah ketimbang keluar. Fian pun menutup tubuhnya dengan selimut hingga menutupi kepalanya. Tak terasa, kantuk pun mulai datang lalu memagutnya. Pulas. Namun, terjaga pada jam dua belas malam. Rasa dingin yang membuatnya terjaga. Ia kian merapatkan selimut agar menempel dan menutup seluruh tubuhnya. Baru saja beberapa menit matanya kembali terpejam, telinganya mendengar suara dari jendela kamar. Jendela tua yang terbuat dari kayu dan ada sela-sela untuk keluar masuk udara atau fentilasi. Bukan suara garukan kuku-kuku seperti yang didengarnya di kaca jendela dapur. Ini lain. Namun, bunyi ketukan jendela. Ada yang mengetuknya! Fian kaget. Siapakah yang mengetuk jendela kamarnya? pikirnya dengan rasa tak karuan. Bunyi ketukan terdiam. Fian sedikit tenang. Namun tak berlangsung lama, hanya beberapa menit. Lantaran, bunyi itu kembali. Jendela tua itu diketuk lagi. Tok tok tok. Dadanya terperanjat bersamaan dengan matanya yang kembali terkuak. Rasa kantuk kian menjauhinya. Berganti dengan rasa takut. Mungkinkah ada orang yang iseng? Atau hendak menakut-nakutinya? Tapi siapa? Berbagai pertanyaan berputar di kepala, membuatnya pening dan bingung. Bibirnya bergerak-gerak perlahan. Lalu keluar suara meski agak tergagap. “Si-si-aaa-paaa?” Tak ada jawaban. Hening. Ketukan itu berhenti. Sekitar satu menit. Lalu datang lagi. Fian dilanda gelisah. Keringat mulai mengucur di beberapa bagian tubuhnya. Di luar, gerimis masih belum reda. Bahkan, kian kerap. Menambah suasana mencekam. Tubuh Fian gemetaran ketika jendela kamar ada lagi yang mengetuk. Ketukan yang sama seperti sebelumnya. Tok tok tok. Namun, tanpa diiringi suara manusia. “Sisiisiii… aaa… paaaaa?” Dengan keberanian yang dibuat-buat, Fian bertanya meski bibirnya bergetar. Tetap, tak ada jawaban. Tubuh Fian ingin berbalik menghadap ke dinding untuk menghindar tidak menatap ke arah jendela meski dalam ruang gelap. Namun, tubuhnya mendadak sulit digerakkan. Dalam kegelisahan yang sangat, matanya terpejam dan diserang kantuk tanpa diduga. Hingga ia pun kembali terlelap. Namun satu jam kemudian, matanya terkuak ketika telinganya mendengar dengan jelas suara di luar jendela kamarnya. Bukan suara garukan kuku-kuku. Atau suara ketukan di jendela seperti sebelumnya. Namun, seperti suara manusia. Suara erangan. Seperti yang tengah menahan sakit. Tubuh Fian bergetaran hebat. Ketakutan memasungnya. Mulutnya ingin berteriak dan bertanya siapa sebenarnya yang berada di luar rumah. Di teras depan kamarnya. Apakah manusia atau bukan manusia? Namun, tenggorokannya terasa sesak seolah ada yang mencekiknya dengan kuat. Suara erangan di luar terdengar lagi malah lebih keras dari sebelumnya. Kemudian, yang mengerang berubah jadi memanggil nama Fian. “Fiaaaaaaaaannnnnn!” ucap suara di luar kamarnya. Suara laki-laki. Entah suara siapa, Fian tak mengenalinya. Bukan suara ayahnya, atau suara orang yang dikenalnya. Kepala Fian bergoyang-goyang. Teringat, ia sendirian bukan hanya di kamarnya tapi juga di dalam rumahnya. Ia pun merasa merana. Tak ada ibunya. Tak ada ayahnya. Tak ada adiknya. Tak ada teman-teman yang sudi menemaninya malam ini. Malam yang dirasanya begitu lamban bergerak. Padahal, ia ingin segera pagi. Ingin langit segera terang dengan pancaran sinar matahari. “Fiaaaaaaannnnn!” suara itu ada lagi tepat ketika ketakutan Fian memuncak. Selimut menutupi tubuhnya, kendati tubuhnya gerah bermandi keringat dingin, tak dirasanya. Tak peduli ia merasa kehilangan napas lantaran sesak di bawah selimut tebal. Yang penting, telinganya tak mendengar suara erangan yang menyeramkan itu. Ia yakin, yang mengerang atau pun yang mengetuk jendela tadi, sama dengan yang menggaruk-garukkan kuku-kuku di jendela dapur. Pasti, itu hantu yang ingin menakut-nakutinya. Atau mungkin membunuhnya. Teringat itu, ia kian digulung rasa takut yang sangat. “Aku tak mau mati konyol,” bisiknya dalam hati. “Aku tak mau mati di tangan hantu.” Teringat ucapan Ray tempo hari. “Fian, tidak ada orang yang mati lantaran takut oleh hantu. Jika pun orang itu celaka lantaran rasa takut yang dibuatnya sendiri bukan karena diganggu hantunya.” Ia berusaha tenang kendati sangat sulit dilakukannya. Dicobanya terus melawan rasa takut. Bibirnya bergerak-gerak. Dipaksakan. Dicoba terus. Melafalkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Ia pun memohon ampun dan perlindungan pada Allah. Baru malam itu, ia memohon ampun dari rasa takut dan memohon Allah melindunginya serta melepaskannya dari belenggu ketakutan. Tak berapa lama, hatinya pun berubah tenang. Rasa takut kian berkurang. Hingga lenyap sama sekali. Perlahan, selimut abu-abu polos itu diturunkan dari atas kepalanya. Dihelanya napas dalam-dalam. Ruangan gelap. Matanya melirik ke arah jendela. Tak didengarnya suara-suara aneh itu. Alhamdulilhah, ucapnya dalam hati. Tiktak jarum jam terdengar dari jam yang menempel di dinding kamar, tepatnya di atas pintu kamar. Tubuhnya menyamping menghadap dinding. Terdengar tiang listrik yang tak jauh dari rumahnya dipukul petugas ronda. Hatinya kian tenang. Akhirnya, ia pun bisa tertidur lagi. Dan baru terbangun setelah azan subuh berkumandang. *** “Ray!” seru Fian di ambang pintu kelas Ray. “Hai, Fian!” Ray melambaikan tangan dari pojok kelasnya ketika dilihatnya Fian muncul dengan senyum mengembang. “Sini!” Ray tengah membantu salah satu teman laki-lakinya mengerjakan tugas Sistem Operasi Jaringan dari guru mereka, Pak Rahmat. “Hai, Aji!” sapa Fian pada Aji yang bertubuh gemuk dan agak pendek. Aji tersenyum ramah. “Ke mana saja, Fian?” “Nih, aku ada, hehehe…” Fian tersenyum. “Aku ganggu kalian, ya?” Aji menggeleng. “Nggak, ko. Baru saja selesai. Aku tinggal dulu kalian, ya? Mungkin ada yang mau kalian obrolin tanpa aku.” “Aaah, ko malah pergi sih?” seru Ray pada Aji. Namun tubuh Aji yang gemuk dan pendek itu terlanjur melesat meningalkan kelas. Hendak menuju kantin sekolah, katanya. Isi perut. “Dani ke mana, ya?” Fian lalu duduk di samping Ray. Bekas tadi Aji duduk di sana dan itu memang bangku Aji tapi bukan sebangku dengan Ray melainkan dengan teman yang lain yang tengah tak masuk sekolah karena sakit. Sementara, bangku Ray di deretan depan. Ray menggeleng. “Lho… aku nggak tahu, dia nggak ada ke sini. Istirahat di masjid, kaliiii… atau cari mi ayam.” “Mungkin juga, ya… Dirga juga nggak ada. Eh, Ray… aku mau cerita sama kamu.” “Mengenai pengalaman misterimu selama di rumah sendirian?” tebak Ray dan tebakan Ray jarang meleset. “Kamu benar, Ray.” “Pasti kamu ketakutan.” “Bukan mau bahas itunya. Tapi alurnya, Ray.” “Gimana?” Ray penasaran, tersebab-- ia pun sempat mengalami malam aneh ketika menginap di rumah Fian. Mendengar suara pasir yang ditaburkan di atas genting. Fian dengan detail menuturkan apa yang dialaminya malam demi malam ketika di rumah sendirian. Lain halnya, saat Ray menginap, Fian tak mendengar suara apa pun. “Suara apa pun, bunyi apa pun… atau sekalian wujudnya yang menyeramkan… lalu menakut-nakuti kita, dan katamu… hendak mmebunuhmu. Mustahil, Fian, impossible… taka da yang mati lantaran dibunuh hantu. Jikapun ada, itu hanya dalam film horor.”***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD