Ini sudah seminggu Zee bekerja sebagai sekretaris. Ia menjalani aktifitas seperti biasanya, baginya kerjaan yang ia kerjakan cukup mudah, karena sepertinya Erik mempermudah semua pekerjaanya. Ia pikir akan kerepotan mengurus semua pekerjaan laki-laki itu. Ternyata kerjaannya begitu santai dan tidak terlalu memusingkan.
Entahlah akhir-akhir ini obrolan dirinya dan Erik semakin nyaman, ada saja yang laki-laki itu bicarakan. Biasa masalah politik yang sedang hangat-hangatnya menjadi obrolan pengantar sarapan. Zee mendengar derap langkah masuk, dan mendengar percakapan dari arah luar. Ia tahu betul siapa pemilik suara berat itu,
"Aku tidak suka kamu berkeliaran di tempat kerjaku Elsa," suara Erik terdengar dibalik pintu.
"Mas, aku ini tunangan mas, calon istri mas, wajar aku kesini ingin bertemu kamu mas,"
"Kamu bisa datang setelah jam kerja aku selesai Elsa,"
"Mas dengar ! aku di sini sudah lima hari, tapi mas tidak pernah datang melihatku," ucap Elsa berang. Ia merasa Erik sudah tidak pernah memperhatikannya lagi, dia semakin dingin dan menganggapnya angin lalu. Padahal ia sudah banyak membantu dia dalam membangun usahanya.
“Oke aku minta maaf, akhir-akhir ini aku sibuk,” Erik berusaha tenang menghadapi Elsa.
“Sejak kapan kamu tidak sibuk mas ! bahkan hari Minggu pun kamu mengatakan bertemu klien. Enggak ada pekerjaan seperti itu ! kamu itu direktur di sini, anak buah kamu banyak, kamu tidak perlu repot-repot bekerja tinggal beri perintah saja, beres kan !,”
“Aku lebih suka menyibukkan diri, dari pada hanya duduk di rumah tidak melakukan apa-apa,” timpal Erik.
“Aku hanya mau mas memberi waktu untuk kita bersama, apa susahnya sih. Kita itu perlu membagi waktu untuk bersama,”
“Iya nanti aku akan atur makan malam untuk kita,” Erik tidak tersulut emosi.
Elsa mengibaskan rambutnya ke belakang, “Kita sudah tunangan dua tahun, tapi mas masih tetap seperti ini. Padahal aku pikir kita sebaiknya menikah saja,”
“Kita akan membicarakannya nanti,”
“Mas mau menundanya lagi !,”
“Aku mohon jangan bicara di tempat kerja,”
“Mas, selalu begitu,” ucap Elsa, ia mulai jengah dengan sikap Erik yang sudah keterlaluan.
“Pulang lah, disini ada orang lain selain kita, aku tidak suka urusan pribadi dibawa ketempat kerja,” Erik melirik ruangan sedikit terbuka, ia tahu Zee berada di dalam ruangan dan mendengar percakapannya.
“Siapa? pasti wanita itu yang membuat mas berubah seperti ini !,” Tuduh Elsa.
“Dia sekretaris baru aku, kamu jangan menuduh dia tidak-tidak, dia baru seminggu di sini. Sudah syukur dia bisa betah bekerja dengan aku,”
“Aku enggak percaya, pasti wanita itu mengalihkan perhatian kamu. Dia pasti jauh lebih asyik dari pada aku,”
“Elsa !,” Erik menggeram, ia tidak terima jika Elsa menuduh Zee seperti itu.
Elsa melangkah kan kakinya menuju ruangan, ditatapnya wanita berambut panjang yang duduk di kursi kerja. Sepertinya dia terkejut atas kehadirannya. Ternyata dia sekretaris Erik, dia berparas cantik. Jadi dia yang membuat Erik betah berlama-lama di sini.
"Kamu sekretaris Erik?,” ucap Elsa penuh kebencian, masalahnya dia jauh lebih cantik dari dirinya.
“Iya,” Zee berusaha tenang ia tidak tahu akan berbuat apa selain berdiri, ia tidak ingin membakar api lebih besar atas pertengkaran Erik bersama tunangannya.
“Saya tunangan Erik, dan kamu jangan coba-coba menggoda tunangan saya,” Elsa memberi peringatan.
Zee merasa tidak terima jika dituduh seperti itu, “Maaf, tidak pernah terlintas dibenak saya menggoda atasan saya sendiri,”
“Saya jauh-jauh dimutasi dari Pontianak ke Jakarta, untuk bekerja bukan untuk menggoda tunangan anda. Percaya saya, saya tidak akan tertarik dengan laki-laki kaku seperti dia !,” Zee melirik Erik tidak jauh darinya.
Zee tidak tahu kenapa, ia mengatakan Erik laki-laki kaku, apadahal selama beberapa hari ini obrolan mereka begitu menyenangkan. Oh Tuhan, ternyata berurusan dengan Erik begitu menyebalkan, terlebih tunangannya yang cantik bak boneka itu bermulut ular. Ia heran kenapa Erik bisa suka dengan madam medusa itu. Zee tidak peduli jika setelah ini ia akan di pecat oleh Erik, karena ia telah mengatakan kaku.
“Kamu tahu siapa saya,”
“Elsa cukup !,”
“Kamu ini kenapa sih, suka banget cari masalah dengan sekretaris aku !,”
“Ikut aku keluar, bisa aku jelaskan dia itu siapa !,” Erik menarik paksa Elsa keluar dari ruangan.
Zee mengibaskan tangannya, suasana seketika mendadak gerah dan panas. Kedatangan calon istri Erik membuatnya merasa tidak enak. Menuduhnya yang tidak-tidak seperti ini. Mungkin ini adalah salah satu alasan sekretaris Erik tidak betah bekerja di sini. Ia menatap Erik menarik Elsa keluar dari ruangan. Sepertinya kedua pasangan itu sedang bertengkar hebat. Sumpah madam medusa itu membuat emosinya tidak terkontrol,
Beberapa menit kemudian, ia mendengar suara derap langkah masuk. Zee menyelidiki siapa yang masuk itu. Ternyata Erik, Zee kembali masuk ke dalam ruangannya setelah mengetahui bahwa yang masuk itu adalah bos nya.
Erik memandang Zee, sepertinya wanita itu tidak suka atas kehadirannya. Ia hanya tidak ingin ada kesalah pahaman di sini. Erik masuk ke dalam ruangan Zee, menatap dia yang sedang duduk dibalik kubikel. Zee sebagai sekretaris haruslah mengerti dengan keadaanya,
“Maaf,” hanya itulah yang terlintas dipikirannya.
Zee mengangguk, “Iya pak, tidak apa-apa,”
“Mengertilah dengan keadaan saya,”
Sebenarnya ia tidak tahu, mengerti apa yang di maksud Erik, “Iya pak,” ucap Zee sekenanya, padahal dalam hati ia ingin sekali mengatakan bahwa ia tidak suka dituduh seperti ini.
“Setelah kejadian ini, saya harap kamu jangan mendadak ingin resign. Kejadian seperti ini sudah sering terjadi,”
“Ok,” ia melihat Erik yang masih memperhatikannya, terlihat jelas wajah laki-laki itu datar, lalu meninggalkannya begitu saja.
***
Beberapa saat kemudian,
“Zee,” panggil Erik.
Zee mendengar suara berat itu memanggil dirinya. Sepertinya panggilan “Zee” seperti alaram yang harus ia kerjakan. Otak dan pikirannya reflek memberi perintah agar keruangan beliau. Sebenarnya ia sungguh malas sekali mendengar dia menyebut namanya. Zee lalu berjalan ruangan Erik,
“Bapak, panggil saya?,”
“Iya,”
“Mari kita keluar,” ucap Erik.
“Keluar?,” Zee semakin bingung, masalahnya saat ini tidak ada meeting penting.
“Kemana pak,” Tanya Zee lagi.
“Mencari tempat tinggal kamu yang baru, dan mencari udara segar,” Erik menegakkan tubuh, lalu membiarkan ponsel begitu saja. Ia tidak ingin ponsel itu mengganggu ketenangannya.
“Sekarang pak?,”
“Iya,” Erik menatap Zee yang masih memperhatikannya.
Zee mengangguk lagi "Iya pak," Zee melangkah masuk ke dalam ruangan mengabil tas.
Sepanjang perjalanan hanya diam, tidak ada yang memulai percakapan. Mereka hanya mendengar suara Tulus yang terdengar di audio mobil. Ia melirik Zee, dia hanya diam menatap ke arah jendela di audio mobil. Sepertinya Zee tidak membicarakan prihal hubungan dengan Elsa, kenapa mereka tadi bertengkar dan dia menjadi sasaran Elsa.
“Kamu pernah membaca buku Bumi Manusia ?,” Erik membuka topik pembicaraan.
Zee lalu menoleh, menatap Erik, “Bacaan kamu berat sekali, saya saja biasa lebih memilih bacaan ringan dengan cover menarik misalnya teenlit, dan jujur saya hingga sekarang, belum berani membacanya. Sungguh n****+ itu terlalu berat untuk saya,” ucap Zee.
“Itu buku menarik, bacalah,” Erik mengambil buku itu di dasbor, menyerahkan kepada Zee.
“Ini buku pertama, dan masih ada lagi di rumah saya,”
“Ini n****+ roman kan?,” Zee melihat cover berwarna hijau itu.
“Iya, ini n****+ roman, mengisahkan tentang perjalanan anak manusia bernama Pram Minke. Minke anak seorang pejabat yang muak dengan sistem feodalisme. Berjuang demi bangsa dengan pena, melalui surat kabar, untuk menemukan identitas kebangsaan. Dihadapi dengan hukuman, diskriminatif, politik kolonial yang keras, pembagian kelas, dan titik paling rendah menyengsarakan Indonesia,”
“Buku ini membangkitkan jiwa nasionalisme, kebanggaan kita sebagai bangsa besar. Ketahuliah bahwa dulu kita pernah mengalami penghinaan yang luar biasa. Ini salah satu n****+ terbaik yang pernah saya baca. Saya juga pernah baca versi Inggris tak kalah bagusnya,”
Zee sekali lagi melirik buku dipegangnya, sejujurnya ia tidak terlalu berminat baca buku berat ini. Erik menjabarkannya saja ia masih tidak mengerti. Laki-laki ini mengatakan bagus, maka ia akan membacanya nanti jika sedang bosan. Hitung-hitung mengisi waktu luang. Toh, jika sewaktu-waktu ditanya oleh Erik tentang buku ini, ia bisa menjawab.
“Terima kasih, nanti akan saya baca,” Zee memasukan buku itu ke dalam tas.
“Kita akan kemana?,” tanya Zee, karena Erik memarkir mobilnya dibesment gedung apartemen.
“Ke tempat tinggal kamu yang baru,”
Alis Zee terangkat, “Apartemen,”
Erik mematikan mesin mobil, “Iya,”
“Apa tidak terlalu berlebihan menyuruh saya tinggal di tempat seperti ini,”
Erik menatap Zee, “Tidak,”
Zee menyeimbangi langkah Erik, jelas saja ia belum menerima sepenuhnya bahwa Erik memberinya tempat tinggal di sini. Ia tidak bisa membayangkan jika tunangan Erik tahu bahwa ia tinggal di apartemen ini. Pastilah madam medusa itu akan naik pitam dan murka. Beberapa detik kemudian pintu lift terbuka. Erik berjalan menuju sebuah pintu berwarna abu-abu dengan nomor 7009 dan Erik membuka pintu itu dengan kunci kombinasi.
“180909,” ucap Erik.
“Hah,” Zee bingung atas ucapan Erik.
“180909 kunci kombinasinya, agar kamu bisa masuk kapan saja,”
“Owh begitu,”
Zee melihat Erik menekan saklar lampu di dekat daun pintu, dan mempersilahkan dirinya masuk ke dalam. Zee mengedarkan pandangan kesegala penjuru ruangan. Ruangan itu di d******i warna putih. Ruangan itu tertata rapi bersih, ia tidak yakin bahwa apartemen ini, kosong begitu saja. Pasti ada seseorang yang membersihkannya.
Erik melirik Zee, wanita itu masih memperhatikan ruangan, "Bagaimana menurut kamu,"
“Ini sih terlalu mewah, untuk karyawan seperti saya pak,"
“Owh ya, saya pikir biasa saja,”
“Lah itu kan menurut bapak, bukan dalam versi saya. Kost kemarin yang bapak berikan saja sudah cukup mewah, apalagi ini,”
“Bapak enggak tau sih, bagaimana sederhananya rumah saya di Pontianak. Saya pikir ini terlalu berlebihan untuk saya. Kalau tunangan bapak tahu saya tinggal di sini. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana marahnya dia,”
Erik melirik Zee, wanita itu duduk di sofa, "Jadi kamu mau seperti apa?,"
"Yasudah, lebih baik ditempat kemarin saja. Saya juga enggak mau ngerepotin bapak,” tolak Zee, sumpah, baginya Erik terlalu berlebih-lebihan.
“Saya tidak merasa direpotkan Zee, lagian apartemen ini sudah lama tidak ditempati. Ini hanya sebagian kecil aset saya,”
Zee memandang Erik, dia lalu duduk, “Tetap saja, ini terlalu berlebihan untuk saya. Bapak tahu enggak, apa yang saya pikirkan jika bapak mempersilahkan saya tinggal di sini ?,”
“Terus apa yang kamu pikirkan,”
Zee lalu tersenyum, “Saya seperti wanita simpanan bapak,” ucap Zee sambil terkekeh.
Erik memicingkan mata menatap Zee, “Wanita simpanan?,”
“Seperti itu lah yang terlihat, lalu nanti tunangan bapak ngamuk-ngamuk datang kepada saya. Habis sudah saya menjadi kemarahan dia, oh tidak saya tidak membayangkan bagaimana madam medusa itu marah seperti kejadian tadi pagi,”
Erik tertawa mendengar penjelasan Zee, “Nanti saya yang menjadi penengah kalian,”
“Uh dasar, siapa juga yang mau sama bapak,”
“Jadi kamu enggak mau sama saya,”
“Enggak,”
“Kenapa? Apa saya kurang keren untuk kamu,”
Zee memandang Erik, iris mata tajam itu memperhatikannya, “Keren aja, enggak cukup untuk menjalin sebuah hubungan,”
Alis Erik terangkat, “Owh ya,”
“Saya yakin ketertarikan seperti itu tidak akan bertahan lama. Jika ingin menjalin sebuah hubungan harus diawali dengan rasa nyaman. Hubungan itu akan tetap awet dan menyenangkan,”
“Kamu masih percaya cinta,” Erik ia bersandar di kursi, inilah yang ia suka dari Zee, dia memiliki pandangan yang cukup luas. Membahas apa saja begitu seru dan terasa menyenangkan. Ia seperti memiliki teman bicara yang asyik dan bisa di ajak kerja sama. Kali ini ia akan membahas masalah cinta, yang tidak ia mengerti selama ini.
“Ya masih lah pak, bapak gimana sih ?,”
“Menurut kamu cinta itu apa?,”
“Sebenarnya banyak sekali defenisi cinta itu sendiri, menurut saya cinta itu seperti lemon asam sih, tapi buat kita selalu segar,” Zee lalu tertawa.
Erik tersenyum mendengar penjelasan Zee, “Dan kamu itu seperti lemon menurut saya,” ucap Erik.
Zee mengerutkan dahi, “Maksud bapak ?,”
“Jadi kamu mau atau tidak apartemen ini,” Erik mengalihkan topik pembicaraan.
“Enggak,”
"Ok, saya tidak memaksa,”
Erik menghela nafas, menatap wajah cantik itu, "Jujur sekarang saya lelah, butuh sesuatu yang segar,"
“Bapak mungkin butuh hiburan,”
“Mungkin,” ucap Erik.
“Bagaimana dengan liburan, keluar negri?,”
Erik menaikkan kakinya ke meja, ia melipat tangannya di d**a, sambil menatap langit-langit plafon, ia menoleh ke arah Zee,
"Saya pernah beberapa kali liburan ke Paris, Bangkok, Singapore atau kemana saja yang saya mau. Saya pikir itu sama, hanya berdiam diri di hotel, makan, kalau tidak malas ya jalan-jalan. Tidak ada yang spesial menurut saya,"
“Itu karena bapak, tidak mengajak orang yang asyik, makanya terasa membosankan,”
“Ya kamu benar,”
“Coba kalau ngajak saya, pasti seru !,” Zee kembali tertawa.
Erik memicingkan mata menatap Zee, “Kamu mau liburan dengan saya,”
“Kemana?,”
“Ke Jogja,” Erik berharap Zee menerima tawarannya. Entahlah kenapa kata Jogja keluar dari bibirnya begitu saja. Mungkin karena suasana Jogja memang selalu membuatnya rindu.
“Serius,”
“Serius dong, temani saya liburan, dua hari saja,”
Zee menatap Erik dan lalu tersenyum penuh arti, siapa yang tidak senang diajak liburan geratis ke Jogja pula, “Oke,”
“Zee ...,”
“Iya pak,”
“Kamu bisa kan tidak memanggil saya bapak, jika kita ngobrol berdua seperti ini, terlebih ini bukan di kantor. Jangan terlalu formal lah,”
“Jadi saya panggil bapak apa?,”
“Erik saja atau kamu,”
“Iya,”
***