Zee mulai mempelajari bagaimana menjadi sekretaris. Sebenarnya posisi sekretaris ini merupakan jam paling sibuk di antara lainnya. Lihatlah jobdeks yang di lampirkan pada kertas itu mencapai dua lembar.
Tugas pertama yaitu menyiapkan agenda rapat pimpinan. Kedua menerima telpon masuk dan keluar pimpinan. Ketiga membuat janji pada klien. Keempat menjadi notulen rapat. Kelima menjaga citra perusahaan. Ada beberapa point yang menurutnya bukan tugas sekretaris sesungguhnya.
Masalahnya semua point yang ada di bawah isinya berupa tugas asisten pribadi. Misalnya saja point ke delapan setiap pagi menyiapkan kopi tanpa gula. Selanjutnya point kesembilan ponsel sekretaris harus aktif 24 jam. Kesepuluh Menyiapkan buku bacaan saat suasana sedang mmembosankan. Kesebelas berkemampuan berkendara, untuk ini ia hanya bisa memakai roda dua, tidak untuk mobil. Ia sama sekali tidak bisa mengendarai roda empat itu. Kedua belas memiliki selera fashion yang baik, jika suatu saat menghadiri meeting penting dengan calon klien agar direktur tetap tampak berwibawa.
Oh Tidak, ternyata tugas seorang sekretaris jauh lebih banyak dari pada seorang accounting. Jika accounting hanya sibuk di pagi hari saja dan tutup laporan akhir bulan. Sedangkan sekretaris harus siap begadang, jika sewaktu-waktu sang atasan lembur dan bergulat dengan setumpuk dokumen. Sepertinya ia perlu asupan vitamin jika kerjaannya seperti ini. Ia yakin tugas ini tidak kenal tanggal merah dan hari libur.
Zee meletakkan berkas itu ke dalam laci. Ia memperhatian setiap sudut ruangan, sebenarnya ruangan seperti ini jauh lebih baik dari pada ruangan accountingnya dulu. Entahlah kenapa ia lebih menyukai suasana ruangan accounting yang berantakkan, dan suara ribut mesin printer. Terlebih suasana diruang accounting begitu ramai, ia bisa bergosip ria dengan karyawan lainnya. Dan di sini malah kebalikkanya begitu hening, seperti tanpa kehidupan.
Zee mulai mengambil gobi yang bertulisan “Surat Keluar”. Ia mempelajari satu persatu memo, kontrak kerja sama dan propasal. Zee tenggelam dalam pikiraanya, jika hanya surat-surat seperti ini, sangat mudah sekali dipelajari. Jika dibandingkan dengan kerja yang dulu berisi angka-angka dan jumlah nominal uang yang diterima. Jika selisih, ia harus mencari satu per satu angka itu agar mencapai hasil yang valid.
“Zee,” panggil Erik.
“Zee zee,” panggilnya lagi.
Zee tersadar, dan dengan cepat berjalan keruangan Erik.
“Bapak panggil saya?,” Tanya Zee.
“Iya,”
Zee lalu duduk di kursi, “Ada apa pak?,”
“Kamu sudah jelas Job description yang saya lampirkan,” tanya Erik, ia menatap wanita berjas hitam itu. Ia di sini hanya menyuruh Zee mempelajarinya saja sambil menunggu jam pulang.
“Sudah pak,”
“Ada yang kamu kurang mengerti?,”
“Saat ini saya masih mempelajarinya pak,”
“Jika ada yang tidak kamu mengerti, tanyakan kepada saya,” ucap Erik.
“Iya pak, ada lagi pak?,”
“Tidak, kembali saja keruangan kamu,”
“Iya pak,”
***
Erik memijat kepala yang kini terasa berat, karena terlalu banyak bekerja. Jujur sangat membosankan seperti ini setiap hari. Pekerjaan berulang kali ia lakukan tanpa adanya keceriaan dan ketertarikan. Silih berganti sekretaris, tidak ada satu orangpun yang betah, semua terasa kaku dan monoton.
Erik menyudahi pekerjaanya, ia melihat jam yang melingkar di tangan, menunjukkan pukul lima sore. Erik menyampirkan jas hitam di punggung tangan. Ia menatap ruangan sebelah lampunya masih menyala.
Erik melangkah mendekati ruangan itu, ia menatap Zee di balik kubikel, wanita itu membalas pandangannya.
“Sore pak,”
“Sore juga, mari kita pulang,”
“Iya pak,” Zee tersenyum menatap beliau.
Zee bersyukur bahwa sekarang waktunya pulang. Karena sedari tadi ia sudah terlalu bosan hanya diam, menatap jobdeks yang terlampir itu tanpa melakukan apa-apa. Ia akan mempelajari jika sudah praktek langsung, toh hanya surat-surat, lihat di google juga banyak. Zee mengambil tas di lemari kabinet dan mengikuti langkah Erik.
Erik menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah Zee. Wanita itu bingung menatapnya,
“Ada yang ingin saya berikan kepada kamu,”
“Apa pak ?,”
Erik merogoh kunci di saku jas, “Ini kunci ruangan saya, dan ini kunci ruangan kamu, ini debit card. Setiap pagi saya sarapan roti yang berbeda dan kamu pandai-pandailah list sendri. kamu tidak perlu khawatir saya tidak menyukainya. Jangan lupa besok ingatin saya ada meeting dengan pak Handoko jam dua siang,” Erik menjelaskan kepada Zee.
“Iya pak,” Zee menulis dibuku agendanya.
“Sementara itu saja dulu,” Erik meneruskan langkahnya.
“Iya pak,” Zee kembali mengikuti langkah Erik dari belakang.
Sepanjang perjalanan menuju lobby hotel, hanya diam. Ia juga tidak berani memulai percakapan, karena masih segan. Jika di perhatikan kelopak mata laki-laki itu sedikit turun. Beberapa ekpresi melakukan beberapa helaan nafas. Ia tahu bahwa bosnya itu dilanda suatu kebosanan yang luar biasa. Walau secara fisik dia masih tenang dan terlihat sabar.
“Maaf, saya pulang dulu pak,” Zee berpamitan kepada beliau.
“Iya,”
“Mari pak,” Zee menjauhi Erik, sekali lagi ia menoleh ke belakang, menatap atasannya itu masuk ke dalam mobil.
***
Erik menatap ruangan apartemen, seperti biasa ruangan itu tertata rapi. Ia menyimpan sepatu di rak sepatu di dekat daun pintu. Erik melangkahkan kakinya masuk ke dalam, ia menyimpan tas di sofa lalu melangkah masuk ke dalam ruangan. Ia membuka kancing kemeja, ia ingin mandi segera. Erik mendengar suara ponselnya berbunyi, Erik mengambil benda persegi di saku jas.
“Mama Calling”
Erik lalu menekan tombol hijau, ia letakkan ponsel itu di telinga kiri,
“Iya ma,” ucap Erik.
“Kamu dimana sayang,”
“Ini baru pulang dari kantor. Ada apa ma?,” ucap Erik, membuka gorden, ia ingin menatap senja dari ketinggian. Baginya senja itu begitu indah dan waktunya hanya sebentar.
“Besok Elsa datang dari paris? Kamu enggak jemput dia?,”
“Aku sudah nyuruh pak Heri yang jemput ma. Lagian besok aku ada meeting penting sama pak Handoko,” ucap Erik.
Erik tahu, bahwa berurusan dengan ibunya pasti tentang Elsa. Entahlah ia tidak terlalu bersemangat membahas tentang wanita itu. Mungkin karena dari awal Elsa bukanlah wanita yang inginkan. Rasa ketertarikan itu tidak ada satupun menggetarkan jiwa. Ia bersama Elsa hanya sebuah bisnis belaka dan berlanjut kesebuah hubungan bernamakan tunangan.
Inilah suatu alasan yang ia jalani tanpa tujuan, tanpa sebuah usaha saling mencocokan. Ia tidak sedih ketika dia sedang berpergian jauh dengan timnya. Ia juga tidak berniat menghubunginya dan dari awal mereka memang tidak sejalan. Mereka tidak pernah sekalipun mengumbar kemesraan kecuali di media kemarin. Ah, entahlah kenapa bisa seperti ini, atau memang tidak ada mimpi masa depan, dengan dia.
Sekarang ia sadar, bahwa ia sama sekali tidak memiliki cinta yang membuatnya bersemangat dalam melakukan apapun. Jujur ia memang tidak mengatakan secara gamblang, bahwa ia terang-terangan tidak mencintai dia. Sikap macam apa yang ia tunjukkan, jika hanya pasrah seperti ini. Mengikuti mau kedua orang tuanya, tidak tahu sampai kapan ini berakhir. Kadang ada hati ingin berontak, tapi ia tidak tahu alasannya,
“Kamu gitu saja terus, alasannya banyak sekali, mama jadi bingung. Ini tunangan kamu sendiri loh, kalian juga sudah tunangan dua tahun. Jangan cuek sama Elsa, dia juga butuh perhatian kamu Erik,”
“Iya ma, nanti aku telfon Elsa,” ucap Erik berusaha tenang.
“Telfon saja enggak cukup untuk hubungan kamu dan Elsa. Kamu jemput dia ya di Bandara,”
“Mama mengertilah, besok aku ada meeting. Aku enggak bisa meninggalkannya begitu saja. Tanya saja sama pak Handoko kalau enggak percaya,”
“Yaudahlah kalo begitu, mama pusing mikirin kamu,” ucap mama Erik.
“Oiya, kapan rencana pernikahan kamu dan Elsa? Soalnya mama dan papa sudah tidak enak dengan keluarga Elsa. Bagaimanapun orang tua Elsa minta kejelasan atas setatus anak gadisnya,” ucapnya lagi.
Erik mengerjitkan dahi, memegang pelipis memikirkan sebuah pernikahan. Ia laki-laki berumur tiga puluh empat tahun tentu saja mendambakan pernikahan. Ia sudah membayangkan bagaimana rasanya hidup berumah tangga memiliki anak dan istri, menyambut kedatangannya ketika ia lelah bekerja. Tapi tidak dengan Elsa, lagi-lagi dia lah yang ingin ia singkirkan dalam hidupnya.
“Iya ma, aku masih mencari waktu yang tepat,”
“Jujur mama sudah bosan loh Rik, dengar kata-katamu itu,”
“Sudahlah ma, jangan dipikirkan nanti mama yang sakit. Untuk masalah ini kita pikirkan lagi, oke,”
“Selalu saja begitu, ingat umur, kamu itu sudah tua. Sudah sepantasnya menikah,”
"Iya ma tenang saja, aku pasti nikah kok," Erik menyudahi percakapannya.
Erik meletakkan ponselnya di nakas. Ia menatap ke arah langit senja, yang sudah menghitam. Kadang uang bukanlah suatu hal yang sangat berharga. Memiliki banyak uang memang mampu membeli barang-barang, tanpa banyak perhitungan. Tapi siapa yang percaya bahwa banyak uang tidak bisa membuat dirinya bahagia. Ia tahu bahwa di dunia ini ada hal yang sangat berharga, walau tidak perlu memiliki banyak uang.
Andai ia bisa membeli kesenangan dan membuat hatinya bahagia, maka akan ia beli sekarang juga. Ia pernah membeli kesenangan ditemani wanita-wanita cantik di dalam suatu ruangan, tapi sifat itu hanya lah sesaat. Ujung-ujungnya yang ia dapat adalah kehampaan dan rasanya begitu menjijikan.
Saat ini ia mencari cinta, banyak yang bilang bahwa cinta membuat diri seseorang bersemangat dalam melakukan apapun. Entahlah ia tidak mengerti, karena hingga saat ini ia bahkan belum bertemu dengan cinta. Ia tahu bahwa setiap orang memiliki tujuan hidup sendiri, dengan presepsi sendiri.
Siapa yang tidak kenal Elsa Pramono, designer muda ternama di negri ini. Mempunyai butik brand ternama di Indonesia. Bahkan saat ini Elsa mengembangkan bakatnya di dunia Internasional. Follwers i********: Elsa juga sudah mencapai jutaan. Saat ini bisnis fashion Elsa berkembang cukup baik. Mungkin orang diluar sana berpikir mereka adalah pasangan serasi. Sering diundang acara talk show Tv swasta, dan majalah bisnis terkenal. Pernikahan mereka akan digadang-gadang menjadi pernikahan termewah.
Erik menarik nafas, orang tuanya memang berhubungan erat dengan keluarga Elsa. Ada beberapa kerja sama bisnis diantara keduanya. Semua hubungan ini hanya bisnis semata, ia bukan jenis pria yang langsung meluapkan kemarahannya, ia hanya bersikap tenang, dan tanpa banyak bicara.
***